Cerpen
Disukai
1
Dilihat
1,701
Satu Kali Lagi
Slice of Life

Aku masih bisa mendengar suara itu. Bunyi tubuh yang jatuh dari lantai 5. Dentumannya tidak keras, tetapi cukup jelas. Setelahnya, hening sesaat. Beberapa detik kemudian—mungkin satu, mungkin seribu—ada yang memekik. Langkah-langkah berlarian, teriakan tanpa bentuk melambung ke udara.

Aku berdiri di jendela. Melihatnya.

Tubuh itu tak bergerak. Matanya terbuka, menatap kosong ke angkasa. Darah bersimbah mengalasi kepala hingga kakinya.

Nara. Adikku. Jauh dari yang kuduga,

Waktu seperti tersedak. Aku melesat menuruni tangga. Rasanya, aku tak percaya Nara memilih menutup lembaran ceritanya.

Aku tidak menangis. Tidak juga berteriak. Aku hanya berdiri. Duniaku kehilangan warna, suara, dan arah.

Tidak.

Hari itu segalanya begitu gelap, kosong, dan muram. Aku berharap hanya mimpi, tetapi rumah benar-benar telah kehilangan isi. Sepi. Sunyi.

Satu-satunya yang tertinggal, megoyak ingatan, yaitu kalimat yang disampaikan Nara sebelum dia memutuskan untuk pergi: "Bang, boleh ngobrol sebentar?"

Saat itu aku sibuk di depan layar komputer, tenggelam dalam rilis sistem dan ambisi. Hanya membaca pesannya, lalu membiarkannya.

Aku berpikir masih ada jeda untuk membalas, masih tersisa lain kali. Kami bisa mengobrol setelah aku selesai dengan ‘proyekku’. Pun, pesan itu tak terasa olehku sebagai perpisahan. Atau mungkin aku terlalu apatis. Aku tidak bisa membedakan antara urgensi dan seruan diam yang dibungkus seolah basa-basi.

Ternyata dia membutuhkanku segera, dan aku tidak ada di sana.

Tidak ada lagi yang bisa kujawab. Sudah sangat terlambat.

***

Beberapa minggu setelah pemakaman Nara, aku berhenti hidup, tetapi tidak mati. Hari-hariku adalah salinan rusak. Aku makan tanpa sadar, tidur tanpa damai.

Aku terus dihantui rasa bersalah, dan hidup dalam satu kata: "Seandainya."

Seandainya aku buka pintu kamarnya malam itu. Seandainya aku menjawab ajakannya dengan terbuka. Seandainya aku keluar dari kepalaku, dan masuk ke dunianya.

Nara, adikku yang malang. Kami dibesarkan dalam dinding-dinding yang tak pernah bicara. Tinggal di apartemen mewah. Apa pun yang dibutuhkan tersedia, kecuali kebersamaan.

Kami seperti dititipkan pada bangunan yang tak memiliki perasaan. Kami tumbuh tanpa jembatan. Kami seakan tidak memiliki penghubung emosi, selain aliran sedarah yang kadang berdenyut. Orang tua, mereka sibuk dengan dunia masing-masing, meniti yang katanya untuk bekal bertahan hidup.

Nara. Bisa. Aku pasti bisa memperbaiki semuanya.

Waktu. Dunia paralel. Konsep dimensi kesadaran. Aku pernah membaca teori Many-Worlds sampai larut malam hanya untuk merasa ngeri dan takjub.

Benar. Itu mungkin sebuah petunjuk.

Kunyalakan komputer yang tak pernah lagi kusentuh setelah Nara pergi. Layarnya berpendar lambat, berdebu, seolah enggan bangun dari tidur panjangnya.

Folder-folder lama terbuka satu per satu. Sebagian rusak, sebagian kosong. Di antara serpihan itu, aku menemukan satu file teks berisi tautan—entah dari mana, entah kapan aku menyimpannya.

Rasa penasaran pun mengalahkan logika. Aku klik tautan itu. Menunggunya terbuka sambil menahan denyut di dada yang tak berirama.

Halaman yang muncul tampak usang. Ia seperti situs dari masa lalu yang tak pernah diperbarui. Warnanya pudar, jenis hurufnya kuno. Sebuah utas panjang yang tampak tak asing dalam memoriku. Judulnya: "Jembatan Kesadaran: Bukan Mesin Waktu, Tapi Arahkan Ulang."

