Cerpen
Disukai
10
Dilihat
972
Pulung Gantung & Penghuni Gaib Toilet Sekolah
Horor

Matahari yang menebarkan cahaya layung tampak dari jendela kaca ruangan OSIS lantai 3 SMA di bilangan Gunungkidul. Menyadari waktu hampir senja, Rahmat yang sering dipanggil Bos OSIS mem-breaking rapat koordinasi pelaksanaan pentas seni dalam rangka Peringatan Hari Sumpah Pemuda. Waktu istirahat yang disediakan oleh Bos OSIS itu digunakan peserta rapat untuk mandi, salat Maghrib, makan malam, dan salat Isyak.

Ruangan OSIS yang cukup luas itu mendadak sesenyap kuburan tua. Tak seorang pun tertinggal di ruangan itu. Hanya laptop milik Rahmat, sekretaris Voni, bendaharaYani, dan ketua seksi kesenian Agus Kliwir yang terletak di meja. Tas-tas punggung yang terletak di atas kursi menghiasi ruangan itu.

Lain ruangan OSIS, lain pula kamar mandi. Semua kamar mandi di sekolah diramaikan dengan anggota OSIS yang antri untuk mandi. Lantaran tak ingin antri, Rahmat turun ke lantai bawah untuk membasuh tubuh di kamar mandi samping perpustakaan. Di depan kamar mandi, dia yang berkalung handuk dan membawa gayung berisi perlengkapan mandi itu tersenyum kecut. Dia mendengar guyuran air dari dalam kamar mandi. “Sialan! Aku kalah cepat.”

 Satu, lima, hingga tigapuluh menit Rahmat menunggu keluarnya seorang dari kamar mandi itu. Karena habis kesabarannya, dia mengetuk pintu kamar mandi yang tak terkunci dari dalam. Dengan nekat, dia membuka pintu itu. Betapa ia terkejut ketika tak melihat seorang pun yang mandi. Tak ada setetes air di dalam bak. Lantai pun kering.

Melihat kenyataan aneh itu, Rahmat hanya bengong. Sekujur tubuhnya merinding. Bergegas dia meninggalkan tempat itu dengan langkah berat. Menaiki tangga dari lantai satu hingga lantai tiga. Mengingat masih trauma, dia memutuskan untuk tidak mandi. Dia hanya berwudlu sewaktu terdengar adzan Maghrib dari masjid yang tak jauh dari sekolah itu.

 Seusai menunaikan salat Maghrib berjamaah bersama teman-temannya, Rahmat belum tenang hatinya. Masih terbayang dengan peristiwa aneh di dalam kamar mandi di samping perpustakaan. Peristiwa yang baru pertama kali dialami oleh siswa pindahan dari sekolah favorit di Kota Yogyakarta.

Lantaran mengganggu pikirannya, Rahmat ingin meluapkan peristiwa aneh yang dialaminya pada Agus Kliwir. Ketua seksi kesenian yang dikenal kawan-kawannya sebagai siswa pemberani. Dia pula dikenal sebagai siswa indigo yang dapat menangkap sosok makhluk astral melalui jaring indera keenam.

Selagi teman-temannya memasuki ruang OSIS, Rahmat dan Agus Kliwit memasuki ruang kelas. Rahmat duduk di kursi guru. Sementara, Agus duduk di kursi siswa. Kepada Agus, Rahmat menceritakan peristiwa aneh yang dialaminya dari awal hingga akhir. Tanpa menambahi. Tanpa mengurangi.

“He…, he…, he….” Agus Kliwir tertawa kecil usai mendengar cerita dari Rahmat. “Seharusnya kamu tak perlu takut. Kamu itu ketua OSIS. Kamu harus memiliki keberanian. Bukan hanya berani melawan kebijakan sekolah yang merugikan siswa. Namun, kamu juga harus berani menghadapi makhluk-makhluk astral di sekolah kita ini.”

