Masukan nama pengguna
Kau berkisah ketika hujan mendayu-dayu di halaman rumah, katamu Ibu berpendirian teguh padahal herpes sedang menjalar di leher sampai memangsa saraf-saraf kepalanya. Kau amat serius sehingga gemuruh guntur tetap menciptakan hening.
Ibumu—Yu Sekar, begitu nama yang bersandang pada lembar akta kelahiran, dia merupakan wanita tua dengan rambut penuh uban sementara kantung matanya telah mengabu-abu dan kendor. Yu Sekar adalah ibu kandungmu, beratap di bawah rumah sederhanamu, tidur sendirian tiada yang memeluknya sewaktu malam panjang. Ada senyum keramah-tamahan yang tersungging dari bibir keriput itu, ah Yu Sekar keningnya bahkan sudah berkerut-kerut, tampung pengalaman hidup setelah melahirkan tiga anak berturut-turut. Begitu banyak kelakar yang disimpan rapat dari langkah terseok-seok menuju dapur. Kadang aku menyaksikan tangannya yang sudah mengeriput serupa kulit jeruk nipis itu meraih gagang pintu, menghalau angin gigil masuk ke ruang tamu. ‘Dingin!’ gumamnya.
Yu Sekar mengaduh, suaranya bagaikan lolongan hewan lapar di tengah hutan, mencekam dan membuat hati kecil mendekam. Kebisingan dari debat keluarga akan redam jika Yu Sekar sudah mengeluh sakit, tubuhnya akan bergerak-gerak tidak keruan, tangannya memegang ubun kepala.
“Bagaimana rasanya, Mbok? Sebelah mana yang sakit?”
Padahal dirimu tahu letak sakitnya, cairan-cairan bening tumbuh rata di leher menjalar sampai kulit yang ditumbuhi dengan rambut kepala. Bahkan ada sebagian kepala yang telah digundul supaya penyakit itu cepat kering, tuntas dan bersegera hengkang dari tubuh Yu Sekar. Sudah diobati kemana-mana, katamu. Berapapun biayanya—serupa kasih ibu yang tiada kenal angka, kau carikan tanpa berpikir panjang. Sayangnya takdir masih bersenang-senang dari keluh kesah rasa sakit Yu Sekar.
“Aku akan tetap ikut dan melihat anakku ikrarkan akad!” Begitu bibir berucap, Yu Sekar bersikukuh ingin terbang ke Kalimantan.
Kau ceritakan adikmu yang bontot akan menikah bulan November ini. Dia telah hidup di tanah perantauan, lama bergumul dengan pohon sawit, kulitnya sampai legam dihanguskan terik, sementara telapak kaki penuh lumpur di musim penghujan. Anggota tubuh yang dulu tanak di dalam rahim, kini telah berkembang mencari hidup sendiri di rahim pertiwi. Ada rindu yang tidak bisa diucap, biarlah tercecap dalam tatapan murung Yu Sekar. Aku bisa menebak, dia pun terkadang ingin hidup satu atap, dengan buah-buah cinta yang dulu dilahirkan. Akan tetapi siapa tahu nasib hidup orang, kan? Begitu katamu dengan serius. Kau ijinkan saudaramu itu bergelimpangan lelah di kampung orang lain.
Kini, ketika waktu dewasa membujuknya tunaikan kesempurnaan ibadah—ibumu sedang sakit—lumayan parah. Kau bingung, ingin menolak rengekan Yu Sekar, tetapi tak sampai hati. Tiket pesawat juga sudah dipinang, koper hasil pinjaman juga telah berdiri rapi di ruang tengah, akan diisi pakaian-pakaian gantimu semasa di Kalimantan. Yu Sekar nekad menahan sakit terpenting bisa menyaksikan adik laki-lakimu itu menghalalkan seorang perawan. Maka benar, kau berangkat dari Magelang menuju Bandara Ahmad Yani, Semarang. Ah, jangankan Yu Sekar, kau saja baru pertama kali naik pesawat terbang. Tak heran jika kau serupa bocah hilang butuh pertolongan, bingung check in, tak tahu arah menuju hanggar pesawat.
Setiba di bandara, kau istirahat terlebih dulu menenangkan langkah dan memberikan waktu luang Yu Sekar supaya istirahat. Perjalanan satu jam ke depan menggunakan pesawat membutuhkan mental kuat. Maka kau tidak mau terburu-buru karena semuanya akan berakhir kacau. Penumpang domestik maupun mancanegara berkeliaran menuju urusan masing-masing, serupa lalat berterbangan. Begitu ramai dan membuat pandanganmu agak gentar—khawatir tersesat.
