Masukan nama pengguna
Tentang Kawanku Bob Si Anak Pasar
Cerpen Habel Rajavani
AKU ingat benar kawasan ini. Waktu tiga puluh tahun ternyata tak banyak mengubahnya. Termasuk daerah pasar ini. Beberapa tetanda memang sudah tak ada. Kios koran di pojok persimpangan itu misalnya. Dulu di situlah saya tiap pagi membeli koran lokal untuk melihat apakah kartunku dimuat.
Kata tukang ojek yang mangkal tak jauh dari situ, si bapak tua penjual koran sudah meninggal, sekitar lima tahun lalu. Padanya aku juga bertanya tentang Barak, kawanku. Aku mengira dia tinggal di sekitar pasar itu.
Aku menduga begitu karena sejak kecil Barak hidup di situ, di pasar itu. Dia temanku di SD Inpres. Tak sampai tamat ia sudah jadi anak pasar. Jadi buruh bongkar dan angkut, menjual kantong plastik, membantu mengupas kelapa, membuang sampah, apa saja ia kerjakan.
Barak yang bertubuh besar dan kekar itu seperti tak kenal lelah. Bulan-bulan pertamanya di pasar aku masih sering singgah ke pasar menemui dia. Sesekali dia bertanya tentang pelajaran. Aku pun menceritakan padanya. Barak sulit sekali membaca. Aku tak mau bilang dia bodoh. Ada kelainan barangkali. Akulah yang dengan telaten mengajarinya. Akhirnya, pelan-pelan dia bisa membaca sedikit, pelan, membaca teks-teks pendek, meski tak terlalu lancar.
Ketika aku tamat SD, lalu masuk ke SMP, Barak seperti selalu menghindar untuk menemui aku. Sesekali aku masih singgah ke pasar mencari dia. Ayahku adalah donatur uang pendidikan Barak. Uang itu aku yang mengantar kepada pengurus panti di mana Barak dipelihara sejak bayi. Ia tak tahu siapa ibu dan ayahnya.
Ketika dia mulai jadi anak pasar, ayah masih mengirim uang santunan pendidikan itu. Barak pun sesekali masih pulang ke panti. Ibu panti masih berusaha membujuk Barak untuk kembali ke sekolah. Barak lalu tak pernah kembali ke sekolah dan tak pernah pulang ke panti lagi.
"Barak? Saya tahunya sih Bobi Arak. Dia preman yang pegang kawasan sini," kata si tukang ojek ketika aku bertanya tentang Barak.
Barak? Bobi Arak? Mungkinkah itu dia? Saya ingat dulu melihat Barak mabuk anggur cap jenggot orang tua. Sekecil itu ia sudah punya duit. Duit hasil kerjanya sendiri. Begitulah cara dia merayakan kebebasannya... Uang memang memberi perasaan bebas!
"Rumahnya di mana?"
"Banyak. Dia selalu di rumah istri-istrinya. Tapi nggak tahu yang mana. Banyak sih..."
Berbagai pertanyaan berlintasan di kepalaku. Apa yang telah terjadi selama aku meninggalkan kota ini? Siapa Barak sekarang? Benarkan Bobi Arak itu Barak kawanku dulu?
Bagiku Barak itu seperti abang. Di sekolah dulu dia pelindungku. Aku tak tahu apakah dia melakukan itu karena dia tahu bahwa ayahku yang menanggung biaya sekolahnya atau ada alasan lain. Ketika Barak menjadi bagian dari kehidupan pasar itu, aku kehilangan dia. Apalagi ketika dia mulai jadi pemabuk, aku seperti tak kenal dia lagi. Jarak kami menjauh. Aku kehilangan dia. Aku sedih, seperti ada yang terampas dari diriku.
"Tunggu saja di kedai kopi itu, Pak. Biasanya menjelang tengah malam dia ada di sana," kata si tukang ojek.
