Masukan nama pengguna
Bab 1: Berbalik
Memasuki masa akhir sekolah menengah atas (SMA), Takeshi Gouda alias Giant harus merasakan kehidupan yang pilu. Ia bersama keluarganya terpaksa pindah dari Tokyo ke Asahikawa di Perfektur Hokkaido. Hal tersebut lantaran kasus perundungan yang ia lakukan dilaporkan ke kepolisian oleh sang korban.
Giant dikenal sebagai anak perkasa dan selalu ingin berkuasa. Ia kerap memaksakan kehendaknya kepada siapa pun, terutama kepada Suneo Honekawa dan Nobita Nobi. Jika keinginannya tidak dipenuhi, maka pukulan atau tendangan didaratkan kepada dua temannya tersebut.
Kini, di sekolah yang baru, ia dipandang tak ubahnya seekor panda yang tercebur ke kubangan lumpur. Semua perbuatan di masa lalu seakan berbalik menghinakan dirinya.
“Heh, Gendut!” panggil Hiroto Matsuyama, sang ketua kelas. Kakinya memasuki ruang belajar dengan hentakan yang arogan.
Giant mendelik. Kesal menyerap ke dadanya sebab mendapat sapaan yang kasar. Namun, ia segera ingat untuk bersikap biasa. Jika menuruti emosi, akan berpotensi mendatangkan petaka (lagi).
“Gue laper. Tadi gue nggak sempat sarapan di rumah. Beliin gue makanan di kantin dong. Makanan yang harus bisa mengenyangkan, ya,” suruh Hiroro sembari menatap Giant setajam pisau.
Giant bangkit dari duduknya. Ia julurkan tangan kanan untuk menadah uang dari Hiroto.
“Apa maksud lu? Lu mau cari gara-gara sama gue?” Hiroto menggebrak meja yang ada hadapan Giant. “Badan lu besar. Jajan lu juga pasti banyak, kan? Apa salahnya menyisihkan sedikit saja bakal timbunan lemak lu buat gue?”
Satu tarikan napas dihela oleh Giant untuk menetralisasi suasana hati. Lebih baik menuruti perintah sang “penguasa” daripada mendebatnya. Anggap saja sebagai salam perkenalan, meski pemalakan disertai hinaan amatlah menjengkelkan, menyulut amarah.
Dalam titian langkah menuju kantin, Giant merenung sejak. Dia teringat sikap serupa dengan Hiroto yang dulu seringkali ia tebar. Selalu memaksakan keinginan dibubuhi dengan menyerang sisi personal seseorang supaya orang tersebut gentar dan tunduk.
Setiba di kantin, Giant merogoh saku celana sambil mengamati harga setiap makanan yang tertera. Sayangnya, hanya ada seratus yen yang bersemayam. Jumlah yang sepertinya tidak cukup untuk mengisi perut.
Giant lantas berkeling dari satu kios ke kios yang lain. Perasaan cemas menghampiri karena tak ada makanan yang bisa ditukar dengan nominal yang dimiliki, kecuali air mineral.
Giant berdiskusi dengan nurani. Ia tak mungkin terus berdiri menanti keajaiban. Bawa saja apa yang bisa dibeli, kukuhnya dalam hati.
Di tengah kebingungan, Giant dihampiri oleh seorang siswi cantik berambut sebahu. Dia meraih tangan Giant dengan lembut. Seketika Giant merasa bak dikelilingi kupu-kupu bersayap indah. Tangannya gemetar menahan grogi.
“Berikan ini saja kepada Hiroto,” ujar siswi tersebut. Dia menyerahkan dua onigiri dan sebotol air mineral kepada Giant.
“Ba… ba… bagaimana kamu bisa tahu a… apa yang sedang aku cari?” tanya Giant, terbata.
“Namaku Rena. Salam kenal, ya.” Si siswi cantik menjulurkan tangan untuk berkenalan. “Hiroto memang terkadang berlebihan mengerjai murid baru. Aku harap kamu tidak tertekan menghadapi dia,” sambungnya dihiasi sebaris senyuman.
Giant mematung. Ada rasa tak percaya membahana dalam jiwanya. Sebuah pengalaman pertama dijabat oleh perempuan cantik. Selama ini, semua Perempuan yang melihatnya selalu menjatuhkan kepala ke tanah.
Usai tujuan tercapai, Rena membungkukkan badan—pertanda pamit kepada Giant. Giant pun merespon dengan menyengir tipis. Ia sangat gugup. Lidahnya seakan bisu hingga tak mampu melafalkan ucapan terima kasih.
Ah, ini hari yang indah. Giant menekuri hikmah yang diterima. Ia bertemu dengan perempuan cantik nan baik hati. Bukan hanya pertolongan yang didapat, tetapi juga wangi bunga-bunga kegembiraan.
“Woy, Gendut! Lama banget sih. Mana makanan gue?” teriak Hiroto dengan raut kencang.
“Ma… maaf!” ucap Giant, menyodorkan isi di kedua telapak tangannya. Ini kali pertama juga ia merendahkan diri di hadapan orang lain. Ya, semua dilakukan demi menjaga amanah sang ibu: tak lagi mengulangi kesalahan yang sama dan fokus merancang masa depan yang lebih baik.
“Gue nggak biasa ngomong terima kasih. Tapi karena lu penurut, gue mau bilang terima kasih atas traktirannya.” Hiroto menepuk pundak Giant lalu bergegas kembali ke kelas.
Semoga ini yang satu-satunya sekaligus terakhir menjadi budak si brengsek Hiroto. Harap Giant, memendam kesal di dada.
Bab 2: Harapan
Ibu Gouda sibuk merapikan toko. Menata display produk sambil menghitung hasil penjualan hari ini yang masih sepi—tidak seperti sewaktu di Tokyo. Di sini, semuanya benar-benar harus dimulai dari awal. Mencari supplier yang terpercaya, meninjau kompetitor usaha, hingga melakukan promosi dengan berjalan kaki dari satu rumah ke rumah yang lain.
Meskipun begitu, Ibu Gouda berusaha berlapang dada. Ia tidak bisa terus menerus menyalahkan sang putra atas kondisi yang harus dijalani saat ini. Bagaimana pun, dalam kenakalan seorang anak, ada andil besat orang tua dalam mendidik.
Kreeekkk! Bunyi pintu digeser menjeda aktivitas berbalut renungan yang tengah dilakoni Ibu Gouda.
“Bu, aku pulang!” salam Giant dengan suara pelan. Ia sadar pulang terlambat beberapa puluh menit. Ia pun siap menerima omelan dari sang ibu.
“Kenapa kamu baru pulang jam segini? Apa kamu habis mengerjai teman-temanmu lagi?” tanya Ibu Gouda melemparkan kecurigaan.
Padahal barusan ia sudah berdamai dengan keadaan, tetapi tetap saja kekhawatiran membayang tatkala melihat sang putra tampil lusuh. “Harus berapa kali Ibu mengingatkanmu agar kamu hidup tanpa mem-bully teman-temanmu, agar kamu mengerti tentang tindakanmu yang tidak terpuji. Lihat sekarang kondisi kita! Di Tokyo, kita bisa menghasilkan cukup banyak uang dalam sehari, sedangkan di sini untuk mendapatkan satu pelanggan pun harus menyusuri sudut-sudut yang jauh.”
“Maaf, Bu. Ta… tadi… tadi aku… em… mencatat beberapa pelajaran yang tertinggal,” kilah Giant. Tak ada maksud untuk berbohong. Namun, tidak mungkin juga ia berkata bahwa telah menghabiskan banyak waktu untuk mencari tahu tentang Rena—siswi yang menyalakan rasa penasarannya.
“Cepat ganti pakaian. Setelah itu, bantu Ibu membereskan semua ini. Ibu sedang tidak ingin mendengar alasanmu,” tegas sang ibu.
Giant lantas bergegas ke kamarnya. Ia mengerti maksudnya ibunya. Sekalipun sedang berusaha berubah lebih baik, kesalahan yang menumpuk akan tetap jadi kenangan dan label buruk.