Sayangnya kesantaianmu membuatmu harus berlari di garbarata, Yu Sekar yang menahan sakit di kepala ikut terpontang-panting karenamu. Belum lagi si kecil buah hatimu yang tak kenal arah. Antara panik dan khawatir pesawat boarding tanpa menunggumu, lagi pula siapa dirimu, pilotnya tak kenal. Identitasmu sewaktu check-in hanya direkam system komputer, kau punya ijin naik pesawat, ada bukti sah dari tiket pesawatmu yang terpesan jauh-jauh hari, tetapi sekali lagi, jika pesawat terbang meninggalkanmu, maka hatimu akan remuk redam. Perasaan Yu Sekar, apalagi! Maka teruslah berlari sampai di ujung garbarata, napasmu masih tersengal-sengal tetapi dengan cekatan kau tarik lengan si kecil, juga kau pegang kuat-kuat tangan Yu Sekar. Ah, bagaimana ibu setua itu ikut terbang ke Kalimantan—untuk pertama kalinya.
Rupanya kau mendapat pengalaman turbulensi pertama yang membuat perutmu terasa diaduk-aduk. Naik pesawat tak seindah yang kau bayangkan. Katanya kau ingin menikmati hamparan langit luas, awan-gemawan dan menyaksikan daratan yang serupa lego berhamburan itu. Tubuh pesawat terus bergerak di atas awan. Matamu terkantuk-kantuk tetapi tak berani terpejam, lagi-lagi kau takut Yu Sekar mengalami masalah fatal. Keningnya sudah dipenuhi dengan keringat, aroma tubuhnya asam. Aroma napasnya serupa orang lupa makan seharian. Tatapannya amat redup.
“Masih kuat, Mbok?” tanyamu.
“Kuat!” jawaban Yu Sekar tetap membuat hatimu gusar. Kalau pantas, mungkin tangismu sudah membanjir dari atas pesawat, menjadi hujan deras menyiram gunung-gunung dan bercampur dengan air lautan. Kau tatap jendela pesawat dengan menahan riak pedihmu. Suasana di dalam kabin begitu hening, para penumpang sebagian memejamkan mata, ada pula yang berselancar melihat ponsel masing- masing—dalam mode pesawat tentunya.
Kau pikir setelah take off, kegelisahanmu akan berkurang. Langkahmu keluar dari hanggar pesawat telah lunglai menuju lobi pengambilan barang dari bagasi. Orang-orang menyeret koper mereka, punggung digendongi ransel sementara bahu masih dikalungi tas selempang kecil, tak ubahnya denganmu. Koper itu kau seret padahal ingin sekali kau tinggalkan saja, berat namun lebih berat memandang wajah Yu Sekar yang penuh keringat dan dahaga, rona wajahnya sudah ingin rebah di pembaringan, atau menggelegak mineral sebanyak mungkin dengan nyaman. Sayangnya kau harus melanjutkan perjalanan menuju kampung, masih jauh dari bandara. Kau keluar dengan menggandeng Yu Sekar, juga menggandeng harapan dirinya tidak jatuh pingsan. Si kecil perempuanmu juga sudah memanyunkan bibir, tandanya dia kelelahan. Satu hal pelajaran yang kau ambil di bulan November yang lembab ini, seorang ibu tak pernah kenal jarak sekalipun usianya telah mendekati senja.
Kau dijemput oleh mobil milik saudaramu, melewati jalanan aspal yang begitu lebar, ramai karena terjebak di pusat perkotaan, juga banyak gedung tinggi modern, sekalipun tidak setinggi di Jakarta, tetapi tetap saja pantas disebut sebagai gedung pencakar langit. Tanah Kalimantan, meski musim hujan bertandang tetapi tetap terasa panas di tubuhmu. Jalanan besar itu berangsur mengecil, melewati perbatasan kota, kemudian merasuk ke dalam lahan yang dipenuhi dengan pohon-pohon rimbun, sesekali ada tanaman sawit yang seolah ingin menyambut kehadiranmu dan Yu Sekar. Mobil terus bergerak menuju tempat persinggahan.
“Simbok masih kuat, kan?’
