Masukan nama pengguna
Di antara deru mesin pabrik sepatu yang tak pernah reda, Indra adalah pilar yang tak tergoyahkan. Pilar yang berdiri kokoh tanpa banyak perhatian tertuju padanya. Bau kulit sintetis yang menyengat dan decit sepatu kerja yang saling bergesek menyelimuti ruang produksi, tetapi dia tetap bergerak dalam ritme mekanis: cepat, tepat, tanpa keluh. Ada kekuatan kokoh dalam dirinya, seperti batu karang yang menahan ombak tanpa pernah meminta pujian. Namun, di balik ketangguhannya, ada keheningan yang menusuk, dinding tak kasatmata yang memisahkan dia dari dunia. Indra bukan hanya bekerja. Dia menyangga segalanya, tanpa pernah menunjukkan beban itu terlalu berat.
Dia tak pernah nimbrung saat istirahat, tak ikut tertawa membahas gaji yang cuma naik setitik. Saat rekan lain berkumpul di kantin, menyeruput teh manis dan mengunyah gorengan, Indra memilih sudut sepi di ruang produksi. Bergumul dengan bekalnya yang sederhana. Kadang, dia hanya menatap botol air mineral penyok, seolah itu cukup mengisi perutnya.
Aku masih ingat hari-hari awal bekerja di ruang produksi yang sama dengannya. Aku tersandung mengejar ritme kaku pabrik, sementara Indra sudah seperti bagian dari mesin itu sendiri. Dia pendiam, tak banyak bicara. Ketika ditanya pun, menjawab singkat. Hal tersebut memberiku anggapan bahwa dia sosok yang agak sombong, merasa lebih baik dan senior dibanding yang lain. Akan tetapi, seiring waktu, aku sadar: dia hanya terbiasa menahan diri, terbiasa tak dianggap, dan mungkin terbiasa memikul banyak muatan hidup di kepala.
Aku pernah seperti dia. Di masa sekolah, aku kerap menyendiri di pojok kelas. Kehadiranku bagai angin yang cuma menyapa kulit mereka, meski akua da di hadapan mereka. Rasa takut dan malu membangun tembok antara aku dan dunia. Hingga akhirnya aku belajar bahwa akulah yang mungkin telah menciptakan pembatas itu. Dari pengalaman tersebut, aku memutuskan mendekati Indra, mengetuk dinding diamnya.
“Ndra, nggak ke kantin? Katanya ada warung baru, murah meriah,” ujarku di sela panas siang yang menyengat, keringat menetes di kening.
Dia menoleh, suaranya pelan. “Gue bawa bekal.”
“Ya, makan di sana aja. Bisa santai dan nambah lauk sekalian.” Aku tersenyum, sedikit memaksa, berharap dia mau keluar dari sudut sesaknya.
Indra membuka kotak makannya. Nasi putih polos dan telur dadar yang sedikit hangus. Mataku tertuju padanya, dan entah kenapa, kami tiba-tiba tertawa. Tawa itu ringan, ramah, bagaikan celah kecil yang akhirnya terbuka di antara kami.
Beberapa hari kemudian, saat aku membagi sebotol air dingin yang kubeli dari kantin, Indra menolak dengan senyum. Dia mau menerima setelah kudesak. “Lu keras kepala, Ndra,” candaku. Dia hanya terkekeh, matanya berbinar sejenak.
Kami menjadi dekat dan akrab. Indra mulai terbuka. Dia cerita sebagian kisah hidupnya yang membuatku menarik napas panjang.
“Gue emang kerja buat keluarga gue, biar mereka nggak kekurangan,” jelasnya suatu pagi, tangannya sibuk memutar baut di mesin. “Gue juga pengen adik gue, Yusuf, bisa sekolah tinggi. Lebih tinggi dari gue.”
Haru menyelimuti semangat. Aku kagum dan salut kepadanya. Hanya saja, aku ingin dia tetap sadar bahwa dia juga masih manusia, punya hak terhadap dirinya sendiri.
“Gue paham, Ndra. Tapi setidaknya lu juga harus kasih waktu buat diri sendiri. Lu nggak kepikiran buat nikmatin hidup lu, apa?” ucapku, tak bermaksud memprovakasi atau menggurui.
Dia mengangkat bahu. “Itu bisa nanti.”
“Nanti kapan?”
Dia tertawa kecil. “Kalau udah pensiun, kali.”
Obrolan kami selalu diakhiri dengan riuh ringan, retakan riang yang terkadang hanya dipinjam untuk menutupi sunyi.
