Masukan nama pengguna
Jika kedermawanan adalah topeng, lalu wajah seperti apa yang sebenarnya tersembunyi di balik senyum tulus Pak Darmawan saat ia menyerahkan bantuan pada desa? Pertanyaan itu seringkali mengusik benakku, tetangga yang hanya berjarak lima rumah dari kediamannya. Pak Darmawan, bagi sebagian besar penduduk desa, adalah cerminan kebaikan. Cahaya lampu penerangan yang kini menari di sepanjang jalan sunyi, menghilangkan kegelapan yang dulu mencekam, puluhan tempat sampah berwarna cerah yang menjaga kebersihan lingkungan, bahkan perbaikan jembatan kecil di ujung desa yang seringkali licin dan membahayakan – semuanya mengalir dari kantongnya tanpa pernah mengharap imbalan. Ia bahkan sesekali terlihat menyelinap di kegelapan malam, mengantarkan sekarung beras atau sekardus mie instan ke rumah keluarga yang sedang kesulitan, memastikan tidak ada tatapan iba yang melukai harga diri mereka. Namun, di balik kemurahan hatinya, terselip sebuah cerita keluarga yang rumit, yang malam itu tanpa sengaja tersibak di depan mataku.
Egi, anak semata wayangku, belum juga pulang hingga larut malam dari rumah Ridho, putra Pak Darmawan. Kegelisahan istriku, yang tercermin dari jemarinya yang tak henti meremas ujung selendang, mendorongku untuk menjemputnya. Langkahku menyusuri jalan yang kini terasa lebih aman berkat cahaya donasi tetanggaku itu. Semakin dekat ke rumah Pak Darmawan, suara pertengkaran yang sengit terdengar, bukan lagi riuh rendah tawa anak-anak bermain PlayStation bersama Rizki dan Jaya. Dari celah pagar kayu yang sedikit terbuka, kulihat siluet Pak Darmawan berhadapan dengan seorang wanita yang tampak lebih tua dari Riska, istrinya yang masih belia. Nada suara wanita itu meninggi, sarat akan amarah dan kepedihan, kontras dengan bahu Pak Darmawan yang tampak tegar namun menyimpan beban.
Riska, dengan usianya yang baru delapan belas tahun, seringkali menjadi buah bibir di desa. Wajahnya yang polos, senyumnya yang riang, dan tingkahnya yang kadang kekanak-kanakan membuatnya tampak seperti remaja yang baru saja mengenal dunia. Tak jarang, tatapan usil para pemuda desa mengikutinya saat ia berjalan sendirian. Namun, ketika ia menggandeng lengan Pak Darmawan, ada aura kedewasaan yang terpancar, seolah menemukan pelindung dalam diri suaminya yang jauh lebih tua. Perbedaan usia mereka selalu menjadi bisik-bisik di warung kopi, sebuah ekspektasi yang mungkin tak pernah sepenuhnya kami pahami. Ada yang mencibir, ada pula yang diam-diam iri dengan kebahagiaan sederhana yang terpancar dari mata mereka.
Malam itu, topeng kedermawanan Pak Darmawan seolah retak. Bentakan mantan istrinya yang menuntut tanggung jawab untuk anak-anak mereka mengguncang citra sempurna yang selama ini melekat padanya. "Kamu tega sekali, Mas! Anak-anakmu di sana merindukanmu! Kamu malah enak-enakan di sini dengan istri muda!" serunya, air mata yang mengalir di pipinya memantulkan cahaya rembulan yang samar. Sebuah plot twist yang tak pernah kami duga: Pak Darmawan memiliki masa lalu, sebuah keluarga yang ditinggalkannya demi kebahagiaan yang baru. Pertanyaan tajam menghujam benakku: apakah semua kebaikan yang ia tabur selama ini hanyalah upaya untuk meredam rasa bersalah yang menghantuinya?
