Masukan nama pengguna
Matahari pagi di Wirasari menyelinap di antara daun-daun pohon mangga tua, menerangi halaman rumah Gilang yang penuh daun kering. Gilang, pria 40 tahun dengan tangan penuh kapalan dari kerja kayu, menyapu dengan gerutuan pelan. “Pohon ini bikin halaman kayak hutan,” gumamnya. Rumah tua yang diwarisinya dari ayahnya itu sederhana, tapi selalu terasa berat, seolah menyimpan rahasia yang tak pernah ia pahami.
Saat menyodok tumpukan daun ke dalam karung, sapunya tersangkut sesuatu di tanah. Ia berjongkok, menggali dengan tangan, dan menemukan sebuah cincin emas. Kilauannya mencuri napas, meski debu menempel di ukiran sulur-sulur halusnya. Cincin itu terasa aneh—berat, seolah menarik perhatiannya lebih dari seharusnya. Gilang menyimpannya di saku, memutuskan untuk bertanya pada Mbah Dodi, tetua desa yang tahu cerita-cerita kuno Wirasari.
Malam itu, di beranda yang diterangi lampu minyak, Gilang memandangi cincin itu. Rasa penasaran menggodanya. Ia meluncurkan cincin ke jari manis, dan dunia di sekitarnya memudar. Kepalanya pening, lalu ia melihatnya: seorang wanita berkebaya, Nyonya Arfi, berdiri di halaman yang sama, air mata mengalir di pipinya. “Kau mengkhianatiku, Eko,” bisiknya, memandang seorang pria, Pak Eko, yang menatapnya dengan dingin. Gambaran itu lenyap, dan Gilang tersentak, napasnya tersengal. Cincin itu terasa panas, seolah menempel pada kulitnya.
Keesokan harinya, ia menemui Mbah Dodi di gubuknya yang penuh aroma kemenyan. Dengan tangan gemetar, Gilang menunjukkan cincin itu. Mata Mbah Dodi menyipit, tapi ia tersenyum tipis. “Cincin keluarga Arfi,” katanya. “Nyonya Arfi kehilangannya sebelum meninggal. Itu bukan sekadar emas—itu janji cinta dengan Pak Eko. Tapi hati-hati, Nak. Barang tua punya cerita, dan cerita punya harga.”
Gilang pulang dengan hati tak tenang. Ia bukan orang yang mudah percaya mistis, tapi penglihatan itu terlalu nyata. Malam itu, ia bermimpi, tapi ini bukan sekadar mimpi. Ia merasa menjadi Pak Eko, berdiri di bawah pohon mangga, berdebat dengan Nyonya Arfi. “Cincin ini bukan milikmu!” teriak Arfi, suaranya penuh luka. Gilang—atau Eko—merasa amarah yang asing, lalu melihat tangannya melempar cincin ke tanah. Saat terbangun, Gilang mendapati cincin itu, yang ia taruh di meja, kini kembali di jarinya. Jantungnya berdegup kencang. Ada apa dengan benda ini?
Hari-hari berikutnya semakin aneh. Setiap kali memakai cincin, Gilang seperti terseret ke masa lalu, merasakan hidup Pak Eko: pria yang menikahi Nyonya Arfi demi ambisi, lalu mengkhianatinya dengan menjual cincin itu untuk keuntungan. Yang lebih mengganggu, Gilang menemukan dokumen tua di loteng rumahnya—surat tanah yang menyebut “Eko Wirya” sebagai pemilik asli rumah ini, bukan keluarganya. Nama itu menghantuinya. Bagaimana mungkin rumah ini bukan milik ayahnya?
Ia kembali ke Mbah Dodi, suaranya penuh tuntutan. “Mbah, aku bukan cuma melihat Arfi dan Eko. Aku merasa seperti Eko! Apa yang kau sembunyikan?” Mbah Dodi memandangnya lama, lalu menghela napas. “Kau terhubung dengan cincin itu, Gilang. Nyonya Arfi mengutuk Eko, dan kau... mungkin reinkarnasinya. Cincin itu memanggilmu untuk menebus dosanya.”
Kata-kata itu seperti pukulan. Gilang menolak percaya, tapi penglihatan semakin jelas. Dalam satu mimpi, ia melihat Nyonya Arfi berdiri di bawah pohon mangga, mengutuk Pak Eko: “Kau akan hidup lagi, dan kau akan membayar!” Saat terbangun, ia menemukan luka kecil di lengannya, mirip yang ia lihat pada Eko dalam penglihatan. Ia mulai mempertanyakan dirinya sendiri. Apakah ia benar-benar Gilang? Atau hanya bayangan seseorang dari masa lalu?
