Cerpen
Disukai
1
Dilihat
1,748
Wadah Baru
Horor

Refan berdiri di tengah jalan setapak, tangannya terangkat tinggi, seolah mencoba menangkap sinar matahari yang menyelinap di sela-sela dedaunan. Di sekitarnya, teman-temannya berjalan santai, tertawa kecil sambil membawa bekal piknik. Mereka menuju sebuah gubuk tua di tengah hutan Pinus Wilis, Jawa Timur, yang konon dulu menjadi tempat tinggal seorang dukun legendaris bernama Mbah Kusoy. Refan, seorang mahasiswa arkeologi berusia 22 tahun yang penuh semangat petualang, memimpin rombongan itu. Ia tumbuh di desa terpencil, selalu penasaran dengan misteri sejarah, meski ibunya sering memperingatkan tentang bahaya menggali masa lalu yang kelam. Rasa aneh telah menggelitik hatinya sejak pagi, tapi ia mengabaikannya demi petualangan.

Hutan itu terasa hidup. Angin berdesir pelan, terdengar seperti bisikan. Di belakang Refan, ada lima temannya: Denz, seorang seniman 23 tahun yang selalu ceria dan suka menggambar apa saja, termasuk hal-hal aneh; Angelina, seorang pustakawan 21 tahun yang pendiam dan sering membaca buku-buku kuno, membuatnya peka terhadap cerita mistis; serta tiga sahabat Angelina—Wiwin, Arnah, dan Mega—yang mengenakan jilbab berwarna-warni. Wiwin, 22 tahun, adalah mahasiswi sastra yang pendiam namun cerdas, dengan rahasia kelam yang disembunyikannya; Arnah, 20 tahun, seorang aktivis kampus yang penuh semangat tapi menyimpan dendam lama pada Refan karena ia pernah secara tidak sengaja merusak proyek tugas akhirnya; dan Mega, 21 tahun, mahasiswi biologi yang lembut hati namun sering gelisah di tempat asing. Mereka semua tampak menikmati perjalanan, tapi Refan tidak bisa mengabaikan perasaan bahwa ada sesuatu yang mengintai dari balik pohon-pohon besar.

Saat mereka mendekati gubuk tua, Refan memperhatikan sebuah benda aneh di sisi jalan: tengkorak kambing dengan tanduk yang patah, dikelilingi jejak darah kering. Ia berhenti sejenak, tangannya masih terangkat, dan menunjuk benda itu kepada Denz. “Lihat, aneh, kan?” Denz hanya tertawa, “Mungkin cuma sisa ritual warga sekitar.” Tapi Angelina, yang tiba-tiba berhenti berjalan, menatap tengkorak itu dengan ekspresi ketakutan. “Aku pernah baca di buku kuno,” katanya lirih, “tempat ini adalah lokasi ritual Mbah Kusoy. Ia mengutuk siapa saja yang mengganggu kedamaiannya, dan korban pertama selalu hilang tanpa jejak.”

Refan menurunkan tangannya, mencoba menenangkan Angelina. “Jangan takut, kita cuma piknik biasa.” Tapi kata-kata Angelina terus bergema di pikirannya. Mereka melanjutkan perjalanan, dan akhirnya sampai di gubuk tua itu. Atapnya sudah reyot, dindingnya penuh lumut, dan ada bau aneh—campuran tanah dan sesuatu yang membusuk—yang menyelinap dari dalam. Refan, dengan keberaniannya yang terinspirasi dari hobi menggali situs arkeologi, memutuskan masuk lebih dulu. Di dalam, ia menemukan sebuah buku tua dengan sampul kulit hitam, penuh simbol aneh yang menyerupai tanda mata dan lingkaran berbelit.

Saat Refan membuka buku itu, angin tiba-tiba bertiup kencang, meski mereka berada di dalam gubuk. Halaman buku itu kosong, kecuali satu halaman yang bertuliskan: “Mereka yang datang, tak pernah pergi.” Refan merinding, tapi ia berusaha menyembunyikan ketakutannya dari teman-temannya. Ia menutup buku itu dan menyimpannya di tas, berpikir untuk menelitinya nanti. Namun, saat ia menoleh, Angelina sudah tidak ada di dalam gubuk. “Guys, Angelina ke mana?” tanya Refan, panik. Wiwin, Arnah, dan Mega saling pandang, sementara Denz berlari ke luar gubuk untuk mencari. Tapi Angelina benar-benar hilang.

Refan merasa jantungnya berdegup kencang. Ia mengangkat tangan lagi, kali ini untuk menenangkan diri, tapi tiba-tiba ia mendengar suara tawa kecil dari balik pohon besar di dekat gubuk. Suara itu mirip dengan Angelina, tapi ada nada aneh yang membuat bulu kuduknya berdiri. Refan dan Denz berlari ke arah suara itu, diikuti oleh Wiwin, Arnah, dan Mega. Di balik pohon, mereka menemukan Angelina—tapi bukan Angelina yang mereka kenal. Matanya kosong, tangannya memegang tengkorak kambing yang tadi mereka lihat di jalan. “Kalian seharusnya tidak datang,” katanya dengan suara serak yang bukan miliknya, “Mbah Kusoy menunggumu, Refan.”

