Cerpen
Disukai
1
Dilihat
1,043
Sejuta Pertanyaan Wanita
Slice of Life

Aku melihatmu begitu suntuk bulan-bulan ini. Sebagai seorang pria yang belum memiliki pinangan, aku banyak bertanya-tanya apa sebenarnya yang tengah terjadi. Apalagi kerut keningmu terlihat lebih jelas, ada lingkaran hitam tebal di bawah matamu. Jujur aku sangat ingin menyapamu, tetapi bagaimana caranya? Lima tahun lalu kau menolakku. Kini … hidupmu sudah memiliki arti, barangkali demikian dalam hak kepemilikan pria lain. 

Aku pernah menjumpaimu sewaktu mengangsur langkah ke Pasar Kosambi, di pusat perdagangan sayur di kawasan Bandung. Ronamu begitu gelap, dahulu semasa muda kau rajin memoles dua bibirmu dengan gincu, lain kisah detik kemarin. Rupamu memang masih ayu, tetapi di pasar itu kau sekusut sapu ijuk. Tanganmu pun keriput seolah tiada lotion yang menempel. Kau menawar sawi dan tempe kedelai. 

“Boleh, Bang! Seikat dua ribu saja!” 

“Maaf, Neng. Itu sudah harga pas, satu ikat lima ribu, sawi sekarang memang mahal!” 

Pernahkah kau memikirkan nasib petani serupaku? Mengasuh tanaman sampai panen bukan perkara gampang. Kalau penjualannya miring itu sudah biasa, kami terima dengan lapang, dan tidak menyurutkan tekad kami menjadi petani. Karena hanyalah itulah mata pencaharian yang bisa dilakukan, tanpa menjadi petani tungku perapian di rumah bebas dari asap—gas elpiji subsidi sedang transmigrasi. Entah apa sebabnya di toko-toko kelontong gas melon itu langka. 

Lantas mengapa hanya karena seikat sayur sawi, demi uang tiga rupiah kau bela-belain ngotot kepada pedagang renta itu? Wajahmu tertekuk muram, seolah hari tidak akan terang, mendung menggelayut manja di pelupuk matamu. 

Selain itu ada tragedi yang membuat ulu hati ini nyeri. Sore ketika anak-anak kecil di kampung-kampung duduk rapi di depan bangku panjang tempat mengaji, kau berdiri di punggung rumah, tersauruk-suruk perasaanmu. Seolah ada beban paling berat dalam hidup, sampai ingus pedihmu meluncur membasahi bumi. Rumput-rumput mungil yang sedang mengendap-endap mengintip malam, terinjak tanpa arti. Kali itu kau pukuli dadamu. Tali jemuran masing dipenuhi dengan kain-kain kering, sementara pipimu basah. Jeritmu membuat batinku dirong-rong luka. Aku ingin mendekat, melompati pagar tralis belakang rumahmu, mengusap peluh sedih itu, bahkan ingin kutawarkan bahuku tetapi lagi-lagi aku urung, hanya mampu mematung, menatap dari kejauhan serupa kawanan burung.

‘Di mana suamimu, mengapa kau menangis sendirian?’ Begitulah kalimat tanya yang kupendam. Miris memang. 

Kutahu kau tinggal seatap dengan mertua, dengar-dengar dari mulut tetangga, ibu mertuamu berisik, penuh tuntut. Harus bangun pagi sebelum fajar membuka langit biru, harus menyiapkan sarapan sebelum suamimu berangkat kerja, bahkan harus membersihkan rumah yang sebelumnya dikerjakan oleh ibu mertuamu. Hmmm … mendadak aku berpikir kau tak ubahnya budak. Maaf jika terlampau kasar. Salahmu memilih pria tidak hati-hati. Jadi wanita itu jangan mudah goyah dengan rayuan. 

Bukan berarti aku pria baik, tetapi aku benar-benar kecewa dengan pilihanmu. Janjinya dia membuat hidupmu bahagia. Penipu! Nyatanya kau tidak bahagia! 