Namun, perspektifku mulai bergeser beberapa hari kemudian. Mak Yeyeh, tetangga yang selalu tahu seluk-beluk kehidupan desa, membisikkan sebuah rahasia yang lebih mengejutkan. Ternyata, justru mantan istrinya lah yang dulu mengkhianati Pak Darmawan, menjalin hubungan terlarang di belakang punggungnya dan menghancurkan hatinya hingga berkeping-keping. Di ambang keputusasaan, Pak Darmawan memilih jalan yang mulia, menyalurkan rasa sakitnya menjadi kedermawanan, seolah mencari penyembuhan dalam setiap uluran tangan. Tuhan seolah melihat ketulusan hatinya dan menghadirkan Riska sebagai anugerah, seorang wanita muda yang mampu mengisi kekosongan dalam jiwanya dan memberinya kebahagiaan yang baru. Ini adalah plot twist kedua yang membuatku menarik kembali semua prasangka burukku.
Di tengah keraguan yang sempat menyelimuti benakku, ingatan tentang awal mula kedekatan Pak Darmawan dan Riska kembali menyeruak. Beberapa bulan sebelum pernikahan mereka yang mengejutkan, Mak Yeyeh juga bercerita tentang pertemuan pertama mereka. Kala itu, Riska, seorang gadis yatim piatu yang baru saja tiba di desa ini, mengalami musibah. Sepeda motor bututnya mogok di tengah jalan sunyi saat senja mulai merayap. Pak Darmawan, yang kebetulan melintas dengan mobil bak terbukanya, tidak ragu untuk berhenti dan membantunya. Di bawah langit yang mulai menggelap, di tengah suara jangkrik yang bersahutan, benih-benih kedekatan mereka mulai tumbuh.
Seiring berjalannya waktu, terungkaplah bahwa Riska mewarisi harta yang cukup besar dari kedua orang tuanya yang meninggal dunia dalam kecelakaan. Namun, setelah kepergian mereka, Riska tinggal bersama paman dan bibinya yang serakah dan berniat buruk. Mereka berusaha memanipulasi dan menguasai harta warisan Riska. Ketika Pak Darmawan mengetahui situasi sulit yang dihadapi gadis itu, hatinya yang lembut tergerak untuk melindungi. Dengan ketulusan dan pengetahuannya tentang hukum, ia mendampingi Riska dalam memperjuangkan haknya kembali. Ia menghadapi paman dan bibi Riska yang licik dengan tenang namun tegas, mengumpulkan bukti-bukti yang diperlukan, dan membimbing Riska melalui proses hukum yang rumit. Berkat bantuan Pak Darmawan, dengan tatapan mata yang meyakinkan dan kata-kata yang penuh integritas, Riska akhirnya berhasil mendapatkan kembali haknya atas warisan orang tuanya.
Bagi Riska, Pak Darmawan bukan hanya seorang penolong, tetapi juga sosok pelindung dan pembimbing. Di usianya yang masih sangat muda dan sebatang kara, ia merasakan kehangatan dan keamanan yang selama ini hilang. Meskipun usia Pak Darmawan sudah menginjak 38 tahun, garis ketampanan di wajahnya justru semakin terpancar seiring dengan bertambahnya usia. Ditambah dengan kebaikan hatinya yang tulus, perhatiannya yang lembut, dan ketegasannya dalam melindungi, tidak heran jika Riska merasa begitu nyaman dan akhirnya menaruh hati pada Pak Darmawan. Pernikahan mereka, yang awalnya tampak mengejutkan bagi sebagian orang, ternyata didasari oleh rasa saling percaya, menghormati, dan cinta yang tumbuh karena kebaikan hati dan ketulusan jiwa. Harta Riska memang ada, tetapi uluran tangan Pak Darmawan jauh lebih dulu hadir dalam hidupnya, menyelamatkannya dari kesulitan dan memberikan rasa aman yang selama ini ia rindukan. Hal ini semakin menguatkan keyakinanku akan ketulusan hati Pak Darmawan.
Malam itu, setelah pertengkaran hebat yang tak sengaja kusaksikan, ketegangan di udara desa terasa semakin pekat. Beberapa hari kemudian, aku melihat Pak Darmawan tidak lagi seceria biasanya. Senyumnya yang dulu selalu merekah kini tampak dipaksakan, matanya menyimpan guratan kelelahan yang mendalam. Sebuah kabar samar dari Mak Yeyeh menambah kebingunganku. Konon, mantan istri Pak Darmawan sering terlihat mondar-mandir di sekitar rumah mereka, tidak lagi dengan amarah membara, melainkan dengan raut wajah yang sulit dibaca – kadang sedih, kadang penuh harap. Apakah ada penyesalan yang mulai tumbuh di hatinya? Ataukah ia masih menyimpan dendam yang terpendam?