Giant buka satu per satu kancing baju. Dari balik dinding kamar yang tipis, ia mendengar ibunya berbincang dengan seseorang. Suara lawan bicara sang ibu terdengar familiar, seakan melekat tajam di telinga.
Untuk memastikan dugaan, Giant langsung berlari dengan baju yang baru masuk setengah di badan. Entah mengapa, ada perasaan tak tenang mendapati suara seseorang itu.
Benar saja. Ada Hiroto bersama dua temannya berdiri dengan muka ramah. Di tangan mereka, ada banyak cemilan dan minuman kaleng yang digenggam.
“Hai, Takeshi!” sapa Hiroto mengembangkan senyuman. “Rumahmu di sini? Dan ini ibumu? Kebetulan sekali, ya,” Hiroto mengangkat tangan. Wajahnya berseri menyapa.
Palsu. Giant merespon dengan anggukan dingin. Ia yakin kehadiran Hiroto di depan tokonya bukanlah sebuah kebetulan semata. Ditambah panggilan indah yang digaungkan seperti serigala yang meminjam bulu domba.
“Kalian saling kenal?” tanya ibu Giant, sumringah. Ia yang justru antusias menanggapi perkataan Hiroto.
“Kami satu kelas, Bi. Kami baru saja menjadi teman. Iya, kan, Takeshi?” Hiroto menghampiri Giant. Sangat kentara adanya sebuah pencitraan.
“Oh, syukurlah! Bibi berharap Takeshi dapat menjadi teman yang baik bagi kalian semua.”
“Tentu, Bi. Kami juga berharap hal yang sama,” balas Hiroto disertai sedikit tawa.
Sementara itu, Giant mengadu sabar. Sesekali matanya mengarah sinis kepada Hiroto. Ia tidak menyangka sang ketua kelas memiliki sifat bermuka dua, selain lagak yang sok berkuasa.
Hiroto ternyata piawai bersandiwara. Dia menjijikan. Apakah dia seorang aktor? Giant berkali-kali menghela napas melihat keakraban ibunya dengan Hiroto.
“Berapa semuanya ini, Bibi?” tanya Hiroto, mendekap banyak minuman kaleng dan makanan ringan.
Ibu Gouda menghitung menggunakan kalkulator. Kebahagiaan terpancar karena Hiroto dianggap membawa berkah. “Semuanya jadi 1.900 yen,” terangnya, senang.
Hiroto merogoh sakunya. Tangannya berpindah dari lubang celana kiri ke kanan dan kemudian ke bagian belakang. Di sini, Giant mulai mengendus gelagat bejat orang yang tiba-tiba mengakuinya sebagai teman.
“Maaf, Bibi. Aku hanya ada 500 yen. Sepertinya dompetku tertinggal di kelas,” ungkap Hiroto seraya menyodorkan koin bernominal yang dia sebutkan. “Apa tidak apa-apa jika aku membawa semua ini terlebih dahulu? Besok aku titipkan uangnya kepada Takeshi. Aku janji, Bi. Em… ta… tapi jika Bibi keberatan, aku kembalikan beberapa jajanan ke etalase. Ya, walau sebenarnya ini kesukaanku. Tak mudah menjumpai produk ini di toko yang lain,” sambungnya, memainkan nada-nada sendu.
Api menyala-nyala. Giant mengepalkan tangan. Ia sangsi dengan kalimat-kalimat Hiroto. Terlihat jelas kemunafikan mengalun dari banyaknya ocehan dan ekspresi memelas.
“Apakah kalian membawa uang?” Hiroto memandangi kedua temannya. “Tolonglah! Aku begitu malu jika harus berhutang. Aku tidak mau meninggalkan kesan buruk di awal pertemanan ini.”
Dua teman Hiroto menggelengkan kepala. Mereka menyarankan supaya Hiroto meninggalkan sesuatu sebagai jaminan.
“Bawa saja semuanya. Bibi ikhlas. Anggap saja ini sebagai jamuan perkenalan dari Takeshi. Semoga kalian bisa semakin akrab,” ucap Ibu Gouda dengan lembut.
Giant terperanjat. Ia sangat terkejut mendengar kalimat yang dilontarkan oleh sang ibu. Beberapa menit yang lalu ibunya melayangkan keluhan mengenai pendapatan yang berkurang, kini dengan mudahnya menggratiskan cukup banyak jajanan kepada Hiroto.
“Bu, itu terlalu banyak. Ibu tidak harus menggratiskan semuanya,” kesah Giant. Ia tidak terima dengan keputusan ibunya.
“Sudahlah!” tegas sang ibu, meraih tangan Giant.
“Benarkah ini, Bi? Bibi memberikan semua ini dengan gratis? Apakah Bibi tidak rugi? Saya tidak bisa menerimanya begitu saja. Tapi jika Bibi memaksa, saya ucapkan terima kasih banyak.” Hiroto berlakon sungkan. Memadukan kemanisan lidah dengan gerakan hormat yang kopong.
Menyebalkan! Kekesalan Giant memuncak. Akan tetapi, ia tak dapat menunjukkan reaksi atau amarah yang membara di kepalanya. Sungguh sebuah ujian besar bagi kesabaran.
Hiroto pergi selepas mendapat kepastian bahwa tak perlu membayar se-sen pun. Kegembiraan berlagu satir seolah-olah dia telah memenangankan pertempuran. Giant kian curiga bahwa Hiroto memang telah merencanakan “perampokan” ini.
“Kenapa Ibu melakukan itu? Kami memang sekelas, tetapi belum begitu dekat. Hanya baru saling mengenal nama.” Giant mengutarakan nuansa hatinya yang bertentangan dengan sikap sang ibu.
“Jangan meributkan apa yang sudah diikhlaskan!” pungkas ibunya.
Bagi seorang ibu, apa pun akan dilakukan demi sang anak. Ibu Gouda bukan tidak membaca tipu daya Hiroto. Dia memberikan jajanan gratis kepada Hiroto dengan maksud menempelkan budi. Berharap Giant bisa benar-benar dianggap sebagai teman oleh Hiroto dan teman-temannya.
“Bu, tolong dengarkan aku terlebih dahulu!” mohon Giant. Ia khawatir Hiroto akan kembali lagi besok atau lusa membawa modus serupa.
“Diam!” bentak sang ibu.
Bab 3: Bara
Mentari tertutup rinai salju. Suhu dingin menggerayang hingga ke tulang. Giant berdiri di depan kelas sembari menggosok-gosok kedua telapak tangannya.
Ia sengaja datang lebih pagi dengan harapan dianugerahi suatu kebetulan. Kebetulan untuk bertemu dengan Rena kembali.
Kehangatan hati yang ditunggu, tetapi panas kepala yang justru menyalami. Hiroto melenggangkan kaki ke arah Giant disertai sunggingan angkuh.
“Selamat pagi, Keluarga Gajah,” sapa Hiroto bak melemparkan batu ke permukaan sungai yang tenang, “Em, tampaknya hari ini kamu begitu bersemangat sekali datang ke sekolah. Apakah kamu menungguku?”
Giant membanting mata ke arah Hiroto. Kesal menggelora memancing amarah. Ia tidak habis ada manusia yang begitu tidak tahu diri seperti sang ketua kelas.
Jika hanya dirinya yang dihina, Giant bisa menebalkan telinga. Namun, Hiroto menggunakan kata “keluarga” dalam kata ganti yang dirujuk. Itu jelas berarti jamak. Ada ibu dan adik tercinta yang ditautkan.
Sungguh, seandainya tidak dalam pengawasan dinas pendidikan dan kepolisian, Giant sudah melayangkan tinjunya untuk membungkam mulut Hiroto. Siapa yang bisa melapangkan dada ketika orang di dalam rumah turut dilecehkan tanpa sebab?!
“Mengapa menatapku seperti itu? Apakah kamu tersinggung dengan sapaanku? Padahal aku kan sedang memuji dan mengagumimu. Aku takjub melihat kehidupanmu yang terlihat miskin, tetapi badanmu dan adikmu begitu subur dan besar seperti Gunung Fuji. Apakah kalian hanya tahu makan dan ngemil tanpa mengenal yang namanya olahraga?” Hiroto menepuk pundah Giant. Dia seakan sengaja menantang kesabaran Giant.
