Masukan nama pengguna
Aku berdiri di sudut Kafe Kopi Nuansa. Bahu tegang. Telapak tangan sedikit lembap menggenggam nampan berisi dua cangkir latte yang harus sejajar. Tidak boleh miring. Tidak boleh goyah. Harus presisi.
Bau knalpot dari jalanan menyusup melalui jendela, mencuri aroma kopi yang seharusnya menenangkan. Di dalam kepalaku, suara-suara terus berdentum—menghitung, mengulang, memastikan segala sesuatu berada di tempatnya. Tak boleh ada gerak yang mengubah posisi yang telah tertata.
Dulu, aku mengira ini kelebihan. Ketelitian yang dipuji Bu Rina, manajer kafe. Meja bersih, serbet rapi, cangkir teratur. Kata "rapi" dan "teliti" menjadi pelindung. Pelanggan menyukai keteraturan. Namun, akhir-akhir ini, aku mulai sesak oleh hal-hal kecil: paving trotoar yang miring, huruf iklan yang tidak rata, handuk di kontrakan yang sudutnya selalu terasa salah. Setiap ketidakseimbangan menimbulkan tekanan seperti paku yang menekan pelipis dari dalam.
Di masa kecilku, rumah adalah ruang penuh perintah. Ayah, pekerja pabrik dengan kemeja bau karet dan suara sekeras palu, menetapkan aturan besi. Piring harus lurus. Sepatu harus sejajar. Hidup harus mengikuti garis yang telah ditetapkan.
Sekali aku lupa meluruskan sepatu atau hal lainnya, malam menjelma menjadi waktu penghukuman. Air dingin dari ember mengguyurku, dan telinga penuh bentakan. “Kalau kamu nggak rapi, kamu nggak akan jadi siapa-siapa!”
Ibu berdiri di balik pintu dapur. Tangan penuh sabun, suara pelan, “Sudah, Mas, dia masih kecil. Nama juga anak-anak.” Permohonan yang langsung dibalas Ayah dengan gumam sinis, “Kalau nggak keras, dia nggak akan belajar.”
Setelah amarah Ayah reda atau telah berhasil dilampiaskan kepadaku, Ibu datang ke kamarku. Elusan di kepala, bisikan lirih, “Jangan takut, Nak. Ibu tahu kamu sudah berusaha.” Kata-kata yang hangat, tetapi tak mampu mengusir dingin yang sudah terlanjur menempel di badan.
Bukan hanya sekali aku merasakan hal itu. Sering, hingga akhirnya aku terkungkung oleh ketakutan. Setiap yang kulakukan, selalu kuperiksa berulang sampai tak ada sorot mata Ayah yang menghujam ke dadaku.
Aku hidup dalam kehati-hatian berlebih. Ayunan kaki dihitung, keputusan ditimbang. Trotoar harus dilalui tepat di tengah. Mangga harus dikupas dengan benar, jangan ada dagingnya yang tersayat bersama kulit. Tak boleh ada cela dalam hal apa pun. Hari-hari kujalani diliputi kecemasan yang tak pernah surut, ibarat merajut kain dari benang tegang yang siap putus kapan pun.
Sekarang, di kafe kecil ini, semua itu membentuk sebuah belenggu. Setiap cangkir harus pas di tengah tatakan, label botol saus menghadap depan, sudut serbet membentuk simetri. Akan tetapi, dunia nyata kadang tak memedulikan keteraturanku.
“Rivan, cepetan! Meja tiga udah nunggu!” suara Bu Rina membelah renunganku.
Aku masih meluruskan botol saus di meja kosong, tak bisa pergi sebelum semuanya berada pada posisi ideal. Pelanggan di meja tiga mulai gelisah. Seorang ibu melotot sambil mengibas-ngibaskan kertas menu.
Aku bergegas. Cangkir sedikit bergeser saat kuangkat nampan. Langkahku terhenti. Harus diluruskan. Cangkir diatur ulang, baru kubawa ke meja.
“Maaf, Bu,” suaraku lirih.
Si ibu menggerutu, “Lelet banget.”
Kafe hari itu lebih ramai dari biasanya. Cangkir berdenting, suara mesin kopi bersahutan, anak kecil menumpahkan jus jeruk ke lantai. Napasku memendek. Noda harus segera dibersihkan, tetapi pesanan juga menunggu.
Aku berlutut, menyeka lantai hingga kering. Hanya saja, pikiranku masih terpaut pada botol saus yang belum sempat kuluruskan.
Aku kembali ke meja kosong itu, kubenahi botol saus yang sedikit miring, lalu berlari ke dapur. Rasanya, aku tak nyaman, bahkan ada sakit yang menghantam dari dalam ketika aku melihat tanpa membenarkan ketidakteraturan di depan mataku.
“Rivan, kamu ngapain? Botol? Lagi ramai, tahu!” ucap Bu Rina dengan nada tinggi.
Aku tak menjawab. Mulutku terbuka sedikit, suara tercekat di tenggorokan. Dapur penuh bunyi loyang beradu, piring yang bersinggungan, dan bau roti panggang yang mulai gosong. Kepalaku hanya memutar satu kalimat: tadi botol itu miring.