Kegelisahan Gilang bertambah ketika seorang wanita muda, Lila, tiba di desa. Ia mengaku sebagai peneliti sejarah, tertarik pada keluarga Arfi. Lila mendengar kabar tentang cincin dari warga dan meminta Gilang menunjukkannya. “Cincin itu bukan sekadar perhiasan,” katanya, matanya berbinar. “Itu dibuat oleh dukun untuk mengikat jiwa Arfi dan Eko. Siapa pun yang memakainya akan terjebak dalam kenangan mereka.” Lila tahu terlalu banyak—detail yang bahkan Mbah Dodi tak sebutkan, seperti lokasi pohon mangga dalam penglihatan Gilang.
Gilang mulai curiga. Lila sering terlihat berkeliaran di dekat rumahnya malam-malam. Suatu malam, ia memergokinya menggali di bawah pohon mangga, wajahnya penuh tekad. “Apa yang kau cari?” bentak Gilang. Lila tersenyum dingin. “Kau pikir kau Gilang? Kau pikir rumah ini milikmu? Cincin itu kunci, dan aku tahu rahasianya. Kau cuma pion, dimanipulasi Mbah Dodi!”
Kata-kata Lila membuat Gilang terpaku. Ia menyerbu gubuk Mbah Dodi, menuntut jawaban. Tetua itu menghela napas panjang, wajahnya tiba-tiba tampak jauh lebih tua. “Aku memang membuat cincin itu,” akunya. “Nyonya Arfi memintaku mengikat jiwanya ke cincin agar ia bisa membalas Eko. Tapi kau, Gilang... kau bukan keturunan biasa. Kau anak yang kutemukan di dekat makam Arfi saat bayi, dengan cincin itu di tanganmu. Keluargamu hanyalah kedok yang kubuat untuk melindungimu.”
Gilang merasa dunianya runtuh. Ia bukan anak ayahnya? Rumah ini bukan milik keluarganya? Mbah Dodi melanjutkan, suaranya pelan. “Aku tak tahu mengapa cincin itu memilihmu, tapi Lila benar soal satu hal: kau terhubung dengan Arfi dan Eko. Hanya kau yang bisa memutus ikatan ini.”
Malam itu, Gilang tak bisa tidur. Ia memandangi cincin, mendengar bisikan Nyonya Arfi dalam kepalanya: “Kembalikan janjiku.” Dengan hati berat, ia pergi ke makam Nyonya Arfi di pinggir desa, di bawah pohon beringin tua. Di sana, ia menggali lubang kecil dan mengubur cincin itu, berharap mengakhiri kutukan. “Tenanglah, Arfi,” gumamnya. Tanah terasa dingin, dan angin malam membawa bisikan samar, seolah mengucap terima kasih.
Keesokan harinya, Gilang merasa lega. Halaman rumahnya terasa lebih cerah, pohon mangga seolah berdiri lebih tegak. Tapi saat menyapu, ia membeku. Di saku bajunya, cincin itu ada lagi, berkilau seperti baru. Jantungnya nyaris berhenti. Ia berlari ke makam, menggali lubang yang ia buat semalam—kosong. Cincin itu kembali, seolah menolak untuk pergi.
Saat kembali ke rumah, Gilang menemukan sesuatu di loteng: surat wasiat tua dengan tulisan Nyonya Arfi, menyebut “Gilang Arfi” sebagai pewaris sah rumah dan tanahnya. Nama itu membuatnya gemetar. Bagaimana Arfi tahu namanya? Di desa, kabar buruk menyebar: Mbah Dodi ditemukan meninggal di gubuknya, dengan luka mirip yang ada di lengan Gilang. Lila menghilang tanpa jejak, meninggalkan buku catatannya yang penuh sketsa cincin dan pohon mangga.
Malam itu, Gilang berdiri di halaman, memandang pohon mangga. Bayangan Nyonya Arfi muncul sekilas di antara daun-daun, tersenyum tipis. Gilang memegang cincin di sakunya, lalu tertawa pelan, suaranya asing di telinganya sendiri. “Kau menang, Arfi,” gumamnya. Ia tak lagi yakin siapa dirinya—Gilang, Eko, atau sesuatu yang lain. Tapi satu hal pasti: cincin itu kini bagian darinya, dan rahasia rumah ini akan ia jaga, seperti Arfi sebelumnya.
-Tamat