Cerpen
Disukai
4
Dilihat
2,043
Donat
Slice of Life

Mimpinya sederhana, yang diinginkannya seperti perjuangan menimbun uang berlimpah di kamarnya. ‘Sukar’. Ia hanya ingin, memiliki pasangan hidup yang mampu dituntunnya ke singgasana pelaminan. Sebuah keinginan mulia, sayangnya tampak menyedihkan bagi lelaki itu, sebut saja, Sukma, pemuda tanggung yang sudah bisa dikatakan berumur. 

Ia tamatan sebuah universitas ternama di kotanya, kegiatan sehari-hari adalah bersenang-senang. Menjadikan kue donat sebagai prinsip hidup, ke mana pun ia melangkah, di mana pun ia berpijak, entah di bawah terik yang menyengat, di pusara hujan yang jatuh berliter-liter, maupun di tengah-tengah kubangan sampah masyarakat, ia tetap bersenang-senang. Ada sebuah rumus matematika yang ditanamkan dalam kehidupannya, sejujurnya ia tidak menyukai ilmuwan Pytagoras, namun bisa dikatakan ia orang yang fanatik dengan aturan yang diciptakan oleh Pytagoras, hipotenusa suatu segitiga akan sama panjangnya dengan sisi kedua segitiga, maka ia menarik sebuah konklusi, jikalau pikirannya tenang, waktunya banyak dihabiskan untuk berpikir dan bersenang-senang, maka akan seimbang pulalah kehidupan di dunianya, baik yang negatif maupun positif. Ia akan menjadi sosok periang yang mudah bergaul dan orang-orang yang tidak ditekan oleh pekerjaan. Tuturnya suatu ketika di bawah langit kuning, ketika burung-burung pulang ke sangkar masing-masing. 

“Itu adalah pikiran sinting! Di dunia kosmos ini ada hukum yang namanya sebab dan akibat, jika kau bekerja sungguh-sungguh, maka kau akan mendapatkan uang banyak dan kenikmatan menyenangkan, pun sebaliknya jika kau hanya bersenang-senang maka kau akan mendapatkan banyak kerugian, waktu luangmu habis untuk bermain-main, dan bisa saja dompetmu selalu kering.” Cika gadis seperguruan dengannya menyampaikan pendapat. Ia membuka lembaran buku selanjutnya. Ratusan buku yang tertata rapi di ruang tersebut menjadi saksi perdebatan kecil antara Cika dan dirinya. Dinding-dinding cokelat, melambangkan kesunyian dan ketenangan para cendikiawan anak bangsa. 

Tempat ini tidak seramai mall-mall di kotamu, pencintanya orang-orang sederhana dengan ransel berisi setumpuk buku, penampilan mereka pun bisa kau tandai, jarang ada yang menggendong tas mahal, mengenakan sepatu mahal, berbedak tebal, jika pun ada penampilan yang ditonjolkan maka ia seperti Sukma, memakai kaca mata, dengan kemeja kotak-kotak biru, berstelan celana jins, ia duduk menatap jendela. Cika melanjutkan bacaannya. 

“Jangan terlalu serius dalam menyikapi kehidupan,” sanggah Sukma. Jemarinya dipersibukkan untuk membenarkan letak kacamata. 

“Cik ….” Ia menatap wajah lembut gadis yang ada di depannya. Gadis itu menegakkan lehernya, melupakan kutu hurufnya sejenak, ia menutup bukunya usai melipat halaman terakhir yang dibacanya. 

“Pagi kuliah, siang ke perpustakaan, sore kerja di laundry dekat kampus. Apa otakmu tidak stres?”

“Kenapa aku harus stres, bukankah semuanya akan berjalan lurus sesuai dengan apa yang kita inginkan? Jika memang kau ingin selalu bermain-main, silakan! Dan inilah diriku, menurutku bukan kesempatan pertama yang tidak akan datang ke dua kali, melainkan waktu tidak akan pernah pulang kembali. Aku sedang menanam masa depanku.”

“Aku bisa gila jika menikah denganmu, Cik!’

