Masukan nama pengguna
Mande Rumbayah duduk termenung di bibir pantai. Pandangannya tak bergeser dari batu yang menyungkum tanah. Ombak datang dan pergi, seperti napas panjang yang tak habis-habis. Batu itu tetap diam, tetapi seolah menanggung sesuatu yang berat: luka, sesal, dan cinta yang tak sempat dikatakan hingga akhir.
Sesekali, Mande menyeka sudut matanya. Batin berkecamuk, pikirannya tak berhenti mengaduk. Sejak hari itu, hidupnya dipeluk sepi dan nelangsa. Sunyi tak lagi mengajarkan tenang, melainkan menggurat luka yang tak bisa dijahit oleh masa.
Seandainya bisa kembali ke masa lalu, Mande ingin menarik semua kata yang pernah dilaungkan ke langit. Amarahnya, yang meledak di hadapan orang banyak, telah menjelma menjadi kutukan yang tak bisa diurungkan. Ia meluncur ibarat doa yang meracau, salah arah, mencipta luka seumur hidup.
Padahal, andai hatinya lebih lapang sehari saja. Andai sabarnya bisa lebih kokoh setegar karang. Mungkin, mungkin saja, masih ada yang bisa diselamatkan.
Memang, Malin telah durhaka. Ia lupa asal raganya, lupa di mana jiwanya pertama kali bertumbuh Ia silau pada harta. Di hadapan seluruh penduduk desa, ia melontarkan umpatan yang tajam kepada ibunya sendiri. Lidah Malin seakan tak mengenal lagi suara perempuan tua yang pernah menyuapinya dengan tangan bergetar.
Namun, hati seorang ibu bagai samudra. Ia mengandung, melahirkan, dan membesarkan penuh cinta. Gelombang dan palung adalah bagian dari jalan kehidupan yang tak selalu sesuai harapan. Silap dan khilaf bisa jadi pernah ada dalam asuhan, tetapi kasihnya tak pernah mengenal ujung. Bahkan ketika luka dibalas dengan pengingkaran, ia hanya bisa menyimpan rindu yang membisu.
Mande tampak tak bergeser sedikit pun di atas tikar pandan yang telah usang. Angin laut meniup selendangnya tuanya. Ia memejamkan mata, mencoba menangkap bisik yang mungkin adalah sapa dari masa lalu. Dalam keheningan, ombak tak hanya melantunkan nyanyian alam, tetapi juga menggugah kenangan yang tak pernah selesai.
Dari balik kelopak mata tertutup, waktu membuka satu pintu kecil. Kenangan itu masuk perlahan—melewati angin, melewati debur, lalu bersuara lembut dari kejauhan.
“Mak, nanti kalau Malin sudah besar, Malin mau bangun rumah yang luas. Ada jendela besarnya supaya Mak bisa lihat laut. Dapurnya pun bersih dan wangi setiap pagi. Terus ada juga kamar khusus untuk Mak berdoa.”
Itu suara Malin kecil—bocah yang rajin menimba air, mengikat kayu bakar, dan belajar mengeja huruf dengan mata bersinar. Ia pernah menabung diam-diam, bukan untuk membeli mainan, melainkan untuk membeli cangkir kecil agar Mande tak lagi minum dari batok retak.
Mande sempat tersenyum kala itu. Dalam hati, ia tahu anaknya tumbuh dengan kasih yang tulus, menggantikan peran ayah yang telah tiada, dan rela menyisihkan bahagiannya sendiri demi sang ibu.
Malin punya cita-cita yang luhur. Impiannya bening layaknya telaga yang belum tersentuh tangan manusia. Tuturnya lembut, sopan santun menjadi tabiat, bukan sekadar ajaran. Para tetangga sering memujinya, menyelipkan namanya dalam doa-doa baik. Mereka percaya, Malin akan tumbuh menjadi pribadi besar, mungkin seorang pemimpin atau setidaknya lelaki yang tahu caranya mencintai tanpa menyakiti.
Akan tetapi, dunia perlahan berubah—dan entah sejak kapan, Malin yang hangat itu mulai menghilang. Perubahan itu merambat bak air pasang yang datang tanpa tanda. Harta dan kuasa menggantikan kepalanya yang dulu sering bersandar di pangkuan Mande, menghapus jejak tawa kecil dan peluk yang pernah begitu lekat.
Segalanya terasa bagaikan bayang-bayang senja di pelupuk mata. Dalam hatinya yang mulai rapuh, Mande kerap bertanya, meski tak pernah disuarakan: mungkinkah ada celah dalam asuhannya yang membuat Malin berpaling? Adakah luka yang tak pernah tampak yang membuat anak kebanggaannya bisa lupa pada akar?
