Masukan nama pengguna
Pagi itu, Aji berdiri di depan pintu rumah sakit, memegang ponselnya dengan tangan gemetar. Saldo EduPay-nya, Rp11.200.000, tabungan yang ia kumpulkan dari menabung dan kerja paruh waktu selama setahun, lenyap dalam semalam. Uang itu adalah harapan terakhir untuk operasi katarak ibunya, yang penglihatannya semakin buram setiap hari. Dokter sudah memperingatkan: tanpa operasi dalam sebulan, ibunya bisa kehilangan penglihatan selamanya. Aji mencoba login ulang, memasukkan PIN, memindai sidik jari, tapi layar hanya menampilkan “Saldo Anda: Rp0.” Ia merasa dunia runtuh—tanpa uang itu, ia tidak hanya kehilangan angka di layar, tapi juga masa depan ibunya.
Di Sekolah Futura Nusantara, dunia terasa seperti permainan digital. Tidak ada dompet, tidak ada koin—semua transaksi mengalir melalui EduPay, e-wallet sekolah yang mengendalikan hidup siswa. Dari membeli bakpao di kantin hingga naik shuttle listrik, saldo digital adalah nadi kehidupan. Tapi pada Rabu pagi itu, sistem itu runtuh. Saldo seluruh siswa lenyap. Di grup kelas, teman-temannya panik. Ada yang kehilangan Rp50.000, ada yang jutaan. Pihak sekolah hanya mengeluarkan pernyataan klise: “Kami sedang menyelidiki. Harap tetap tenang.”
Aji tidak bisa tenang. Ia harus bertindak. Bersama sahabatnya, Wanda—admin IT sekolah yang selalu membawa laptop gaming—dan Juni, si jenius matematika yang jago analisis data, mereka membentuk tim investigasi rahasia. Malam itu, di perpustakaan yang sepi, mereka mulai menggali.
“Setiap Rabu malam, saldo kita berkurang sedikit,” kata Juni, menunjukkan grafik yang ia buat dari laporan teman-teman. “Tapi minggu ini, semuanya langsung nol. Ini bukan bug—ini serangan terencana.”
Wanda, yang biasanya cerewet, cuma mengangguk pelan. Aji memperhatikan tangannya gemetar saat mengetik. “Kamu tahu sesuatu, kan?” tanya Aji.
“Enggak!” Wanda buru-buru mengelak. “Aku cuma… cek log server. Nggak ada login mencurigakan. Autentikasi dua faktor aktif, enkripsi AES-256, bahkan firewall sekolah pakai FortiGate. Mustahil diretas.”
“Tapi faktanya, uang kita hilang,” sambar Juni. “Dan ada pesan aneh setiap Rabu di server: ‘Saldo kamu akan kubersihkan…’ Siapa yang kirim itu?”
Aji teringat sesuatu. “Pak Ridwan, guru TIK. Dia pembuat EduPay, kan? Setiap Rabu malam, dia selalu lembur di ruang server. Katanya sih ‘maintenance rutin’, tapi server nggak pernah down.”
Juni mengangguk. “Mungkin dia. Tapi kenapa? Dia guru, buahnya apa nyuri duit siswa?”
“Kalau bukan dia, mungkin…” Aji melirik Wanda. “Kamu satu-satunya yang punya akses backdoor ke database, Wan.”
Wanda langsung berdiri, wajahnya memerah. “Kamu nuduh aku?! Aku temenmu, Ji! Aku juga kehilangan saldo, tau!”
Aji menghela napas. “Maaf. Aku cuma… kita harus cek semua kemungkinan.”
Malam berikutnya, mereka menyelinap ke ruang IT. Wanda, dengan akses adminnya, membuka log server. Anehnya, tidak ada aktivitas mencurigakan. Tidak ada IP asing, tidak ada brute force attack. Tapi Juni menemukan sesuatu: transaksi mikro, masing-masing di bawah Rp10.000, mengalir ke rekening offshore setiap Rabu pukul 23.59. “Ini skimming digital,” kata Juni. “Pelakunya sengaja bikin transaksi kecil biar nggak ketahuan.”
“Rekening offshore? Itu cuma bisa diatur dari level admin,” gumam Wanda, tapi suaranya bergetar. Aji mulai curiga lagi. Wanda terlalu gugup.
Saat mereka keluar dari ruang IT, Aji menemukan sesuatu di meja Wanda: USB tua dengan label “Backup 2024”. Aji diam-diam mengantonginya, berharap ada petunjuk. Di kamarnya, ia menghubungkan USB ke laptopnya dan menemukan folder tersembunyi berisi log transaksi yang tidak tercatat di server utama. Ada catatan aneh: “Override AI—PR.” Inisial Pak Ridwan? Atau sesuatu yang lain? Aji merasa semakin dekat dengan kebenaran, tapi juga takut. Jika Wanda terlibat, ia tidak hanya akan kehilangan sahabat, tapi juga satu-satunya sekutu yang paham sistem EduPay.
Hari Rabu berikutnya, Aji memasang jebakan. Ia meminjam ponsel temannya, mengisi saldo EduPay Rp100.000, dan memantau aktivitasnya. Tepat pukul 23.59, saldo berkurang Rp5.000. Aji langsung menghubungi Juni. “Cek server sekarang!”