Sebelum Refan bisa bereaksi, Angelina tiba-tiba berlari ke arah hutan, menghilang di antara semak-semak. Refan terpaku, tangannya masih terangkat, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. “Ini gila,” gumam Denz, suaranya gemetar. Tapi Wiwin tiba-tiba berbicara, “Aku tahu apa yang terjadi. Ini kutukan Mbah Kusoy. Ia mengutuk hutan ini setelah desa menolaknya, dan siapa pun yang masuk ke gubuknya akan dirasuki oleh roh-roh yang ia panggil.” Refan menoleh tajam ke arah Wiwin. “Kenapa kamu baru bilang sekarang?” tanyanya, nada suaranya penuh kecurigaan.

Wiwin tersenyum tipis, sebuah senyuman yang membuat Refan merasa tidak nyaman. “Karena aku yang membawa kalian ke sini,” katanya. Plot twist itu membuat Refan dan yang lainnya terdiam. Ternyata Wiwin bukan sahabat biasa. Ia adalah cicit Mbah Kusoy, yang sejak kecil diajari ritual kuno oleh neneknya untuk melanjutkan kutukan leluhurnya. Ia sengaja membawa mereka ke gubuk untuk mengorbankan lima jiwa demi membebaskan roh Mbah Kusoy yang terperangkap. “Angelina hanya permulaan,” tambah Wiwin, suaranya dingin.

Refan merasa dunia berputar. Ia menurunkan tangannya, mencoba berpikir jernih. “Jadi, kamu bohong soal piknik ini?” tanyanya, mencoba menahan amarah. Wiwin mengangguk, “Aku butuh lima jiwa untuk menyelesaikan kutukan ini. Roh Mbah Kusoy terkurung di buku itu, dan hanya darah segar yang bisa membebaskannya.” Arnah dan Mega, yang selama ini diam, tiba-tiba bergerak mundur, wajah mereka penuh ketakutan. Tapi sebelum mereka bisa lari, tanah di bawah kaki mereka bergetar hebat, dan dari dalam tanah, muncul bayangan-bayangan hitam yang menyerupai manusia, tapi tanpa wajah—roh-roh yang dipanggil Mbah Kusoy untuk menjaga kutukannya.

Refan, Denz, Arnah, dan Mega berlari sekuat tenaga, meninggalkan Wiwin yang tertawa di tengah gubuk. Bayangan-bayangan itu mengejar mereka, dan Refan merasa napasnya semakin berat. Saat mereka hampir sampai di jalan setapak, Denz tiba-tiba berhenti. “Aku… aku tidak bisa lari lagi,” katanya, sebelum tubuhnya ditarik ke dalam tanah oleh bayangan itu, meninggalkan sketsa setengah jadi yang jatuh dari tangannya—gambar wajah Mbah Kusoy yang mengerikan.

Refan berteriak, tangannya terangkat lagi, kali ini penuh keputusasaan. Ia tidak bisa kehilangan teman lainnya. Tapi Arnah tiba-tiba berbalik, wajahnya penuh amarah. “Ini semua salahmu, Refan! Kamu yang merusak proyekku dua tahun lalu, dan aku bersumpah akan balas dendam!” Plot twist lainnya terungkap: Arnah memang sengaja membiarkan Refan masuk ke gubuk, berharap kutukan itu akan menghabisinya sebagai pembalasan atas kegagalannya di kampus. Bayangan-bayangan itu semakin dekat, dan Mega tiba-tiba menghilang di antara pepohonan, meninggalkan teriakan yang memilukan sambil mencoba mencatat spesies tanaman untuk penelitiannya yang terbengkalai.

Kini hanya Refan dan Arnah yang tersisa. Mereka berlari kembali ke jalan setapak, tapi di sana, mereka menemukan sesuatu yang lebih mengerikan: tubuh Angelina tergeletak, matanya terbuka lebar, tapi tidak bernyawa. Di tangannya, ada buku tua yang tadi Refan temukan—dan buku itu kini terbuka di halaman baru yang bertuliskan nama Refan dengan tinta merah menyala, seolah darah segar mengalir dari halaman itu. Kutukan Mbah Kusoy ternyata adalah ritual pengorbanan: setiap jiwa yang hilang akan menambah kekuatan rohnya, dan Refan, sebagai pemimpin kelompok, ditakdirkan menjadi korban terakhir untuk membebaskannya sepenuhnya.

Refan merasa dunianya runtuh. Ia mengangkat tangan untuk terakhir kalinya, mencoba menolak kenyataan. Tapi tiba-tiba, Arnah mendorongnya ke tanah. “Kamu harus mati, Refan. Hanya dengan itu kutukan ini berhenti, dan aku bisa bebas dari bayanganmu!” katanya, suaranya penuh kebencian. Tapi sebelum Arnah bisa melakukan apa pun, bayangan hitam itu menariknya ke dalam tanah, meninggalkan Refan sendirian di tengah hutan yang kini sunyi, dengan suara tawa Mbah Kusoy bergema dari buku tua.

Refan terduduk, napasnya tersengal. Buku tua itu masih ada di dekat tubuh Angelina, dan halaman terakhir kini bertuliskan: “Kau yang terakhir, tapi tak pernah bebas. Rohku kini dalam darahmu.” Refan menyadari bahwa kutukan itu telah memasukinya—darahnya kini menjadi wadah baru Mbah Kusoy. Ia menatap gubuk tua itu, yang kini terlihat lebih gelap, dengan bayangan wajah Mbah Kusoy muncul di dinding kayu. Ia tahu, meski ia selamat hari ini, kutukan itu belum selesai. Setiap detak jantungnya akan memanggil roh itu kembali, dan ia tidak akan pernah benar-benar melarikan diri, bahkan hingga jam menunjukkan 01:52 WIB, saat ia akhirnya pingsan di tengah hutan yang kini menjadi penjaranya.

-Tamat

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (2)