Masukan nama pengguna
Sebilah Parang dan Tugas Terakhir Paman Ahdi
Cerpen Habel Rajavani
"KAMU akan terus tinggal di sini, Dan?"
"Insyaallah, Paman."
"Kami akan bangun lagi rumah ini?"
"Iya, Paman. Saya tak punya rumah di sini, Paman. Kalau mau tinggal di sini, saya harus bangun kembali rumah ini."
Paman Ahdi tersenyum. Di usianya yang sudah mencapai 80 tahun, perokok berat, Paman Ahdi tampak sangat sehat. Badannya kekar. Ia seusia itu masih aktif bekerja. Saya memperhatikan bagaimana dia mencabut puntung dari pipa rokoknya. Memasang batang rokok baru lalu menyalakannya. Saya mengenal benar pipa rokok dari tulang beruang itu. Cuma merek rokoknya sudah berganti. Tak ada lagi rokok dengan merek Jambu Bol, Jembatan Mas, Sukun, Grendel, dan nama-nama aneh lain seperti dulu. Saya juga mengenal sekali apa yang dia berikan kemudian. Itulah perbincangan terakhir kami. Tak sampai sebulan setelah itu dia meninggal. Apa yang ia berikan atau tepatnya kembalikan padaku seperti menuntaskan sebuah tugas, menyelasaikan sebuah amanat.
Saya memanggilnya Paman Ahdi, meskipun sebenarnya kami sama sekali tak ada hubungan saudara. Ia pendatang di kampung kami. Bertahan hidup sebagai buruh tani, sebelum dari tabungannya ia bisa beli sepetak tanah untuk dikembangkan jadi kebun kelapanya sendiri. Ia petani yang berhasil. Bumi yang digarap dengan kerja keras mengubah hidupnya.
Ia pekerja yang gigih, rajin dan ia bekerja dengan rapi dan hasilnya memuaskan pemberi kerja. Apa saja pekerjaan upahan yang tersedia di kebun dia kerjakan. Menebas semak, memanen kelapa, mengupas kelapa, menggali parit, meratakan tanah, apa saja. Ayahku senang mempekerjakannya. Di antara mereka terjalin kedekatan yang kata orang kampung menjadikan mereka lebih dari saudara.
Bibit yang ditanam di kebun kelapa Paman Ahdi itu semua dari ayahku. Ayah yang memilih buah kelapa terbaik dari hasil panen di kebunnya, yang cukup tuanya, yang seragam besarnya. Ayah yang membibitkannya, sampai siap ditanam, ayah sendiri yang menanamnya di lahan Paman Ahdi. Dia percaya tangan ayahku bertuah, membawa berkah.
"Tangan Bang Ohim berafuwah, kalau Bang Ohim yang menanam babi tak berani menyungkalnya..." kata Paman Ahdi. Tentu saja dia berlebihan. Ayah memagari bibit kelapa itu selingkaran dengan bekas jaring ikan, dan melilitkan bekas jaring ikan ke pangkal bibit kelapa yang ditanam, itu yang bikin babi tak mau mengganggu.
Kebun kelapa Paman Ahdi lokasinya di lahan bukaan baru. Letaknya berbatasan dengan hutan. Lahan itu dirintis bersamaan dengan beberapa orang kampung, termasuk ayahku. Ada proyek sertifikasi murah dari negara. Kesempatan itu dimanfaatkan orang kampung untuk pembukaan lahan baru.
Lahan ayahku bersebelahan dengan lahan Paman Ahdi. Sementara menunggu kelapa tumbuh hingga panen - itu tujuh tahun lamanya - lahan kosong ditanami padi ladang, sayur-sayuran, juga pisang. Itulah yang dilakukan Paman Ahdi, seperti yang dilakukan ayahku. Juga kakekku dulu. Itulah cara petani bertahan. Kelak ketika kelapa sudah berbuah pun kebiasaan menanam sayur di sela kelapa masih dilakukan. Kami tak pernah kekurangan terong, timun, cabai, paria, kangkung, pucuk singkong, putri malu, apa saja yang bisa tumbuh di lahan kami.
Masalah terbesar petani di tahun-tahun awal membina kebun kelapa ya sapi kaki pendek itu, ya babi itu. Paman Ahdi membangun pondok di kebunnya. Siang dia merawat anakan kelapa dan sayuran, malam dia berjaga menghalau babi. Anak-anaknya lahir di kebun dan tumbuh bersama kelapa. Pondok itu kelak ia permanenkan jadi rumahnya.
