Masukan nama pengguna
Aku bosan. Benar-benar bosan. Setiap hari, tanpa henti, aku merasa harus membuktikan sesuatu yang seharusnya sudah jelas. Perasaan ini, cintaku, keberadaanku di sisinya—apakah semua itu masih perlu diuji setiap detik?
“Mengapa kamu menanyakan hal yang sama lagi?” Aku menatapnya. Suaraku lembut, tetapi penuh kelelahan. Ia hanya menunduk. Wajahnya tersapu bayangan rasa bersalah dan ragu.
Aku menarik napas panjang. Sungguh, aku ingin bersabar. Hanya saja, sabar kadang berjalan melampaui batas yang kutetapkan.
“Kamu selalu bilang aku berbeda, seolah aku harus menegaskan cinta ini setiap saat. Haruskah kata ‘cinta’ aku bisikkan setiap pagi, kukumandangkan kala siang, dan kudendangkan di waktu malam sampai kamu bawa bersama mimpi?” sambungku, tak bermaksud mencecar balik.
Ia diam, dan aku bisa melihat siluet pertanyaan itu masih terpantul di matanya. Aku melangkah lebih dekat, lalu memeluknya erat. Dalam pelukan yang bertaut, aku berharap ia merasakan getaran yang lebih kuat dari kata-kata: bahwa aku di sini, bahwa aku selalu di sisinya.
“Aku takut kehilanganmu. Belakangan ini sikapnya tak seperti dulu lagi,” ucapnya, sendu.
Aku tidak tahu di mana letak kehilangannya. Sikapku sama. Rasaku tak berubah.
Entah. Menurutku, ketakutannya berlebihan. Atau mungkin ada yang tengah ia sembunyikan.
“Apakah setiap hari kita bertemu masih kurang cukup?” tanyaku, memintanya mengukur kehadiranku. “Aku ada, selalu. Tapi selalu saja menjadi masalah ketika aku terlambat membalas pesanmu, ketika aku tidak mengangkat teleponmu, ketika aku tidak bisa menemanimu.”
Air mata mendesak keluar. Bukan karena sedih, melainkan karena lelah. Lelah dengan kegamangan yang terus menempel pada hubungan kami.
Aku melepaskan pelukan sebentar untuk menatap wajahnya. “Aku tidak meminta kamu mengerti aku sepenuhnya, tapi aku ingin kamu mengerti bahwa orang yang kamu cintai ini juga punya dunianya sendiri. Dunia yang menghubungkan pada banyak cinta. Ada keluarga, sahabat, pekerjaan. Dunia yang tidak seharusnya kamu cemburui penuh rasa curiga.”
Matanya mulai lembut. Bibirnya mulai mengembang. Aku menariknya lebih dekat lagi, dan tangannya menyalurkan kehangatan ke tanganku. Tidak ada kata yang terucap. Hanya saling mengerti melalui jalinan kasih yang telah terangkai lebih dari sewindu.
“Jadi kamu tidak akan pergi, kan? Aku tahu ini sulit, tapi aku mau kita menemukan caranya segera,” tuturnya, tersenyum sayu.
Aku menarik napas, mencoba menenangkan jiwa yang tercambuk. Ujungnya, tetap berputar di pertanyaan awal. Padahal, kukira jawabanku telah cukup membasuh dahaganya.
Kuanggukan kepala, lalu kubenamkan wajahnya di dadaku. Kubelai rambutnya sepenuh hati. Hubungan ini rumit, tetapi cinta yang benar selalu membutuhkan kesabaran dan pengertian, bukan kesangsian.
***
Beberapa minggu kemudian, ketegangan kembali muncul ketika ia menyinggung arah hubungan secara lebih spesifik, menanyakan tentang menikah, hidup bersama. Aku merasakan tekanan yang berbeda kali ini. Lebih personal, lebih menuntut.
“Aku ingin kepastian,” ucapnya, menatapku dengan serius. Wajahnya menegaskan kata-kata biasa tidak akan cukup. “Tentukan ke mana tujuan akhir hubungan ini. Aku tidak bisa terus hidup dalam ketidakpastian. Aku tahu ada penghalang besar yang menjegal hubungan ini. Tapi mau sampai kapan kita membiarkannya menjulang? Aku tidak meminta kamu menghancurkannya, aku hanya ingin tahu apa yang kamu lihat di depan sana.”
Sesak menyedak ke dalam batin. Aku mencintainya, tetapi jawabanku tidak sesederhana itu. Aku takut salah melangkah. Takut keputusan yang terlalu cepat akan merusak dirinya dan juga diriku.
Aku menatapnya balik, menelan ludah, mencoba menemukan kata-kata yang tepat. “Aku mencintaimu. Aku ingin bersama denganmu. Tapi aku belum siap menjawab kapan dan bagaimana semuanya akan menjadi satu. Aku perlu waktu. Dan aku berharap kita bisa menunggu bersama.” Suaraku bergetar. Tubuhku sedikit gemetar.
Ia menjatuhkan pandangan ke tanah, menahan air mata. Tidak ada kata marah, hanya kegelisahan dan kesedihan yang lembut. Ia mengusap jari-jari tanganku, seolah ingin memastikan aku masih di sini. “Aku tak bisa lagi menunggu,” katanya pelan, “aku sedang dikejar. Aku ingin lari bersamamu, tapi aku sadar bahwa kita tidak bisa lari dari perbedaan.”