Utas itu ditulis oleh akun tanpa nama. Teorinya liar, tentang resonansi emosional, tentang medan pikiran, tentang kemungkinan memindahkan diri ke percabangan waktu tertentu, jika intensitas emosi cukup besar.

Inilah yang kucari. Ia seperti sebuah sapa yang menyentuh harapanku, sesuatu dalam diriku yang belum sepenuhnya mati.

Aku mulai mengumpulkan peralatan yang dulu hanya jadi sisa-sisa ambisi, sebuah helm dari rangka headset VR yang retak di sisi kanan, sensor EEG murah yang dulu kupakai untuk eksperimen pola tidur, kabel kecepatan tinggi yang masih tergulung rapi. Semua peralatan yang semula untuk proyek game realistisku, proyek yang kutinggalkan setelah Nara pergi.

Kini, benda-benda itu bukan lagi bagian dari mimpi yang gagal. Mereka punya tujuan—sesuatu yang lebih personal dan lebih genting.

Mereka adalah alat. Atau mungkin, jembatan.

Aku rakit semuanya di meja kerja yang tak lagi tertata. Tangan gemetar mewakili keyakinan yang tumbuh bertingkat.

Selesai.

Aku duduk. Tak ada suara, hanya dengung samar dari mesin yang mulai panas.

Kupasang helm itu dengan hati-hati, seperti menyentuh sesuatu yang rapuh. Kabel-kabelnya kuselipkan di belakang telinga, sensor-sensor kecil menempel di kulit kepala. Ada rasa asing, tetapi ada juga keakraban yang perlahan mengalir. Tanganku bisa meraba kehadiran yang pernah kuabaikan.

Kututup mata. Menunggu. Satu-dua tarikan napas dihela penuh penghayatan.

Setelah beberapa menit, detak yang terasa cukup, kubuka pandangan. Kuamati sekeliling.

Ternyata, belum. Aku masih di tempat yang sama, bahkan udaranya pun masih sama.

Kucoba lagi. Kututup mata lebih lama sambil mencoba mengingat suara Nara, wajahnya, dan caranya tertawa yang selalu sedikit ditahan.

Kugali kehilangan itu, membiarkan ia memenuhi seluruh ruang dalam kepalaku.

Tetap tak ada yang berubah. Begitu pun aku, belum mau menyerah.

Aku ulangi lagi, dan lagi. Tenggelam lebih dalam, ke dalam luka yang ingin kusembuhkan. Sayangnya, percobaan demi percobaan justru kian menipiskan asa. Sampai akhirnya, aku tak tahu lagi yang sedang kulakukan: apakah ini masih percobaan atau hanya bentuk lain dari penyangkalan.

Kulepas helm itu, meletakannya di meja dengan kecewa. Kesal merayap, menggoda indra, melampiaskan dalam bentuk penghancuran.

Mungkin dunia memang berjalan linear, bergerak lurus ke depan. Mungkin aku hanya terlalu ingin percaya bahwa rasa kehilangan bisa ditebus dengan akal, dan cinta yang gagal dijaga bisa dipanggil kembali dengan mesin dan kabel.

Aku menunduk. Diam cukup lama.

Sekarang aku benar-benar merasa sendiri. Kehilangan Nara dan kehilangan tujuan. Upayaku hanyalah angan-angan kosong—karena jalan untuk kembali, mungkin mitos belaka.

***

Hari demi hari berlalu. Aku tak lagi menghitung berapa kali helm itu kupasang, berapa kali kututup mata, dan berharap sesuatu akan berubah.

Kadang kupikir aku sudah menyerah. Namun, entah mengapa, aku masih di sini. Masih duduk di kursi yang sama. Masih menatap layar yang tak pernah memberi jawaban.

Lalu, tanpa sadar, aku kehilangan kendali. Emosiku meledak. Kupukul monitor. Kusambar keyboard, dan melemparnya.

Kabel putus. Meja terjungkal. Aku menjerit tanpa suara.

Setelah tenaga terkuras, aku rebahkan badan di kasur. Sisa-sisa kemarahan tertinggal, menggerogoti batin. Haruskah kususul Nara ke alamnya?

