Masukan nama pengguna
Pekerjaannya menurutmu sangat sederhana, berjalan dari Selatan kembali ke Utara, keliling gang-gang kecil, menyapa penduduk, memberikan seulas senyuman, usai berhasil membuat mereka berkumpul mengerubungi dirinya, ralat bukan dirinya, melainkan barang yang ia bawa. Ia berjalan berkilo-kilo meter, berangkat membawa dagangan, pulang mengharapkan berkah.
Senja di Ufuk Barat adalah sahabat setianya yang seringkali menjadi hiburan ketika orang-orang tak kunjung menghampirinya. Jika lelah menjemput, ia akan menghentikan langkah, sejenak menatap langit, mengamati pratitur aneka warna yang berhamburan di sekitar mentari. Sebuah potret panorama kemerah-merahan tersebut adalah lukisan yang dijadikan bingkisan sebelum salam perpisahan kepada terang. Ketika itu ilalang di lapangan bergoyang gemulai, embun-embun di semak-belukar mengering, bunga-bunga yang mekar fajar tadi terkatub. Jalanan sempat penuh dengan tawa anak-anak kampung.
Di musim terang, mereka akan berlomba meninggikan layang-layang, di musim basah, jika memihak mereka akan duduk manis di teras masing-masing, menyeduh susu hangat, bercanda dengan ayah dan ibu, sayangnya tatkala hujan mendayu-dayu dan digiring angin kencang, mereka memutuskan menutup pintu rapat-rapat, abai dengan para pedagang keliling pendorong gerobak yang melintasi depan rumahnya.
“Jagung rebus! Jagung rebus!” teriaknya mencari perhatian. “Hangat! Hangat!” ia membubuhkan keadaan obyek agar mangsanya tergiur.
Ialah, wanita yang nyaris berumur setengah abad, hidupnya dihabiskan dengan berjalan keliling kampung, dari kampung tempatnya pertama menjangkau dunia, ke kampung-kampung lainnya. Mendorong gerobak berisi panci besar yang penuh dengan jagung-jagung rebus. Ia menahan beban di jalan menanjak, menjaga keseimbangan di jalan berlubang, mengerem gerobak dengan tenaganya di jalan menurun. Ia usir rasa malunya ketika berjualan. Demi anak-anak yang telah dewasa, dan atas nama pendidikan sebagai citra nama baik bangsa. Senyumnya dipamerkan dengan gratis, meski di balik punggung ia ingin menangis tak tahan menahan rindu pada almarhum suami tercinta.
Di musim kering dagangannya akan cepat terjual. Ia tak perlu memohon perhatian ketika datang ke kampung lain, tinggal menyapa satu warga yang sedang tongkrong, lantas ia mangkal, berhenti di depannya, warga tersebut akan memberitakan keberadaannya. “Jagung manis! Jagung manis!” anak-anak akan meninggalkan permainannya, mengambil uang dua ribuan, menebus satu buah jagung lantas menikmatinya di beranda-beranda rumah ketika senja menjemput.
Ia selalu berangkat dengan penuh keyakinan bahwa dagangannya akan habis semua. Dalam setiap jejak langkahnya ia rapalkan doa-doa sepanjang perjalanan, tak jarang bertasbih menyebut nama-nama indah pencipta. Jika lelah datang, ia tatap gulungan awan, berpikir tentang hidup, merenung keadilan semesta, bersyukur karena detik ini masih diberi kesempatan untuk menghirup oksigen.
Mampu mendengarkan rengekan anak-anaknya yang dituntut kebutuhan-kebutuhan. Masih bisa merasakan sengatan terik matahari. Masih bergerak dan sanggup berjalan dengan normal, meskipun kadang punggungnya terasa mau patah. Masih bisa bercengkerama dengan orang-orang, juga bersenandung mengiringi kepergian burung-burung ketika senja mungkur. Telinganya mampu mendengar gunjingan warga tentangnya yang terlalu bekerja keras, sehingga kurang memedulikan kesehatan anaknya yang saat itu sedang tertidur lemah di pembaringan.
Anak semata wayangnya terserang demam tinggi, beraneka obat telah dibelikan, diperiksakan pula ke beberapa klinik dan puskesmas, hasilnya anak laki-lakinya masih tiduran. Meskipun ada pahit di antara hal-hal yang manis, ia tetap mensyukuri hidup ini. Sebab ia sadar betul, mengeluh tak akan pernah memperbaiki keadaannya. Merasa hidupnya susah hanya akan menambah penderitaannya sendiri.