“Mari hidup susah bersama, Neng!” kataku kala dulu di pematang sawah. 

Pernahkah dirimu ingat kenangan tatkala dua tanganmu direntangkan seolah-olah kau terbang. Lantas kaki kecilmu dengan lincah melompati jalan sempit dipenuhi gulma-gulma? Detik itu swastamita sedang menyala terang, dengan warna oren khas di bumi belahan timur. Seorang petani memanggul cangkul melangkah pulang. Ada juga deru trotoar yang sedang melintasi di pinggiran jalan raya, suaranya amat gaduh membuat daun-daun padi bergerak tidak teratur. 

“Aduh, Kang! Maaf aku memang mencintaimu, tetapi hidup susah? Bagaimana? Selama ini orang tuaku berjuang mati-matian untuk membahagiakanku, kenapa aku harus hidup susah denganmu, Kang?” protesmu. 

Kau bicara demikian lantaran sudah ada sosok yang kau incar. Pemuda pindahan kota besar, memiliki mobil dan ternilai rupawan. Orang selalu membayangkan sosoknya yang terlihat maskulin itu dapat disanding. Konon, sosok yang berhasil dinikahinya aman hidup bahagia. Lantas mengapa kini kau terasing dalam duka-duka? 

Aku memang bukan pria beruang, lusuh berbau pupuk kandang. Kerjaku tidak di gedung-gedung berkaca mewah itu, tumpanganku juga sekadar mesin traktor bukan mobil mewah, akan tetapi aku pantang bermain-main dengan janji. Aku memang pernah berniat ingin membahagiakanmu, tetapi aku tidak mau mengobral ikatan dengan kebahagiaan. Sebab di masa datang, semuanya tidak melulu perihal kebahagiaan. Ada luka, ada jerit kesakitan, juga akan ada perasaan lelah menunggu kepastian. Aku hanya ingin melatihmu berpikir logis dan mengajakmu mempersiapkan kesabaran. Sayang, kau menolakku dengan cara paling mengerikan. 

“Aku hamil, Kang. Aku sudah menikah setahun yang lalu.” 

Alih-alih memberiku surat undangan pernikahan sebagai kabar penolakan, justru lebih berat dari itu. Sebelumnya kau tidak memberi pesan jika akan mengadakan pesta pernikahan. Kebetulan waktu itu aku merantau demi memperlayak harga diriku di matamu. Aku bekerja keras, mengumpulkan rupiah, mempersiapkan materi untuk meminangmu. Sayang … semua tidak berjalan sesuai rencana. 

Begitu mudah kau melupakanku. Rasanya teramat murahan jika aku tetiba menjadi pengintaimu selama ini. Aku tidak bisa berpaling dari rumah mertuamu. Terus melihat dari kejauhan, di bawah pohon trembesi raksasa, berharap kau menyembulkan kepala dari dalam rumah, lalu menatapku lamat-lamat. Akan tetapi, selama ini kau tidak pernah memperhatikanku.  Kau terlalu sibuk menyapu daun-daun kering, menjemur pakaian, bahkan menghitung bintang melalui bingkai jendela ketika malam datang. 

Aku terkenang masa mudamu dulu—kau merantau ke kota pendidikan, jauh dari Bandung, naik kereta berjam-jam. Meninggalkanku dengan kesendirian menyiksa, tetapi waktu itu dirimu kata akan ikat kesetiaan. Maka kepergianmu bukan masalah besar bagiku. Hari lalu kepalamu mempelajari ilmu hukum kenegaraan, rapi benar foto-fotomu mengenakan jas almamater. Aku sampai dibuat iri olehmu, maka sejak saat itu aku gigih menjaga diri, rajin mandi dan memperhatikan penampilan, sekalipun sampai sekarang tetaplah kulitku gosong dibakar terik. Sayangnya di manakah kerapianmu yang dulu? Kau lusuh berbau keringat dapur, mungkinkah suamimu melarang kau berpergian ke kantor-kantor negara untuk menyalami koruptor? Benarkah kini hidupmu diabdikan menjadi istri baik hati—di rumah saja fokus mengurus anakmu? Tetapi lagi-lagi banyak pertanyaan di kepalaku, kenapa rautmu menandingi gelapnya malam.  Bolehkah aku beropini bahwa usahamu di masa muda sia-sia? Barangkali pemikiranku memang masih minim serupa orang-orang awam. Atau lantaran keterbatasan ijinmu dari pasangan untuk bergerilya ke kota-kota besar? 