***
Tawa selalu jadi tamengnya, tetapi aku tahu ada lelah yang sering kali dia sembunyikan atau sengaja tak dirasa. Dia menjadi tulang punggung keluarga semenjak ayahnya meninggal 10 tahun silam. Dia menanggung hidup ibunya, adiknya, dan kakak perempuannya yang merupakan ibu tunggal dengan dua anak yang masih balita.
Setiap sen yang ingin dia belanjakan untuk diri sendiri dihitung dengan cermat, seperti akuntan yang menimbang hidup dan mati. Dia rela berjalan kaki dua kilometer ke pabrik setiap hari. Dia menolak tawaranku untuk menjemput atau mengantar pulang. “Nggak searah,” katanya selalu. “Lagian, gue udah biasa. Santai aja.”
Aku terus mencoba melunakkan hidupnya, dan itu tidaklah mudah. Hingga suatu sore, di sela deru mesin, aku melihatnya pucat pasi. Keringat dingin membasahi keningnya, tangannya gemetar. Namun, dia tetap bekerja, bahkan hendak mengambil lembur.
“Ndra, istirahat. Ini bukan cuma soal tanggung jawab, ini soal kesehatan lu juga.”
“Gue nggak apa-apa. Cuma masuk angin biasa,” jawabnya, berupaya terlihat kuat.
Aku tak mau dengar alasan. Aku paksa dia pulang, memboncengnya dengan motor ke rumahnya, sebuah rumah kecil di ujung gang sempit. Tak ada sambutan lembut. Ibunya keluar, wajahnya lelah dan cemas. Bukan untuk memeluk atau menanyakan kabar, melainkan bertanya, “Kenapa pulang cepet? Nggak lembur?” Ada secercah kekhawatiran di matanya, tetapi segera tenggelam dalam nada keluh tentang kebutuhan sehari-hari.
Yusuf mengintip dari balik pintu, matanya melirik ponsel di tangannya. “Bang, minggu depan udah bayaran terakhir study tour, loh,” ujarnya, penuh harap, bukan kepedulian.
Indra hanya tersenyum tipis, merosot lemas di kursi bambu yang sudah reyot. Padahal, sikap dan ucapan keluarganya membuat dadaku, sang pendengar, saja sesak.
Sejak saat itu, aku tak lagi bertanya izin untuk menjemputnya ke pabrik atau mengantarnya pulang. Aku ingin dia merasakan sedikit kehangatan, meski aku bukan teman yang sempurna.
***
Pembagian jam kerja beberapa minggu terakhir menjeda kebersamaan kami. Dia di shift malam, aku di pagi. Kami hanya bertemu sekilas saat pergantian jam, mengobrol tak lebih dari sepuluh menit.
Aku membawa oleh-oleh dari ibuku yang menjengukku kemarin. Aku berencana memberikannya pada Indra. Namun, langkahnya masih tak kunjung menyapa penglihatan. Dia tak muncul di loker. Aku menunggu, jantungku dipenuhi getar aneh, seperti tali yang ditarik perlahan hingga nyaris putus. Bayang wajahnya kemarin terngiang, seakan menyimpan kata-kata yang tak pernah terucap.
Aku merogoh ponsel, ingin menghubunginya, lalu teringat: dia menjual ponselnya minggu lalu untuk tambahan membelikan Yusuf ponsel tipe terbaru. Aku sempat kesal kala itu. “Cukup beliin yang biasa aja, Ndra. Yang penting kan fungsinya, bukan gengsinya,” saranku, tanpa bermaksud menginterupsi ketulusannya. Dan dia, seperti biasa, cuma menarik dua garis bibir di balik batuk yang terasa tidak biasa, berat dan menghimpit. “Nggak apa-apa. Nanti Tuhan kasih lagi buat gue.”
Lalu, dia memandangiku dengan wajah sayu nan letih. “Makasih udah nemenin gue selama ini. Sayangnya, kita jadi jarang ketemu karena beda shift,” ucapnya dengan suara pelan, hampir tenggelam oleh deru mesin.
Aku menepuk bahunya. “Ya elah, Ndra. Besok kan kita ketemu lagi. Setiap hari masih bisa ketemu.”
Ke mana Indra? Apakah dia benar-benar sakit? Sore nanti aku akan ke rumahnya untuk memastikan keadaannya.
Saat aku melangkah ke ruang produksi, seorang perempuan mendekat, wajahnya sendu, matanya merah. Aku tahu dia tetangga Indra.
“Aku cari kamu dari tadi,” katanya, parau. “Indra... meninggal. Subuh tadi.”
