Masukan nama pengguna
Sebentang Jalanan, Sepanjang Kenangan
Cerpen Habel Rajavani
Balikpapan, 1989
KALAU sedang hendak berhemat, atau karena hanya ingin melakukannya, atau karena memang tak punya uang, kami berjalan kaki dari sekolah ke terminal kota. Itu jaraknya sekitar dua kilometer.
Kami tak pernah menghiraukan berapa waktu yang kami tempuh, dan seberapa terik matahari dan seberapa panas udara kota pukul 2 siang membakar kulit kami. Kami menikmatinya. Tahu-tahu eh sudah sampai karena kami punya banyak bahan untuk dibicarakan, terutama buku, majalah, yang kami baca, dan teman kami Aida.
Dari terminal itu nanti, aku akan terus ke selatan kota, dan Toni ke utara. Aku ke kantor surat kabar lokal, tempatku sejak kelas satu bekerja sebagai penulis lepas, dan Toni pulang ke rumahnya di komplek BTN, yang umumnya dihuni oleh pegawai perusahaan minyak negara. Ibunya Toni salah satunya.
Terminal itu menyatu dengan pasar. Di pasar itu selain pasar basah di bagian bawah, ada los pakaian di bagian atas, dan sebuah toko buku dan alat tulis di salah satu pojoknya, persis di bawah tangga. Toko langganan kami itu menjual buku pelajaran, buku umum dan agama, majalah, surat kabar, dan buku-buku fiksi. Pemiliknya seorang haji, kami kira begitu, karena dia selalu memakai kopiah haji.
Kalau kami beruntung, kami bertemu dengan anak gadisnya yang ikut menjaga toko dan melayani pembeli. Aku yang pertama kali tahu tentang anak gadis itu dan kuceritakan pada Toni. Dari menguping pembicaraan sang ayah, saya tahu bahwa anaknya itu dulu sekolah SMP di kota lain. Gadis dengan mata ramah dan hangat itu seusia kami. Kadang si anak gadis masih memakai seragam sekolah. Dari tanda lokasi di seragam sekolahnya kami tahu dia murid di sebuah sekolah Islam yang cukup ternama di kota kami.
Ongkos angkot dari sekolah ke terminal kota tidaklah mahal. Ada tarif khusus pelajar. Kami berhemat kalau ada buku yang hendak kami beli. Kami sedang mengikuti buku seri cerita silat Arswendo Atmowiloto "Senopati Pamungkas".
"Masih kurang berapa uang kita, Ris?" tanya Toni.
"Buku ke-16 terbit minggu ini ya? Kalau kita nabung tiga hari lagi sudah cukuplah," kataku.
Kira-kira setengah jarak dari sekolah ke terminal, di depan kantor pos ada kios penyewaan buku. Aku dan Toni selalu singgah di situ, untuk mengembalikan dan menyewa buku cerita atau komik.
Kami baru saja sampai ke kios itu, ketika sebuah angkot berhenti. Beberapa penumpang turun. Ada teman satu sekolah kami dari kelas lain. Kami kira dia mau mengeposkan surat. Dia punya beberapa sahabat pena di kota lain. Lalu, yang tak kami sangka, menyusul turun Aida. Dia melompat kecil, lalu berlari ke arah kami, dengan senyum lebar dan tak membawa tas sekolah. Aku dan Toni terkejut.
"Supirku kusuruh duluan menunggu di terminal. Aku mau menyusul kalian ke sini," kata Aida. "Kok kalian nggak mau nungguin, sih... sebel banget!"
"Kamu kan rapat sama guru..." kataku. Aida sekarang ketua PMR di sekolah kami. "Kalau rapat OSIS sama guru pembina gitu biasanya pasti lama..." kata Toni. "Emang lama, saya kabur duluan," kata Aida, "saya kan udah bilang hari ini mau jalan sama kalian."
“Kirain kamu nggak serius, Da," kataku.
"Ah, sebel. Katanya sahabatan, nggak percaya banget sih... Mentang-mentang kalian cowok ya..."
"Nggak gitu, Da..." kataku berbarengan dengan Toni.
Ida meninggikan suara, "Nggak gitu gimana? Nyatanya memang gitu. Nyatanya saya kalian tinggal, jalan aja berdua, nggak nungguin saya...."
Aku, Toni, dan Aida kini sekelas di Kelas II Biologi 2. Aku dan Toni sekelas sejak kelas 1, Aida di kelas lain. Toni dan Aida dulu satu sekolah di SMP. Karena itu kami menjadi dekat. Kami semakin dekat karena kami sama-sama suka membaca. Aida berlangganan majalah Gadis dan Anita Cemerlang, dan dia punya majalah berbahasa Inggris National Geographic. Toni berlangganan Hai. Aku berlangganan majalah bulanan Intisari, tak peduli pada ejekan dua teman saya yang mengatakan itu majalah orang-orang tua. Kami bertukar bacaan. Selain majalah, juga buku-buku. Kata Toni kami ini seperti anggota kelompencapir.
