Cerpen
Disukai
0
Dilihat
1,565
Setelah Malin Menjadi Batu: Doa Uni Salamah
Slice of Life

Mande Rumbayah duduk termenung di bibir pantai. Pandangannya tak bergeser dari batu yang menyungkum tanah. Ombak datang dan pergi, seperti napas panjang yang tak habis-habis. Batu itu tetap diam, tetapi seolah menanggung sesuatu yang berat: luka, sesal, dan cinta yang tak sempat dikatakan hingga akhir.

Sesekali, Mande menyeka sudut matanya. Batin berkecamuk, pikirannya tak berhenti mengaduk. Sejak hari itu, hidupnya dipeluk sepi dan nelangsa. Sunyi tak lagi mengajarkan tenang, melainkan menggurat luka yang tak bisa dijahit oleh masa.

Seandainya bisa kembali ke masa lalu, Mande ingin menarik semua kata yang pernah dilaungkan ke langit. Amarahnya, yang meledak di hadapan orang banyak, telah menjelma menjadi kutukan yang tak bisa diurungkan. Ia meluncur ibarat doa yang meracau, salah arah, mencipta luka seumur hidup.

Padahal, andai hatinya lebih lapang sehari saja. Andai sabarnya bisa lebih kokoh setegar karang. Mungkin, mungkin saja, masih ada yang bisa diselamatkan.

Memang, Malin telah durhaka. Ia lupa asal raganya, lupa di mana jiwanya pertama kali bertumbuh Ia silau pada harta. Di hadapan seluruh penduduk desa, ia melontarkan umpatan yang tajam kepada ibunya sendiri. Lidah Malin seakan tak mengenal lagi suara perempuan tua yang pernah menyuapinya dengan tangan bergetar.

Namun, hati seorang ibu bagai samudra. Ia mengandung, melahirkan, dan membesarkan penuh cinta. Gelombang dan palung adalah bagian dari jalan kehidupan yang tak selalu sesuai harapan. Silap dan khilaf bisa jadi pernah ada dalam asuhan, tetapi kasihnya tak pernah mengenal ujung. Bahkan ketika luka dibalas dengan pengingkaran, ia hanya bisa menyimpan rindu yang membisu.

Mande tampak tak bergeser sedikit pun di atas tikar pandan yang telah usang. Angin laut meniup selendangnya tuanya. Ia memejamkan mata, mencoba menangkap bisik yang mungkin adalah sapa dari masa lalu. Dalam keheningan, ombak tak hanya melantunkan nyanyian alam, tetapi juga menggugah kenangan yang tak pernah selesai.

Dari balik kelopak mata tertutup, waktu membuka satu pintu kecil. Kenangan itu masuk perlahan—melewati angin, melewati debur, lalu bersuara lembut dari kejauhan.

“Mak, nanti kalau Malin sudah besar, Malin mau bangun rumah yang luas. Ada jendela besarnya supaya Mak bisa lihat laut. Dapurnya pun bersih dan wangi setiap pagi. Terus ada juga kamar khusus untuk Mak berdoa.”

Itu suara Malin kecil—bocah yang rajin menimba air, mengikat kayu bakar, dan belajar mengeja huruf dengan mata bersinar. Ia pernah menabung diam-diam, bukan untuk membeli mainan, melainkan untuk membeli cangkir kecil agar Mande tak lagi minum dari batok retak.

Mande sempat tersenyum kala itu. Dalam hati, ia tahu anaknya tumbuh dengan kasih yang tulus, menggantikan peran ayah yang telah tiada, dan rela menyisihkan bahagiannya sendiri demi sang ibu.

Malin punya cita-cita yang luhur. Impiannya bening layaknya telaga yang belum tersentuh tangan manusia. Tuturnya lembut, sopan santun menjadi tabiat, bukan sekadar ajaran. Para tetangga sering memujinya, menyelipkan namanya dalam doa-doa baik. Mereka percaya, Malin akan tumbuh menjadi pribadi besar, mungkin seorang pemimpin atau setidaknya lelaki yang tahu caranya mencintai tanpa menyakiti.

