Masukan nama pengguna
Aku berdiri di samping kakek, di bawah sorot lampu panggung yang temaram, dengan layar proyeksi di belakang kami menampilkan mozaik foto-foto tua. Hari itu, sebuah acara kecil diadakan di sebuah gedung serbaguna di Yogyakarta, tempat keluarga besar kami berkumpul untuk merayakan warisan puisi. Aku mengenakan kaos Levi’s tua dengan tulisan “The Never Goes Out of Style,” sebuah hadiah dari ibuku yang katanya mencerminkan semangatku—muda, tapi tetap terhubung dengan akar budaya. Kakek, yang ternyata adalah Sapardi Djoko Damono, berdiri tegak meski usianya sudah senja, mengenakan kemeja cokelat muda, topi hitam, dan kacamata yang selalu setia di wajahnya.
Aku menoleh padanya, dan dia tersenyum tipis. Matanya yang teduh seolah membawa ribuan bait puisi yang tak pernah selesai ditulis. Aku tahu, di balik senyum itu, ada cerita panjang tentang hujan, bulan Juni, dan cinta yang sederhana namun dalam. Acara ini sebenarnya adalah peringatan kecil untuk kakek, sebuah penghormatan dari komunitas sastrawan lokal yang ingin mengenang karya-karyanya. Tapi, bagi kami, keluarga, ini lebih dari sekadar perayaan—it’s a moment of connection.
Di belakang kami, kursi-kursi kayu berderet rapi, diisi oleh wajah-wajah yang asing namun hangat. Mereka adalah penyair muda, mahasiswa sastra, dan beberapa kerabat yang datang dari berbagai penjuru. Aroma kopi tubruk yang diseduh secara tradisional menguar di udara, bercampur dengan wangi kertas tua dari buku-buku puisi yang dibawa para tamu. Aku mendengar bisik-bisik kecil, “Itu Sapardi, ya? Masih sehat, alhamdulillah,” dan aku hanya tersenyum dalam hati.
Kakek memegang tanganku dengan lembut, jari-jarinya yang keriput terasa hangat. “Kamu suka puisi, kan?” tanyanya tiba-tiba, suaranya pelan tapi penuh makna. Aku mengangguk, meski sebenarnya aku belum benar-benar paham dunia yang telah dia jelajahi selama puluhan tahun. Aku suka mendengar puisinya dibacakan, tapi menulis? Aku belum pernah mencoba. “Nanti, setelah ini, kita ke taman belakang. Aku mau tunjukkan sesuatu,” lanjutnya, membuatku penasaran.
Acara dimulai dengan pembacaan puisi oleh seorang penyair muda. Dia membaca Aku Ingin dengan penuh penghayatan, dan aku melihat kakek mengangguk kecil, seolah menyetujui setiap kata yang meluncur. Aku memperhatikan wajahnya, mencoba membaca apa yang ada di pikirannya. Apakah dia teringat masa muda saat menulis puisi itu? Atau mungkin dia sedang memikirkan sesuatu yang lain, sesuatu yang lebih dalam?
Setelah beberapa penyair selesai tampil, tiba giliran kakek untuk berbicara. Dia berjalan perlahan menuju mikrofon, langkahnya mantap meski tubuhnya tak lagi sekuat dulu. Aku duduk di barisan depan, menatapnya dengan rasa kagum. “Puisi itu seperti angin,” katanya, suaranya menggema lembut di ruangan. “Dia datang, menyapa, lalu pergi. Tapi jejaknya tetap ada, di hati orang yang merasakannya.” Aku mencatat kalimat itu di pikiranku, merasa ada sesuatu yang magis di dalamnya.
Usai berbicara, kakek kembali ke sampingku. Aku melihat sorot matanya berubah, seperti ada rahasia yang ingin dia bagi. “Ayo, kita ke taman,” bisiknya, dan aku mengangguk penuh semangat. Kami berjalan bersama, melewati kerumunan yang masih sibuk berdiskusi tentang puisi dan sastra. Udara sore di Yogyakarta terasa sejuk, dengan aroma dedaunan yang belum mengering.
Taman belakang gedung itu kecil, tapi penuh dengan bunga-bunga kamboja yang harum. Ada sebuah bangku kayu tua di bawah pohon mahoni, dan kakek mengajakku duduk di sana. Dia mengeluarkan sebuah buku kecil dari saku kemejanya—buku catatan yang sudah usang, dengan sampul kulit yang mulai mengelupas. “Ini milikku waktu muda,” katanya, membukanya perlahan. Aku melihat tulisan tangan yang rapi, penuh coretan dan bait-bait puisi yang belum selesai.