Aku menggerakkan tubuh, seolah menariknya keluar dari lumpur yang tak terlihat, mencoba kembali ke alur kerja yang porak-poranda.
Waktu terasa lengket, merambat pelan bak luka yang enggan kering. Pelanggan datang dan pergi. esin espresso mendesah pelan. Aku menyeka meja, menyusun cangkir, mengantar pesanan. Sementara, pikiranku tertinggal pada hal-hal kecil, tepi serbet yang kurang presisi, sudut nampan yang sedikit melenceng, label teh yang tidak sejajar. Aku serasa dirantai oleh pekerjaan dan diriku sendiri.
Sore hari, seorang pria berkacamata dan jaket kantor memesan kopi hitam. Aku membawanya dengan tangan paling hati-hati yang bisa kubentuk. Cangkir diletakkan di tengah tatakan. Siap untuk disajikan dengan halus dan lembut.
Pria itu berdiri mendadak. Sikutnya mengenai lenganku. Cangkir tumpah. Kopi hitam membasahi celananya.
“Gila, apa-apaan ini?! Ini celana baru!”
Dunia seolah membisu. Hanya ada detakan jantungku. Keras, kacau, dan menyakitkan. Kaki terasa mati rasa. Mataku terkunci pada noda gelap yang menjalar di celana pria itu.
Di belakang pria itu, papan menu tergantung di dinding. Huruf “K” pada kata “Kopi” mencong ke kanan. Sedikit. Bukan sekadar tersenggol angin, ia laksana tengah tertawa miring, mengejekku di hadapan semua orang.
Aliran udaraku tersendat. Jantung berdegup kencang. Bukan karena tumpahan kopi, melainkan karena huruf itu tidak presisi, seakan bumi sedang berputar di luar dari porosnya.
Bu Rina menarikku ke belakang. Wajahnya penuh bara, suaranya menahan kecewa.
“Ini kesalahanmu yang ketiga minggu ini. Pelanggan marah. Aku nggak tahu masih bisa pertahankan kamu lagi atau tidak.”
Aku hanya mengangguk. Sadar. Aku ini lambat dan aneh. Tak seperti yang lain. Sayangnya, aku tak pernah menemukan cara untuk melepaskan diri dari semua hal tersebut.
Malam menyapa dengan resah yang membebani pikiran. Di kontrakan yang pengap, aku duduk bersandar pada dinding dengan cat mengelupas. Rak buku tersusun rapi. Gelas di meja menghadap ke arah yang sama. Sikat gigi di kamar mandi berdiri sejajar. Sesuatu yang terasa berbeda menyusup dari celah jiwa. Ada kemarahan yang menggelegak, bukan pada sekitar, melainkan kepada diriku sendiri.
Kutarik napas panjang. Kuambil satu gelas dari rak. Kumiringkan sedikit. Tidak sejajar. Dada terasa sempit, tetapi aku tidak membenahinya. Kubuka lemari, mengambil handuk yang tadi pagi sudah kulipat tiga kali. Kali ini kulipat sembarangan. Sudutnya kacau. Perutku melilit, dan aku mencoba bertahan, membiarkan.
Air mata mengalir perlahan. Hening. Tak disertai suara. Seperti air dingin yang dulu disiramkan Ayah, hanya saja kini datang dari dalam. Aku terkurung di dalam kotak kaca—bisa melihat hiruk pikuk kehidupan, ketidakkeseragaman, kehangatan, dan tawa—tetapi tak pernah benar-benar menyentuhnya.
Kupandangi novel tua di rak, warisan masa SMA. Kubuka secara acak. Satu kalimat mencuri pandang: “Kadang, kehidupan yang sempurna adalah yang penuh kekacauan.”
Aku tersenyum tipis. Pahit. Akrab. Dalam ketidaksempurnaan itu, ada kemungkinan untuk bernapas. Mungkin ini yang disebut orang sebagai OCD. Mungkin juga lebih dari itu. Aku tak tahu pasti. Yang kutahu, aku juga lelah terus mencoba menjadi sempurna dalam dunia yang mungkin tidak selalu menuntut kerapian.
Aku membuka buku catatan kecil. Biasanya kugunakan untuk mencatat pesanan. Kali ini kutulis: "Besok, biarkan satu hal tidak rapi."
Tak ada rencana besar. Hanya satu hal kecil yang tak utuh. Mungkin cukup untuk memulai sebuah penerimaan. Memulai segalanya dengan sudut pandang yang lebih luas.
Ponselku menyala. Kucari artikel dengan kata kunci: "cara menghadapi pikiran berulang".
Beberapa judul artikel muncul di layar. Aku gulir pelan, membaca sepintas. Kalimat-kalimat seperti latihan pernapasan, mengenali pola pikir obsesif, dan belajar melepaskan kontrol muncul berulang. Semuanya terdengar teknis, instruksi dari dunia yang samar kumengerti. Namun, ada satu frasa yang terasa menancap lebih dalam dari yang lain: terima ketidaksempurnaan.
Aku belum paham sepenuhnya, dan malam ini, aku mencoba. Dengan satu gelas yang tidak tegak lurus, satu handuk kusut, dan satu harapan kecil di pangkal hati.