Flash
Disukai
2
Dilihat
15,315
Epitaf
Drama

"My shampoo and conditioner ran out at the same time," ucap gadis itu sendu.

Aku terdiam. Paham bahwa aku tidak begitu mengenal perempuan ini. Aku tidak tahu apa yang telah dilaluinya pada dua puluh tahun kehidupannya. Namun, mendengar hal ini, jantungku berdebar kencang. Simpati. Dia..., baik-baik sajakah?

"Kamu tahu kenapa aku diberi nama epitaf?" dia bertanya setelah beberapa saat terdiam.

Pertama kali aku mendengar namanya, yang kulakukan adalah mengernyitkan dahi. Bingung. Nama macam apa itu? Apa itu nama asal yang dibuatnya sendiri sebagai nama panggilan? 

"Nama itu dikasih ayah. Sebelumnya aku pernah cerita kalau aku cuma tinggal sama ayahku, kan? itu karena ibuku meninggal waktu ngelahirin aku," terangnya.

Lagi, aku hanya diam, menunggunya untuk melanjutkan ceritanya. 

"Epitaf. Kata itu artinya adalah kalimat yang ditulis di batu nisan. Supaya ayah ingat, kalau aku yang bikin dia kehilangan istrinya. Jadi, setiap lihat aku, dia seolah lihat batu nisan istrinya," lanjutnya.

Hatiku terunyuh. Ingin sekali aku menyela ceritanya dan memberikan semangat. Tapi, wajah kuyu dan lelah itu seperti tidak ingin diinterupsi. Jadilah aku kembali diam. Bergeming.

Gadis itu menghela napas panjang, kemudian menyodorkan lengannya ke arahku, "Lebam ini aku dapatin tadi pagi. Cuma karena aku kurang ngasih gula di kopinya. Ayah teriak kayak orang kesetanan," katanya.

Lengan kurus itu sering kali dibungkus kemeja lengan panjang. Jarang sekali gadis itu memamerkan kulit tubuhnya. Dan sekarang aku tahu alasannya. Bukan hanya sebuah lebam keunguan yang memang terlihat baru. Ada beberapa lebam yang sudah membiru di lengan bagian atas. 

"Pagi ini, dia bilang kalau aku nggak pantes hidup. Harusnya istrinya yang hidup sekarang. So, i guess, my shampoo and conditioner ran out at the same time."

Aku memegang lengan itu pelan, menarik tubuh mungil itu untuk bersandar padaku.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)