Cerpen
Disukai
0
Dilihat
5,609
Perwakilan Rakyat? No! Majelis Binatang? Yes!
Aksi


Perwakilan Rakyat? No! Majelis Binatang? Yes!

Cerpen Habel Rajavani


LOKASI bekas gedung perwakilan rakyat itu menjelma kebun binatang. Semua jenis binatang dapat ditemukan disana. Masing-masing paling sedikitnya ada sepasang. Mereka hidup rukun. Tak ada satu kandang pun terdapat di sana. Binatang-binatang itu bebas berkeliaran, makan, kawin, beranak pinak dan mati.

 

          Sekeliling kebun binatang itu tak berpagar. Namun tak satu pun binatang yang hidup disana yang melintas batas kebun binatang yang dulu adalah bekas gedung perwakilan rakyat itu. Lokasi itu lumayan luas. Cukup untuk menjadi habitat semua binatang yang ada. Ada banyak pohon tempat monyet bergelantungan, ada padang rumput tempat rusa-rusa berlari dan menyantap rumput. Juga kubangan tempat kuda nil mandi lumpur.

 

           Kota itu tak begitu besar juga tak terlalu rampai. Kecuali di akhir pekan, Sejak gedung perwakilan rakyat berubah menjadi kebun binatang, banyak turis berkunjung ke kota itu. Sementara itu penduduk kota itu sendiri tak pernah terlihat mengunjungi kebun binatang yang terletak tepat di tengah-tengah kota mereka. Mereka pun tak pernah mau memberi keterangan apapun jika ada turis yang bertanya soal kebesaran kebun binatang itu.

 

''Tanya saja pada Juru Penerang,'' begitu jawaban penduduk kota itu seragam.

 

Seolah sudah menjadi kesepakatan.

 

Dan seorang wartawan yang pernah melakukan liputan investigatif di kota itu menemukan bahwa jawaban itu memang diatur dalam sebuah peraturan kota alias perko. Penduduk kota itu tampaknya patuh atau terpaksa mematuhinya sebab dalam perko itu pun tertuang sanksi bagi siapa saja yang melanggar. Yakni dikutuk jadi binatang dan kemudian hidup di kebun binatang di tengah kota itu yang dulu adalah lokasi gedung perwakilan rakyat itu. Kutukan itu konon ampuh. Beberapa binatang di kebuh binatang itu adalah jelmaan penduduk yang melanggar perko itu.

 

Dan inilah jawaban si juru penerang ketika aku bertanya padanya: Kota ini dulu pernah diperintah oleh seorang walikota yang sangat otoriter. Ia berkuasa turun-temurun, seperti raja. Wali kota yang berakhir memerintah di kota ini adalah keturunan ke-32. Dinasti itu dapat bertahan selama ini berkat kudungan pasukan bersenjata.

 

          ''Apakah tidak ada semacam lembaga perwakilan rakyat, wahai Juru Penerang?'' tanyaku.

 

Ada tapi mereka hanya pajangan, boneka tak punya mulut tak punya mata dan telinga. Mereka setiap hari diperkosa oleh penguasa, disuapi, dan diberi hidup enak. Perut mereka buncit. Dan gerak fisik dan pikiran mereka amat lamban.

 

          Lalu sekelompok orang muda tanpa senjata, tanpa pimpinan menggerakkan gelombang perlawanan.

 

  ''Apakah itu reformasi namanya?'' aku bertanya lagi.

 

Bukan. Gerakan itu juga tak bernama. Seperti anak-anak muda mati yang dalam perlawanan itu tak dikenal juga namanya. Siapa mereka tak pernah dikenali hingga kini.

 

Aku tak sabar. Cerita seperti rasanya sudah terlalu sering kudengar.mendengat lagi cerita itu bagiku seperti dibuat-buat dan mengada-ada. Kupotong cerita yang kutebak akan panjang itu dengan sebuah pertanyaan, ''Wahai Juru Penerang! Apa hubungannya dengan kebun binatang itu?

 

          Oleh teman-temannya anak-anak muda yang tewas itu dikuburkan di depan gedung perwakilan rakyat kota ini ketika makin banyak yang mati halaman depan pun penuh, dan semua lahan kosong di sekitar gedung perwakilan rakyat kota ini.