Dengan hasil honor bekerja sebagai reporter lepas khusus liputan pelajar di koran lokal, aku bisa membeli dan mengoleksi sedikit buku-buku novel remaja. Tapi semua buku yang saya punya mereka berdua pasti sudah punya. Mereka punya lebih banyak buku yang tak saya punya, dan mereka meminjamkannya pada saya, dari buku-buku Agatha Christie hingga seri Lima Sekawan dari Enyd Blyton, juga komik Lucky Luke, Asterix, sampai Tintin.
Toni mewarisi buku-buku itu dari kakak-kakaknya. Jangan tanya Aida, dia sih anak tunggal yang memang dilimpahi bacaan oleh orangtuanya. Dia juga punya akses ke perpustakaan perusahaan minyak tempat ayahnya bekerja, yang koleksinya bikin saya ikhlas dikurung di situ asal diperbolehkan membaca. Aida dilimpahi segalanya. Segalanya? Mungkin tidak. Aku rasa ada yang tidak dia punya meskipun dia sangat ingin mendapatkannya.
Dari kios sewa buku Toni meminjam seri lain dari cersil Kho Ping Ho. Kami melanjutkan perjalanan. Aida bercerita sepanjang jalan, tentang pembantu di rumahnya yang suka menghilang karena sibuk pacaran dengan satpam kompleks, tentang anjingnya yang mogok makan, tentang makanan di restoran mewah yang baru buka di kota kami, dan rencana liburannya bersama keluarganya. Ia berjalan di tengah sambil menggandeng lengan kami.
Anak-anak lain teman sekolah kami yang melihat kami berteriak mengolok-olok kami. “Cie, Aida, dua cowok diborong semua. Bagi-bagi, dong, Da…” Aku dan Toni kadang-kadang merasa risih juga. Tapi Aida tak peduli. “Kalian berdua cowokku, saya gak mau lihat ada cewek lain yang jadi pacar kalian,” katanya, seperti mengancam, tapi jelas dia hanya main-main.
“Yah, Da…. Harga kami di pasaran cowok keren di sekolah jadi jatuh nih…” kataku.
“Biarin,” kata Aida, “seberapa tinggi harga pasaran kalian? Emangnya ada yang nawar? Siapa aja yang naksir kalian? Entar saya tawar sepuluh kali lipatnya, deh.”
“Haris sih nggak main di sekolah, Da. Dia naksir anak pemilik toko buku,” kata Toni.
“Iya, Ris? Beneran?” tanya Aida.
Aku hanya tertawa. “Ada yang lebih cantik dari dia…” kataku.
“Siapa? Aku? Basi banget sih gombalanmu, Ris,” sambar Aida.
“Geer deh…” kata Toni.
Aku mengeluarkan foto dari kantong ranselku. “Ini dia…” kataku. Aida menyambar foto itu dari tanganku. “Siapa nih?”
“Masa gak tahu?”
“Gak…. “
“Tapi cantik kan?” tanyaku.
“Aku tahu. Itu finalis model majalah Mode dari SMA International itu kan?” kata Toni.
“Aku gak baca Mode. Tapi kok bisa kamu dapat fotonya?” kata Aida sambil merebut foto itu dari tanganku dan memandangi foto itu dengan pura-pura kesal.
“Kok kamu kayak kesel, sih, Da…”
“Nggak kesel. Cuma penasaran pengen tahu aja, kok bisa Haris dapat fotonya…” tanya Aida.
“Saya ditugasi mewawancarai dia sama redakturku…”
“Ah, kenapa nggak wawancarai aku aja sih, Ris…” kata Aida.
“Sebagai apa? Ketua PMR SMA Negeri 2 gitu?”
“Iyalah. Kenapa emang? Itu gak masuk kriteria koranmu ya?”
Saya dan Toni tertawa. Kali ini Aida benar-benar kesal. “Kok kalian ketawa, sih?”
Malang, 2023
“Cita-citamu tercapai, ya, Da,” kataku, “kuliah kedokteran, praktik dokter, sekarang sudah jadi spesialis penyakit dalam.”
“Kamu juga, Ris. Wartawan hebat kamu sekarang,” kata Aida.
“Tapi kuliahku ngaco banget.”
“Yang pentingnya jadi wartawan, jadi penulis juga, itu yang kami cita-citakan, ‘kan?”
“Toni juga,…” kataku.
