Masukan nama pengguna
Sudah lebih dari dua jam Anto duduk di deretan kursi dan meja yang tersedia di depan sebuah minimarket. Kopi instan yang diminumnya memasuki kaleng ketiga, begitu pula rokok yang telah dihisapnya. Satu bungkus Marlboro isi 20 batang hanya tinggal tersisa empat, termasuk yang sedang mengepul di jarinya. Wajahnya tampak gelisah, seperti menanti seseorang yang tak kunjung datang.
Layar ponselnya terus menyala karena notifikasi, kebanyakan dari nomor yang sama. Sekali-dua kali ia ingin membukanya, tetapi selalu berakhir dengan meletakkannya kembali di atas meja, bersanding dengan bungkus rokoknya yang hampir habis.
Tiba-tiba seorang perempuan turun dari Honda Beat merah, dan langsung melangkah ke arah Anto. Dengan gerakan cepat dan sedikit kasar, ia menghentakkan helmnya ke atas meja di hadapan Anto. Gerak tubuhnya jelas menyiratkan kemarahan yang ditahan.
“Ngapain kamu masih duduk di sini?” bentak perempuan itu dengan nada tinggi.
Anto tak menggubris. Ia justru melonjorkan kaki kanannya ke kursi kosong di sampingnya, seolah tak terusik.
“Kamu mau diam kayak gini terus? Mau lari dari masalah?” desaknya lagi, kali ini dengan suara bergetar penuh emosi.
Anto tetap pada posisinya. Pandangannya lurus, seakan tengah menghitung kendaraan yang lau lalang.
Perempuan itu pun makin tersundut bara. Ia merampas rokok yang berada di mulut Anto, lalu membuangnya ke lantai.
“Terus mau lu apa?” Anto akhirnya bereaksi. Menatap tajam, menusuk balik.
“Udah seharian aku nungguin kamu di rumah. Tapi kamu malah enak-enakan duduk di sini, ngopi, ngerokok,” suaranya serak dan sesak.
Anto mendengus. ”Langsung aja ke intinya,” ucapnya, memalingkan wajah.
“Lihat ini!” serunya si perempuan, menarik napas berat.
Anto menengok testpack dan surat dokter yang ditunjukkan. Hanya beberapa detik. Tangannya lalu berusaha menyulut rokok kembali, tetapi korek api tergelincir dari genggaman.
Tangis perempuan itu mulai pecah di wajahnya yang lelah. “Tahu kan apa artinya?”
Anto membisu. Tak mengangguk, tak juga menjawab. Keterangan yang disodorkan kepadanya hanya dibiarkan begitu saja, tak disentuh. Ia justru sibuk mengayunkan rokok ke bibirnya, menghisap dalam tanpa ekspresi.
“Aku hamil. Sekarang masuk usia dua bulan.” Vokal si perempuan melemah. Tangan kanannya menyeka air mata yang kian tak terbendung.
Hening. Sesekali Anto memejamkan mata. Jemarinya mengepal dan kerutan di keningnya mengeras. Di hadapannya, sang perempuan semakin gelisah, kesal karena tak ada sepatah kata pun solusi yang keluar dari mulut Anto.
“Sampai kapan kamu mau diam kayak gini? Aku nggak mau nanggung ini sendiri. Pokoknya, kamu harus datang ke rumah sekarang juga. Ayah dan ibu aku udah tahu semuanya,” tegas si perempuan sambil menggebrak meja hingga kopi Anto tumpah.
Anto berdiri. “Terus dari mana lu yakin itu anak gue?”
Perempuan itu menarik bagian bahu dari jaket bomber army yang Anto kenakan. “Kamu pikir selama sama kamu, aku dekat dengan cowok lain? Atau kamu mau pura-pura lupa?”
Anto berusaha melepaskan genggaman perempuan itu yang semakin kuat mencengkeram jaketnya. “Lahirkan dulu anak itu. Setelah itu kita tes DNA, biar jelas dia anak gue atau bukan,” ucapnya, membentuk crescendo.
“Dasar gila!” teriak si perempuan, penuh luka dan amarah.
Asap terus menyembul dari mulut Anto, membentuk jejak tipis di udara yang perlahan menghilang. Raut mukanya tampak tenang, terlalu tenang untuk situasi sebesar ini. Sorot matanya kosong, dingin, seolah beku oleh sikap cuek yang tak bisa ditembus oleh amarah maupun air mata.
“Oke, kalau emang kamu nggak inget kapan kita ngelakuinnya, aku yang ingetin!” Batas kesabarannya runtuh, ditelan sikap hambar yang tak menyiratkan sedikit pun rasa asih dan peduli.
“Kamu ingat malam tahun baru? Pas anniversary pertama hubungan kita? Kamu ingat hari Valentine di kosanmu? Atau waktu kita di hotel, di Jogja? Kamu ingat berapa kali kita ngelakuin itu pas aku nginep di kosanmu sambil ngerjain tugas kuliah? Dan kamu masih nanya ini anak siapa? Apa—”
Anto menghantam permukaan kayu datar di depannya. Dentumannya menggaung kencang, memenggal ucapan perempuan itu.
“CUKUP!!!” hardiknya nyaris tepat di wajah perempuan itu, penuh tekanan dan emosi yang tak terbendung.