Aku mengikuti saran si tukang ojek. Kedai kopi Aroma Selera masih seperti dahulu, sangat ramai. Ayahku dulu sering mengajak aku ke sini. Ada penjual gula tarik, karamel gula yang dibikin berbagai bentuk dengan menarik-nariknya. Aku boleh membeli satu. Biasanya aku mengajak Barak. Dia juga boleh beli satu.
Aku menikmati kopi tarik. Kopi susu yang disajikan dengan buih jubung. Kopi kesukaan almarhum ayah. Aku memperhatikan penjual makanan di kedai kopi ini, beberapa sudah berganti orang, meskipun masih menjual makanan yang sama: mie kuah kacang, sup ayam, gado-gado, dan tentu saja prata dan laksa sagu yang tak tergantikan itu.
"Habis, Pak. Ini saya juga sudah mau pulang... Menunggu dijemput bapaknya," kata si penjual laksa sagu. Aku seperti mengenal suara itu. Suara Yuni, anak si penjual laksa dulu. Wajahnya juga mirip. Aku perhatikan lagi, kukira dia memang Yuni. Aku ragu apakah aku harus mengenalkan diri. Aku masih tersamar di balik topi, kacamata dan kumis serta janggut. Tapi apa benar dia Yuni?
Sebuah mobil singgah di depan kedai. Orang yang mirip dengan Yuni itu bergegas membawa barang-barang perlengkapan dagang ke bagasi belakang mobil. Beberapa orang preman mendekati si supir. Seperti menyerahkan sesuatu. Mungkin uang setoran. Aku perhatikan dengan cermat lelaki supir dan penerima setoran itu... dia mirip Barak. Dia pasti Barak.
Jadi, Barak menikah dengan Yuni? Yuni anak perempuan paling manis di kelas kami dulu? Yuni anak penjual laksa di kedai kopi Selera Aroma itu? Yuni yang selalu dibela Barak setiap kali ada yang mengganggu, dan pembelaan itu ia lakukan untukku...
Aku masih duduk di kedai kopi Selera Aroma hingga tengah malam tiba. Rinduku pada makanan-makanan masa lalu sudah kutuntaskan. Tak banyak yang berubah di kota ini, memang, tapi orang-orangnya tak lagi sama. Itu yang membuat aku ragu untuk menyapa orang yang mungkin kukenal, atau memperkenalkan diri pada orang yang mungkin mengenalku.
Ada seorang tua yang mengajakku berbincang. Ia pensiunan DPRD. Dari partai lama. Ia kecewa karena pemerintah kota sekarang tak punya pemikiran yang inovatif membangun kota.
"Melawan preman saja tak berani, makanya pasar ini tak berubah sejak dulu," kata Si Bapak, "...tapi ya mana berani, dia terpilih karena dukungan preman itu kok." "Preman, siapa, Pak?"
"Ah, kau pasti orang luar. Siapa yang tak kenal Bobi Arak? Saya tahu betul siapa dia. Namanya sebenarnya Barak.”
“Anak panti dulu itu, Pak?”
“Nah, kau tahu itu? Siapa kau ini? Orang sini juga kau?”
Saya hanya menjawab dengan senyum. Saya belum ingin membuka diri ada kota ini.
“Ya, siapa lagi. Barak si anak panti itu. Sejak kecil dititipkan panti asuhan oleh bapaknya sendiri, anak itu hasil hubungan gelap. Ah, cerita lama," kata Si Bapak.
"Hubungan gelap siapa, Pak?"
Si Bapak menyebut nama ayahku. Juga menyebut ayah sebagai donatur biaya sekolah Barak selama tinggal di panti sampai ia pergi menjadi anak pasar.
Lalu, tiba-tiba saja, beberapa lelaki bertubuh kekar dan berperilaku berangasan dengan kasar meringkus dan menyeretku. Aku tak sempat benar-benar menyadari apa yang terjadi ketika mereka langsung menyeret aku ke mobil. Lalu mobil itu pun melaju. Tak banyak lagi orang di kedai kopi Selera Aroma waktu itu. Yang segelintir itupun seperti menutup mata, berpura-pura tak melihat apa yang sedang terjadi. Aku langsung tahu aku sedang berurusan dengan siapa. Aku pun tak berusaha melawan. Tapi diam pun tak membuat mereka puas rupanya. Sebuah kepalan yang keras menghantam wajahku. Aku tak ingat apa-apa lagi.
