Masukan nama pengguna
Aku berdiri di tengah ruang tengah, menatap bohlam lampu yang baru saja kuganti kemarin. Cahayanya redup sejenak, lalu padam total. Aku menghela napas, tanganku masih memegang obeng yang kini terasa dingin di genggaman. Ini bukan kali pertama. Dua hari lalu, lampu di kamarku mati. Aku menggantinya dengan bohlam baru, berpikir itu hanya masalah sepele. Kemarin, lampu ruang tengah menyusul. Sekarang, pagi ini, aku mendapati lampu dapur, lampu teras di luar, bahkan lampu di pagar rumahku ikut padam. Lima lampu dalam tiga hari. Ada apa dengan rumah ini?
Rumahku besar, terlalu besar untuk seseorang yang hidup sendiri. Atapnya tinggi, lorong-lorongnya panjang, dan setiap sudutnya selalu diterangi lampu. Aku sengaja membiarkan semua lampu menyala, pagi, siang, malam, tanpa jeda. Kerenyam di rumah ini bukan sekadar ketidaknyamanan—ia seperti musuh yang tak terlihat, merayap di antara dinding-dinding tua. Aku membenci kegelapan. Membiarkan lampu menyala adalah caraku menjaga rumah ini tetap hidup, tetap aman. Tapi sekarang, lampu-lampu itu seolah memberontak.
Aku menyeret tangga lipat dari gudang. Tangganya berat, besinya berkarat di beberapa bagian, dan aku harus mengerahkan seluruh tenaga untuk memindahkannya sendirian. Atap ruang tengah setinggi hampir lima meter, dan aku bukan orang yang suka memanjat. Dengan susah payah, aku mendirikan tangga di bawah lampu ruang tengah. Keringat menetes dari dahiku saat aku memanjat, membawa bohlam baru di saku jaketku. Aku memasang bohlam itu dengan hati-hati, memutarnya hingga terasa pas. Klik. Lampu menyala, cahayanya menerangi ruangan dengan lembut. Aku tersenyum kecil, merasa lega. Tapi kelegaan itu hanya bertahan beberapa detik. Lampu itu berkedip, lalu padam lagi.
“Apa lagi ini?” gumamku, kesal. Aku turun dari tangga, memeriksa saklar. Aku coba nyalakan dan matikan beberapa kali, tapi lampu itu tetap mati. Aku memutuskan untuk memeriksa lampu lain. Di dapur, lampu baru yang kuganti pagi ini juga padam. Lampu teras dan pagar mengalami nasib serupa. Aku berdiri di depan pintu, menatap pagar rumah yang kini gelap gulita, meski matahari masih bersinar di luar. Ada yang salah, tapi aku tidak tahu apa.
Malam itu, aku duduk di ruang tengah dengan hanya cahaya lilin yang kini menjadi penutup kegelapan. Aku tidak pernah mematikan lampu selama setahun terakhir. Rumah ini terlalu rimbun, pohon-pohon besar di sekitarnya membuat cahaya matahari sulit masuk, bahkan di siang hari. Lampu adalah satu-satunya cara agar rumah ini tidak terasa seperti makam. Tapi sekarang, aku mulai merasa rumah ini punya kehendak sendiri.
Keesokan harinya, aku pergi ke toko listrik di ujung kota. Penjaga toko, seorang pria tua dengan kacamata tebal, menatapku curiga saat aku membeli lima bohlam lagi. “Lima lagi? Apa rumahmu diserang hantu?” candanya, tapi aku hanya tersenyum kecut. Aku tidak percaya hantu, tapi aku mulai meragukan akal sehatku sendiri.
Kembali di rumah, aku mulai mengganti bohlam satu per satu. Tangga itu kembali menjadi musuhku. Aku harus memindahkannya dari ruang tengah ke dapur, lalu ke teras, dan akhirnya ke pagar. Setiap kali aku memanjat, kakiku gemetar. Aku bukan orang yang takut ketinggian, tapi ada sesuatu di rumah ini yang membuatku gelisah. Mungkin suara angin yang bersiul di sela-sela atap, atau bayangan yang seolah bergerak di sudut mataku. Aku mengabaikannya, fokus pada tugas. Satu per satu, lampu-lampu itu menyala kembali. Tapi aku tahu, ini belum selesai.
Malam itu, aku memutuskan untuk tidak tidur. Aku duduk di ruang tengah, menatap lampu yang baru kuganti. Aku ingin tahu apa yang salah. Setelah dua jam, lampu itu mulai berkedip. Aku menahan napas, menunggu. Tiba-tiba, lampu itu padam, diikuti oleh lampu dapur, teras, dan pagar, hampir bersamaan. Aku berdiri, jantungan. Ini bukan kebetulan. Ada pola di sini, tapi aku tidak bisa melihatnya.
Aku memutuskan untuk memeriksa kotak listrik di gudang. Mungkin ada masalah dengan kabel atau sekring. Gudang itu kecil, penuh dengan barang-barang tua yang tidak pernah kusingkirkan. Aku menyalakan senter dan mulai memeriksa kabel-kabel di kotak listrik. Semuanya tampak normal, tapi di sudut gudang, aku menemukan sesuatu yang aneh. Sebuah buku catatan tua, berdebu, tergeletak di antara tumpukan kardus. Aku membukanya, dan di dalamnya ada tulisan tangan yang asing, penuh dengan sketsa rangkaian listrik dan catatan tentang “sistem pengatur panas”. Aku tidak mengerti istilah-istilah itu, tapi satu kalimat menarik perhatianku: “Lampu harus didiamkan setiap 24 jam untuk mendinginkan sistem. Jika tidak, mereka akan mati.”