“Kita tidak begitu saling mengenal. Jika ada hal yang bersifat pribadi yang tidak kamu sukai dariku, mari kita selesaikan. Namun, jangan mengusik keluargaku.” Giant merapat ke hadapan Hiroto.
Hiroto mundur satu langkah. Dia terkekeh sesaat. Kemudian, kepalan tangan kanannya mendarat begitu cepat di pipi Giant.
Giant pun tersungkur. Ia tidak menduga ada kekuatan besar menghantam bagian wajahnya tanpa aba-aba. Sebuah orientasi perkenalan dari pemimpin ruangan yang begitu beringas di pekan pertama Giant mengenyam bangku sekolah yang baru.
“Gue nggak suka ada yang menatap gue seperti tadi. Apa dengan badan lu yang besar, lu pikir gue akan takut. Hah? Dasar kepala batu, otak udang! Dibaikin justru menatap seperti elang. Babi!” hujat Hiroto, menyengir sadis. Sangat kentara bahwa dia sengaja memprovokasi kobaran api.
Kesabaran memiliki batas dan ketersediaannya berbeda-beda dalam diri setiap insan. Biasanya, Giant akan langsung bereaksi tanpa pertimbangan kala ada yang memecut emosinya. Kali ini, ia benar-benar harus memperhitungkan setiap centimeter gerakan.
Giant lantas bangkit. Satu tarikan napas diambil untuk meringankan langkah kaki—menjauh dari Hiroto. Ia khawatir tersulut melakukan pembalasan yang akhirnya menjadi bumerang.
“Lu mau ke mana? Gue lagi ngajak lu ngobrol, Gendut!” sundut Hiroto, mencengkeram kerah seragam Giant.
Giant memainkan mata sebagai kode meminta Hiroto membiarkannya pergi. Namun, Hiroto justru mengencangkan cengkramannya. Kemudian, dia memanggil dua temannya untuk membantu mempecundangi Giant.
Perundungan terhadap Giant terjadi di depan kelas. Banyak siswa yang melihat. Sayangnya, mereka memilih pura-pura buta. Mereka takut kepada Hiroto.
Hiroto terkekeh kesenangan, sedangkan Giant mencoba pasrah menerima pukulan demi pukulan. Ia hanya bisa berharap guru akan segera datang.
“Apa-apaan sih kalian? Berhenti melakukan tindakan bullying seperti ini. Jika tidak, aku akan memanggil wali kelas sekarang juga,” lantang Rena sambil menarik Giant dari cakar Hiroto.
“Ayo kita pergi! Ada aktivitis remaja di sini,” gerutu Hiroto dengan wajah kesal.
***
Rena sama sekali tidak mengerti akar perseteruan antara Hiroto dan Giant. Namun, dia melihat Hiroto seolah menyimpan dendam terhadap Giant, padahal mereka belum lama saling mengenal. Ini sulit untuk dipahami, terlebih Hiroto menunjukkan sikap dan sifat yang sangat kontras dari yang Rena kenal.
Rena pun yakin Hiroto masih akan terus merundung Giant. Maka dari itu, ia memutuskan untuk berada satu kelas dengan pria penguasa dan mantan penguasa tersebut.
Bab 4: Dulu
Hiroto mengenyam kesal di bawah lidah. Upayanya menjadikan Giant sebagai kacung tersandung kehadiran Rena dalam satu kelas. Hal tersebut, tentu, membuat setiap tingkah laku Hiroto tak lagi sebebas sebelumnya. Permainan baru saja dimulai, tetapi sudah ada yang menginterupsi.
Giant dan Rena masuk kelas secara berbarengan. Kemudian, mereka duduk berdampingan di depan Hiroto – terhalang satu baris. Mereka tampak akrab, padahal belum genap satu pekan saling mengenal.
“Nanti sore kita ke toko buku yuk!” ajak Rena kepada Giant.
Suara merdu Rena mengalun panas ke telinga Hiroto. Hati Hiroto bak disalak oleh api. Pagi yang seharusnya penuh semangat justru memecut jari-jari tangan mengepal dan urat-urat menonjol.
Sementara itu, Giant mengatur aliran udara ke paru-paru secara sembunyi. Jantungnya ketar-ketir menanggapi kalimat Rena – duduk sejajar dengan Rena saja sudah membuatnya berkeringat dingin. Ia tak percaya ada perempuan cantik yang mengajaknya pergi bersama. Ini sangat langka, bahkan baru pertama terjadi di hidupnya. Sayangnya, Giant punya tugas rutin yang harus dilakukan sepulang sekolah.
“Em… a… a… aku harus minta izin ibuku dahulu. A… aku tidak… tidak bisa memberikan jawaban sekarang. Maaf,” respon Giant dengan suara bergetar.
“Memangnya kenapa?” tanya Rena penasaran.
“So… soalnya aku harus membantu ibuku menjaga toko, juga mengantar pesanan pelanggan,” terang Giant dengan sedikit gugup. Ada rasa takut dalam diri akan dihindari ketika bercerita tentang kehidupannya yang sederhana.
“Wah, kamu ternyata sangat rajin dan berbakti kepada orang tua ya. Baiklah, kalau begitu aku tunggu kabarmu, ya.” Rena mengembangkan senyum yang begitu manis. Kemudian, ia menyodorkan ponselnya kepada Giant. “Kalau begitu, aku minta nomormu, ya,” tandasnya.
Bak sakura yang bermekaran di musim panas, Giant merasakan keindahan yang menyemarakkan batin. Harapan seolah mengalir membasuh keterpurukan. Rena laksana menyalakan pelita pada atma yang temaram dilanda trauma.
Bukkk!!! Tiba-tiba Hiroto bangkit dari tempat duduknya sambil mengadukan kaki ke kursi yang ditumpangi Giant.
Giant pun terkejut. Di tengah sukacita yang merekah, sikap Hiroto begitu kental melambangkan ketidaksukaan. Tak mau meladeni atau berspekulasi, Giant memilih untuk meredam percikan emosi di kepala.
Tak disangka, Rena berdiri, dan lalu menghadang langkah Hiroto. “Ada apa? Apa maksud dari tendanganmu itu?” tanyanya dengan nada tinggi.
Hiroto membuang muka. Bibirnya katup—tak terbuka sehelai rambut pun. Kemudian, dia menerebos palang badan yang dibentangkan oleh Rena. Wajahnya sangat kentara menyimpan sebuah kekesalan.
Tak mau diliputi rasa penasaran, Rena mengejar Hiroto untuk meminta penjelasan. Namun, Hiroto tetap teguh mengayunkan kaki dan mengabaikan panggilan Rena.
Rena berlari untuk merekatkan jarak: menjernihkan permasalahan. Jika masalah dibiarkan menguap, maka ia bisa kembali suatu saat dalam bentuk hujan. Juga, keresahan yang melanda tak bisa ditunda-tunda.
“Mengapa sikapmu begitu berubah seperti ini? Di mana dirimu yang kukenal baik dan ramah?” Rena menempelkan telapak tangan kanannya di pundak kiri Hiroto.
Hiroto menoleh dengan mata membara. “Aku berubah?” bentaknya, merapat ke Rena. “Lalu, apa urusannya denganmu?”
Rena kembangkan senyum dalam balutan raut sayu. “Aku tidak mau melihatmu menjadi jahat,” ungkapnya bervibrasi.
“Jika tidak suka, kenapa terus menguntitku? Tidak bisakah kamu fokus pada urusanmu sendiri? Berhentilah menggangguku bila tidak ingin merasa terganggu!” satir Hiroto. Tegas nan pedas. Dia melaju dengan bahu terbuka.
Rena terpaku melepas Hiroto dari jangkauan mata. Kalimat-kalimat Hiroto seakan melumpuhkan pergerakannya dalam seketika. Terdengar sederhana, tetapi menyiratkan amarah yang teramat besar.
“Hiroto!” seru Rena mengikir pilu. Tanpa terasa, air matanya menyedak menyapa pipi.