Ia meleburkan bayangan Cika, menghanyutkan dengan aliran air hujan sore kemarin. Meneropong kenangan-kenangan manis seputar hujan, pernah mereka menghabiskan kopi panas di kedai pinggiran kampus, tertawa mengejek kemalangan kawanan burung-burung yang tidak bisa pulang karena hujan. Mereka berteduh di ranting-ranting pohon, waktu mengharapkan sebuah kicauan, sayangnya alam membuat suaranya serak. Sukma menenggak kopinya. Serbuknya mengendap di permukaan gelas. Ia sedang menyelami kenangan di masa silamnya. Hari itu—ketika orang-orang kampung mentertawakannya. Di usianya yang telah berkepala dua puluh lima, ia lari ke lapangan, menyeret tali layang-layang. Warga bilang, ia menderita penyakit gila karena skripsinya tidak kunjung selesai-selesai. 

Di hari ulang tahunnya yang ke 26 tahun, ia merayakan tanggal kelahirannya dengan mengundang sahabat-sahabat kampusnya. Tak terlupakan Cika, gadis yang telah dijadikan tambatan jiwanya. Mereka semua mengira akan ada kue ulang tahun di meja, ada lilin yang ditiup, juga tepukan tangan meriah dari teman-teman. Sayangnya tidak, bisa dikatakan ia merayakan pesta ulang tahun terunik di dunia. Jika saja ada semacam perlombaan pesta ulang tahun terunik, maka ialah yang pantas mendapatkan mendali emasnya, meskipun nantinya dikalungi dengan predikat 'sinting'. 

Anak-anak yang diundang digiring menuju halaman kos-kosan, salah satu dipintanya mengambil ember, air dan sabun. Mobilnya terparkir rapi, semuanya kompak berkacak pinggang juga melontarkan makian, mata-mata melotot, rahang tegang, napas memburu cepat. Siapa pun akan geram, jika didatangi sahabatnya dengan wajah melas, merengek meminta acara ulang tahun sekaligus peresmian pekerjaannya diterima di sebuah perusahaan, nyatanya justru dihadapkan dengan mobil yang kotor. 

"Aku diterima kerja di sebuah perusahaan."

"Kerja apa?"

"Jadi distributor sebuah perusahaan."

Jawaban mantap Sukma membuat teman-teman meluangkan waktunya. Tak pernah terbesit di kepala mereka, jika pesta ulang tahun menjadi permainan semprot air dan gelembung sabun. Para mahasiswa saling siram air dengan selang yang disediakan oleh Sukma, ia meminta mereka membumbungkan gelembung-gelembung sabun. Semula mereka geram, merasa dibodohi dan dipermainkan, namun pada akhirnya, entah malaikat dari mana yang menurunkan keceriaan di antara mereka. Halaman kos-kosan penuh dengan gelembung dan air yang disemprotkan ke udara. Beberapa anak kecil yang tinggal di sebelah kos-kosan berbondong-bondong mengintip dari gerbang besi. Wajah mereka seperti narapidana di dalam penjara, bedanya mereka riang, tak beraura seram. Mereka bertepuk tangan, bersorak senang, mahasiswa-mahasiswa malang itu akhirnya melampiaskan kekesalan dengan menikmati permainan gelembung sabun. 

"Kau terlalu miskin untuk membeli kue ulang tahun?" Cika protes. Ia menepuk bahu Sukma, sementara tangan kirinya memegangi perut, tak kuasa menahan kegilaan yang ditampilkan teman-teman kampus. Saling tembak air dengan selang, bibir-bibir dimoyongkan menciptakan gelembung-gelembung. Pakaian basah. Wajah semringah. Warga kos yang lain ikut terjun, mengguyurkan air ke tubuh Sukma. 

"Aku ini orang kaya, sudah bosan dengan acara ulang tahun yang biasa-biasa saja."

Cika terkikik. 

"Kaya apaan? Kaya hutang?"

"Jangan mengambil kesimpulan negatif, aku adalah pawang uang, kelak uang-uang akan aku tundukkan untukmu, Cika." 

Cika tersenyum sinis. Di hari ulang tahunnya ia mendapatkan kado besar yang amat istimewa, kado penutup kenangan dari masa silam, penghilang kunci rindu menggebu di masa depan. Cika merasa Sukma lelaki yanh tidak pantas untuk mendapatkan cintanya. 

"Percayalah padaku Cika, aku akan membuatmu bahagia!" 

Warga kos bersorak. Mereka mengira siang terang dengan awan putih yang berarak tenang sedang menciptakan momentum romantis. Jalanan aspal dilintasi sepeda motor berknalpot sumbang. Merusak suasana manis yang diharapkan gelembung-gelembung sabun. 