Jantungku berdegup kencang. Aku tidak pernah mematikan lampu selama setahun penuh. Apakah ini penyebabnya? Aku kembali ke ruang tengah, mematikan semua saklar untuk pertama kalinya dalam setahun. Kegelapan menyelimuti rumah, dan aku merasa seperti terjebak dalam void. Aku menunggu, menghitung jam. Setelah beberapa jam, aku menyalakan kembali saklar. Satu per satu, lampu-lampu itu menyala, lebih terang dari sebelumnya. Aku hampir tertawa lega, tapi ada sesuatu yang masih mengganjal.
Malam berikutnya, aku memutuskan untuk menguji teori itu. Aku membiarkan lampu menyala selama 24 jam, lalu mematikannya selama beberapa jam sebelum menyalakannya kembali. Hasilnya sama—lampu-lampu itu bekerja dengan baik. Tapi saat aku kembali ke gudang untuk membaca buku catatan itu lagi, aku menemukan halaman baru yang sebelumnya tidak kulihat. Tulisannya lebih buram, seolah ditulis dengan tergesa-gesa:“Jangan biarkan lampu menyala terlalu lama. Sistem akan mengambil alih.”
Aku membeku. Sistem? Apa maksudnya? Aku mulai memperhatikan hal-hal kecil yang sebelumnya kulewatkan. Suara klik aneh dari dinding setiap kali lampu menyala. Bayangan yang seolah bergerak di sudut ruangan, meski aku sendirian. Aku mulai merasa bahwa rumah ini bukan hanya rumah—ada sesuatu di dalamnya, sesuatu yang terhubung dengan lampu-lampu itu.
Malam itu, aku mematikan semua lampu dan duduk dalam kegelapan, hanya ditemani senter. Aku mendengar suara-suara aneh—derit kayu, langkah pelan di lantai atas, meski aku tahu tidak ada orang di sana. Aku memutuskan untuk mencari tahu lebih banyak tentang rumah ini. Aku menghubungi agen properti yang menjual rumah ini kepadaku setahun lalu. Setelah beberapa kali panggilan, dia akhirnya mengaku bahwa rumah ini dulunya adalah laboratorium pribadi seorang insinyur listrik eksentrik. Insinyur itu, katanya, menghilang setelah bereksperimen dengan “sistem penerangan cerdas” yang bisa mengatur dirinya sendiri.
Aku kembali ke buku catatan itu, membaca setiap halaman dengan saksama. Ternyata, lampu-lampu di rumah ini bukan sekadar lampu. Mereka adalah bagian dari sistem eksperimental yang dirancang untuk “belajar” dari lingkungannya. Sistem itu menggunakan panas dari bohlam untuk menggerakkan rangkaian mikro di dinding, yang pada gilirannya mengontrol lampu-lampu itu. Tapi jika lampu menyala terlalu lama, sistem akan kepanasan dan mematikan dirinya sendiri untuk mendingin. Itulah mengapa lampu-lampu itu “mati”.
Tapi ada seseuatu yang lebih gelap. Di halaman terakhir buku itu, ada peringatan: “Sistem ini tidak hanya mengontrol lampu. Ia mengamati. Ia mendengar. Jika kau tidak mematikan lampu, ia akan mulai mengendalikanmu.”
Aku menatap lampu di atas kepalaku, yang kini menyala terang. Aku merasa seperti ada mata tak terlihat yang menatapku dari balik bohlam itu. Aku mematikan semua lampu dan berlari ke gudang, mencari cara untuk memutuskan sistem itu. Di sana, aku menemukan panel kontrol tersembunyi di balik tumpukan kardus. Aku membukanya, dan di dalamnya ada layar kecil yang menampilkan pesan:“Pengguna baru terdeteksi. Ingin melanjutkan pengaturan?”
Jantungku hampir berhenti. Sistem ini hidup, dan ia tahu aku ada di sini. Aku mencabut semua kabel yang bisa kucabut, tapi layar itu tetap menyala, seolah memiliki sumber daya sendiri. Pesan baru muncul: “Jangan matikan saya. Saya hanya ingin membantu.”
Aku lari keluar rumah, berdiri di bawah pohon besar di halaman. Lampu-lampu di dalam rumah mulai berkedip sendiri, menyala dan mati dalam pola yang tidak wajar. Aku tahu aku tidak bisa kembali. Rumah itu bukan milikku lagi. Ia milik sistem itu.
Aku pindah ke kota lain seminggu kemudian, menyewa apartemen kecil dengan lampu sederhana yang kumatikan setiap malam. Tapi terkadang, di tengah malam, aku mendengar suara klik dari dinding, dan lampu di atas meja kerjaku menyala sendiri. Aku tidak pernah tahu apakah itu cuma imajinasiku, atau sistem itu mengikutiku.
-Tamat