Seraut kenangan, tentang Hiroto di masa lalu, menyisir ingatan Rena. Pribadi yang baik hati berubah seperti terobsesi ingin menjadi villian. Perubahan itu semakin menjelma semenjak kedatangan Giant sebagai murid baru. Adakah mereka sudah saling mengenal sebelumnya dan memiliki konflik yang tertinggal?
Rena hanya bisa meneteskan air mata menekuri perubahan sifat dan sikap Hiroto. Ada sesak yang menyedak begitu dalam. Tubuh terpaku ke lantai bersama harapan.
Selang berapa lama, Rena menyeka kedua sudut matanya. Ia putuskan kembali ke kelas dengan melupakan sejenak peristiwa yang barusan terjadi.
Namun, saat berbalik badan, Rena melihat Giant beberapa langkah di depannya. Dengan cepat ia mengajukan pertanyaan sebelum Giant yang lebih dulu melakukannya. “Kamu mau ke mana?”
“Tidak. Aku… aku menyusulmu karena pelajaran pertama akan segera dimulai,” jawab Giant, gugup. Ia sebenarnya ingin memberikan kalimat penenang, tetapi ia takut salah memilih kata sehingga malah memperburuk suasana hati Rena.
Ah! Menerka dan meredam emosi perempuan merupakan hal tersulit dalal hidup Giant.
Bab 5: Rasa
Getaran hebat mendera hati Giant. Setiap hari bersama Rena menumbuhkan nuansa rasa yang sebelumnya tak pernah ada. Rindu, nyaman, dan damai bersahut membasuh kesuraman, menuang sejuta harapan. Diri yang sudah pasrah tanpa (mungkin) memiliki jalinan pertemanan, justru diguratkan titian mesra yang tak pernah terpikirkan akan tiba secepat ini.
Giant lantas bercerita kepada sang adik bahwa sedang diselimuti bunga-bunga asmara. Ia tak ragu atau canggung untuk berbagi kisah dengan sang adik.
Perihal lakon romansa bersumbu cinta pertama, Giant meyakini Jaiko memiliki pengetahuan yang lebih luas dibanding dirinya. Ya, sang adik adalah penulis komik romantis dan juga penikmat narasi hati. Tentu, ia memiliki referensi dan pengalaman yang dapat diandalkan.
“Kakak sebaiknya mencari tahu lebih banyak tentang perasaan Kak Rena kepada Kakak. Bisa saja, dia hanya sebatas mengasihi Kakak,” saran Jaiko. Sebuah tanggapan yang tak terduga oleh Giant.
“Maksud kamu? Jangan membuat Kakak pesimis, dong! Kakak yakin bahwa inilah yang dinamakan cinta,” kesah Giant.
“Kak, cinta itu memiliki banyak makna. Coba lihat diri Kakak! Apakah Kakak merasa cukup ideal untuk Kak Rena? Atau justru Kakak terlihat begitu payah sehingga ada peri cantik baik hati yang melindungi Kakak. Haha…” goda Jaiko setengah menyindir. Ia bukan bermaksud menghina Giant. Ia hanya berupaya menghadirkan cermin bagi sang Kakak.
“Kamu pikir Kakak ini pecundang? Kakak bersikap seperti ini kan demi memperbaiki diri Kakak yang dulu.”
Giant merenung. Perkataan Jaiko cukup melemahkan kobaran asa dan memantulkan kesadaran diri ke dalam pikiran.
“Mengapa Kakak bersedih? Apa kata-kataku barusan terdengar begitu menyakitkan, Kak? Maaf, aku tidak bermaksud untuk…”
Giant berdiri sembari menarik kedua garis bibir. “Tidak. Apa yang kamu sampaikan telah memberikan banyak pencerahan bagi Kakak. Kamu memang luar biasa, Jaiko,” ucapnya, penuh nada semangat.
Jaiko mengernyitkan dahi. Ia bisa membaca padanan yang tidak selaras antara ucapan dan ekpresi sang kakak.
Tak ada niat Jaiko untuk membuat pelindungnya kehilangan kepercayaan diri. Ia hanya berusaha mencegah Giant dari perasaan patah hati di kemudian hari akibat terbuai kebaikan Rena. Sungguh, di matanya, Giant adalah kakak yang sangat baik dan penuh tanggung jawab.
Obrolan, yang semula disisipi canda, disudahi dengan alunan suasana melankolis. Giant keluar dari kamar Jaiko sambil kembali menadahkan kepala ke langit-langit. Selama ini tak ada perempuan di luar rumah yang menganggapnya “baik”, selain Rena.
Hah! Giant tersudut dalam kebimbangan.
“Takeshi, tolong antarkan barang ke rumah pelanggan!” teriak sang ibu memecah lamunan Giant. Giant pun menyahuti sembari berlari sebelum ibunya mengulang perintah.
Cinta oh cinta! Benarkah Giant jatuh cinta? Apakah hanya sekadar rasa suka yang dipicu oleh sebuah perhatian? Sulit untuk didefinisikan, tetapi Giant yakin untuk meneruskan kedekatan yang lebih erat dengan Rena.
Baiklah! Besok aku tanyakan saja kepada dia apakah perhatian yang dia berikan kepadaku merupakan tanda rasa suka. Tekad Giant di benak.
***
Dua benda bulat berputar sejajar menginjak jalan seiring ayunan kaki menghentak pedal. Nyanyian tipis-tipis mengalun ceria sepanjang perjalanan. Meskipun sumbang di telinga orang lain, tetapi terasa merdu bersenandung di hati Giant. Langit sore yang indah turut menjadi penyorak kegembiraan.
Namun, lagu Giant kalah menggema dari suara di lapangan. Ia pun meminggirkan sepedanya sejenak untuk melihat pemicu keriuhan.
Ternyata sedang ada pertandingan baseball yang cukup ramai dihiasi penonton. Rindu seketika merangsak ke dada Giant. Sewaktu di Tokyo, ia tidak pernah melewatkan hari Minggu tanpa menjadi pitcher. Sementara di sini, ia kehilangan rasa percaya diri untuk menyapa olahraga favoritnya itu.
Mata Giant berputar menyoroti keseruan. Di salah satu bangku, ia melihat Rena duduk dengan anggun. Hasrat untuk menghampiri sang penakluk mimpi pun terbit penuh harapan.
“Dari tadi aku perhatikan kamu terus melihat ke arah Hiroto. Apakah kamu menyukai dia?” tanya teman Rena.
Giant terpaku mendengar pertanyaan yang diajukan teman Rena. Dia mematung di belakang Rena sembari menerawang keberadaan Hiroto.
“Tidak. Aku… aku hanya… aku hanya suka melihat semangatnya bermain baseball,” jawab Rena sedikit terbata.
“Benarkah itu? Bukankah dia tipemu? Dia tampan, badannya bagus, dan juga sangat macho,” goda teman Rena yang lain. “Em…. ataukah tipemu sudah berubah seperti Giant gendut itu? Soalnya aku lihat sekarang kamu begitu dekat dengan dia.”
Rena tersenyum. “Tidak. Sudah kubilang aku hanya senang melihat pria yang suka berolahraga dan mencintai tubuhnya,” jawabnya.
“Apa maksudmu? Jadi, kamu menyukai Hiroto atau Giant?” desak teman Rena, meminta pengakuan.
Rena menanggapi dengan terus mengembangkan senyuman. Tak ada pernyataan lanjutan atau klarifikasi yang dilambungkan.
Giant berbalik badan memikul kebingungan. Ia memilih pulang daripada (nanti) harus mendengar Rena menyebut satu nama.
Kayuhan kaki Giant terasa berat dan melambat. Ia tidak bisa untuk tidak menerka isi hati Rena.
Laki-laki yang mencintai dirinya sendiri? Apakah itu artinya Rena juga melihat seseorang dari fisik atau penampilan? Gusar Giant.
Ia kemudian melihat secara saksama gambaran dirinya yang memantul di spion sepeda. Tangan kirinya meraba pipi hingga ke bagian paha.
