Masukan nama pengguna
Aku bunga, tetapi bukan yang terpajang menawan. Aku terhampar di antara tandusnya gurun pasir dan gersangnya harapan. Kelopakku berterbangan dihantam badai. Hanya tersisa tangkai yang menanti terlihat olehnya.
Langit Jakarta sore ini tidak berwarna. Kusam, muram, dan menusukkan dingin ke tulang. Sebuah perasaan yang seakan datang untuk mengenang. Di sebuah kedai kecil yang tak pernah berubah sejak dulu, aku duduk sendiri. Tutup gelas kopiku mengembun, dan kursor di layar laptop berkedip, menagih kejujuran yang belum bisa kutulis. Lalu, satu suara nyaring memanggil.
"Arin?"
Aku menoleh. Dunia menahan napas sejenak. Penguasa seolah tahu apa yang sedang menyelinap dalam benakku.
Evan berdiri di pintu masuk. Dia mengenakan kemeja linen abu-abu, ditemani ransel cokelat yang sangat familiar. Wajahnya tenang dan ramah. Langkahnya tegap nan pasti. Dia tampil lebih dewasa. Sangat berbeda dari yang terakhir kuingat tentang dirinya.
Dia menarik kursi di depanku. Kemudian, memulai percakapan. Sesuatu yang tak pernah kutemui darinya dulu.
Obrolan mengalir, tentang pekerjaan, kampus, teman lama. Kami tertawa. Namun, ada ruang kosong di antara kalimat-kalimat yang bersahutan. Ada jeda yang terlalu panjang dalam lagu usang.
Aku ingin berbicara banyak hal, mengupas rasa penasaran yang tak sempat mendapat jawaban. Hanya saja, aku tak berani memulai. Juga, mungkin tak semua perasaan pantas diminta kembali.
***
Semester dua, di kelas Pengantar Filsafat, aku melihatnya pertama kali bukan sebagai Evan si pendiam, melainkan sebagai seseorang yang tak terusik keramaian. Pandangannya ke depan, memperhatikan penjelasan dosen, tetapi tangannya menari di atas buku catatan.
Dia membuat sketsa. Bangunan tinggi, mirip gedung perkuliahan. Rapi, terstruktur, dan indah. Aku bak tenggelam dalam sisinya yang lain. Sisi yang sebelumnya tak pernah aku tahu.
Evan kerap menyatu dalam kesendirian. Tak banyak bicara, tetapi fasih jika membawakan tugas presentasi. Tak pernah terlihat di kantin. Tak pernah bersama yang lain
Aku coba mendekatinya lebih jauh. Menembus dinding diamnya dengan sifat agresifku. Kusodorkan bekal buatanku sendiri. Kuselipkan sticky note berisi lelucon jelek di bukunya. Kadang, aku mencubit halus lengannya karena gemas.
Dia tak pernah menolak. Tak pernah juga mengeluh—dan aku terus melakukannya, dengan keyakinan ganjil bahwa perhatian bukan sesuatu yang harus dimintai izin.
Dari situlah semua dimulai. Aku selalu duduk di sampingnya. Melemparkan obrolan dan canda, meski sering tidak ditanggapi atau direspon singkat.
Lambat laun, Evan membuka tirai bisunya. Dia mengeluarkan lebih banyak kata, walau aku harus selalu mengawali percakapannya dan menggali topik. Kami pun menjadi dekat hingga banyak mata yang menatap.
Sikap tak acuhnya seakan mitos yang disebarkan teman-teman. Evan perlahan membalas perhatianku. Dia memberiku vitamin saat aku menderita flu. Selalu mengajak diskusi tentang tugas mata kuliah. Mau mengantarku ke mana saja. Bersamanya, hari-hariku kian berwarna.
“Lu sama Evan pacaran, ya?” tanya Rena suatu siang. Pertanyaan yang sebenarnya mewakili bisik-bisik di kelas.
Aku hanya tertawa. “Nggak. Emang kelihatannya kayak gitu, ya?”
Padahal diam-diam, aku ingin berkata: semoga. Namun, aku terlalu takut merusak sesuatu yang bahkan belum sempat dibentuk.
Selama Evan tidak menyuruhku pergi, aku akan tetap tinggal. Kedekatan yang terjalin, entah apa namanya atau hubungan seperti apa, aku tak mau terlampau memikirkannya. Bagiku, cukup memupuk rasa, menunggu Evan menyatakan lebih dulu.