Juni, yang sudah standby di laptopnya, melacak aliran data. “Ada request API tersembunyi dari… AI sekolah?! Asisten virtual itu disusupi malware!”
AI sekolah, yang biasanya membantu siswa dengan jadwal atau tugas, ternyata jadi kuda troya. Malware itu menyisipkan skrip untuk mengalihkan saldo ke rekening offshore. Tapi siapa yang memasang malware? Pak Ridwan, yang punya keahlian coding? Atau Wanda, yang punya akses penuh?
Aji memutuskan menggertak. Ia mendatangi Pak Ridwan di ruang server. “Pak, saya tahu soal malware di AI. Saya sudah lapor polisi cyber.”
Pak Ridwan tertawa kecil, tapi matanya tajam. “Kamu anak pintar, Aji. Tapi jangan main-main. Kalau akunmu diblokir, kamu nggak bisa lulus. Pikir baik-baik.”
Aji keluar dengan jantungan, tapi ia belum menyerah. Malam itu, ia menyelinap ke akun cloud Wanda menggunakan kata sandi yang pernah Wanda ceritakan secara tidak sengaja: “password123”—konyol untuk seorang admin IT. Di sana, Aji menemukan file terenkripsi: catatan transaksi ilegal, lengkap dengan nama Pak Ridwan dan… Kepala Sekolah.
Aji terkejut. Kepala Sekolah? Orang yang selalu bicara soal integritas di apel pagi? Ternyata, sekolah punya kebocoran dana dari proyek renovasi gedung. Untuk menutupinya, Pak Ridwan dan Kepala Sekolah “meminjam” saldo siswa melalui skimming digital. Wanda, yang tahu rencana itu, dipaksa ikut karena Pak Ridwan mengancam akan memecat ayahnya, penjaga sekolah.
Aji menghadapkan bukti itu ke Wanda. “Kamu tahu ini salah, Wan. Aku butuh uang itu buat ibuku. Bantu aku, atau kita sama-sama selesai.”
Wanda menunduk, air matanya jatuh. “Aku nggak mau, Ji. Tapi Pak Ridwan… dia bilang cuma pinjam. Katanya uangnya bakal balik.”
“Pinjam?! Itu tabunganku!” bentak Aji. “Bantu aku, atau aku serahkan file ini ke polisi sekarang.”
Wanda akhirnya menyerah. Ia menyerahkan kunci dekripsi dan log server ke Aji. Bersama Juni, mereka mengunggah semua bukti ke situs whistleblower anonim, lalu melapor ke polisi cyber. Pagi berikutnya, polisi datang. Pak Ridwan dan Kepala Sekolah ditahan. Ternyata, uang itu belum sempat ditransfer ke offshore—masih tersimpan di server cadangan.
Namun, cerita tidak berakhir manis. Sekolah mengembalikan saldo siswa, tapi dengan syarat: semua siswa yang terlibat investigasi, termasuk Aji, harus menandatangani perjanjian untuk tidak membocorkan skandal ini. Reputasi sekolah dipertaruhkan. Aji menolak. “Saya nggak akan diam soal kejahatan,” katanya.
Akibatnya, Aji dikeluarkan dengan dalih “merusak nama baik sekolah.” Wanda dan Juni, yang menandatangani perjanjian, tetap bertahan, tapi hubungan mereka dengan Aji retak. Wanda meminta maaf, tapi Aji cuma mengangguk dingin. “Kamu pilih aman, Wan. Aku nggak bisa.”
Di rumah, Aji memeluk ibunya, yang masih belum tahu kapan bisa operasi. Uangnya kembali, tapi sekolah baru baginya adalah ketidakpastian. Ia membuka laptop, menatap pesan terakhir di server sekolah yang entah bagaimana masih muncul: “Saldo kamu akan kubersihkan…” Aji tersenyum pahit. Mungkin sistem itu tidak pernah benar-benar aman. Mungkin kepercayaan pada teman, guru, bahkan teknologi, selalu punya celah.
Saat ia menutup laptop, sebuah notifikasi muncul di ponselnya. Donasi anonim sebesar Rp10.000.000 masuk ke rekeningnya, dengan pesan: “Untuk ibumu. Dari seseorang yang menyesal.” Aji tidak tahu siapa pengirimnya—Wanda, Juni, atau bahkan seseorang dari sekolah. Tapi untuk pertama kalinya dalam seminggu, ia merasa ada harapan.
Beberapa minggu kemudian, Aji mendengar kabar bahwa Sekolah Futura Nusantara digugat oleh orang tua siswa atas kelalaian sistem. Meski Pak Ridwan dan Kepala Sekolah diadili, Aji tahu kebenaran tidak akan pernah utuh. Ia kini belajar di sekolah baru, sederhana namun bebas dari bayang-bayang teknologi yang menipu. Setiap malam, ia memeriksa saldo rekeningnya, takut pesan “Saldo kamu akan kubersihkan…” akan kembali. Tapi di lubuk hatinya, Aji belajar sesuatu: keberanian untuk melawan, meski mahal harganya, adalah saldo yang tidak bisa dicuri.
Sekolah Futura Nusantara memperbarui sistem EduPay dengan transparansi penuh, tapi skandal itu meninggalkan luka. Aji membawa pelajaran pahit: teknologi bisa jadi sahabat, tapi juga musuh. Dan di dunia yang serba digital, kebenaran sering kali harus dibayar mahal.
-Tamat