Pada bulan-bulan lalu ketika hujan tertidur lelap, setiap kali pulang dari berdagang, jagung-jagungnya habis, pancinya kosong, tinggal rambut-rambut jagung yang rontok beberapa, uang di kantongnya cukup untuk membeli beras lima hari, senyumnya selalu mengembang, lelahnya berjalan berkilo-kilo sepanjang hari terbayar dengan tuntas. Ia bahkan berani memberikan hutang kepada orang tua yang belum mempunyai uang kecil untuk membayar.
Senja mulai menyepuh di kampung orang, ketika itu seorang ibu ikut mengerubungi dirinya, ia selayaknya kue manis yang menggiurkan para semut-semut. Anak-anak kecil membeli jagungnya, satu buah, dua buah, sampai sepuluh buah. Begitupun dengan orang-orang dewasa. Ada yang membawa uang pas, ada yang membutuhkan kembalian. Terkadang ia harus meminta tolong warung yang ada di kampung tersebut untuk memecah uang bulat, lima puluhan atau seratusan, sebab kembaliannya masih kurang.
“Ibu, bayarnya besok saja, saya belum ada kembaliannya!” katanya lembut dihiasi dengan sepotong bulan sabit di bibirnya. Wajahnya semringah. Auranya menyenangkan.
“Dibawa ibu saja, saya yang menerima kembaliannya besok.” Ibu-ibu yang menggendong anak lima tahunan itu menyodorkan uang seratus ribuan. Jagung yang dibeli lima buah.
“Kalau ibu memercayakan uang sebanyak itu kepada saya, nanti malah saya buat belanja macam-macam di pasar. Tidak apa-apa ibu bawa jagungnya dulu, lagi pula setiap hari saya lewat kampung ini.” Katanya lagi untuk meyakinkan. Ibu itu akhirnya menurut, ia mengucap banyak terima kasih kemudian berjalan memunggunginya menuju rumah.
Dagangannya habis. Ia pulang dengan hati riang kepalang. Gerobak yang didorongnya amat ringan. Ia memiliki cerita manis dan oleh-oleh dari warung kampung untuk diberikan kepada anak-anaknya yang setia menunggu di rumah.
Di musim basah, cerita berlalu dengan sangat panjang, waktu yang dilampauinya menjadi lebih lama, gerobak yang ia dorong bertambah berat. Gerimis menyerpih pada beberapa bulan ini. Uangnya dalam tabungan telah nihil. Ia sudah membuka lubang-lubang hutang di warung tempatnya tinggal demi mencukupi kebutuhan hidup anak-anaknya. Usianya menyenja, tenaganya berangsur menghilang. Langkahnya melamban. Kulit-kulitnya mengendor, suaranya pun menjadi serak, tak seindah yang didengarkan beberapa tahun silam.
Hal itu membuat produksi jagungnya berkurang, sebab modalnya menipis, uang yang dihasilkannya lebih sedikit dibandingkan dengan tahun-tahun lalu. Yang tak pernah berubah dari gelagat dirinya hanya pada senyuman bulan sabit di bibirnya, selalu manis dan menyenangkan dari zaman-zaman dahulu.
Anaknya yang sakit tak kunjung sembuh, pihak puskesmas menyarankan untuk membawanya ke rumah sakit. Ia yang tak bersuami pontang-panting sendirian, mengurusi administrasi. Beruntung pemerintah memberikan jaminan kesehatan kepada orang yang berpijak dalam strata ekonomi rendah.
Waktunya berdagang menjadi sempit, jika esok ia menjaga anaknya, jika siang ia belanja jagung-jagung di pasar induk atau membeli langsung kepada petani langganannya, sore harinya merebus, barulah ketika langit bersemu sipu malu-malu kemerahan di ufuk Timur, ia ke luar dari rumah, mendorong gerobak, mengharap diberi kecukupan hidup.
Azan maghrib ia dengarkan di jalanan menuju kampung tetangga, kawannya hanya ilalang, Pohon Kapas, Pohon Beringin, dan persawahan yang melandai luas. Sepoi angin menyegarkan pernapasan sesaknya ditimpa ujian hidup. Cahaya matahari menyepuh pebukitan di kampung yang baru dipijakinya.
“Jagung manis! Jagung manis!” ia mendadarkan dagangannya, memukul pantat mangkok, berbunyi nyaring memohon perhatian. ‘Ting! Ting!’
Anak-anak ke luar dari rumah, berdiri di beranda, memandang jalan, orang-orang tua ke luar, mencari sandal jepit, lalu menuntun anaknya ke masjid, bukan mengerubungi gerobaknya.
“Mari shalat, Bu!” ajak penduduk yang berpapasan dengannya.
“Jagung manis!”