Tubuh gempal, perut menonjol melintasi garis wajah, dan kulit gelap mencipratkan kekesalan ke dalam jiwanya. Dulu, dia tak peduli pada penampilan luar. Kini, cinta seolah menuntutnya untuk bagus dalam rupa. Ya, karena bagaimana pun, harus ada poin diri yang bisa dia “jual” kala nanti menyatakan perasaan kepada Rena.
Bab 6: Tekad
Giant memutuskan memulai diet per pagi hari ini. Tekadnya sudah bulat untuk membentuk tubuh yang proporsional. Semua dilakukan demi cinta yang semoga bisa mendapat sambutan dari Rena.
Memang, Giant masih awam dalam mendefinisikan rasa. Namun, ketertarikannya terhadap Rena semakin nyata merisaukan hari-hari.
Kala hendak masuk ke kelas, Giant berbenturan badan dengan Hiroto. Ia terlalu fokus mencari strategi untuk menurunkan berat badan dalam sepekan hingga tak menyadari ada langkah yang berbarengan dengannya.
“Lu sengaja melakukannya, kan?” Hiroto langsung naik pitam.
“Maaf, aku tidak sengaja,” ucap Giant sedikit menunduk. Sekali lagi, lebih baik mengalah menghadapi Hiroto daripada meladeni dengan luapan amarah yang sama.
Giant pun melanjutkan langkah menuju kursinya. Tetapi, tiba-tiba saja Hiroto menarik kerah belakang baju Giant dengan cukup bertenaga. Sontak Giant membalikkan badan.
“Lu suka sama Rena?” tanya Hiroto penuh tatapan bengis.
Giant mengalihkan pandangan. Ia tidak mengerti mengapa Hiroto bisa mengajukan pertanyaan demikian.
Ternyata, Hiroto cukup peka membaca bahasa tubuh Giant. Dia bisa merasakan getaran emosi Giant kala berada di dekat Rena.
Akan tetapi, ada keterkaitan apa Hiroto menanyakan hal yang bersifat pribadi? Untuk apa dia ingin mengetahui hal itu? Apakah dia juga menyukai Rena? Giant malah dihujani prasangka terhadap Hiroto.
“Woy, Gendut! Lu nggak dengar tadi gue nanya apa?!” Hiroto makin beringas. Dia mencengkram bahu Giant demi mendapatkan sebuah jawaban.
Kesabaran Giant mencapai ambang batas. Ia gerakkan tubuh dengan kuat untuk menurunkan tangan Hiroto yang menempel di tubuhnya.
Hiroto terkejut hingga nyaris tersungkur. Lalu, dia tegapkan posisi kembali untuk memberikan Giant sebuah tinju.
Giant berhasil menahan kepalan tangan Hiroto yang hendak mendarat di pipinya. Ia mentahkan serangan Hiroto dengan mudah. Hiroto pun kesal karena merasa dipermalukan.
Pertikaian antara Giant dan Hiroto mengundang keseruan. Para siswa yang melihat langsung membentuk formasi untuk menyaksikan kesengitan pertarungan dua pria berjiwa ketua.
“Jangan terlalu dalam mencampuri urusan orang lain,” pungkas Giant seraya mendorong Hiroto mundur.
“Brengsek! Sekarang lu udah berani nantangin gue,” gertak Hiroto.
Sorak-sorai penyulut perkelahian mulai menggema. Giant dan Hiroto bersiaga dan memasang kuda-kuda.
Untungnya, Pak Guru datang di saat yang tepat. Duel antara sang jawara pun urung terjadi.
Giant menghela napas dalam-dalam. Bibirnya mengucap syukur yang hanya bisa didengar oleh diri sendiri. Tak ada angin, tak ada hujan, badai mendatangi tanpa salam.
Sudahlah! Giant mencoba fokus untuk mengikuti pelajaran. Namun, ada hal yang mengganjal penglihatannya. Ia tak menemukan Rena di dalam kelas.
Gelisah pun membayangi pikiran Giant. Kecemasan menggelora sebab hatinya berkata bahwa Rena tidak mungkin bolos tanpa alasan. Hanya saja, Giant tidak tahu ke mana mencari informasi tentang Rena.
Waktu berputar terasa lama dari biasanya. Kala bel istirahat berbunyi, Giant bergegas bangkit dari kursi. Ia berharap bisa mendapatkan secercah kabar Rena dari teman Rena di kelas sebelumnya.
Sayangnya, pacuan kaki Giant mendapatkan hadangan dari Hiroto. Hiroto tampak masih ingin melanjutkan perkara yang tertunda.
“Sepulang sekolah nanti, gue tunggu lu di Lapangan Ryoda, tempat bermain baseball. Lu tahu kan tempat itu, Gendut?” ucap Hiroto sembari menggeplak kepala Giant dengan cukup keras.
Giant sedikit meringis: menahan rasa sakit dan emosi. Sepertinya, Hiroto benar-benar ingin memperpanjang masalah.
“Baik,” sahut Giant sembari keluar kelas dengan memikul segudang pertanyaan. Fokusnya tertuju seluruhnya pada pemicu sikap tak bersahabat Hiroto yang ditunjukkan secara brutal.
Mungkinkah Hiroto cemburu melihat Giant dekat dengan Rena?
Ah! Sukar bagi Giant untuk menalar dan mengidentifikasi kebencian Hiroto. Sebab, sebelum ia dan Rena menjadi dekat, Hiroto sudah menyambut dengan perundungan secara non verbal.
***
Giant berlari menuju tempat pertemuan dengan Hiroto. Keringat mengucur deras seirama dengan debaran jantung yang tidak tenang. Apabila nanti akan terjadi pertarungan, ia sudah berjanji pada hati kecilnya untuk menahan sebagian tenaga.
Sesampainya di lapangan, Giant tidak melihat keberadaan Hiroto. Ia pun memutuskan duduk di tepi sembari mengolah tekadnya.
Giant meangkasakan doa, berharap Hiroto mengingkari ajakannya sendiri. Bagaimana pun, kekhawatiran akan pengulangan kejadian di masa lalu masih mengintai dalam pikiran Giant.
Bukkk!!!
Tendangan kencang menghantam punggung Giant. Ia pun langsung terkapar mencium tanah.
“Payah! Badan aja besar, tetapi tenaga kopong. Lu tuh ibarat busa yang terkena air,” umpat Hiroto sambil tertawa. Dia datang bersama dua temannya.
“Apa ini caramu menyapa seseorang yang kamu ajak bertemu? Padahal, kamu terlihat pandai saat bermain baseball. Namun, ternyata, kamu tidak memiliki jiwa sebagai atlet sedikit pun. Mengajak bertemu, tetapi menyerang dengan cara kotor,” sindir Giant.
“Brengsek!” Hiroto geram mendengar sindiran dari Giant. Dia lantas memerintahkan dua temannya menyeret Giant ke pinggir lapangan yang sepi.
Giant mengerahkan seluruh tenaganya. Ia hajar dua teman Hiroto dengan satu pukulan dan satu tendangan. Kecurangan Hiroto membuatnya melepaskan niat yang terpatri dalam hati.
Melihat kedua temannya kewalahan menghadapi Giant, Hiroto pun turun tangan. Perkelahian, tak bisa dihindari, terjadi di luar bayangan Giant.
Satu lawan tiga orang sangatlah tidak sebanding. Terlebih, Giant sedang dalam mode mengurangi asupan karbohidrat dalam tubuh. Hasil dari pertarungan ini sudah bisa ditebak. Hiroto dan teman-temannya mampu melumpuhkan Giant.
Melihat Giant tak berdaya, Hiroto lekas pergi. Tak ada rasa berdosa sedikit pun dalam dirinya.
Giant merintih menahan kesakitan. Hembusan angin membelai wajahnya yang babak belur. Ia tergeletak tak bertenaga: terbatuk-batuk dengan mata berkaca-kaca.
Bab 7: Sesal
Giant pulang tertatih-tatih sembari menyembunyikan noda biru di wajahnya. Menindas atau ditindas seakan menjadi pilihan baginya bertahan di ruang sosial. Seandainya Hiroto dan teman-temannya tidak bertarung secara keroyokan, Giant mungkin bisa meladeni kekuatan mereka satu per satu.