Waktu seolah membeku. Dunia hening. Kakiku lemas, dan aku terduduk, dadaku menyempit oleh gelombang kesedihan yang tak bisa kunamakan. Aku lekas izin ke supervisor untuk tak masuk kerja, lalu bergegas ke rumah Indra, berharap ini cuma mimpi.
Rumah kecil itu ramai oleh tangis. Namun, di tengah isak yang menderu, ada sesuatu yang merobek hatiku. Ibunya meratap, tangannya menutup wajah, tetapi kata-katanya bukan tentang Indra sebagai anak, melainkan tentang apa yang hilang bersamanya.
“Kenapa kamu pergi secepat ini, Ndra? Siapa yang bakal biayain kita sekarang?” Ada cinta yang melambung, tetapi terkubur di bawah beban kebutuhan—tagihan, makanan, kehidupan yang terus menuntut.
Yusuf memegang ponsel baru yang dibelikan Indra, mengguncang tubuh kakaknya dengan wajah penuh kepanikan.
“Bang, sekolah gue entar gimana? Katanya lu mau kuliahin gue.” Matanya berkaca-kaca, tetapi bukan untuk Indra. Bukan untuk kakak yang telah menyerahkan segalanya, melainkan untuk mimpi-mimpi kecilnya yang terancam.
Sementara itu, kakak Indra, dia tak banyak berbicara, hanya menangis sambil mendekap dua putra kecilnya. Sesekali dia merintih, pedih dan tampak bingung. Mungkin, dia merasa buntu tanpa bantuan sang adik di hari-hari setelah ini.
Aku berdiri di sisi jenazah Indra, menatap parasnya yang kini damai, tak lagi pucat atau terburu-buru. Seperti akhirnya dia diizinkan tidur setelah sekian lama terjaga. Sayangnya, di balik ketenangannya, aku melihat jejak pengorbanan yang tak pernah mereka hargai. Ibunya, dengan tangan gemetar, berbisik pada sulung dan Yusuf tentang bagaimana mereka akan bertahan, seolah Indra hanyalah roda yang berhenti berputar.
Yusuf, kemudian, sibuk menatap layar ponselnya. Tak sekali pun memandang wajah kakaknya dengan kasih, hanya mengeluh tentang apa yang tak akan lagi dia dapatkan. Aku mengepalkan tangan, amarah dan kesedihan bercampur dalam dadaku. Indra telah menyangga dunia mereka hingga punggungnya patah, tetapi di penghujung lembaran hidupnya, mereka hanya melihat kekosongan yang dia tinggalkan. Bukan kehilangan sosok yang paling berjasa, melainkan apa yang dia berikan. Dan itu, entah kenapa, terasa lebih kejam daripada kematiannya sendiri.
***
Saat ini, setiap kali melewati sudut tempat Indra biasa duduk, ruang produksi terasa hampa, seperti kehilangan denyut yang tak pernah kusadari sebelumnya. Bukan hanya satu orang yang pergi, tetapi sebuah dunia kecil yang menopang begitu asa tanpa pernah meminta apa pun. Indra bukan figur yang akan dikenang dunia, namanya tak akan terukir di mana pun, tak akan jadi tajuk berita. Namun, bagi orang-orang seperti aku, yang pernah melihatnya berjuang dalam sunyi, dia adalah pribadi luar biasa—lebih dari cukup.
Aku masih membayangkan dia di sana, dengan botol air penyok dan tawa kecil yang jadi tamengnya. Aku bertanya-tanya apa yang dia pikirkan di detik-detik terakhirnya. Apakah dia lega, akhirnya bisa berhenti berlari? Atau masih khawatir, memikirkan keluarga yang ditinggalkannya? Aku tak akan pernah tahu.
Mesikpun begitu, Indra telah mengajarkanku sesuatu yang tak pernah dia ucapkan. Dia cerminan kekuatan sejati yang sering tersembunyi dalam diam, dalam langkah kaki yang tak berhenti walau lutut gemetar, dan punggung patah karena menanggung beban lebih dari yang bisa dimuat olehnya.
Oleh-oleh dari ibuku masih teronggok di loker, tak pernah sempat kuberikan. Setiap kali melihatnya, aku seperti mendengar suara Indra. Suara lirih, tetapi dengan artikulasi yang jelas. “Santai aja.”
Aku tersenyum pahit, lalu berjalan kembali ke mesin, membawa kenangan-kenangan haru yang dia tinggalkan. Kadang, yang paling kuat adalah yang paling tak terlihat, yang memikul dunia hingga patah, dan tetap tidak mengeluh dalam kepergiannya yang hening.