“Berarti….” Rahmat terdiam. Membayangkan bahwa sekolah di mana ia belajar dihuni makhluk astral. “Sekolah kita menjadi sarang hantu.”

“Ya.” Agus Kliwir mengerahkan daya indera keenam. “Gambaran yang aku terima. Sekolah kita dibangun berdekatan dengan pemakaman umum. Tetapi, makam itu sudah dipindahkan ke tempat lain sesudah terterjang proyek jalan tol.”

“Apakah hantu yang berada di kamar mandi lantai bawah dekat perpustakaan itu dulu penghuni makam?”

“Bukan. Semula, dia salah seorang siswi di sekolah ini. Tetapi, aku tak tahu namanya. Aku pun tak tahu apa penyebabnya dia bunuh diri di kamar mandi itu.”

“Oh, gitu.” Rahmat mendengar adzan Isyak yang digemakan lewat toa dari sebuah masjid. “Waktunya kita salat Isyak, Gus.”

Disertai Agus Kliwir, Rahmat meninggalkan ruang kelas itu. Dia kembali berkumpul dengan teman-temannya di ruang OSIS. Sesudah melaksanakan jamaah Isyak dan berlanjut makan malam, Rahmat memimpin rapat koordinasi pelaksanaan gelar seni dalam rangka Peringatan Sumpah Pemuda. Menjelang jam 10 malam, rapat ditutup dengan doa bersama.

***

 

Sebagaimana Agus Kliwir, Rahmat yang bertanggung jawab besar pada gelar seni keesokan harinya berniat tidak pulang. Voni, Yani, dan beberapa anggota OSIS lainnya pulang ke rumah masing-masing. Sebagian dari mereka pulang sendiri. Sebagian lainnya dijemput orang tuanya.

Di dalam ruang OSIS mendadak sepi. Tak ada perbincangan antara Ratmat dan Agus Kliwir. Mereka sibuk dengan laptopnya masing-masing. Menjelajahi internet. Membaca artikel-artikel pada website. Menyaksikan video-video yang ditayang di Youtube, TikTok, dan Snack Video.

Teramat asyiknya menonton video-video viral, Rahmat tak menyadari kalau Agus Kliwir sudah singgah di perkampungan mimpi. Dia baru sadar kalau temannya tertidur dengan kepala diletakkan di bangku itu ketika mendengar dengkuranya yang sangat keras. Bagi Bos OSIS, suara yang keluar dari mulut temannya itu serupa dengkuran babi. Sungguh mengganggu telinganya.

Di celah-celah dengkuran Agus Kliwir, Rahmat menangkap tangisan anak perempuan yang sayup sampai terkirim ke telinganya. Tangisan kepedihan yang menyayat hati itu bersumber dari arah kamar mandi di lantai bawh dekat perpustakaan. Sontak bulu kuduknya meremang. Sekujur tubuhnya merinding.

Tak kuasa mendengar tangisan yang kian jelas, Rahmat membangunkan Agus Kliwir. Sungguhpun sudah ditepuk-tepuk lengan tangannya, Agus tak terbangun dari lelap tidurnya. Karena semakin takut, dia menggoncang-goncangkan tubuh Agus. “Gus! Gus! Bangun, Gus! Gus! Gus! Bangun …!”

 Agus Kliwir menggeliat. Mengucek-ucek kedua matanya. Beranjak pelan-pelan dari kursi. Berjalan gontai menuju meja kecil di mana teko listrik diletakkan di antara gelas kaca dan serenteng kopi sasetan. Usai mengambil teko listrik, dia berjalan ke arah pintu. Keluar dari ruangan OSIS tanpa meninggalkan sepatah kata pada Rahmat.

“Hei, Gus.” Rahmat berteriak lantang dari dalam ruangan. “Kau mau kemana?”

“Kamar mandi.Cuci muka. Ambil air. Kita harus ngopi.”