Aku membaca salah satu bait yang terlihat masih utuh: Hujan turun di bulan Juni, dan aku menanti di bawah payung tua, tapi kau tak datang. Aku menoleh padanya, “Ini tentang siapa, Kek?” tanyaku, penasaran. Dia tertawa kecil, suaranya seperti alunan musik yang lembut. “Tentang nenekmu,” jawabnya, dan aku tersenyum, membayangkan kisah cinta mereka yang sederhana namun penuh makna.
Kami duduk lama di bangku itu, ditemani suara burung yang berkicau di ujung senja. Kakek mulai bercerita tentang masa muda, tentang bagaimana dia pertama kali jatuh cinta dengan puisi. “Waktu itu, aku suka duduk di tepi Kali Code, dengar suara air, dan tulis apa saja yang ada di pikiranku,” katanya, matanya menerawang. Aku membayangkan kakek muda, dengan pena di tangan, menulis bait-bait indah di bawah langit Yogyakarta.
Aku tiba-tiba teringat sesuatu. “Kek, aku boleh coba tulis puisi?” tanyaku, agak malu. Dia mengangguk, lalu menyerahkan buku catatan itu padaku. “Tulis apa yang kamu rasakan sekarang,” katanya, dan aku mengambil pena yang terselip di saku kemejanya. Aku menatap bunga kamboja yang bergoyang ditiup angin, lalu menulis: Sore ini, kamboja berbisik, tentang kakek dan puisinya yang abadi.
Kakek membaca tulisanku, lalu tersenyum lebar. “Bagus,” katanya, dan aku merasa banganku melambung. Tapi dia melanjutkan, “Tapi, puisi itu bukan hanya tentang kata. Dia tentang rasa. Coba lagi, dengar apa yang ada di hatimu.” Aku mengangguk, mencoba lagi, kali ini lebih perlahan, lebih mendalam.
Aku menulis: Angin membawa wangi kamboja, seperti puisimu, Kek, yang tak pernah pergi. Aku menunjukkan padanya, dan kali ini dia mengangguk lebih lama, seolah puas. “Itu dia,” katanya, “Kamu mulai merasakannya.” Aku tersenyum, merasa ada ikatan baru antara aku dan kakek, sebuah ikatan yang terjalin melalui puisi.
Saat matahari mulai tenggelam, langit ber, kami kembali ke gedung. Tapi aku membawa sesuatu yang baru di hatiku—sebuah keinginan untuk terus menulis, untuk melanjutkan warisan kakek. Aku melihat kakek berbicara dengan beberapa tamu, wajahnya berseri-seri, dan aku tahu, dia bahagia melihat semangat puisi hidup di generasi baru.
Malam itu, aku duduk di kamar, membuka buku catatan kakek, dan menulis lagi. Aku menulis tentang sore itu, tentang kamboja, tentang angin, dan tentang kakek. Aku tahu, ini baru permulaan. Warisan puisi kakek akan terus hidup, melalui bait-bait yang kutulis, dan melalui hati setiap orang yang membacanya.
Aku tersenyum, membayangkan suatu hari nanti, mungkin aku juga akan berdiri di panggung seperti kakek, membacakan puisi yang lahir dari hati. Dan di suatu tempat, kakek akan tersenyum, tahu bahwa puisinya tak pernah benar-benar pergi—seperti hujan di bulan Juni, yang selalu datang kembali.
Beberapa tahun berlalu sejak sore itu, dan kakek—Sapardi Djoko Damono—kini telah tiada, meninggalkan kami di sebuah pagi yang hening, seperti bait terakhir dari puisinya yang tak pernah selesai. Aku sering duduk di bangku kayu tua di taman belakang, memegang buku catatan usangnya, merindukan suara lembutnya yang membacakan puisi tentang hujan dan cinta, merindukan senyumnya yang teduh saat aku menunjukkan bait-bait pertamaku; rindu itu terasa seperti angin senja, hadir namun tak bisa kugenggam, meninggalkan jejak kosong di hati yang hanya bisa kuisi dengan menulis—melanjutkan puisinya, melanjutkan ceritanya, melanjutkan dia.
-Tamat