Akan tetapi, dunia perlahan berubah—dan entah sejak kapan, Malin yang hangat itu mulai menghilang. Perubahan itu merambat bak air pasang yang datang tanpa tanda. Harta dan kuasa menggantikan kepalanya yang dulu sering bersandar di pangkuan Mande, menghapus jejak tawa kecil dan peluk yang pernah begitu lekat.

Segalanya terasa bagaikan bayang-bayang senja di pelupuk mata. Dalam hatinya yang mulai rapuh, Mande kerap bertanya, meski tak pernah disuarakan: mungkinkah ada celah dalam asuhannya yang membuat Malin berpaling? Adakah luka yang tak pernah tampak yang membuat anak kebanggaannya bisa lupa pada akar?

Mande mencoba menelusuri ulang semua cinta yang telah ia curahkan, semua doa yang ia tadahkan kepada Sang Mahakuasa. Namun, semua tanya itu berhenti di dada, tanpa titik temu. Hanya sunyi yang tersisa dalam bait-bait hari, menggulung sesal dari ubun-ubun hingga telapak kaki.

Langkah pelan mendekat dari arah jalan tanah. Seorang perempuan paruh baya berjalan perlahan menyusuri garis pantai. Matanya menyapu sosok yang membeku di atas tikar pandan. Ia mendekat sisi Mande, tanpa membawa apa pun selain dekap yang lembut nan tulus. Juga, tak lelah menjemput, tak letih menunggu.

Tanpa banyak kata, Uni Salamah meraih lengan Mande dengan lembut. Tangannya hangat dan tegas, seolah berkata bahwa dunia belum sepenuhnya hilang. Ia selalu merayu Mande untuk pulang sejenak, melelapkan badan dalam malam, sebelum pagi esok kembali membawanya ke tepi yang sama.

Uni membersihkan tikar dari pasir-pasir, lalu membetulkan letak selendang Mande yang tertiup angin. Tak banyak kata di antara mereka, tetapi keheningan itu telah menjadi bahasa yang cukup.

Pilu menggores batin Uni Salamah setiap kali ia menatap wajah Mande yang redup oleh duka. Ia tak pernah menghakimi, sebab ia sendiri tak yakin akan sanggup lebih kuat, lebih tegar, bila kehilangan yang sama menimpanya: kehilangan sosok, sekaligus harapan yang membatu. Ia hanya mampu berdoa dalam lirih, semoga hati Mande tidak seluruhnya karam.

***

Uni Salamah bukan sekadar tetangga. Ia adik dari almarhum ayah Malin, bibi yang sejak dulu ikut mengawasi Malin dari jauh. Ia tahu betul anak itu: caranya tertawa, rajinnya membantu, dan besarnya harapan yang dulu sering ia ucapkan tanpa ragu. Ketika Mande tak sanggup bercerita lagi, Uni tetap mengingat semuanya. Bagi Uni, Malin bukan sekadar nama yang tinggal di batu—ia bagian dari masa kecil, dari keluarga, dari kehilangan yang tak mudah diberi nama.

Terlalu banyak luka yang dipendam Mande, hingga tubuhnya sedikit demi sedikit ikut menyerah. Beberapa kali, ia jatuh sakit. Tenaganya terkikis, ayunan kakinya limbung, tetapi ia masih bersikeras ingin duduk di tikar pandan, menatap laut, menghadap batu Malin.

Suatu sore, ketika angin bertiup dingin dan napas Mande terdengar makin berat, Uni akhirnya berkata, dengan suara serupa bisikan: “Cukuplah, Mande… mungkin Malin pun sudah lama menangis… dan kini ingin ibunya tenang. Mungkin ini saatnya melepas… dan ikhlas.”

Mande tidak menjawab. Ia hanya memejamkan mata. Satu bulir air bening turun dari sudutnya, jatuh ke tikar yang sudah lama menyimpan rindu.