Suatu sore, saat aku sedang duduk di beranda, kulihat mobil Pak Darmawan berhenti di ujung jalan, tempat dulu mantan istrinya sering menunggu. Kali ini, Pak Darmawan keluar dari mobil dan menghampiri wanita itu. Mereka berbicara cukup lama, dengan nada suara yang rendah dan sesekali diselingi jeda yang panjang. Aku tidak bisa mendengar isi percakapan mereka, namun bahasa tubuh keduanya mengisyaratkan adanya ketegangan sekaligus harapan. Ada kalanya mantan istrinya terlihat menunduk, menyeka air mata, namun di saat lain, ia menatap Pak Darmawan dengan tatapan yang penuh permohonan. Pak Darmawan sendiri tampak antara bimbang dan tegas, sesekali menghela napas berat, namun tetap mendengarkan dengan saksama.
Beberapa hari kemudian, aku melihat Riska berdiri di depan jendela kamarnya, menatap kosong ke arah jalan. Wajahnya yang biasanya ceria tampak murung. Aku jadi bertanya-tanya, apakah ia merasakan perubahan suasana hati suaminya? Apakah ia tahu tentang pertemuan-pertemuan rahasia di ujung jalan itu? Ada ketegangan yang tak terucapkan di antara mereka, sebuah jarak yang tiba-tiba terasa menganga meskipun mereka berada dalam satu rumah.
Sebuah plot twist yang ambigu muncul dalam benakku. Bagaimana jika kedermawanan Pak Darmawan selama ini bukan hanya karena ketulusan hatinya, tetapi juga sebagai cara untuk meredakan rasa bersalahnya terhadap masa lalu? Mungkinkah ia berharap dengan berbuat baik kepada desa, ia bisa menebus kesalahannya terhadap keluarga yang pernah ia tinggalkan? Dan pertemuan-pertemuan dengan mantan istrinya, apakah itu benar-benar tentang tanggung jawab terhadap anak-anak, ataukah ada sisa-sisa perasaan yang belum sepenuhnya padam? Harapan mantan istrinya yang samar, keraguan di mata Riska, dan ketegangan yang terasa di sekitar Pak Darmawan menciptakan sebuah labirin pertanyaan yang semakin membingungkan. Apakah Pak Darmawan benar-benar seorang dermawan berhati mulia, ataukah ada agenda tersembunyi di balik setiap kebaikannya? Pertanyaan ini terus menggerogoti pikiranku, membuatku semakin sulit untuk mempercayai citra sempurna yang selama ini melekat padanya.
Namun, sebuah bisikan sinis dari sudut pikiranku kembali merongrong keyakinanku, seperti duri kecil yang menusuk daging. Bagaimana jika kekayaan Pak Darmawan yang memungkinkan semua kedermawanannya itu justru berasal dari Riska? Usia muda Riska dan pernikahan mereka yang terkesan tiba-tiba menimbulkan spekulasi di antara beberapa tetangga yang lebih nyinyir, yang selalu mencari celah dalam kebahagiaan orang lain. Mungkinkah Pak Darmawan hanya memanfaatkan kekayaan istrinya untuk membangun citra dermawan di mata desa? Pikiran itu bagai kabut tipis yang mengaburkan pandanganku akan ketulusan tindakannya. Tetapi, keraguan itu segera kutepiskan. Terlalu banyak bukti kebaikan Pak Darmawan yang kulihat dengan mata kepala sendiri, jauh sebelum ia bertemu dan menikah dengan Riska. Uluran tangannya yang ringan membantu sesama, senyum tulusnya saat berinteraksi dengan anak-anak, tatapan matanya yang penuh kepedulian saat mendengar keluh kesah warga – semua itu terasa begitu nyata dan tanpa pamrih. Mungkinkah aku, dengan segala keraguanku yang terus menghantuiku ini, justru menjadi orang yang paling mudah ditipu oleh prasangkaku sendiri?
-Tamat