Ketika aku sadar, mula-mula pandanganku kabur samar. Kabut terigu. Sosok-sosok tak jelas mengelilingiku. Sepertinya mereka memang menunggu aku sadar. Ada suara seseorang memerintah orang lain agar memasangkan kacamataku.
Aku berusaha mengucek mata di balik kacamataku dengan memicing-micingkannya rapat-rapat. Tanganku terikat di belakang kursi.
"Siapa yang mengirimmu ke sini?" suara itu bertanya dengan tegas. Suara yang ingin aku menjawab lekas dan seakan mendesak agar urusan cepat kelar.
Suara itu, dengan 'r' yang dilafalkan cadel meyakinkanku bahwa dia adalah... "...Barak?". Aku mencoba mencari ke arah suara, lalu menajamkan pandanganku,... dan tiba-tiba sebuah pukulan menghantam wajahku!
"... aku Kardi, Barak... Aku Kardi…" Perlahan aku mendengar suaraku sendiri. Entah sudah berapa kali kuucapkan itu selama aku pingsan dan melindur.
Ketika kesadaranku pulih sepenuhnya, aku melihat Barak duduk di samping tempat tidur di mana aku terbaring. Tanganku tak lagi terikat.
"Kardi... tadi aku tak mengenalimu. Situasi kami di sini sedang tak enak. Kami mencurigai siapa saja yang mengancam dan mengusik kami..."
Aku berusaha duduk, bangkit dengan susah. Kepalaku terasa berat. Barak lekas mendekat dan menolongku. Kami lantas berpelukan.
Dari Barak aku mengetahui situasi apa yang dia hadapi dan kenapa dia mencurigai siapa saja. Termasuk kedatanganku yang dia sudah awasi sejak aku bertanya-tanya pada beberapa orang di sekitar pasar. Pasar lama itu sudah lama diincar pengembang. Sebuah proposal pembangunan mal dan apartemen sudah lama diajukan ke Balai Kota. Jika pasar itu masih bisa dipertahankan, itu karena kegigihan ratusan pedagang, tukang parkir, preman, dan orang-orang pasar melawan setiap usaha penggusuran.
"Pasar itu sekarang jadi satu-satunya pasar lama yang masih bertahan," kata Barak. Pasar trasional lain di kota ini sudah tak ada lagi jejaknya, berubah menjadi mal dan apartemen.
"Pengalaman dari kasus pasar-pasar lain, tak pernah ada jalan keluar yang enak buat kami," kata Barak. "Pasar itu bagi kami bukan cuma tempat berdagang. Pasar itu ya kami. Kampung kami. Rumah kami. Hidup kami."
Aku mendengarkan cerita Barak. Pelan-pelan aku memahami situasinya. Kami bertanya-jawab tentang banyak hal. Dia bertanya keadaanku dan kujawab sebisaku bercerita. Dia tak banyak bercerita soal pribadinya. Aku juga masih segan bertanya.
"Bos, api, bos! Pasar kita..." seorang lelaki tergopoh masuk menemui Barak. Reaksi Barak benar-benar di luar dugaan saya. Dia berteriak keras. Seakan dengan begitu ia hendak melepaskan gumpalan marah dalam dadanya. Ia lalu memerintahkan agar semua orang bergerak memadamkan api.
Api. Api. Hanya itukah cara menggusur dan mengusir orang pasar? Selalu saja akhirya memakai cara api. Kebakaran yang disengaja. Dan pasukan pemadam yang dibikin terlambat. Ada kebarakan di tempat lain yang serentak terjadi. Semua mobil pemadam dikerahkan ke tempat lain itu dulu. Lalu ketika kemudian digerakkan untuk memadamkan api di pasar, pasar itu sudah habis dilumat api!