Udara hambar membekap. Kami masih duduk di kafe, saling memandang. Sore bergeser ke malam. Lampu-lampu meredup, dan pelayan sudah mulai menghapus noda kopi di meja-meja kosong. Tinggal segelintir orang yang bertahan—seorang mahasiswa di pojok dengan laptopnya, pasangan muda yang saling berbisik, dan kami, yang diam terlalu lama di tengah ruang yang semakin sunyi.
Tangannya sibuk mengaduk teh yang sudah dingin. Gerakannya berulang, mengias kebisuanku. Aku tersudut. Bingung. Kian merasa payah dan bersalah.
“Kadang aku berpikir…” suaranya pecah dan parau, “mungkin kita ini hanya saling singgah. Kamu datang untuk menunjukkan padaku apa itu keberanian mencinta, dan aku datang untuk mengingatkanmu bagaimana rasanya takut kehilangan. Ya, mungkin kisahnya hanya sebatas itu. Kita saja yang dari awal terlalu jumawa, terlalu yakin akan menemukan titik temu tentang hubungan ini.”
Aku ingin langsung menolak kalimat itu, tetapi lidahku benar-benar kelu. Aku hanya bisa meraih tangannya untuk menjeda ketakutannya.
“Tolong… jangan berkata seolah ini sudah selesai,” ucapku lirih.
Ia melepaskan genggaman tanganku dengan halus. “Kalau terus seperti ini, kita hanya menunda luka. Aku mencintaimu, tapi aku tidak ingin bangun setiap hari dengan rasa takut. Takut keluarga menolak, takut waktu habis, takut akhirnya kita sendiri yang menyerah.”
Hening merayap, memayungi patah yang tak bersuara. Rinai hujan mengetuk kaca jendela.
Aku lihat ada yang menggenang di matanya. “Jadi menurutmu…” aku menahan napas sesaat, “ini akhirnya?”
Ia menoleh ke sisi luar. Mungkin berupaya meredam perih yang mencengkeram batinnya.
“Aku ingin kita bisa. Tapi aku lebih ingin kita saling mengingat dengan utuh, bukan dengan benci.” Ia tersenyum pahit. Sorot matanya tak lagi meminta penjelasan.
Tidak ada kata lagi yang terucap. Hanya genggaman yang akhirnya terlepas oleh waktu.
Ia tidak mau kuantar pulang. Langkahku berat mengayun, seperti berjalan dengan jangkar melingkar di kaki.
Setiba di rumah, kekosongan menyambutku. Cahaya televisi memantul di ruang tamu sebagai hiasan. Ayah duduk bersandar, Ibu datang dari dapur membawa teh hangat. Mereka menoleh hampir bersamaan.
“Kamu dari mana?” tanya ibu, tenang. Namun, matanya menelusup.
“Bertemu Mei,” jawabku singkat.
Ayah menurunkan volume televisi. “Sudah waktunya kamu serius. Jangan terlalu lama memaksakan jalan yang tidak searah,” ucapnya, rendah nan tegas. “Dan kamu sudah paham kan maksud kami?!”
Ibu menambahkan. Lembut, tetapi menusuk, “Ada banyak perempuan baik yang bisa melengkapi hidupmu. Tanpa kamu harus pusing dengan perbedaan yang tak akan bisa disatukan. Buka hati untuk yang lain. Kami tahu kamu berhak sepenuhnya atas jalan hidupmu, atas bahagiamu sendiri. Tapi sebagai orang tua, sudah kewajiban kami mengingatkanmu.”
Aku mematung. Kemudian, aku menggangguk kecil, dan masuk ke kamar.
Gelap membelaiku dengan satir. Aku rebah di kasur, membiarkan tubuh tenggelam dalam lelah. Mungkin di sana, ia juga mengalami desakan yang sama.
Ponsel di saku bergetar. Perasaan aneh menyerang, entah dari mana. Ia seperti firasat yang datang tanpa salam.
Sebuah pesan darinya menjuntai di layar:
“Aku sudah sampai di titik di mana mempertahankanmu terasa lebih menyakitkan daripada melepaskan. Aku tidak ingin cinta ini berubah jadi beban yang saling kita pikul tanpa arah. Kalau memang semesta masih menyimpan kita dalam satu takdir, mungkin kita akan bertemu lagi—di waktu yang tak perlu saling melawan. Sampai saat itu, aku hanya ingin kamu hidup dengan tenang, tanpa aku yang terus membuatmu ragu.”
Aku membaca berulang-ulang, sampai huruf-hurufnya kabur oleh air mata. Tidak ada teriakan. Tidak ada amarah. Hanya senyap menggigil yang melubangi sanubari.
Kudekap ponselku seakan ia masih ada di dalamnya. Hujan turun deras, petir menggelegar. Langit tampaknya ikut menyimpan pilu yang tak terucapkan. Karena ada cinta yang bertahan dengan keberanian, dan ada cinta yang hanya bisa hidup dengan kerelaan.
Tidak ada kata yang bisa kubalas. Hanya sebaris doa yang mengendap di dada: semoga cinta ini tidak menjadi luka yang saling kami warisi. Jika memang harus berakhir, biarlah ia pergi tanpa dendam, tanpa harapan yang terus menunggu pintu yang tak pernah terbuka. Karena mungkin, cinta kami bukan kurang kuat—hanya saja, lahir di dua langit yang tak saling bersentuhan.