Tiba-tiba layar komputerku yang retak menyala. Putih. Kosong.

Aku bangkit. Merapat dan memastikan keganjilan yang menguji nalarku.

"Hanya satu kali. Tak bisa kembali. Tekan Enter jika sudah siap."

Tulisan itu terpampang tanpa ada suara yang mengetik. Aku tersentak dan beku seketika.

“Tidak. Ini pasti bug,” pikirku.

Kutatap layar itu lama sekali. Kuraih helm yang tak terjamah oleh amarahku. Merenung, menganalisis, seolah mendekap kalimat yang terpampang di depanku.

Apa artinya “satu kali lagi”? Apa maksudnya “tak bisa kembali”?

Baiklah. Mengerti.

 Aku rela kehilangan segalanya untuk satu percakapan yang tertunda. Aku rela menjadi gema, asal dosa itu bisa kutebus.

Ini percobaan terakhir. Aku janji.

Enter.

Gelap. Sakit. Tubuh serasa dipukuli dari dalam, seperti ada sesuatu yang meledak di balik tulang dan daging.

Aku ingin berteriak, suara tak keluar. Ingin bergerak, tubuh tak merespons. Kesadaranku melayang, terlepas dari pusatnya, mengambang entah ke mana.

Semuanya pecah.

Cahaya menyusup dari celah yang tak kukenal. Kilatan menyilaukan, menyayat, terlalu cepat untuk dipahami.

Kamarku. Aku tak beranjak ke mana-mana. Akan tetapi, ada yang berbeda. Tak ada yang hancur, tak ada yang berserakan.

Jam digital di samping komputer menunjukkan pukul 09:15 di tanggal 30 Juni 2025.

Aku tampar pipiku berkali-kali. Berhasil. Ini bukan mimpi.

Aku kembali ke satu hari sebelum Nara terjun dari jendala kamarnya. Tak masalah. Ini sudah lebih dari cukup. Aku akan mengubah takdir adikku.

Langkah melaju yakin dan antusias, kuketuk pintu kamar Nara. “Nara, boleh Abang masuk?”

Dia tak menjawab. Kuputar saja gagang pintunya.

Nara terlihat duduk memeluk bantal. Wajahnya pucat. Matanya sayu bak danau yang hampir mengeras.

Aku mendekat. Kupeluk dia.

“Ngapain Abang ke sini? Bukannya tadi Abang bilang mau pergi sama teman-teman Abang—dan baru pulang besok?” suaranya sesak, sarat kepedihan. Juga, kesepian.

“Ma… Maafin Abang, ya, Ra,” kataku, lirih.

Nara menatapku. “Ini… beneran… Bang Rama?”

Aku tahu, tak pernah satu kali pun aku mengucapkan maaf kepadanya. Maaf karena telah membiarkannya hampa dalam kesendirian. Maaf karena tak pernah ada di hari-harinya. Egoku telah terlalu tinggi, meninggalkannya. Padahal, kami seharusnya saling menguatkan.

Kami bicara, melepas rindu sebagai saudara. Kudengarkan baik-baik lukanya, tentang alasan dia merasa dunia tak menyediakan ruang baginya.

“Nara merasa… udah nggak yang peduli sama Nara. Untuk apa Nara hidup kalau nggak pernah dianggap ada,” isaknya.

Aku eratkan pelukanku. Aku bisikan janji: bahwa akan menemaninya, akan menjadi sosok pelindung dan tempatnya bersandar.

Nara tersenyum. Dia seka air mata di pipinya.

Untuk pertama kalinya, setelah melewati masa kanak-kanak, aku menyaksikan ekspresinya gembira. Kami bisa tertawa bersama di bawah naungan tangisan.

Lega. Reda.

Nara tertidur. Dia mengaku sudah puluhan malam bergulat dengan lelah dan beban. Pikirannya selalu merasa tak aman, meski untuk memejam.

Aku menyadari satu hal: terkadang, yang dibutuhkan seseorang bukanlah solusi, melainkan ruang tenang yang tak menghakimi.

Memang, misiku belum selesai. Ini baru permulaan, bahkan mungkin baru berjalan selangkah dari rencana. Sebab, aku masih harus memastikan Nara tidak mengakhiri hidupnya di esok hari.