Selepas Agus Kliwir, Rahmat tak mendengar suara tangisan. Dalam hati, dia berharap suara yang menakutkan itu tak terdengar lagi. Tak seberapa lama, dia serasa disambar petir di siang tak berawan. Dia melihat anak perempuan berambut panjang dengan wajah tertunduk di balik jendela kaca. Dia berteriak. Namun, suaranya tak keluar dari mulut. Tersangkut di tenggorokan.

Rahmat menggigil dalam ketakutan luar biasa. Sebelum rasa takutnya mencapai puncak, dia terselamatkan dengan kedatangan Agus kliwir. Aneh. Sewaktu kawannya itu memasuki ruang OSIS, hantu anak perempuan itu lenyap seperti gumpalan kabut yang tertiup angin kencang. Jantungnya yang semula serasa mau copot masih berdebar-debar.

“Gus….” Rahmat terengah-engah. Sejenak menenangkan pikirannnya. “Apa sebelum memasuki ruangan ini, kamu tak melihatnya?”

“Melihat apa, Mat?”

“Sungguh kamu tak melihat?”

Agus meletakkan teko listrik di atas bangku. Menyambungkan kabel teko itu dengan cop-copan listrik. Sesudah memencet tombol power, dia baru melontarkan pertanyaan pada Rahmat, “Iya…. Melihat apa?”

“Sewaktu kamu di kamar mandi, aku melihat sesosok anak perempuan di balik jendala kaca itu. Dia lenyap sewaktu kamu kembali di ruangan ini.”

“Oh, dia.” Agus Kliwir yang berjalan ke tempat duduknya semula hanya tertawa kecil. “Sungguhpun mata lahirku tak melihat, namun mata batinku dapat menangkap. Kalau kamu ingin tahu. Dia itu arwah yang menghuni kamar mandi lantai bawah dekat perpustakaan. Aku pikir di ingin berkenalan denganmu, Mat.”

 “Kalau bicara jangan ngacau, Gus.” Wajah Rahmat mengekspresikan rasa ketidaksukaan atas kata-kata Agus Kliwir. “Oh, ya. Kamu ingin tahu kenapa aku membangunkanmu tadi?”

“Mana aku tahu, Mat? Kamu kan belum mengatakan alasanmu kenapa kamu membangunkanku.”

“Ketahuilah! Sewaktu kamu tidur mendengkur serupa babi, aku mendengar tangisan menyayat dari arah kamar mandi lantai bawah dekat perpustakaan.”

“Kamu takut?”

 “Bukan hanya takut. Mungkin kalau sendirian tinggal di ruangan ini, aku mungkin sudah pingsan. Karena baru pertama kali ini, aku mengenal makhluk astral.”

“Sebagai pemimpin, kamu harus bermental baja.”

Mendengar perkataan Agus Kliwir, logika Rahmat mulai bekerja. Dia membenarkan perkataan temannya itu. Di mana, seorang pemimpin yang tak melanggar kesalahan harus berani kepada siapapun. Apa lagi kepada hantu. Dia berusaha menekan rasa takutnya yang masih merasuk di dalam diri.

Perlahan-lahan keberanian Rahmat muncul. Tetapi ketika melihat sesosok lelaki paruh baya yang berdiri di depan pintu, keberaniannya mendadak runtuh. “Lihat, Gus! Siapa yang berdiri di pintu itu. Kepalanya botak.Ia menyerupai Pak Jono. Tukang kebon di sekolah kita. Apakah dia arwah dari bekas makam yang kelayapan di sekolah kita?”

“Ngacau kamu!” bentak Agus Kliwir pada Rahmat. “Dia memang Pak Jono. Lihat telapak kakinya yang menapak di tanah!”

“Benarkah?”

“Perhatikan baik-baik! Dia, Pak Jono. Tanya saja padanya. Kalau dia hantu tak akan menjawab pertanyaanmu.”

“Benarkah kamu, Pak Jono.”

“Bukan. Aku hantu di sekolah ini.”