Apalah daya, semua sudah terjadi. Hal terpenting saat ini, yaitu menyembunyikan luka dari para penghuni rumah.
“Kakak dari mana saja? Mengapa jam segini baru pulang? Baju Kakak juga sangat kotor. Lalu, ada apa Kakak menutupi wajah dengan ransel seperti itu?” Jaiko mencegat Giant dengan segudang pertanyaan.
“Husss! Kamu jangan berbicara keras begitu! Nanti Ibu dengar,” Giant memalangkan telunjuknya di bibir sang adik.
Jaiko tambah penasaran dan tak sabar untuk mendapatkan jawaban dari Giant.
“Iya, tapi Kakak kenapa? Apakah Kakak berkelahi lagi?” Lontaran pertanyaan Jaiko mengudara dengan frekuensi yang lebih tinggi dari sebelumnya.
Giant menoleh ke sekitar, mengamati keberadaan ibunya. Jelas, ia takut suara adiknya menggema ke telinga sang ibu.
Ketakutan Giant menjelma menjadi nyata. Sang ibu menghampirinya dengan wajah penuh murka.
“Apa kamu belum puas dengan yang terjadi pada kita saat ini?” Raut ibu Giant merah, menahan amarah.
“Bu, aku… aku tidak berkelahi. Aku ba… barusan hanya membela diri,” terang Giant.
“Pokoknya, jika perilakumu mendatangkan lagi surat peringatan, anggap saja Ibu sudah mati. Andai saja Ayahmu sedang ada di sini, Ibu pasrah hukuman apa yang akan dia berikan kepadamu.” Sang ibu berbalik badan sambil berderai air mata. Ia ingin marah selantang mungkin; ingin mencambuk anaknya dengan segenap kekesalan, tetapi ia sudah terlalu sering melakukan hal tersebut. Sementara, Giant sulit untuk menanggalkan kebiasaannya. Sedih, pilu, dan kecewa mencerca jiwa.
Kesalahan atau kenakalan yang diperbuat anak pastilah ada kaitannya dengan peranan orang tua dalam mendidik. Ibu Gouda merasa gagal membesarkan Giant. Kekhawatiran pun membumbung memikirkan masa depan sang sulung. Rasanya, bersikap keras kepada anak tidak memberikan efek jera.
“Maafkan aku, Bu! Aku bisa menjelaskan semuanya.” Giant berupaya mengejar ibunya untuk merinci asal muasal tapak noda di tubuhnya. Ia tahu jika ibunya melunak setelah marah, itu artinya sang ibu sedang berdiskusi dengan nurani untuk mulai tidak peduli.
“Kak, lebih baik Kakak obati luka Kakak dulu. Percuma berbicara dengan ibu dalam situasi seperti ini,” ujar Jaiko.
“Tapi…” Giant mencoba membantah saran sang adik.
“Aku yakin Ibu tidak serius dengan perkataannya.” Jaiko menyunggingkan senyuman. Ia hantarkan ketenangan untuk sang kakak melalui guratan manis wajahnya.
Giant tertunduk lesu. Kedua sudutnya matanya mulai basah menahan kesedihan. Ia menyesali kebodohannya yang terpancing oleh permainan Hiroto. Harapannya saat ini hanya berpangku pada keajaiban, semoga kejadian di lapangan tak terekam oleh mata apa pun.
***
Kehangatan keluarga, yang baru saja kembali menyala pascapindah dari Tokyo, memuai bersama dinginnya hawa pagi. Gelak tawa dan canda menjadi senyap. Kumandang ceria menghilang dalam semalam.
Giant tiba di sekolah dengan perasaan gundah. Ia tak mau menerka peristiwa yang akan terjadi, tetapi batinnya meminta akal dan raga bersiap menerima gangguan dari Hiroto.
Benar saja. Ketika Giant memasuki kelas, Hiroto langsung melemparkan hinaan. “Gue kira lu udah tewas menjadi babi panggang. Ternyata, lu cukup kuat juga seperti gajah,” kata Hiroto sambil terkekeh.
Giant melayangkan pandangan mengamati teman-teman kelasnya yang lain. Semuanya diam. Mereka seakan tak mau terlibat sedikit pun dengan “kesenangan” Hiroto.
Giant bukan sedang memelas perhatian atau mengais pembelaan. Ia hanya meyakinkan diri untuk tak berharap pada siapa pun.
“Kenapa, Gendut? Nyari teman? Kalau mau cari teman ke kebun binatang sana.” Hiroto menyeringai bak ingin melucuti kesabaran Giant.
Giant benar-benar tidak mengerti akar kebencian Hiroto yang penuh bara. Padahal, ia memasuki kelas tanpa memercikkan api sama sekali.
Hah! Sabar! Sejatinya, yang dicari Hiroto adalah amarah. Amarah yang kemudian dia konversi menjata senjata. Senjata yang peruntukkannya begitu mengabu.
Giant melenggang melintasi tempat duduk Hiroto. Tiba-tiba, Hiroto menendang pinggang Giant. Kontan Giant pun tersungkur sebab tak menduga Hiroto akan mengadu fisik.
“Makanya diet biar kakinya bisa seimbang menopang tubuh. Gendut!” hujat Hiroto.
Masih. Tak ada satu pun siswa yang bereaksi atau mengulurkan tangan untuk membantu Giant ke posisi semula.
Saat Giant sudah kembali berdiri, muncul Rena memasuki kelas dengan langkah lesu. Tatapannya terlihat kosong. Wajahnya sayu sendu laksana tengah mendayung problematika yang berat.
Tak ada sapaan yang terlantun. Tak ada kata yang terhantar untuk melerai. Rena diam seribu bahasa, bersikap seolah tak mendengar dan tak melihat apa pun.
Aneh!
Ada apa dengan Rena setelah kemarin ia tidak masuk sekolah?
Bab 8: Hening
Situasi mendadak dingin. Kata yang pernah terangkai menjadi cerita, kini terlerai dalam bahasa tubuh yang penuh ambigu. Prasangka bergumul mencengkeram pikiran.
Berhari-hari Rena tidak terdengar bersuara, bahkan ia menghindar dari siapa pun. Saat jam istirahat atau pulang sekolah, dia menghilang dengan cepat.
Giant terus mencoba menyapa Rena, tetapi tak pernah dihiraukan. Ini jelas menyiksa dan menggurat banyak tanya dalam benak Giant.
Apa yang sebenarnya menimpa Rena? Ia mendadak murung dan gelisah seolah sedang menyembunyikan ketakutan.
Giant bingung. Ia tidak tahu cara untuk membuka kebungkaman Rena. Tutur Rena, yang lembut dan akrab, menghilang tanpa jejak yang bisa terbaca.
Sementara itu, Hiroto tidak masuk sekolah seiring perubahan sikap Rena. Dua temannya pun turut lenyap dari kelas. Giant semakin tak tenang. Ya, semua terjadi setelah peristiwa di lapangan. Apakah hanya kebetulan semata?
Mungkinkah sikap Rena dan alasan Hiroto membolos saling berkaitan? Renung Giant.
Ia menjadi begitu pemikir semenjak pindah ke kota kecil ini. Dunia seakan berbalik sebagai balasan perbuatan dan agar memperbaiki diri.
Waktu di sekolah, yang sempat ditumbuhi bunga-bunga, sekarang hampa bak Sahara. Pernyataan cinta yang sudah di ujung bibir terpaksa ditelan bersama ludah. Entah untuk sementara atau memang akan buntu. Giant hanya bisa mempertebal kesabaran: menanti Rena kembali ceria seperti kemarin.
Giant berjalan menuju rumah dengan langkah yang berat. Setiap pijakannya terasa tak memiliki arah. Kelu menderu mengobrak-abrik harapan di dalam kalbu.
“Kenapa kamu tega melakukan itu? Ini yang kamu mau? Kamu bahagia melihat aku kena skors dari sekolah?”
Giant berhenti kala mendengar lambungan pertanyaan penuh amarah. Suara sang pengucap itu sangatlah tidak asing dalam memorinya.