Sayangnya, cuaca kadang tak bisa diprediksi. Hujan tiba-tiba mengguyur, padahal langit terpantau cerah saat kaki keluar rumah.
Evan tertunduk di kursinya. Dia memang selalu tampak mengantuk jika ada kelas pagi. Jadi, kupikir hal tersebut bukanlah anomali.
Aku lantas menghampirinya dengan ceria, membawakan sarapan nasi goreng yang kubuat penuh cinta. “Van, tahu nggak? Hari ini aku buat nasi goreng spesial loh,” ucapku antusias. “Resep dari chef Devina. Aku yakin kamu bakal suka soalnya—”
“Arin, aku bisa beli makan sendiri. Kamu nggak usah repot-repot lagi, ya.” Evan mengangkat kepalanya. Suaranya datar, tetapi terkesan mengusir.
Aku tak menyerah. Aku buka penutup kotak nasi gorengku, menggoda penciumannya. Mungkin dia perlu merasakan aromanya terlebih dahulu supaya tergugah.
Dia menggelengkan kepala dengan helaan napas berat. Kata-kata terlihat tertahan di mulutnya. Aku siaga, mengemas harapan.
Benar saja. Evan berpindah tempat duduk. Keluar kelas lebih cepat. Tidak lagi membalas chat-ku.
Aku mencoba menenangkan diri. Mungkin dia lelah. Akan tetapi, aku tak bisa menerka-nerka dan menelan mentah sikapnya.
Kakiku berayun mengitari kampus. Resah dan gelisah bercumbu di pikiran.
Evan menghindar dariku. Aku merasa tak diberi tanda apa pun, sebab hari sebelumnya berjalan baik-baik saja.
Mungkinkah Evan risih dengan semua perhatianku? Mungkinkan dia memendam rasa tidak enak terhadapku?
Di tengah tangis yang menyedak, aku melihat dia duduk sendirian di bawah pohon flamboyan dekat gedung rektorat. Raut mukanya lesu. Pandangannya lurus tak bergairah.
Aku berjalan setapak demi setapak, mendekatinya. “Kamu nggak apa-apa, Van? Kamu kok hari ini kelihatan beda, sih? Apa aku ada salah sama kamu?”
Dia menoleh pelan. “Bisa nggak kamu diam, jadi ngikutin aku terus.”
Nadanya tenang, tetapi dingin dan cukup menyentak senyum yang aku lambungkan. Tangannya mengepal di pangkuan, seolah heningnya terganggu oleh kehadiranku.
Aku kaku. Runtuh. Luruh. Kukira perasaanku tengah menunggu sambut. Rupanya, dia memutuskan haluan tanpa aba-aba.
Aku bangkit dan pergi. Tidak menangis di kampus. Namun, malamnya, tubuhku bergetar menahan napas di balik bantal agar tak terdengar siapa pun.
Sejak itu, aku mundur. Tidak ada lagi bekal. Tidak ada catatan. Tidak ada chat. Aku hadir di kelas, tetap bercanda dengan teman-teman, tetapi Evan kuhapus dari kebiasaanku.
Anehnya, justru itu yang membuatnya goyah.
Suatu hari, aku tertawa bersama teman-teman di kelas saat dosen tak masuk. Evan duduk di belakang, pandangannya terasa di punggungku. Saat aku berdiri hendak pergi, dia melangkah mendekat.
Rena memeluk lenganku dan mengajak ke koperasi. Langkah Evan terhenti. Senyap. Dia hanya mencuri pandang.
Cukup. Aku tak meladeni. Tidak pula tertarik menguji dirinya. Aku tidak mau menjadi korban keterpakasaan yang dibangun dari rasa sungkan untuk menolak. Tak ada lagi pelayaran jika harus melawan arus seorang diri.
Aku tak menghindari Evan. Aku hanya tak mau lagi mempertemukan asaku dengannya.
Beberapa hari kemudian, dia menahanku di lorong. Suasana sore itu cukup lengang. Cahaya matahari menyusup melalui kisi jendela, menciptakan garis-garis redup di lantai yang sedikit berdebu.
“Kenapa berubah?” tanyanya dengan suara rendah.
Aku tersenyum kecil. “Berubah? Aku biasa saja. Nggak ada yang berubah dariku.”
“Kenapa nggak pernah menyapaku lagi?”
Aku mengangkat bahu dan melipat bibir. Tak ada yang perlu dijelaskan.