Iqomat berbunyi, kampung sunyi, tinggal rumah terang yang dihuni wanita-wanita haid, atau remaja-remaja yang kelelahan.
Ia bersujud di masjid terdekat, mengantar doa menuju langit, mengharapkan kesembuhan anak dan keberkahan hidupnya. Usainya, duduk di pertigaan jalan kampung, tempat yang menurutnya ramai karena dekat dengan pos kampling dan masjid. Beberapa warga berjalan pulang dari masjid.
“Jagungnya sepuluh, Bu!” Allah memberikan riski berperantara gadis kecil yang baru saja ke luar dari masjid.
“Yang besal, besal ya, Bu?”
Ia tersenyum, mengelus ubun anak tersebut.
Ia pulang ketika gerimis turun.
***
Hari-hari selanjutnya hujan turun sangat deras, jalanan basah, aroma tanah menguar di penciuman. Dagangan para penjual kaki lima yang mangkal di emper-emper jalan masih penuh. Payung warna-warni berpendar di udara. Angin menggiring hujan ke Selatan. Pepohonan doyong. Daun-daun berguguran.
Ia terjebak di tengah jalan, jauh antara kampung satu dengan kampung lainnya, sendirian usai adzan maghrib menutup senja hari itu. Gelap pekat, bintang tak datang. Cicit serangga di semak senyap, tugasnya digantikan angin yang bertiup kencang, membuat pakaian yang dikenakannya menempel erat di tubuh. Hujan terus turun. Ia berteduh di bawah pohon jambu depan tugu kampung. Hari itu belum ada satu buah jagung pun yang laku terjual. Ia batuk. Langit tak mau tahu, ia menumpahkan airnya secara terus menerus.
Kendaraan yang melintas tak menyapa, roda-roda melindas genangan air di jalan berlubang, percikannya mengenai tubuh. Ia tabah, diam dan tawakal. Senyum getirnya dipaksa mengembang. Mendadak ada bayangan perih yang lancang menyelinap dalam pikiran. Anak terkasihnya. Ia tak tega membiarkan putranya rebah di rumah sakit, meskipun ada saudara di sana, tetap saja batinnya tak nyaman, sebab hujan turun mendayu-dayu, bagaimana jika nanti ia kedinginan, siapakah yang akan menambahkan selimutnya? Atau lebih tepatnya siapakah yang akan memeluknya?
Ia merasakan gigil amat tajam. Terus mendorong gerobak, namun tidak melanjutkan perjalanan, melainkan memutar arah. Pulang dengan kantong kosong. Hujan mengguyur dagangan dan tubuhnya mentah-mentah tanpa penghalang apa pun. Di tengah gelapnya malam, ia menerobos sepi di jalan penghubung kampung-kampung tetangga. Air matanya menitik, ia sangat rindu anaknya, ingin segera memeluknya.
‘Aku yang sehat saja kedinginan, bagaiman anakku yang sakit?’ Ia terisak.
Sampailah ia di kampungnya tinggal. Tak langsung masuk rumah, ia justru menghubungi tetangganya, meminta tolong segera diantar ke rumah sakit. Menggedor-gedor pintu yang tertutup. Berteriak memanggil nama tuan rumah.
“Tolong! Saya ingin ke rumah sakit!”
“Pulanglah, hujan sangat deras, di sana sudah ada saudaramu, anakmu pasti akan baik-baik saja.”
Ia pasrah, tak bisa memaksa. Ia berjalan dengan langkah gontai menuju rumah. Bibirnya dilipat. Air matanya menyatu dengan hujan.
Ia tatap halaman rumahnya yang penuh dengan kendaraan dan mobil, ada beberapa saudara yang berdiri di beranda rumah, di ruang tamu tampak orang sedang duduk, wajah mereka tersinari neon. Jantungnya berdebar-debar, ia tak ingin mendapatkan kepedihan lagi saat hujan turun, tubuhnya bertambah menggigil, ia meninggalkan gerobaknya di jalan, lari menerobos riak-riak hujan. Ia tidak ingin hidup sendirian. Tidak akan pernah mau! Tak akan pernah ada surat yasin yang dibacakan saat itu. Tidak akan pernah! Jiwanya kalang kabut. Dadanya sesak.
“Ibu baru pulang? Kenapa hujan-hujanan?” anaknya menyapa. Ia sedikit terkejut melihat ibunya yang tergopoh-gopoh masuk ke dalam rumah, basah kuyub pula.
“Kau sudah pulang?”
“Dokter bilang kondisinya membaik dan boleh pulang.” Saudaranya menjawab.
Paren, 25 Mei 2018.