“Kita sudah saling mengenal sejak kecil. Aku hanya ingin kamu menjadi dirimu yang seperti dulu. Aku mencintaimu.”
Kata-kata sedih melambung ke telinga Giant. Sendu mengalun, tetapi kala mencapai hati seperti bom atom yang melululantahkan Hiroshima dan Nagasaki.
Ya, itu Hiroto dan Rena yang sedang berdebat hebat.
“Cinta? Omong kosong! Kamu merekamku saat aku dan si Gendut itu bertarung. Kemudian, kamu tunjukkan rekaman tersebut kepada ayahmu, kan?!” laung Hiroto.
Giant mencari posisi Hiroto dan Rena. Tampak mereka berdua terlihat di samping kedai ramen.
“Kamu mengeroyok dia. Kamu selalu bersikap kasar kepadanya. Kenapa kamu seperti ini? Bukankah sebagai ketua kelas, kamu harusnya bisa menjadi contoh yang baik bagi teman-teman yang lain? Aku tak punya pilihan, selain meminta bantuan ayahku untuk menasehatimu,” papar Rena.
“Demi membela si Gendut itu kamu rela menggunakan kekuasaan ayahmu sebagai kepala sekolah,” ucap Hiroto, kesal.
“Aku tidak membelanya. Aku justru membelamu. Tidakkah kamu ingat, dulu kita…”
“Persetan dengan masa lalu. Tidak usah berlagak seperti pahlawan di hadapanku. Kamu tidak tahu apa yang sedang kualami,” potong Hiroto dengan suara menggelegar dan mata penuh bara. “Mulai sekarang, berhenti mencampuri urusanku,” pungkasnya, kemudian berjalan meninggalkan Rena yang meratap.
Rena berupaya mengejar: menarik tangan Hiroto. Masih ada banyak hal yang ingin diluruskan olehnya. Namun, tak disangka, Hiroto justru menghardiknya dengan membentangkan tangan secara kuat.
Tangan Hiroto pun mengenai wajah Rena. Seketika Rena terkapar ke aspal. Air matanya bercucuran penuh keperihan.
“Hiroto!” lantang Giant, keluar dari tempat menguping dengan mengepalkan tangan. “Jangan berlaku kasar kepada perempuan!” geramnya.
Hiroto menghampiri Giant. “Terus lu mau apa? Mau babak belur lagi? Ayo!”
Giant sudah tak bisa lagi mendekap kesabaran. Satu tinju melayang ke pipi Hiroto tanpa permisi.
Hiroto mengusap bekas pukulan Giant. Rasa sakit yang menapak langsung mendidihkan amarahnya. Dia pun melakukan tendangan sebagai balasan, lalu menarik Giant ke tanah lapang di pinggir sungai.
Duel antara Giant dan Hiroto tak bisa dihindarkan. Walaupun Giant (mungkin) bukan pria yang baik, tetapi ia paling tidak bisa melihat perempuan menangis: disakiti.
Giant dan Hiroto saling adu pukulan. Keduanya memiliki kekuatan yang sepadan. Hanya saja, motivasi Giant untuk bertarung lebih besar.
Giant berhasil mengerahkan seluruh tenaga hingga mampu membuat Hiroto kesulitan untuk bangkit usai tersungkur ke tanah.
“Minta maaf kepada Rena!” suruh Giant dengan menodongkan kepalan tangan.
Hiroto menyeringai. “Siapa lu berani memerintah gue? Lagi pula, gue belum kalah. Jangan jumawa dulu!”
Rena berlari menghampiri Giant dan Hiroto. “Hentikan! Jika tidak, aku akan melaporkan hal ini kepada polisi,” ucapnya, mengancam.
Giant menurunkan tangannya. Kemudian, ia coba merangkai kalimat untuk menenangkan Rena.
Belum sempat kalimat disampaikan, kesakitan menjalar ke hati Giant lebih dulu. Ia menyaksikan Rena memapah Hiroto untuk berdiri. Bahkan, Rena tak mengarahkan pandangan secuil pun kepada dirinya.
“Lepasin! Aku bisa sendiri,” maki Hiroto kepada Rena.
Giant terpaku tidak mengerti. Rena terlihat lebih memilih untuk peduli kepada Hiroto. Ia merasa seperti angin yang terasa. Ada, mendekap dan membelai harap. Sayangnya, tak tampak dalam mata.
Akhirnya, Rena mendekat beberapa langkah ke hadapan Giant. Giant gemetar menyangka kata-kata yang mungkin akan keluar dari mulut Rena.
“Aku tahu kamu kuat. Jadi, mohon maafkan semua hal yang pernah Hiroto lakukan kepadamu,” lantun Rena diakhiri dengan membungkukkan badan.
Kosong, kopong, bohong. Giant tak percaya. Ia begitu kecewa. Sekalipun ia dungu dalam hal cinta, tetapi ia mampu menghirup aroma ketulusan dari Rena untuk Hiroto.
Pasrah tak berdaya. Menyerah pada upaya. Giant menatap luruh Rena yang berlalu bersama Hiroto.
Bab 9: Lepas
Sesak merangsak merobek asa. Luka mencuat mengerik rasa. Betapa tak disangka bahwa lara akan bertandang di saat hati belum tenang.
Giant berusaha membendung laju air mata. Sayanganya, tak ada apa pun yang bisa digunakan sebagai tanggul. Mimpi melebur tak tersisa. Segalanya hancur. Perasaan cinta belum sempat diungkapkan, tetapi justru sudah mendapatkan penolakan. Seharusnya ia mendengarkan perkataan Jaiko untuk bersabar mengais rasa.
Kepahitan harus Giant telan bulat-bulat. Kebaikan Rena yang ia terima, ternyata hanyalah pemanis kedekatan. Rena menjadikan Giant sebagai tumpuan untuk menjadi alarm bagi Hiroto.
Sekarang, mau bagaimana lagi?! Seandainya Rena tak menyalakan harapan terlebih dahulu, maka tak akan ada kesakitan yang terjadi.
Tidak. Ini bukan salah Rena. Rena berhak memilih pria yang dia cintai. Mungkin Hiroto jauh lebih baik segalanya dariku. Mungkin pula Hiroto mem-bully-ku hanya untuk mencari kesenangan dan pelampiasan, seperti yang aku lakukan kepada Suneo dan Nobita dulu.
Sepanjang langkah Giant, terus merenungi suratan hidup yang terjadi. Setiap orang pasti akan memanen perbuatan yang ia tanam.
Menghilangkan rasa yang tumbuh setiap hari tak semudah mengedipkan mata. Namun, waktu tak dapat diulang. Tragedi yang sudah terjadi tak mungkin terus menerus disesali.
Setelah dingin menerpa batin, Giant mengayuh langkah ke sekolah. Ia coba susun sikap untuk menghadapi Rena nanti. Perih pasti menjalar saat bertemu pandang, tetapi benci harus bisa dicegah.
Giant berjanji dalam hati untuk lebih fokus belajar: lupakan Rena dan abaikan Hiroto. Api tidak akan berkobar jika tidak ditambahkan suluh. Apabila sulit menemukan air untuk memadamkannya, maka biarkan dia mati kehabisan energi.
Giant masuk ke dalam kelas dengan jantung berdebar-debar. Ia berharap bisa bertukar tempat duduk agar bisa lebih cepat move on dari Rena.
Lantas, siapa yang sekiranya sudi diajak berpindah posisi? Akan tetapi, permasalahannya bukan di situ. Giant tak bisa membidik satu pun teman untuk disapa sebelum mengucapkan maksud dan tujuan. Ironis.
Untungnya, Rena tidak masuk sekolah. Jadi, Giant bisa sejenak menghela napas sebelum kembali berpikir keras.
Bel lonceng pulang berbunyi dengan nyaring. Giant mencoba tersenyum di tengah getir yang menggerogoti pikiran. Ia memupuk semangat untuk segera tiba di rumah – menyambung rutinitas. Ya, hanya kesibukan yang bisa melengserkan gusar yang melanda.
“Gi… Giant, tunggu sebentar!” seru Rena ketika melihat Giant melewati gerbang sekolah.