“Ku—at,” rintihnya dengan suara serak. Terdengar getir dan memilukan. Sakit hatimu, remuk redam perasaanmu karena dalam keadaan demikian, tak ada yang bisa kau lakukan, kecuali merasa sangat beruntung karena dilahirkan dari rahimnya yang kini telah kering kerontang dari kasih sayang. Bapak kandungmu lama wafat, meninggalkan Yu Sekar menenun masa tuanya sendirian. Demi melihat anak yang dulu dibuainya penuh kemanjaan melangsungkan resepsi nikah, Yu Sekar berani menahan sakit di kepala dan melawan takutnya terbang ke provinsi lain. Yu Sekar kokoh sekalipun langkahnya nyaris tumbang di halaman rumah sederhana—tak ubahnya rumah-rumah di Magelang. Terbuat dari dinding batako, teras yang luas dan rumput-rumput kecil yang menyelip di sela-sela jari kaki.
Kau menarik napas lega, mampu mengistirahatkan Yu Sekar di rumah, setidaknya cuaca tak sepanas di bandara, keringat merembes ke kain bajumu, bahkan bisa diperas. Aroma tubuhmu campur aduk, antara minyak wangi dan peluh lelah, juga riak sedih yang ditahan—barangkali cairan itu juga tetap meluncur dari kulit. Dadamu selapang hanggar pesawat, sabarmu terbuat dari batu, keras dan akan terus dipertahankan. Begitulah kau banyak belajar dari Yu Sekar.
Akan tetapi, rupa kerabatmu nun jauh di Kalimantan itu—duduk melingkar di ruang depan. Yu Sekar duduk di dekat pintu, kau juga demikian. Koper-koper masih dipinggirkan merapat pada dinding. Jika di Jawa, apalagi tempat tinggalmu, Magelang, sudah pasti tuan rumah akan menyuguhimu dengan aneka hidangan, apalagi jika tahu tamunya datang dari luar provinsi. Menyambut tamu mejadi kewajiban, dan akan menyuguhi jamuan yang sudah disiapkan hari sebelumnya. Kau tentu sudah memberi kabar pada adik laki-lakimu, bukan? Akan terbang untuk menghadiri acara pernikahannya yang tinggal menghitung hari itu. Sayangnya, adik laki-lakimu itu tidak berani memerintah kerabat lain. Tidak berani menyuruh ambilkan minum untuk Yu Sekar—ingin sekali kau berteriak lantang!
“Simbok sedang tidak baik-baik saja!”
Akan tetapi pantaskah? Nalurimu sebagai seorang wanita yang diasuh penuh kesopanan tentu bisa berpikir panjang. Kau juga akan malu jika membuat kesalahan di depan saudara-saudara yang lama tidak kau salami itu. Maka kau ijin pada adikmu—juga pada pemilik rumah sebab adikmu menumpang di rumah itu. Jauh ke Kalimantan, dan adikmu masih menginap di saudara lain, belum mendirikan gubuk sendiri. Pasalnya niat membangun rumah itu akan terealisasi selepas akad. Kau hanya mampu memaklumi. Kesalmu itu kau angkut ke dapur, menyeduhkan teh hangat untuk Yu Sekar. Begitu rungkut jasa seorang ibu, sudah tampung luka bertahun-tahun, mengguyur sedih dengan air mata sepanjang hari, menyembunyikan keluh yang senantiasa ingin menyerah—demi buah hati. Ya demi buah hati. Akan tetapi seorang anak terkadang tidak berani menyisihkan sedikit harga dirinya demi menentramkan batin ibu.
Kesalmu gugur, selepas melihat dahaga Yu Sekar rontok.
Acara resepsi adikmu kau simpan rapat. Belum kau kisahkan kepadaku, maka cerita ini tuntas sebelum waktunya. Barangkali Yu Sekarlah yang pantas abadi dalam abdi kaum hawa. Sekali lagi aku sambangi rumahmu di Magelang, senang sekali menyaksikan Yu Sekar kini mengembangkan senyum, dia masih terseok-seok mendekati pintu, menutupnya supaya air tampias hujan tidak masuk ke ruang tamu. Lalu kemarin aku menyaksikan jari keriputnya menyentil saklar lampu.
“Biar terang!” katanya.
Kutangkap supaya cerita-ceritamu tidak pernah tumbang, sekalipun hujan enggan berpulang.
Magelang, November 2024.