Mande mencoba menelusuri ulang semua cinta yang telah ia curahkan, semua doa yang ia tadahkan kepada Sang Mahakuasa. Namun, semua tanya itu berhenti di dada, tanpa titik temu. Hanya sunyi yang tersisa dalam bait-bait hari, menggulung sesal dari ubun-ubun hingga telapak kaki.
Di kejauhan, seorang perempuan berjalan gamang di antara jejak-jejak pasir yang belum sepenuhnya terhapus air malam.
Siti Hasnah.
Langkahnya tak tergesa, menyusuri pantai yang sunyi. Kainnya menyentuh buih laut, tetapi ia tak memedulikan. Di tangannya tergenggam bungkusan nasi dingin, dibalut daun pisang yang agak layu. Wajahnya menunduk, menyimpan sungkan dan segan. Ia berharap kehadirannya tidak akan menjadi pengganggu.
Ia menjaga jarak beberapa tapak dari Mande Rumbayah. Ia berdiri lama, tak tahu harus memanggil atau cukup memperhatikan. Ketika dilihatnya tubuh Mande membungkuk menahan tangis, ia ikut duduk. Tanpa sapaan. Tanpa suara. Hanya debur ombak yang berbicara di antara mereka.
Tangan Hasnah bergerak halus, menyentuh pundak Mande.
Lembut. Pundak itu pun bergetar.
Hasnah tak mengatakan apa pun. Ia hanya menemani. Diam, tetapi diam yang seperti memeluk.
Udara berhembus segar, membelai pagi menuju terik. Hasnah menatap batu Malin. Matanya basah oleh haru di pelupuk dan oleh sesuatu yang lebih dalam di lubuk kalbu.
Kenangan menyeruak, tak diminta. Suara debur ombak laksana membuka kembali pintu-pintu waktu yang telah lama terkunci.
Dulu, Malin adalah anak yang selalu paling awal datang ke surau, paling cepat hafal surah-surah panjang, paling berani naik ke mimbar kecil dan melantangkan azan.
Saat Hasnah datang, Malin kerap menunggu di serambi, tersenyum lebar sambil membuka lembar Al-Qur’an. Ia sabar membantu Hasnah mengulang ayat-ayat yang belum lancar, membenarkan tajwid yang keliru, dan sesekali menirukan nada ustaz mengaji agar terdengar lebih mudah.
Malin memperhatikan lebih banyak dari yang ia tunjukkan. Ia tahu kapan Hasnah butuh dibantu, dan kapan cukup diusili agar semangatnya kembali.
“Kalau kamu menguap lagi, aku cubit,” ujar Malin sambil terkekeh, lalu benar-benar mencubit lengan Hasnah dengan gemas.
Hasnah ikut tertawa, setengah sebal, tetapi tahu itu bentuk kasih seorang teman.
Malin juga suka mengajak berlomba: hafalan surat pendek, membaca cepat, bahkan sekadar menyusun kata dari potongan huruf yang mereka tulis di tanah. Apa pun yang berhubungan dengan belajar, baginya selalu menyenangkan.
Saat Hasnah tertinggal dalam pelajaran sekolah, Malin sabar mengajari. Kadang mengulang, kadang Hasnah pura-pura paham—mengarang cerita karena tak sanggup meladeni kesabaran Malin yang nyaris tanpa batas.
Tak pernah sedikit pun terlintas dalam benak Hasnah bahwa kawan kecilnya itu kelak akan membatu oleh kutukan. Teman yang penuh ketulusan, harapan, dan cahaya.
Namun, dunia, pikir Hasnah, bisa sangat jahat pada jiwa yang bersinar. Ia menggoda dengan kilau yang tampak suci, padahal di dalamnya penuh lumpur.
Malin, dengan semua kebaikannya dahulu, tenggelam dalam candu semu kemewahan. Ia lupa segalanya, dan tak seorang pun mampu menariknya dari pusaran itu. Tinggallah batu ini, dan seorang ibu yang patah hatinya.
Air mata Hasnah jatuh. Ia usap cepat, seolah malu pada angin. Akan tetapi, ia tak berpaling.
“Andai saja hari itu tak ada…” bisiknya, memohon pada ombak agar menjawab, pada angin agar menghapus luka, dan pada laut agar memutar waktu—meski ia tahu, alam tak diberi kuasa untuk mengulang yang telah lewat.