Giant berhenti, tetapi tidak berani menyahut. Ia takut terbias rindu setelahnya.
“Bolehkan aku berbicara denganmu sebentar saja!” pinta Rena yang dengan cepat berdiri di hadapan Giant.
Giant menundukkan kepala. Ia tak mau beradu pandang karena khawatir tergoda untuk mengais angan. Terlebih, Rena bertutur dengan melodi riang.
“Giant, aku minta maaf soal sikapku kepadamu kemarin. Aku sadar bahwa aku sudah sedikit keterlaluan. Sebagai permohonan maafnya, aku ingin traktir kamu Ramen. Kamu mau, kan? Tolong, jangan menolak untuk kali ini, ya.” Rena merekatkan kedua tangannya di depan dada.
Giant bingung. Satu sisi, ini kesempatan untuk melupakan Rena dengan cara yang manis: mengungkapkan cinta tanpa mencitakan sambutan hangat. Namun, di sisi lain, ia gamang bahwa cerita akan berjalan sesuai skenario yang disusun.
Giant memutuskan melanjutkan langkah. Untuk menyembuhkan hati yang patah perlu ketegasan dalam bersikap. Tak usah lagi meniti harapan. Lagi pula, Rena terlihat begitu mendamba kepada Hiroto.
“Ma… maaf! Aku harus segera pulang,” respon Giant dengan suara bergetar.
“Bagaimana kalau besok? Kamu bisa, kan?” Rena memberikan tawaran waktu yang lain.
Giant memilih melewati Rena. Bukan bermaksud membalas sakit hati atau meruntuhkan senyuman Rena yang telah kembali, Giant hanya ingin menjaga kedamaian batin.
Lepaskan, ikhlaskan, bebaskan! Lepaskan semua tentang Rena. Ikhlaskan luka yang menempel di badan untuk dijadikan pelajaran. Bebaskan jiwa dari rasa yang tak pasti.
Bab 10: Pergi
Melupakan seseorang bukanlah hal yang mudah, terlebih jika masih saling bertemu. Rindu masih mungkin menganga. Namun, perih dan kecewa yang justru akan menyapa.
Sayangnya, Giant tak punya kuasa untuk merentang jarak dengan Rena. Tak mungkin meminta kepada orang tua untuk dipindahkan ke sekolah lain. Sementara, masalah yang tengah diderita merupakan sengsara akibat kebodohan diri sendiri. Mau tak mau, suka tak suka, ini pelajaran baginya supaya piawai menimba cinta.
Giant sadar tak seharusnya menginterpretasi kebaikan Rena sebagai rasa yang spesial. Inilah akibat tidak memiliki teman yang dekat secara psikologis. Jadi, sulit membedakan mana kebaikan yang umum dan yang khusus. Tak ada persepsi yang menimbang dalam sudut lain.
“Takeshi, apa kamu ingin pindah ke sekolah yang baru?” tanya sang ibu sembari mengemas produk yang harus Giant antarkan ke pelanggan.
Giant sangat terkejut mendengar pertanyaannya dari ibunya. Sang ibu seolah bisa membaca kegelisahan yang tengah bersemayam dalam pikiran Giant.
“Ti… ti… tidak, Bu. Aku senang di sini. Di sini nyaman dan tentram.” Giant bersilat lidah.
“Jika tak ada yang mau berteman denganmu, jangan memaksakan kehendak mereka. Fokuslah belajar! Jika ada yang tak menyukainya, jangan membalasnya. Berusahalah untuk lebih sabar! Terkadang orang sengaja memancing amarah untuk mencari kelemahan. Setelah itu, dia akan menggunakannya sebagai senjata untuk menjatuhkan,” nasihat sang ibu dengan suara mendayu haru.
Giant mengangguk. Kata-kata sang ibu sangat menyentuh kalbu. Semarah-marahnya seorang ibu kepada anaknya, ia tak akan tenang ketika melihat sang anak bermuram wajah.
Giant kembangkan senyuman penuh semangat. Ia merasa sangat beruntung memiliki ibu yang penuh kasih: ibu yang senantiasa melapangkan maaf atas segala kesalahan sang anak.
Nyanyian Giant bergemuruh kembali menyapa alam. Roda-roda sepeda berputar seakan mengikuti irama lagu. Walaupun suara sumbang, tak mengenal nada, tetapi yang terpenting kepercayaan diri melambung menghempaskan lara.
Secepat kilat Giant mengantarkan pesanan para pelanggan. Berpindah dari satu rumah ke rumah yang lain. Tak ada rasa lelah apalagi keluhan. Kesibukan justru bisa membuat Rena tersingkir dari ingatannya.
Saat menepi sejenak di taman, Giant mendengar suara yang begitu familiar di telinganya. Suara yang sempat dipendam ke dasar memori.
Giant pun mengendap menghampiri sang sumber suara. Jika memungkinkan, dia akan memberikan salam kepada orang itu.
“Kerja lu bagus. Tapi, bukan ini yang gue pengen. Giantlah yang semestinya kena skorsing.”
“Terus gue harus gimana lagi?”
“Harusnya lu kerjain dia dengan cara halus terlebih dahulu. Buat dia terus ditimpa masalah demi masalah sehingga nanti dia dikeluarkan dari sekolah. Perburuk citranya hingga tak ada sekolah lain yang mau menampungnya. Tak perlu langsung menggunakan kekerasan.”
“Kalau gitu, kenapa nggak lu aja yang ngelakuinnya? Bukankah ayah lu punya kuasa untuk mem-blacklist-nya dari sekolah mana pun?”
“Jika langsung seperti itu nggak akan seru. Lagi pula, lu sedang butuh duit buat biaya pengobatan ibu lu, kan?”
Giant tertegun tak percaya. Suneo dan Hiroto duduk berhadapan sambil berbincang serius tentangnya.
Jelas sudah bahwa Hiroto berada dalam kendali Suneo. Kebencian Hiroto rupanya sebuah pengaturan yang dibuat oleh teman sekelasnya di Tokyo.
Giant padahal sudah meminta maaf kepada Suneo hingga bersimpuh. Akan tetapi, hati Suneo tampaknya masih diselimuti dendam yang tebal.
“Pokoknya, gue mau Giant menjadi sampah. Biar dia merasakan kekuatan yang dia punya tak ada artinya dibanding mental yang hancur. Gue belum puas sebelum mendengar dia hancur—sebagai balasan atas sifatnya yang sok berkuasa,” imbuh Suneo penuh penekanan.
Apa yang harus Giant lakukan sekarang? Muncul ke hadapan Suneo dan Hiroto atau tetap menguping?
Giant mencatat berbagai kemungkinan di kepala seandainya membicarakan masalah ini secara baik-baik. Hanya saja, ia takut malah menjadi bulan-bulanan Suneo.
Suneo menyerahkan tumpukan uang kepada Hiroto. Kemudian, dia pergi bersama ajudannya.
Benar. Kini, ke mana pun pergi, Suneo akan didamping dua orang penjaga. Tak mungkin merangsak mengajak Suneo untuk menyelesaikan permasalahan hingga tak menyisakan ampasnya sedikit pun.
Lantas, apa yang harus Giant lakukan? Sementara, Giant meyakini Suneo akan mengerahkan segala upaya untuk memporak-porandakan hidupnya.
“Siapa itu?” Hiroto menyadari keberadaan Giant.
Giant segera pergi sebelum Hiroto memergoki. Ia tak mau ribut dan mengadu kekuatan lagi dengan Hiroto.
***
Rena berhasil dilupakan secara perlahan dari harapan cinta Giant. Pemicu kebencian Hiroto pun sudah terungkap: Suneo yang menjadi dalangnya. Namun, petaka masih mengintai. Domba-domba akan terus diadukan sampai yang diincar mati.
Giant ceritakan tentang rencana Suneo kepada orang tuanya. Tak ada yang bisa mereka lakukan, selain menyembunyikan Giant sejauh mungkin—lepas dari jangkauan Suneo.
Sang ayah lantas memutuskan untuk mengajak Giant turut berlayar bersamanya. Hanya itu opsi yang tersedia untuk menyelamatkan nasib sang putra.