Sepertinya Barak tahu benar siasat kotor itu. Maka dia sangat siap menghadapinya. Orang-orangnya bahkan berhasil menangkap orang yang disuruh untuk menyulut api dari kios penggilingan kopi tua, kopi Tjap Kapal Besi. Kopi lokal paling terkenal di kota kami.
Api tak sempat membesar. Hanya beberapa kios yang terbakar itupun tak seberapa parah. Petugas pemadam kebakaran disuruh pulang. "Percuma kalian datang. Api sudah padam... Pulang saja..." kata seorang preman.
Pasar dijaga ketat oleh orang-orang Barak. Sementara, ketika hari membuka diri, para pedagang tetap berjualan sebagaimana biasa. Mereka merasa aman dengan kehadiran preman yang dikerahkan Barak.
Si penyulut api dibawa oleh anak buah Barak ke sebuah tempat. Wajahnya babak belur.
"Ampun, Bang... Ampun, saya cuma disuruh...," kata si penyulut api itu. Aku ada di ruangan itu ketika Barak dan beberapa tukang pukulnya memaksa orang itu untuk bicara.
"Yang nyuruh kamu siapa?"
"Ampun, Bang... saya dibunuh kalau saya buka mulut, Bang..."
"Kamu kira kalau tak buka mulut saya tak akan membunuh kamu?"
"Ampun, Bang... Ampun..."
"Siapa yang nyuruh?"
Si penyulut api menyebutkan satu nama.
Koh Taslim? Barak tak percaya nama itu disebut. Aku tahu siapa Koh Taslim. Dia anak pemilik kios kopi Tjap Kapal Besi. Sejak ayahnya meninggal dialah yang mengelola kios kopi itu, apa yang dilakukan sejak ia kecil. Barak berteman baik dengannya. Koh Taslim hanya beberapa tahun lebih tua. Barak sering diminta tolong mengerjakan macam-macam hal di kios itu. Tentu dengan upah. Ayah Koh Taslim, tak pernah pelit pada Barak. Beberapa tahun, Barak diberi bayaran lebih untuk menjaga kios itu pada malam hari.
Apakah Koh Taslim sudah dibeli oleh pengembang yang akan membangun mal di lahan pasar itu? Itulah pertanyaan yang ada di kepala Barak dan kawan-kawannya. Juga di kepalaku.
Kata Barak, "kita temui dia..." Dia mengajak saya.
"Gua memang sedang kesulitan uang, Bob... Gua suruh dia bakar kios itu supaya dapat asuransi. Lu tahu kios-kios sederatan kios itu? Tahu ya? Yang disewa Rohim, Uni Ida, kan punya Papa semua. Semua diasuransikan... Gua lagi ada masalah dengan bank. Maaf, ya, Bob... gua jadi bodoh begini..."
"Koh Taslim tak membohongi saya?"
"Bob, lu boleh bunuh saya, Bob, kalau gua bohong... Itu kios warisan Papa, Bob. Lu ingat, Papa? Lu sudah kayak anaknya, Bob..." Kami meninggalkan toko Koh Taslim dengan curiga. Tapi tak ada keterangan lain yang bisa kami dapatkan dari dia.
Bob mengantarku ke hotel.
Di hotel aku merenung dan berpikir sepertinya aku tak bisa menuntaskan pekerjaanku, lagi pula ini bukan pekerjaan seorang arsitek seperti aku. Pengembang yang akan membongkar pasar lama yang dipertahankan Barak dan membangun pusat perbelanjaan baru itu adalah tempatku bekerja. Tentang Koh Taslim, tadinya saya kira ada orang lain dari perusahaan tempatku bekerja yang menyogoknya, tapi saya kira tidak. Dia memang kesulitan uang dan hendak mendapatkan uang asuransi dengan membuat kebakaran yang sengaja. Semua orang sedang kesulitan. Aku akan membantu Barak mempertahankan pasar tradisional itu. Bagaimanapun caranya tapi yang jelas harus saya mulai dengan keluar dari perusahaan.
© Habel Rajavani, 2024.