“Maaf, Pak. Aku tadi menduga kalau Pak Jono penghuni gaib di sekolah ini.”

“Tak apa-apa, Nak.” Pak Jono memasuki ruangan OSIS. Duduk bergabung dengan Rahmat dan Agus Kliwir. “Kenapa Nak Rahmat menuduhku hantu? Apakah wajah dan bentuk tubuhku serupa hantu?”

“Ehm…. Tidak, Pak. Sekali lagi, aku minta maaf.”

“Bagini, Pak.” Agus Kliwir nimbrung dalam pembicaraan. “Rahmat baru saja dihantui oleh penunggu gaib di sekolah ini. Karena masih trauma, Rahmat menganggap Pak Jono sebagai hantu.”

“Oh, gitu.” Mendengar jawaban Agus Kliwir, Pak Jono mengangguk-anggukkan kepala. Pandangan matanya diarahkan pada Rahmat.”Benar apa yang dikatakan oleh Nak Agus kalau Nak Rahmat baru saja melihat hantu?”

“Iya, Pak. Hantu anak perempuan.”

“Hantu Mirna.”

“Mirna?” tanya Rahmat penasaran. “Siapa Mirna, Pak?”

“Mirna….”

“Sebentar, Pak.” Agus Kliwir memotong perkataan Pak Jono yang akan menjelaskan siapa Mirna. “Air sudah mendidih. Kita ngobrol sambil ngopi, Pak.”

“Boleh! Boleh!”

Agus Kliwir beranjak dari kursi. Menuju tempat teko listrik dengan air yang sudah mendidih. Membuatkan kopi untuk Pak Jono, Rahmat, dan dirinya sendiri. Tak lama kemudian, dia kembali ke tempat duduknya semula sambil membawa nampan berisi tiga gelas kopi. Segelas disodorkan di depan Rahmat. Segelas diletakkan di depan Pak Jono. Segelas sisanya diletakkan di depan dirinya. “Mumpung panas, mari kita ngopi dulu!

 Pak Jono meniup-niup kopinya yang masih mengepulkan asap. Sewaktu mencium aroma kopi itu, dia tak sabar untuk mencicipinya. Dengan gairah yang sangat tinggi, dia menyeruput kopinya. Srup…, srup…, srup…. “Oh, rasanya luar biasa. Asam, asam gimana gitu. Kopi apa ini, Nak Agus?”

“Kopi Gayo Aceh, Pak. Kiriman dari seorang teman.”

“Oh ya, Pak.” Rahmat yang baru saja mencicipi kopinya menyela pembicaraan. “Pak Jono belum menjawab pertanyaanku. Siapakah Mirna?”

“Baiklah, Nak Rahmat. Aku akan menceritakan kisah Mirna yang berakhir tragis di kamar mandi lantai bawah dekat perpustakaan.”

“Segera ceritakan, Pak. Sudah tak sabar aku ingin mendengarnya.”

Sebelum Pak Jono mengawali cerita, terdengar sayup sampai suara tangisan anak perempuan dari kamar mandi lantai bawah dekat perpustakaan. Semakin lama suara itu semakin keras hingga membuat bulu kuduk Rahmat berdiri. Dia bertanya pada Pak Jono dengan sedikit gagap, “Pak…, Pak Jono dengar suara tangisan itu?”

“Ya, saya mendengar. Bagi saya, suara itu tak membuatku takut. Karena hampir setiap malam, saya mendengarnya.”

“Lihat, Pak! Li… hat itu.” Rahmat menunjuk sosok Hantu Mirna yang tampak di balik jendela kaca. “Ia da…tang lagi.”

“Mana Nak Rahmat? Aku tak melihatnya.” Pak Jono mengalihkan pandangnya pada Agus Kliwir yang baru saja menyeruput kopinya. “Apakah Nak Agus melihatnya?”