Aku kembali ke kamarku. Kusibak benda-benda yang selama ini hanya jadi pengalih—tumpukan kabel, catatan lama, sisa-sisa proyek yang tak pernah selesai. Semua itu pernah kupakai untuk menjauh, untuk menutupi yang sebenarnya ingin kuhadapi.

Tentang Nara. Tentang rasa yang tak pernah benar-benar hilang, hanya terkubur di balik kesibukan dan alasan. Aku tak ingin bersembunyi lagi.

Tanpa niat apa-apa, aku menjatuhkan tubuh ke atas ranjang. Bukan untuk tidur. Hanya ingin diam sebentar, melonggarkan kepala yang terasa penuh. Namun, entah bagaimana, tubuhku menyerah begitu saja. Aku terlelap.

Nyenyak. Rasanya bagaikan jatuh ke dalam ruang kosong yang tak punya dasar.

Saat kubuka mata, cahaya dari jendela masih menyengat. Terang, terlalu terang untuk pagi yang seharusnya sudah bergeser.

Apakah aku bermimpi ke masa lalu?

Mustahil. Mengapa tadi semuanya tampak begitu nyata?

Kulirik kotak waktu di meja. Pukul 08.30, 1 Juli 2025.

Tidak. Ini bukan ilusi. Ini satu jam sebelum Nara menghempaskan diri ke tanah.

Dengan langkah tergesa, aku beranjak, menemui Nara di kamarnya.

“Sial, bukannya mengawasi sepanjang kesempatan yang kumiliki, aku malah terbenam dalam tidur panjang,” umpatku kepada diri sendiri.

Begitu kulihat kamar Nara, hanya sunyi yang menghampar.

“Nara!” seruku seraya menyisir semua sudut.

Tak ada sahutan. Tak ada Nara yang tertangkap mata.

Padahal, aku sudah bersusah payah membangun jembatan ini—menembus dimensi, menantang masa, melawan logika yang tak lagi peduli pada manusia. Semua ini kulakukan demi satu hal: menyelamatkan adikku.

Itu tujuanku sejak awal. Jika setelahnya aku harus terperangkap di ranah ini, terjebak di antara waktu yang tak bisa kembali, maka biarlah begitu.

Kususuri ruang-ruang terbuka di sekitar gedung tempat tinggal. Tangga darurat, taman kecil di belakang, lorong-lorong yang sunyi. Semua tempat yang berpotensi menjadi pelarian adikku.

“Nara!”

Suara itu keluar dari tenggorokanku berulang kali. Serak. Nyaris putus.

Namun, tak ada jawaban. Hanya gema yang memantul di dinding beton dan angin yang melintas dengan acuh.

Langkahku makin cepat. Gelisah merajai batinku. Otak dipenuhi kemungkinan-kemungkinan yang tak ingin kupikirkan. Aku terus memanggil namanya, berharap suara itu bisa menjangkaunya—di mana pun dia berada.

Aku berhenti. Napasku tercekat, bukan karena lelah, tetapi karena sesuatu di depanku membuat dunia seolah berhenti berputar.

Di balik kaca restoran cepat saji itu, kulihat Nara duduk dengan diriku. Mereka tertawa pelan. Hangat. Akrab. Tak ada lagi jarak.

Kukembangkan dua garis di bibirku. Tipis.

Apakah aku sudah berhasil mengubah takdir?

Aku berdiri, melepas pagi. Tak tahu harus merasa bahagia atau hancur.

Siapakah aku? Apakah kesadaranku terpecah? Ataukah aku hanya pengunjung di dunia yang seharusnya bukan milikku lagi?

Setidaknya, jiwaku sudah lebih lapang, meski di detik yang sama aku tidak tahu jalan pulang. Apakah akan terpenjara di sini, atau hanyut dalam dimensi yang tak lagi memuat namaku.

Entahlah. Ini sudah menjadi pilihanku. Jika aku harus hilang agar Nara tetap hidup, biarlah. Aku rela menjadi kisah yang tak tercatat, selama dia masih bisa menulis hidupnya sendiri.

Pun, mungkin ini bukan tentang menyelamatkan atau gagal menyelamatkan. Mungkin waktu, dengan segala rahasianya, hanya memberiku satu kesempatan untuk melihat: bahwa luka bisa sembuh.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)