Ayahku menitip kebunnya juga untuk diawasi, Paman Ahdi tak mau dibayar untuk itu. Ia melakukannya dengan senang hati. Sesekali ayah menginap juga di pondok kecil yang dia bangun di lahannya. Ada sumur berair jernih di dekat pondok ayahku. Ada batu alam besar, yang jadi batu asah besar di dekat sumur itu. Pada hari Minggu atau saat libur sekolah ayah mengajakku.
Satu atau dua tahun kemudian, ada seorang petani lain yang membuka kebun di ujung hamparan lahan kebun baru itu. Tampaknya, Pak Amran, petani baru itu bermodal kuat. Selain menanam kelapa dia juga memelihara sapi. Ia membangun kandang-kandang pembesaran anakan sapi. Saya suka bermain-main di kandang sapi itu melihat-lihat sapi dari dekat. Pak Amran jarang tampak di kebunnya. Ia membayar beberapa orang pekerja. Orang-orang dari luar kampung yang di mataku tak pernah ramah. Saya pernah dimarahi ketika bermain di dekat kandang dan memberi makan rumput ke anak sapi itu.
Ketika kembali lagi ke kawasan kebun itu sekian puluh kemudian saya tak melihat lagi bekas kebun Pak Amran. Tak ada sisa-sisa pohon kelapa di sana. Lahannya sudah dijual ke beberapa orang dan di sana berdiri bangunan untuk sarang walet dan kolam-kolam ikan yang tak terurus. Beberapa petak kebun lain di sana pun sama tak terawat. Kecuali kebun Paman Ahdi. Saya masih punya sisa kebun di situ, bersebelahan dengan kebunnya, kebun yang ia rawat, setelah ayahku meninggal. Ada bekas tapak rumah lama ayahku di situ. Di situlah saya hendak membangun rumah.
“Belilah kembali kebun ayahmu yang dia jual padaku, Dan!” kata Paman Ahdi, ketika saya pertama kali datang kembali ke kampung. Setelah puluhan tahun. “Saya tak akan menjualnya pada orang lain. Saya mau kembalikan itu ke ayahmu lewat kamu anaknya. Saya berutang banyak padanya, Dan,” katanya.
Sebenarnya sayalah dan keluarga kamilah yang berutang padanya.
Paman Ahdi pandai sekali mengasah parang. Dialah yang menjadikan batu besar di dekat sumur ayahku menjadi batu asah. Di situlah dia mengasah parang setiap pagi, ketika hari belum lagi terang. Saya ingat benar suaranya, seperti saya ingat cerita terkait dengan parang itu yang membuat aku harus pergi dari kampung. Srat sret srat sret… Tanpa diminta ia juga mengasah semua parang milik ayahku.
Peternakan sapi milik Pak Amran semakin besar. Dari belasan ekor anakan sapi kini sudah puluhan ekor. Kandangnya makin luas. Pekerja Pak Amran menanam rumput gajah sebagai pakan utama. Yang paling merisaukan adalah kelalaian mereka. Ada saja seekor dua ekor anak sapi yang lepas dan mengganggu tanaman milik petani lain. Paman Ahdi sudah berkali-kali mengingatkan. Sering kali Paman Ahdi menangkap anak sapi yang lepas lalu mengikatnya sebelum dia kembalikan atau diambil oleh pekerja Pak Amran. Tapi selalu ada saja ternak sapi yang lepas.
Saya sudah kelas tiga madrasah tsanawiyah ketika peristiwa itu terjadi. Tanaman labu ayahku sudah mengeluarkan buah-buah muda, besar-besar dan bulat sempurna. Satu atau dua bulan lagi panen. Saya sedang menyiangi rumput di situ, memunguti bekicot yang menghama, ketika petang itu beberapa ekor anak sapi lepas dan datang mehayau kebun kami seperti anak-anak banteng lapar, mendengus, menyerbu, menginjak-nginjak tanaman dan menghacurkan buah-buah labu muda. Saya tahu benar apa arti buah labu itu bagi ayahku dan bagiku. Panen labu musim itu kata ayah buat biaya tambahan saya masuk madrasah aliyah di kota. Saya seperti melihat masa depanku diporak-porandakan dan dihancurkan oleh anak-anak sapi itu.