Hari-hari setelah itu tetap berjalan. Warga kampung tahu derita Mande, meski tak satu pun yang berani membahasnya terang-terangan. Mereka memilih menunjukkan simpati dengan cara yang halus. Ada yang meletakkan daun sirih segar di ambang pintu, ada pula yang mengisi kembali ruang lumbuang—tempat Mande biasa menyimpan beras—dengan segenggam hasil panen. Tak jarang, sebuah tempurung kecil berisi air mawar muncul begitu saja di depan rumah, seolah ditiup angin.

Itulah cara mereka berbicara: tanpa kata, tanpa tanya. Mereka tahu, tidak semua kutukan pantas dikenang. Namun, cinta seorang ibu, sekeras apa pun badai yang datang, selalu layak dimuliakan.

***

Setelah berhari-hari terbaring, Mande menutup lembaran ceritanya. Pagi itu, rumah kecil di ujung kampung diselimuti hening yang tak biasa. Udara tetap lembab oleh embun laut, suara ombak masih terdengar dari kejauhan. Tetapi di dalam kamar, sesuatu telah berakhir. Tanpa isyarat besar, tanpa isak tangis yang melolong. Hanya napas yang kian perlahan, tubuh yang kian ringan, dan mata yang tak lagi terbuka.

Uni Salamah duduk di sisi ranjang, menggenggam tangan Mande yang dingin. Dalam detik-detik terakhir itu, tak banyak kata terjalin. Mande hanya sempat berbisik lirih, nyaris tak terdengar: “Kalau aku tiada… jangan putus doamu untuk Malin.”

Uni hanya mengangguk, menahan sesak yang mencuat di dadanya. Di luar, laut tetap mengirim ombaknya ke pantai, seakan tak menyadari satu jiwa baru saja pulang.

Tikar pandan telah kosong. Tungku rumah tua tak lagi berasap.

Untuk pertama kalinya, dalam rentang yang lama, batu Malin menghadap laut tanpa penjaga. Hanya tersisa kesetiaan yang tertinggal patuh, dan ruang kosong yang tak bisa diisi siapa pun. Mande Rumbayah telah beristirahat. Ia pergi tanpa suara, seperti daun gugur yang tak menyentuh tanah dengan bunyi.

***

Beberapa hari setelah pemakaman Mande, Uni Salamah berjalan menghampiri Malin yang sepi, sendiri. Ia menembus ombak kecil yang menyapu kaki, membasahi ujung kainnya, tetapi langkahnya tak goyah. Perlahan, ia duduk di hadapan batu Malin. Lama menatap, membiarkan angin membawa aroma asin dan kenangan yang perih.

Ia tak marah. Tak menuntut. Namun, setiap jejak kakinya menuju bibir pantai adalah ziarah kecil. Ziarah tanpa bunga, hanya setangkup doa yang tak pernah lekang.

Tangannya kemudian terulur, mengusap batu itu pelan.

“Malin… semoga kau bertemu Mande di sana.”

Matanya berkabut. Lamat-lamat, wajah kecil yang dulu pernah ia gendong muncul kembali dalam benaknya. Malin kecil yang jarang menangis, yang bisa tertawa hanya karena sebutir ceremai, yang tertidur memeluk jari-jarinya, laksana mencari perlindungan dari dunia.

Ia masih ingat bahwa Malinlah yang pertama kali membaca huruf Alif di surau. Keponakannya sangat cerdas, cepat menangkap, dan selalu ingin tahu. Dalam setiap senyum Malin yang polos, ada cahaya yang dulu dipercaya akan menyinari masa depan.

“Kalau saja waktu bisa diulang...” gumamnya. Tak selesai. Tangannya menyeka mata, tetapi air itu tak juga kering.

Uni Salamah beranjak, menahan napas sejenak.

Batu masih di sana, tak bergeming. Laut hari itu pun terasa lebih tenang. Mungkin karena tak ada lagi yang menunggu, atau karena cinta akhirnya menemukan persemayaman yang abadi.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)