Aida terdiam. Mengalihkan pandangan. Aku menyesal menyebut nama Toni. Tapi tak mungkin rasanya tak menyebutkan namanya. Kami sahabat dekat sejak SMA dulu. Persabahatan yang hangat dan mungkin agak kami sesali. Kata orang tak mungkin lelaki dan perempuan bisa terus menjaga hubungan hanya sebatas sahabat. Kami ingin membuktikan bahwa itu pendapat salah. Persahabatan kami bertiga terjaga sampai kami lulus. Tapi rupanya Toni diam-diam mencintai Aida lebih dari sahabat. Seperti aku juga diam-diam mencintai Aida. Mereka berpacaran ketika sama-sama kuliah ke Malang. Sementara aku ke Bandung. Mereka menikah tak lama setelah lulus kuliah. Aku merasa sedikit dikhianati tapi rasanya bisa ikut bahagia melihat dua sahabat saya itu berbahagia. Lalu aku menyibukkan diri dengan liputan dan liputan. Aku tak pernah ikut reuni karena malas menjaga perasaan bila bertemu Aida dan Toni. Beberapa tahun kemudian kudengar mereka bercerai. Anak mereka dibesarkan Aida. Toni berselingkuh dan menikah lagi dengan ah, seperti fiksi saja rasanya, si gadis sampul yang kuwawancarai di SMA dulu itu. Cerita affair kantor yang basi…. Aku tak menyangka Toni melakukan itu. Tapi waktu ternyata mengubah manusia.
Kami bertemu di Malang karena ternyata anak kami sama-sama kuliah di Universitas Brawijaya, satu fakutas, beda jurusan. Kami tak menyangka berpapasan saat antre berfoto. Wisuda di perguruan tinggi negeri di Malang ini unik. Sepanjang tahun bisa beberapa kali, apabila jumlah lulusan yang akan ikut jadi wisudawan mencapai seribu orang. Sementara mahasiswanya belasan ribu.
“Sendiri, Ris?” tanya Aida.
“Iya….” kataku. “Istriku meninggal dua tahun lalu, Da. Covid-19.”
“Oh, innalillahi…,” kata Aida.
Pada malam hari wisuda, anak-anak punya acara dengan teman-teman kampusnya. Aku dan Aida bertemu di satu tempat makan yang sangat nyaman. Lokasinya agak di luar kota. Dibangun di tengah sawah dengan menu lokal yang diolah istimewa, jadi agak berbeda, dan rasanya lezat.
“Ini ayam kalasannya enak banget, ya, Da,” kataku.
“Tuh, bener kan? Gak percaya, sih…”
“Percayalah. Makanya aku pesen ini juga.”
Lalu kami bicara banyak hal. Seru dan hangat. Kami mengingat saat-saat kami pulang sekolah jalan kaki, meminjam komik di kios sewa buku, rame-rame nonton film Pengkhianatan G30S PKI, ikut lomba mural di Balai Kota, kemping di Pantai Manggar. Aida juga bercerita tentang ayahnya yang - kamu sebagai wartawan pasti tahu – korupsi di perusahaannya, dan yang saya tak tahu ibunya yang menuntut cerai dan menikah dengan orang lain. Keduanya sudah meninggal.
“Yah, begitulah, Ris. Hidup ini gak melulu soal materi aja ya…”
Aida seperti baru saja melepaskan beban yang lama dia tanggung, setelah menceritakan itu.
“Pulang ke Balikpapan kapan, Da?”
“Lusa. Kamu balik ke Jakarta?”
“Iya. Tapi…”
“Tapi apa?”
Aida menyimak benar ketika aku ceritakan apa rencanaku. Aku bertahan di Jakarta dengan pekerjaan sebagai redaktur senior di koran nasional hanya karena anakku perlu jaminan biaya kuliah. Setelah dia selesai, tugasku selesai. Aku sudah lama merencanakan berhenti kerja di media.
“Wah, jangan berhenti menulis, dong, Ris. Aku tahu itu mimpi besarmu dari dulu,” kata Aida.
“Aku tak berhenti menulis, Da. Aku akan terus menulis. Tapi tak lagi kerja di media. Capek jadi wartawan. Apalagi sekarang. Bisnis pers sudah tak seperti dulu….”
“Apa rencanamu?”
“… pulang, Da.”
“Ke Balikpapan?”
“Ke Sambojalah… Aku nggak punya siapa-siapa di Balikpapan. Cuma numpang sekolah SMA doang, Da…” kataku tertawa. “Aku punya warisan. Lumayan luas.”
“Yang banyak pohon buah itu, ya? Masih ada ya?”
“Masih banyak. Tapi sudah tua-tua, Da. Nggak ada yang merawat sejak orangtuaku nggak ada. Makanya, aku mau balik aja. Mau kurawat. Tanami ulang. Bikin rumah kecil. Bikin studio. Nulis. Melukis….”
“Sendiri, Ris?”
“Mau nemenin?”
© Habel Rajavani, Jakarta, 2024.