“Mata lahirku tak melihat, Pak. Tapi mata batinku menangkap kalau hantu Mirna memang berada di balik jendela itu. Sepertinya, dia ingin berkenalan dengan Rahmat.”

“Bisa jadi, Nak Agus. Ha…, ha…, ha….”

Sebagaimana Pak Jono, Agus Kliwir pun tertawa. Usai meletakkan gelas yang masih berisi separoh kopi, dia menenangkan Rahmat yang tampak semakin terteror dengan hantu Mirna. “Bacalah ayat kuris! Dengan membacanya, rasa takutmu akan berkurang.”

Selagi Rahmat membaca ayat kursi, Agus Kliwir meminta Pak Jono untuk mengisahkan hantu Mirna yang membuatnya semakin panasaran. Sebagai seorang yang mengetahui betul tentang asal muasal hantu itu, Pak Jono mengisahkan dengan lagak seorang pendongeng profesional.

“Duapuluh tahun silam, Gunungkidul dihebohkan dengan Pulung Gantung yang memakan banyak korban. Rumah atau bangunan yang kejatuhan pulung gantung, pasti salah seorang penghuningnya bunuh diri tanpa ada alasan pasti. Seorang yang bunuh diri selalu menjerat lehernya dengan tali, selendang, atau ikat pinggang.”

“Lantas…. Apa hubungannya Pulung Gantung dengan hantu Mirna, Pak?”

“Sewaktu duduk-duduk di halaman sekolah sambil menikmati suasana tengah malam, aku menyaksikan bola api yang melayang di langit. Betapa aku terkejut ketika bola api itu jatuh di atap sekolah ini. Anehnya saat bola api itu jatuh tak ada suara. Atap sekolah ini pun tidak terbakar. Siang hari sesudah peristiwa itu, aku mendengar kabar duka. Mirna menjerat lehernya sendiri dengan ikat pinggang di dalam kamar mandi dekat perpustakaan.”

“Berarti Mirna korban Pulung Gantung?”

“Benar, Nak Agus.”

“Sungguh kasihan arwah Mirna yang masih bergentayangan.”

“Karena itu, Nak. Kenapa dia masih menampakkan diri hingga sekarang.” Pak Jono menyeruput kopinya hingga hingga tetes terakhir. Meletakkan gelas yang tinggal menyisakan ampas kopi itu di atas meja. “Wktu hampir subuh. Aku harus istirahat dulu.”

           Selepas Pak Jono, Agus Kliwir pun pergi ke kamar mandi untuk berwudlu. Sementara, Rahmat yang mulai mendapat kekuatan baru sesudah membaca ayat Kursi itu mulai berkurang rasa takutnya pada hantu Mirna. Usai melaksanakan salat subuh berjamaah dengan Agus, dia menyempatkan diri untuk tidur. Mengingat sebelum jam 7 pagi, dia bersama pengurus OSIS harus melaksanakan serangkaian acara Peringatan Hari Sumpah Pemuda.

***

 

Bertepatan Hari Senin 28 Oktober 2024, salah satu SMA di Gunungkidul di mana Rahmat menjabat sebagai ketua OSiS itu melaksanakan Peringatan Hari Sumpah Pemuda. Di halaman sekolah, seluruh guru dan siswa berkumpul untuk melaksanakan upacara. Seusai upacara, mereka berkumpul di aula untuk mendengarkan pidato Kepala Sekolah dengan tema Peran Gen Z dalam Spirit Sumpah Pemuda Indonesia.

Dipandu Bu Sumiatun, diskusi yang dipimpin Kepala Sekolah dan dua guru berprestasi dilaksanakan. Hampir semua pengurus OSIS di bawah koordinasi Rahmat bertanya pada salah satu atau ketiga narasumber. Ambang jam 12 siang, acara diskusi berakhir tanpa menyisakan pertanyaan siswa yang tak terjawab.