Orang-orang melongo kurang yakin. Tak seorang pun memercayainya. Ia pemuda yang gemar berjelajah, bukan mencari uang, namun mencari kesenangan. Dosen sampai gemas dengan gelagaknya. Tugas kampus jarang kelar, ia menyelinap keluar dari kelas. Alasannya, "ada keperluan mendadak." Rupanya ia duduk menyendiri di kantin kampus, mengapeli pujaan hati ketiganya, setelah Ibu dan Cika. Jangan berasumsi ia pemuda nakal, suka bermain perempuan. Tatapannya ditebar pesonakan, ia kulum senyuman menawan, bersiul seperti burung pamit berpetualang, kemudian menyilangkan kaki, duduk di meja makan. Pujaan hatinya menghampiri, menawarkan makanan manis, yang dibumbui dengan senyuman menggoda. Pujaan hati ketiganya senantiasa menyanggul rambutnya, ia tampak anggun dengan selendang yang dililitkan di pinggang. 

"Mau donat?" tawarnya. Sukma mengangguk, ia membeli satu kue donat

Ia tergila-gila dengan donat, bukan tersebab rasanya yang manis dan taburan gula lembut di lidah, ia menyukai donat karena menurutnya donat makanan yang unik. Berbentuk lingkaran, semakin besar diameter donat, semakin besar pula kue yang mengelilinginya. Ia lantas mengaplikasikannya ke dalam kehidupan. Memperbanyak ruang kosong, agar lingkungannya penuh dengan hal-hal manis. 

"Aku ingin membuat tempat tidurmu nyaman, jika kau mau jadi istriku, maka kau akan selalu kuajak menjelajah dunia." 

"Makan pakai apa?" 

Cika sarkatis. Anak-anak yang mengintip dari gerbang mulai bosan, satu persatu mulai pergi. Penghuni kos-kosan justru menantikan sebuah tragedi perih. Mereka sangat setuju jika Sukma ditolak dan cintanya patah. 

"Pakai otak!" 

Cika tersenyum sinis, yang lain tertawa. 

"Aku akan melarangmu bekerja. Hidupmu kelak hanya akan bahagia, di sisiku ketika pagi dan senja datang, kau tidak akan kuizinkan lelah, semuanya akan diselesaikan oleh pembantu-pembantuku nantinya."

"Mobil saja ngerental! Apa pembantumu juga bisa dirental, Suk?" ledek teman kampus. 

“Mungkin di masa depan akan ada premaisuri lain. Pilihlah hal yang menurutmu baik, Suk. Kau bukan orang yang baik untukku,” kata Cika sebagai penutup obrolan. 

Ia hanya menanggapinya dengan tawa hambar. Mengambil selang, menyemburkan air ke angkasa. Lihatlah Kawan, ia sosok yang riang, bahkan ketika cintanya sedang dipertimbangkan oleh Cika, ia berusaha mengabaikan meskipun perasaannya sebenarnya seperti sedang dikuliti. 

Berbulan-bulan kemudian, Cika tak lagi menemuinya. Kabar pun terbang entah ke pulau apa. Senyumnya terlewat di beranda kenangan. Laranya memanjang pada sepanjang rel kereta api di kota-kota perantauan. Ia pergi—sungguh pergi meninggalkan isi kampusnya, mencari kekosongan. Mengorelasikan persahabatan. Bersantai-santai ria di taman-taman asing, di restoran-restoran mewah. Apa modalnya?

"Kau hanya perlu banyak bicara, supel dan selalu percaya diri. Jangan jadi orang yang introvert! Maka dunia mampu kau genggam," jawabnya kepada seorang rekan kerja ketika dijamu makan malam di sebuah hotel berbintang. 

Ia menggenggam kebebasan. Tak ada yang berani mengatur waktunya. Waktu kosongnya seringkali digunakan untuk menenangkan pikiran. Jika sudah siap, ia memikirkan banyak ide, salah satunya membangun gedung pencakar langit bermodalkan mendekati taipan-taipan polos. Ia tak meminjam modal, namun merekalah yang memberikan modal. Beberapa kali mengisi acara motivasi anak-anak muda. Namanya menjadi kondang sampai ujung barat dan timur. Kau akan mengira dirinya bekerja keras, tidak! Yang ia lakukan sederhana, berbicara kepada sembarang orang dengan kemampuan otaknya. Ia tak diikat oleh waktu, meskipun mempunyai tanggungjawab. Ia mempraktikan analogi kue donat ke dalam hidupnya. 