Maaf jika terlampau ikut campur. Aku hanya iba melihat rona murammu. Ingin aku usir kegelisahan dan tangis yang mengadu di bawah langit sore itu. Bisakah? Pernah aku tonton juga dirimu di antara gulungan ombak, kau terlihat pesimis bahkan nyaris menenggelamkan diri. Rok panjangmu sengaja diceburkan ke air sampai ke atas lutut, lalu kau rentangkan tanganmu, bukan melepas penat, bukan itu cenderung beban hidup tiada berkesudahan, sebab dirimu lantas berteriak lantang membuat burung-burung gagal memangsa ikan. Aku sengaja mengikuti pergerakan langkahmu selepas menggebrak pintu rumah malam-malam, kau datang ke pusat kota menggunakan jasa taxi online. Lalu kau melanjutkan perjalanan menuju  Pantai Sayang Heulang. Kau sendirian di sana, merutuki diri, memukul dadamu. Benar-benar menarik diriku untuk mendekat, menanyakan kabar meskipun tahu bahwa dirimu dalam keadaan tidak baik-baik saja. Akan tetapi itulah yang terbersit jika saja aku bisa menyapamu. 

Apakah sistem patriarki di rumah tanggamu sangat dominan! Aku hanya mengekori pergerakan tubuh dan laju kendaraan yang membawamu, nyaliku ciut untuk mendekat. Aku tidak mau ditimpa masalah hidup karena mengganggu wanita milik orang lain. Benda yang bukan milik kita, tetapi diintai untuk dimiliki, sungguh mengerikan. Kalau saja aku bisa berdialog dengan dzat pemberi perasaan ini, maukan Pencipta menghapus rasa memuakkan di dadaku terhadapmu? Kuijinkan malaikat maut mengobrak-abrik isi hatiku supaya bisa bersih dari beban memikirkanmu. 

Hal yang tiada terduga, pada tahun 2024 ketika warga negara sedang menyaksikan tepuk tangan gegap gempita pelantikan Presiden Republik RI, di Kompleks Parlemen Jakarta, kau mendekati halaman rumahku. Aku benar-benar ingat, detik itu 20 Oktober 2024. Kau memandangku dengan nanar. Benar-benar menyayat batin, sampai uluh hatiku nyeri tiada berpalang. Sebagai pria normal, aku benar-benar tunduk di bawah ayumu yang nyaris lenyap. Gincu sisa akhir bulan, pakaian daster yang dibalut dengan jaket tebal, sendal jepit, ah … benar-benar seorang wanita biasa yang sudah pernah beranak apalagi pinggulmu kini melebar. 

“Ada apa, Neng Galuh, mengapa kau datang setelah sekian lama tak menyapaku?”

“Karena kau, Akang!”

“Kau rindu padaku? Apakah suamimu melarang keluar? Mengapa selama ini kau sedih? Mengapa kau menangis tersedu-sedu, dan … dan kenapa kau tidak bekerja, padahal katamu dulu kau ingin masuk kejaksaan di negara ini?”

“Bagaimana hidupku bisa baik-baik saja jika kau terus mengintaiku, Akang?”

Seperti ada bom molotov yang terlempar mengenai kepalaku. 

“Bagaimana aku bisa bekerja dengan damai jikalau orang yang akan kuadili adalah suamiku sendiri?”



Magelang, 24 Oktober 2024. 





Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)