Sungguhpun semua pertanyaan Rahmat sudah terjawab oleh narasumber, namun ada satu pertanyaan yang belum mendapat jawaban dari dirinya sendiri.. “Siapa anak perempuan berseragam SMA yang bertanya pada Kepala Sekolah? Setahuku, anak perempuan itu tidak terdaftar sebagai siswa di sekolah ini. Sekolah sendiri tidak mengundang siswa dari sekolah lain. Apakah dia…?”

Usai salat dluhur hingga makan siang, Rahmat tak melihat siswa perempuan itu. Setiap temannya yang ditanya tentang siapakah siswa misterius itu hanya menjawab tidak tahu. Sementara, Agus Kliwir yang ia tanya hanya menjawab, “Bukankah semalam kamu sudah bertemu?”

Mendengar pertanyaan dari Agus Kliwir, Rahmat menemukan jawaban bahwa siswa misterisus itu tak lain hantu Mirna. Namun yang menjadi persoalan kenapa hantu itu muncul pada siang hari. Fakat itu yang menggugurkan anggapan masyarakat bahwa hantu hanya muncul pada malam hari.

Peristiwa aneh siang itu terulang pada malam hari. Sewaktu kelompok penari mempersembahkan tari Merak yang semula berjumlah enam orang bertambah satu. Penampakan seorang penari itu bukan hanya Rahmat yang melihatnya, namun juga semua penonton. Bukan hanya siswa, namun pula guru dan Kepala Sekolah.

Menjelang pukul 10 malam, Peringatan Hari Sumpah Pemuda yang terselenggara di sekolah itu berakhir. Tetapi pembicaraan seru dari banyak orang yang masih berkumpul di aula tentang penampakan itu baru bermula. Lantaran rasa kantuk dan capek, Rahmat yang tak tertarik dengan pembicaraan itu pamit pulang pada Kepala Sekolah, seluruh guru, dan semua pengurus OSIS. 

***

 

Bayangan hantu Mirna masih mengeram di dalam benak Rahmat. Sesudah memasukkan motor ke dalam garasi, ia bergegas menuju kamar tidur. Mengunci pintunya dari dalam. Dengan harapan hantu yang serasa mengikuti perjalanan pulangnya itu tak memasuki kamar tidur.

Sungguh berat bagi Rahmat untuk memejamkan mata. Berulangkali ia mencobanya, tetap gagal. Bayangan hantu Mirna yang tampak di langit-langit kamar tidur semakin lama semakin jelas. Baginya, hantu itu sudah seperti teroris yang meruntuhkan keberaniannya.

Jantung Rahmat mendadak dag-dig-dug sewaktu mendengar pintu kamarnya diketuk dari luar. Meyakini bila pengetuk pintu itu hantu Mirna, bulu kuduknya meremang. Sekujur tubuhnya merinding.

Tanpa berpikir panjang, Rahmat meminta tolong pada ayah dan ibunya yang dipikir sudah tidur. “Tolong, Yah! Tolong, Bu! Tolong….”

“He…! Kamu itu ada apa, Mat?” tanya Pak Brata yang berdiri di balik pintu kamar tidurnya. “Ini aku….”

“Ayah?”

“Iya.”

 Rahmat beranjak pelan dari ranjang. Melangkahkan kedua kaki dengan gontai menuju pintu. Membuka pintu itu tanpa deritan. “Syukur…. Ayah cepat datang.”

 “Aku datang hanya untuk bertanya padamu, Mat. Kenapa kamu pulang langsung ke kamar tidur?”

“Maaf, Yah. Aku sangat capek dan ngantuk.”

“Karena capek dan ngantuk, kamu tadi mengigau?”

“Aku tak mengigau, Ayah. Semula aku berpikir kalau seorang yang mengetuk pintu tadi bukan Ayah, tapi….”

“Siapa?”

‘Ehm….’

Pak Brata mengamati wajah Rahmat yang tampak pucat dalam ketakutan. “Sepertinya kamu sedang punya masalah. Ayo kita ke ruang tamu! Ceritakan padaku soal apa yang sedang membebani pikiranmu!”