Ia orang yang tak pernah dikejar-kejar target. Ia ciptakan sebuah kebebasan dalam lingkar hidupnya. Ia pun bukan orang yang mau berpikir keras dalam menyelesaikan suatu hal. Sedikit abai dengan hal-hal yang dipikirnya kurang perlu. Semisal, malam lalu ia meminjam uang 100 juta, lupa menaruh cek uang tersebut. Ia tetap tidur dengan nyenyak, keesokan paginya beraktivitas seperti biasa. Ia kembali mengajukan hutang kepada orang Jepang. 

"Bukankah kemarin sudah saya pinjamkan?" 

"Hilang."

"Kena rampok?" 

"Hilang yang bisa ditemukan lagi, sebab ini sekadar perihal lupa. Sayangnya saya tidak mungkin menunggu sampai uang itu ketemu, pekerjaan saya tidak akan kelar jika seperti itu, membuang-buang waktu memang mengasyikkan, namun membuang waktu saat hendak bekerja itu mengerikan. Bangunan gedung saya nyaris selesai, tinggal tahap penyempurnaan," jelas Sukma, dua tahun yang lalu. Beruntung yang ia ajak bekerjasama adalah orang Jepang, mengelabuhi para taipan tak semudah membalik telapak tangan. Sempat ia berpikir bahwa Cika mirip dengan orang taipan, susah diculik hatinya. Pekerja keras, pemupuk keuntungan, tak mau dirugikan, dan menganggap waktu merupakan sumber kebahagiaan juga penghasil uang. 

Hal yang tidak logis. 

Cika—seusai wisuda ia bekerja pagi pulang malam. Ia tersenyum ketika terang datang, dan cemberut saat malam bertandang. Senyum tak lagi mengalir dari dirinya, ia menyunggingkan bibirnya sebab tuntutan dari perusahaan, wajib menjadi orang ramah untuk melayani klien-kliennya di kantor. Tubuhnya disetir seperti mesin, otaknya dikendalikan oleh dokumen-dokumen bank. 

Ia mendengar kabar mengenai Sukma yang telah menjadi presdir di sebuah hotel berbintang di kotanya. Bukan hanya itu saja, Sukma berhasil menciptakan sebuah sekolah non formal untuk anak-anak yang ingin mengembangkan bakat mereka. Ruang belajar nyaman dengan fasilitas lengkap, alat-alat musik, alat lukis, sarana olahraga dan lain sebagainya. Cika mengunjungi kedai kopi di kampusnya dulu, ia membuka lembaran nostalgia yang pernah digulung kemudian di lempar ke tempat sampah kenangan. Dibukanya, diingat-ingat baik-baik. Ia juga tak lupa kalimat yang diucapkan oleh Sukma ketika Sukma merayakan ulang tahun dengan gelembung-gelembung sabun. "Aku ingin membuat tempat tidurmu nyaman, jika kau mau jadi istriku, maka kau akan selalu kuajak menjelajah dunia." 

“Mungkinkah realitasnya dengan membangun hotel itu, Suk? Distributor perusahaan apa yang kau maksudkan dulu, Suk? Apa yang sebenarnya kau lakukan selama ini?” pertanyaan-pertanyaan bimbang melayang dihantarkan embusan angin senja. Ia menenggak kopi yang dipesannya beberapa menit lalu. Memandang jendela, melukis wajah Sukma yang kini bertambah bersih dan tampan. Lelaki yang dulu menanamkan cinta di hatinya, kini seringkali tampil di layar televisi menjadi pengisi acara inspirasi. Ia seringkali berkata. “Jangan pernah mau diperbudak oleh hidup, jangan mau tergiur dengan uang yang melimpah, hal yang perlu kalian laukan adalah berpikir dan bersenang-senang.”

“Bersenang-senang yang seperti apa, Suk? Dulu kau bekerja sebagai distributor perusahaan, sekarang kau adalah seorang presdir. Kau terlalu banyak menggenggam kebebasan! Sementara aku bagaikan penjahat yang sedang dipenjara oleh waktu,” kata Cika sendirian. Ia mengusap bulir airmatanya yang menetes di pipi. Kaca berembun, alam luar menangis, ikut iba dengan batin Cika yang mendadak disesaki penyesalan. Ia menggerakkan jemari, merangkai sebuah alvabet di jendela. “Sukma, aku ingin meniup gelembung dan makan donat bersamamu.”

Hujan turun deras. 

Magelang, 19 Januari 2018


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)