Masukan nama pengguna
Malam membentangkan permadani sunyi, dan di meja kayu rinduku, cahaya lampu belajar adalah rembulan setia yang menerangi lembar-lembar usang novel klasik. Setiap katanya adalah liku jiwa yang tersembunyi, namun benang-benang rinduku menari perlahan ke layar bisu ponsel di sisi. Menanti hadirmu dalam notifikasi, Neng, bukan gelisah yang mencengkeram, melainkan sabar yang bersemi tenang laksana embun di pucuk daun. Setiap jeda dalam balasanmu adalah ruang hening, tempat hatiku menyelami samudra kata para pujangga, sembari membayangkan kejutan manis dari aksaramu kelak. Dalam bisu digital, paradoksnya, kurasa hadirmu begitu dekat, bagai denyut nadi yang tak kasatmata, yakin bahwa di balik tabir maya, harimu sedang terukir dengan indah, dan balasanmu akan menjadi fajar yang menyapa kalbuku dengan kehangatan.
Ingatan akan Joko Winarno, sahabat yang baru saja terdampar dalam dermaga cinta, bagai riak kecil yang tak mengganggu ketenangan danau hatiku. "Terlalu erat kurangkul," desahnya, "hingga ia merindukan luasnya angkasa." Kata-katanya adalah cermin buram, namun aku memilih fokus pada pantulan diriku sendiri. Mencintaimu, Neng, adalah mendekap kebebasanmu dengan lembut, menjadikan ruang pribadimu laksana taman suci yang tak ingin kurusak. Cintaku adalah hembusan angin sepoi yang mengiringi layangan impianmu menari anggun di cakrawala.
Tanpa sengaja, mataku terpana pada galeri kebahagiaanmu di jendela maya. Dalam bingkai riang lomba masak, senyummu merekah bagai sekuntum teratai di permukaan air yang tenang. Kerinduan menyeruak, sebentuk puisi bisu yang terukir di kedalaman jiwa, namun tak mengusik ketenteraman. Ingin rasanya hadir di sana, menjadi saksi semangatmu, merasakan aura positifmu. Namun, segera kusadari, duniamu adalah taman yang luas dan indah, dengan kesibukan sebagai warna-warni yang memikat. Kuhargai setiap jejak langkahmu di sana, dan diam-diam, hasrat untuk menjadi pelindungmu tumbuh, dengan kelembutan dan tanpa terburu-buru. Aku ingin menjadi naungan rindang di bawah mentari harimu yang cerah.
Kini, malam kembali membentangkan sayap sunyinya, dan aku mencari ketenangan bukan hanya di antara barisan aksara novel, melainkan dalam resonansi suci ayat-ayat Al-Quran. Setiap tilawah adalah sungai bening yang mengalirkan kedamaian abadi, setiap sujud adalah bisikan rindu yang kupanjatkan dengan khusyuk pada Sang Pemilik Segala. Dalam penantian yang menguji ini, jalinan batinku dengan-Nya bertumbuh semakin dalam, belajar menerima takdir dengan hati lapang. Cinta yang hakiki, kini kurasakan, adalah doa yang tak pernah putus, bahkan untuk bahagia yang mungkin tak sepenuhnya melibatkan hadirku. Penantian ini mengukir kesabaran sebagai permata yang berkilauan dengan ketenangan di relung hati.
Pagi menyingsing, membawa serta janji yang tersembunyi di balik kabut lembut fajar. Meski notifikasi darimu belum tentu hadir, aku memilih untuk merajut hari dengan benang-benang optimisme yang tak pernah putus, dengan ketenangan yang mengalir dalam setiap gerak. Perjuanganku bukan sekadar menanti balasan aksara, melainkan mempersiapkan diri menjadi pribadi yang utuh dan damai, seseorang yang bisa berbagi ketenangan bersamamu kelak. Aku akan terus mengasah diri, belajar dari setiap detik yang berlalu, seperti pohon yang akarnya semakin dalam seiring berjalannya waktu. Sebab, dalam kalbuku tertanam keyakinan yang teguh, cinta yang tulus adalah melodi abadi yang akan menemukan simfoninya dalam harmoni yang tenang, dan kesabaran adalah waktu yang akan mematangkan buah kerinduan dengan keindahan yang sempurna. Aku akan terus menanti, Neng, dengan hati seluas samudra dan keyakinan setinggi langit, dalam ketenangan jiwa yang tak tergoyahkan.