Dalam relung terdalam diri Hasnah, tersimpan penyesalan karena merasa tak pernah cukup dekat untuk mengingatkan sang teman. Memang, ia sedang—dan masih—berusaha menerima, bahwa bahkan bintang pun bisa jatuh, dan manusia hanya bisa mengenang cahaya yang pernah ada.
Mande menoleh ke arah Hasnah. Hasnah tersenyum, menyodorkan makanan yang ia bawa, lalu dengan hati-hati merapikan kerudung Mande yang tertiup angin laut. Mereka saling menyentuh luka tanpa kata, hanya dengan kehadiran yang utuh.
***
Seminggu kemudian, Hasnah tersentak mendengar kabar duka: Mande Rumbayah telah berpulang.
Tak ada suara yang keluar dari mulutnya; tubuhnya diam, diguncang keheningan. Jantungnya berdegup seperti tabuhan genderang duka. Ia mengira masih ada waktu untuk sekadar menyapa, atau menemani Mande duduk sekali lagi di tikar pandan yang menghadap laut itu.
Hasnah turut mengiringi pemakaman Mande. Hujan tipis turun dari langit kelabu, seakan awan ikut menangisi kepergian seorang ibu yang hatinya terlalu dalam untuk diukur.
Doa-doa lirih dipanjatkan, menyatu dengan aroma tanah basah dan bunga-bunga kering. Hasnah berdiri terpaku di dekat pusara. Pandangannya menembus hujan, menatap tanah yang kini menjadi rumah terakhir Mande.
Setelah semua kembali ke rumah masing-masing, Hasnah berjalan ke arah pantai. Langkahnya lambat. Dedaunan berguguran. Angin bertiup dingin, menampar pipi dan menyesakkan dada. Di tangannya, kendi kecil berisi air bunga digenggam erat, takut tumpah sebelum waktunya.
Ia tiba di tempat itu, batu yang menyungkum pasrah ke arah samudra. Di sisinya, tikar pandan yang telah mulai rapuh masih terbentang, walau telah digerus angin, hujan, dan waktu. Tepian yang selama ini tak pernah kosong, mendadak sunyi umpama senja yang kehilangan bayang tubuh yang biasa duduk memandang jauh.
Hasnah berlutut. Tangannya gemetar saat ia membuka tutup kendi. Ia taburkan air bunga perlahan ke atas batu Malin. Wangi kenanga, melati, dan mawar menyatu dengan aroma garam dan pasir.
Setelah itu, ia duduk. Ia usap batu itu sembari menekuri kehadiran yang pernah mengisi hari-harinya, menyentuh memori yang tak bisa disentuh kembali.
"Malin… Mande sudah pergi. Tapi ia tak pernah pergi darimu," lirihnya, suaranya pecah tertelan angin.
Air matanya tumpah. Isaknya menggigil.
Dalam tangisnya, Hasnah juga mengenang bagaimana setiap hari Mande menghabiskan waktu memandangi Malin. Bersila, melantunkan doa, dan mungkin—di antara gumamnya—terselip kata maaf yang sangat dalam.
Mande adalah tubuh yang disangga kesetiaan. Hatinya ibarat akar yang tak bisa dicabut dari tanah kasih sayang, meski pohonnya telah patah. Ia menunggu bukan karena mengais keajaiban, melainkan karena ia tak tahu caranya berhenti mencintai.
Hasnah mengerti. Cinta seorang ibu tak hanya soal melahirkan dan membesarkan, tetapi juga menjaga dalam segala kondisi, mengampuni tanpa syarat, dan mencintai tanpa akhir. Amarah yang melaung dan mengutuk lahir bukan dari benci, melainkan dari cinta yang terlalu dalam, terlalu diam, dan terlalu sakit untuk tetap lembut—cinta yang retak oleh kecewa.
Hari ini, cinta itu telah berpulang, tetapi tidak hilang. Ia hanya pindah tempat. Ia hanya mengganti bentuk.
Hasnah mendekap pandangannya ke laut. Matanya merah. Tangannya menempa alunan syahdu yang sayu dan membiru.
Ia bangkit perlahan, menyeka wajahnya dengan ujung lengan bajunya.
Sebelum pergi, ia menoleh sekali lagi ke arah batu Malin.
"Mande sangat menyayangimu, Malin," ujarnya, pilu.
Hasnah melangkah dalam senyap. Ombak terus mengadu pada pantai, sementara batu itu menyimpan sunyi. Tak lagi didampingi tubuh renta yang berjaga.
Hanya tersisa kenangan yang menetap, dan cinta yang tak pernah lenyap.