Aku pura-pura teriak, memanggil Rena. Evan menahanku. Dia menghalangi laju kakiku, dan meminta menjawab pertanyaannya.
“Apa harus selalu aku yang menyapa duluan?” balasku.
Dia diam. Jemarinya saling menggenggam, menahan sesuatu yang tak jadi diucapkan. Sorot matanya kehilangan ketegasan.
“Kalau aku punya salah, aku minta maaf. Tapi tolong jelaskan,” ucapnya, terhantar sendu.
Air mata sudah menggantung di pelupukku. Aku menahannya sekuat tenaga. Aku tidak mau rapuh lagi di hadapannya. Namun, dia mendekat, menyentuh pipiku lembut, dan memutar wajahku.
“Maaf jika perubahan sikapku membuatmu bertanya-tanya.” Vokalku bergetar, nyaris tak bisa kukontrol. “Aku hanya sedang melindungi diriku dari perasaan yang semakin dalam. Perasaan yang tidak kutahu akan mendapat balasan atau hanya akan hidup sebagai pengganggumu.”
Dia menunduk. Lama. Seperti ingin bicara sesuatu, tetapi mengurungkannya. Atau banyak pertimbangan lain bergumul di benaknya. Entahlah.
Aku menunggu. Berharap ada pernyataan darinya yang membuatku rasaku tetap tumbuh. Namun, dia kelu. Bahkan, terus menghadap ke sepatunya.
Ibarat layang-layang, diterbangkan tinggi ke angkasa, tetapi setelahnya benangnya dibiarkan putus dihantam angin. Aku meneruskan langkah, dan Evan tak mencegah.
Semuanya kembali asing. Meskipun begitu, perasaanku tak bisa kembali menjadi kertas kosong. Sekalipun aku menghapus catatannya, jejak dan harapan itu masih tergores nyata.
Aku tata lagi semangatku. Menyibukkan diri dengan teman-teman. Melapangkan hati, menyingkirkan rindu.
Memang, sesekali aku masih memperhatikannya. Hanya saja, aku ingin dia yang lebih dulu menyentuhku—seandainya dia merasa kehilanganku.
Bulan berganti, tahun berlalu. Kami lulus. Wisuda menyemat umpama musim yang berlalu. Foto-foto diunggah, grup kelas dibubarkan. Nama Evan hanya menjadi notifikasi story yang melintas di feed-ku. Aku menyimpannya seperti jaket lama yang aromanya tak tergerus perubahan iklim: tak lagi dipakai, tetapi tak juga dibuang.
***
Kini, kami berjumpa secara tak sengaja. Atau memang takdir ingin mempersatukan kisah yang terpenggal tanpa alasan dan kejelasan.
Kami bicara. Bernostalgia. Layaknya dua orang yang pernah hampir saling menggenggam sebelum akhirnya saling melepaskan.
“Kamu sudah menikah? Atau sedang menjalin hubungan dengan seorang pria?” tanyanya sembari mengangkat cangkir kopinya.
Sesaat, aku membayangkan adegan terakhir film A Crazy Little Thing Called Love. Jantungku berdebar tak berirama.
Hidup tidak selalu seindah naskah yang ditayangkan, tetapi pasti ada bagian bahagianya, bukan?
Aku menggelengkan kepala sambil tersenyum. Memosisikan diri menjadi Nam, menyambut Shone yang datang membawa buket bunga dan pernyataan cinta.
Evan membalas senyumku. Manis. Meraih angan.
Namun, mulutnya katup oleh dering ponselnya.
“Maaf, ya,” katanya. “Halo, Sayang. Iya, aku lagi ketemu teman kuliah. Sebentar lagi pulang.”
Getir menghunus hati. Ada yang mencubit di dada. Menyakitkan dan menorehkan luka kedua di tempat yang sama.
“Itu istri kamu?”
Dia mengangguk. “Iya. Kapan-kapan aku kenalkan kamu ke dia.”
Seketika aku merasa canggung. Ingin menyesali pertemuan ini, tetapi mungkin ini cara Tuhan supaya aku benar-benar melepas segala tentangnya.
Kami berdiri bersamaan. Gerimis turun pelan, membasahi trotoar, menutup tanya yang gagal diajukan.
Dia pergi, meninggalkan gelas kosong. Tak ada lambaian. Tak ada tatapan yang berbalik. Tak ada yang bisa kuperbaiki, kecuali masa depanku.