Tanpa pikir panjang, mengikuti naluri dan amarah dalam diriku saya mengayunkan parang dumpak yang dengan lekas kucabut dari kumpangnya di pinggangku. Parang itu tadi pagi baru saja diasah oleh Paman Ahdi. Seharian saya belum memakainya. Parang itu biasanya dipakai untuk pekerjaan keras seperti menebang pohon atau memanen kelapa. Tapi kali ini saya memakainya untuk menimpas anak-anak sapi itu. Saya tebaskan parang itu ke lehernya, ke kepalanya, saya tebaskan ke kakinya. Saya berlari ke anak sapi lain dan mengulangi hal yang sama. Saya kalap. Saya mengamuk. Saya hanya ingin menyelematkan labu-labu muda saya itu. Lalu yang kuingat hanya teriakan Paman Ahdi. Ia ambil parang dari tanganku. Dia suruh saya lekas pergi ke sumur. “Lari, Dan, bersihkan badanmu, Dan… cepat. Buang bajumu, Dan!”
Pak Amran melaporkan pembantaian sapi-sapi itu ke polisi. Paman Ahdi mengaku dialah yang melakukan itu. Dia dipenjara beberapa tahun. Dia jalani setengah dari vonis setelah beberapa kali remisi karena berkelakuan baik. Saya mengalami trauma. Ayah memindahkan saya sekolah di madrasah tsanawiyah ke kota, sebelum masuk aliyah, dan lanjut kuliah di kota lain di pulau lain. Selama Paman Ahdi di penjara ayah yang menjaga kebunnya dan menjaga keluarganya, menjaga anak-anaknya yang masih kecil. Sesekali saya pulang, tapi setelah lulus kuliah, bekerja sebagai pegawai, pindah tugas ke berbagai kota, dan pensiun, saya sama sekali tak pernah pulang. Niat untuk pulang tebersit ketika istriku meninggal. Anak-anakku semua sudah mandiri.
“Dan, saya mau kembalikan ini,” kata Paman Ahdi.
Dari tas purun yang tampak sudah rantas di sana sini, ia keluarkan parang dumpak dengan kumpangnya yang saya kenal benar. Saya kira parang itu sudah tak ada, di sita sebagai barang bukti di persidangan.
“Ini parang kesayangan ayahmu, Dan. Ada dua parang seperti ini. Parang ayahmu dan parangku. Keduanya dibuat oleh Pak Asli. Kamu ingat pandai besi kampung kita itu kan? Besinya ini dari per truk tentara sekutu, saya mencurinya di museum Kodam,” kata Paman Ahdi sambil tersenyum jenaka, seperti mengejek sinis kekonyolan masa lalunya sendiri.
Setelah pindah ke kota, saya dapat cerita dari Ayah siapa Paman Ahdi. Dia pernah terlibat kasus pembunuhan. Tak jelas diakah pelakunya atau hanya dikorbankan kawan-kawannya gerombolannya. Yang jelas hanya dia yang masuk penjara. Di tahun-tahun akhir masa hukumannya dia “dititipkan” di Markas Kodam. Lepas dari hukuman itu, Paman Ahdi yang tak tahu harus memulai hidup dari mana dan hendak menuju kemana bertemu ayahku di pasar kota. Ayah membawa hasil kelapa orang kampung kami. Ada beberapa pedagang yang rutin menampung kepala-kelapa terbaik hasil kebun petani di kampung kami. Ayah mengajak Paman Ahdi ikut ke kampung kami dan membuka kebun.
“Ini parang yang dulu kamu pakai untuk menjaga labu-labumu, Dan,” kata Paman Ahdi.
Sejenak saya sempat ragu, benar-benar ragu untuk menerimanya.
“Ambillah, Dan. Saya harus kembalikan ini ke ayahmu, lewat kamu. Ayahmu tahu saya menyimpan parang ini. Sebelum beliau meninggal, dia pesan tolong dijaga. Saya sudah cukup menjaganya, Dan. Terimalah. Ini amanat ayahmu,” katanya.
Saya menerimanya dengan sedikit gemetar. Terbayang suara ketika Paman Ahdi mengasahnya di batu asah di dekat sumur. Terbayang suara ketika tulang kepala dan otot anak-anak sapi itu tertebas… terbayang teriakan Paman Ahdi ketika ia merampas parang itu dari tanganku.
"Kamu akan terus tinggal di sini, Dan?"
"Insyaallah, Paman."
"Kami akan bangun lagi rumah ini?"
"Iya, Paman…..”
© Habel Rajavani, 2024.