Anto menghela napas panjang, sementara si perempuan luruh dalam tangis.
“Lu yakin cuma sama gue?” suara Anto melemah, tetapi menyakitkan. Tak sekadar ragu, ada tuduhan yang menyelinap dalam intonasinya. “Soalnya lu kelihatan gampang banget buat diminta melakukan itu,” sambungnya, menuding, santai.
Plaaakkk.
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kiri Anto. Suaranya menggema, meski tak banyak yang memperhatikan. Di balik tamparan tersebut, ada harga diri yang remuk.
“Sekali lagi, semenjak kita jadian, Aku nggak pernah dekat sama cowok mana pun. Cinta aku cuma buat kamu. Dan aku udah nyerahin semuanya ke kamu,” tuturnya gemetar, membekap pedih dan lara. “Kamu emang cowok brengsek. Sok kegantengan.”
“Lu juga, kan, yang mau kita ngelakuin itu. Jangan cuma nyalahin gue. Yang ngejar-ngejar duluan, siapa?” balas Anto, menelanjangi perasaan tanpa menyentuh kulit.
Perempuan itu bersandar lemah di kursi, meraung seraya memegangi perutnya yang perih dihantam gelombang tangis dan tekanan batin.
“Lu bisa aborsi. Gue tahu tempatnya. Kalo mau, gue bisa anterin sekarang,” ucap Anto, seolah tak ada dosa.
Si perempuan menggeleng lirih. “Aku nggak mau lakuin itu. Aku cuma minta tanggung jawabmu. Nikahin aku, biar keluargaku nggak malu. Setelah itu, kamu mau tinggalin atau ceraikan, terserah.”
Ia menatap Anto penuh harap. Namun, Anto hanya membalas dengan pandangan kosong.
“Gue nggak mau,” jawabnya dengan gigi menggertak pelan. “Gue cuma kasih dua pilihan: aborsi atau lahirkan anak itu, lalu kita tes DNA.”
Sebuah pilihan pahit, seperti buah simalakama, disodorkan tanpa empati.
“Ini anakmu. Demi Tuhan, ini anakmu,” isaknya, masih mencoba meyakinkan.
“Udah. Sekarang lu pulang aja.” Anto berjalan ke arah motornya, tak mengindahkan wajah sendu yang masih menatap punggungnya dengan mata basah. “Pikirin baik-baik pilihan yang gue kasih. Kuliah yang rajin.”
Anto memutar kunci, meninggalkan perempuan itu dalam hancur dan ratap yang mengiba.
Perempuan itu mencoba mengejar, tetapi langkahnya lunglai tak bernyawa. Tangis yang tak kunjung reda telah menguras habis dayanya. Ia terperangkap dalam ketidakpercayaan—seseorang yang pernah ia amini sepenuh hati, tega menancapkan duri dan menabur garam ke luka yang masih menganga. Kini, ia dicampakkan begitu saja. Tanpa janji, tanpa tanggung jawab.
Anto melesat dengan Honda Vixion-nya. Si perempuan menunduk. Kedua tangan menutupi wajahnya. Hatinya digerus kecewa, dihantam pilu, dan dilanda nestapa. Tiga tahun menjalin kasih dengan Anto berakhir menjadi duka yang kejam. Padahal, ia telah mengabaikan kuliah, meninggalkan teman-teman, dan melepaskan kehidupan yang riang. Penyesalan, seperti biasa, selalu datang terlambat.
Matahari tepat di atas kepala, membakar jalanan yang sepi. Di tempat lain, jauh dari tangis dan luka yang ditinggalkan, Anto memacu motornya seperti kesetanan. Wajahnya tegang. Tangannya nyaris kehilangan kendali hingga hampir menabrak pengendara dari arah berlawanan.
Tak lama, ponselnya bergetar. Ia menepi di pinggir jalan. Menjawab panggilan di layar.
“Lagi di mana, Pah?” suara perempuan di ujung telepon terdengar lembut, diselingi rengekan bayi.
“Di jalan, Mah,” jawab Anto dengan nada yang sama. “Tadi Papa tungguin orangnya buat COD, tapi nggak datang-datang. Papa coba hubungi, nomornya malah nggak aktif.”
“Terus gimana dong, Pah? Susu si Dede udah tinggal dikit. Kontrakan dua bulan belum dibayar. Tadi si Ibu yang punya udah nagih lagi.” Ada kecemasan yang mengalir secara halus.
“Ya udah, Mama sabar aja dulu. Ini Papa lagi jalan pulang.” Anto mencoba menenangkan. “Nanti Papa coba tawarkan motornya ke dealer, semoga dapat harga lumayan. Tunggu Papa pulang, ya!”
“Iya. Hati-hati, ya, Pah,” ucap perempuan itu sebelum menutup telepon.
Anto menghela napas. Ia diam sejenak. Mengambil sebatang rokok dan menyalakannya dengan tangan yang tak stabil. Asap melayang, membentuk selimut samar di antara kekalutan pikirannya. Lalu, tanpa berpikir panjang, ia kembali menyalakan mesin motornya dan memacunya dengan kecepatan tak wajar lagi.
Di belakangnya, ada luka yang belum selesai. Di depannya, ada beban yang terus menanti. Namun, di dalam dirinya, tak ada satu pun yang ia hadapi dengan keberanian.