Rahmat mengikuti Pak Brata menuju ruang tamu. Sesudah duduk di kursi busa, ia mengisahkan tentang hantu Mirna dari awal hingga akhir. Sejak peristiwa aneh di kamar mandi dekat perpustakaan hingga munculnya siswa misterius sewaktu acara diskusi di aula sekolah.

Mendengar nama Mirna, Pak Brata teringat peristiwa duka enambelas tahun silam. Peristiwa anak pertamanya yang bunuh diri di sekolah dimana Rahmat belajar. Waktu itu, Rahmat masih berada di kandungan ibunya. Wajar bila dia yang dahulu tinggal di Kota Yogya dan sekarang menetap di Gunungkidul tak mengenal kakak perempuannya.

“Kenapa Ayah tampak sedih seusai mendengar ceritaku?”

Sewaktu akan menjawab pertanyaan Rahmat, dia mendengar suara mesin motor yang kemudian mati di halaman. “Buka pintunya, Mat! Siapa yang datang ke rumah kita malam-malam begini?”

Rahmat beranjak dari kursi busa. Melangkah ke arah pintu untuk membukanya. Dia tampak heran kenapa Agus Kliwir yang memboncengkan Voni datang ke rumahnya. “Hei, Gus. Ada apa? Kenapa kamu bersama Voni datang ke rumahku?”

“Gawat, Mat. Yani kerasukan arwah Mirna.”

“Ia menyebut-nyebut namamu, Mat.” Voni menyambung pembicaraan. “Oleh Kepala Sekolah, kamu diminta datang ke aula.”

Bergegas Rahmat yang disertai Pak Brata mengikuti Agus Kliwir dan Voni menuju sekolah. Sepanjang perjalanan, perasaan takutnya kepada hantu Mirna sontak lenyap. Mengingat ayahnya yang selalu melindunginya sejak kecil itu berada di dekatnya.

***

 

Di dalam aula sekolah masih banyak orang mengerumuni Yani yang kerasukan arwah Mirna. Sungguhpun sudah didatangkan dukun sakti, roh Mirna belum berhasil diusir keluar dari dalam raga Yani. Kejadian itu bukan hanya membuat pusing para pengurus OSIS yang sudah kecapekan fisiknya, namun juga guru-guru dan Kepala Sekolah.

Orang-orang memberi jalan pada Rahmat yang disertai Pak Brata, Agus Kliwir, dan Voni. Semua orang terperangah sesudah bersalaman dengan Rahmat, Yani bersimpuh di depan Pak Brata. Menangis terisak-isak sambil kedua tangannya memagut erat kedua kaki orang tua itu. “Maafkan aku, Ayah!”

“Keluarlah dari tubuh anak ini, Mirna!” perintah Pak Brata pada roh Mirna. “Kembalilah ke tempatmu dengan damai!”

Bersama lesatan kabut dari raga Voni, roh Mirna kembali ke kamar mandi dekat perpustakaan. Semua orang lega ketika mengetahui Voni kembali sadarkan diri. Satu persatu dari mereka pulang ke rumah masing-masing. Demikian pula, Pak Brata dan Rahmat.

Di tengah perjalanan pulang, Rahmat mengalamatkan pertanyaan penting pada Pak Brata, “Kenapa roh Mirna tadi menyebut Ayah?”

“Katahuilah, Mat! Dia itu, kakakmu. Dia korban Pulung Gantung yang bunuh diri di kamar mandi sekolah semasih kamu di dalam kandungan ibumu.”

Mendengar jawaban Pak Brata, Rahmat merasa kasihan pada Mirna. Roh gentayangan yang belum mendapat ampunan dari Tuhan. Hantu yang akan selalu menampakkan diri dan menakuti semua warga sekolah SMA-nya. Terutama mereka yang tidak kokoh imannnya pada Tuhan.[] 


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)