 

Ketika makin banyak yang mati halaman depan pun penuh, dan semua lahan kosong di sekitar gedung perwakilan rakyat itu akhirnya dipenuhi oleh kuburan orang muda pengunjuk rasa itu. Sampai akhirnya juga dalam gedung. Dan gedung itu pun runtuh. Reruntuhan itu pun seperti jadi untukian sebuah kuburan besar.

 

          Selesai? Belum. Gelombang orang muda yang berunjuk rasa itu bagai tak habis-habisnya. Mereka seperti muncul dari setiap lubang yang ada di kota ini. Juga seperti datang dari langit.

 

Mereka mud,a bersemangat, dan tak takut mati seperti tak pernah kehabisan suara untuk meneriakan tuntutan yang kehidupan yang lebih baik bagi kota kami. Kami seperti tak asing dengan mereka. Meskipun kami yakin kami pun tak pernah bertemu dengan mereka sebelumnya.

 

Para wakil rakyat yang kehilangan gedung tempat mereka selama ini duduk-duduk, diam dan sembunyi, kadang main kartu itu perlahan ikut-ikutan gelombang unjuk rasa orang muda itu. Mereka, para wakil rakyat dengan gagah menurunkan wali kota terakhir dari dinasti. Dan upaya itu berhasil.

 

          Tapi setelah itu mereka bingung karena tak ada satupun yang bisa dipercaya untuk menjadi wali kota di kota ini. Ini berlangsung bertahun-tahun. Para wakil rakyat itu sepanjang hari hanya berdebat tanpa pernah menghasilkan keputusan. Orang-orang muda yang dulu berunjuk rasa bosan dengan perbedabatan itu. Juga warga kota lainnya. Lalu satu per satu wakil rakyat itu pun menghilang. Seperti ada yang menculik.

 

          Bersamaan dengan itu satu per satu muncul sepasang binatang di tempat bekas gedung perwakilan rakyat yang jadi tempat pemakaman orang muda yang tertembak saat berunjuk rasa. Sampai akhirnya tak ada satu pun anggota perwakilan rakyat itu yang tersisa. Dan ketika itu lokasi bekas gedung perwakilan rakyat itupun menjadi hutan tempat binatang-binatang yang muncul sepasang demi sepasang hidup tentram.

 

          ''Apakah binatang itu jelmaan para anggota perwakilan rakyat?'' Aku bertanya lagi.

 

 Tak ada yang bisa memastikan.

 

          Pada suatu hari, binatang-binatang itu berjalan beriring keluar dari lokasi bekas gedung pewarkilan rakyat itu. Mereka lalu berhenti di sebuah rumah yang dihuni oleh seorang lelaki jujur yang selama ini dilupakan bahkan disingkirkan oleh penguasa. Kami menganggap itu sebagai petunjuk untuk mengangkat lelaki itu sebagai pemimpin baru kami. Berhari-hari lelaki itu menolak. Pun ketika beberapa orang muda memintanya.

 

            Kalaupun ia akhirnya mau menerima permintaan itu alasannya juga bersumber pada bintang-bintang yang tak hendak juga kembali ke hutan tempat mereka menjelma, selama ia masih menolak.

 

          Betul saja, ketika ia menyatakan bersedia bintang itupun lepas luncas berlompatan pulang kembali ke hutan yang dulunya adalah bekas gedung perwakilan rakyat itu.

 

          ''Begitulah. Hingga kini binatang-binatang itu tetap bertahan di sana,'' sang Juru Penerang menutup ceritanya.

  

 

Aku menyimpan file wawancara dan bahan-bahan lainnya tentang kota ini dan mengirimkannya lewat email ke kantor redaksi. Redaktur daerah menugaskanku meliput berhubung surat kabar kami belum punya koresponden di kota ini. Dan terus terang saja aku punya semacam ikatan batin dengan kota ini. Sesuatu yang tak akan pernah kuceritakan dengan siapa pun, dengan alasan apa pun, sampai kapan pun.

 

          Jika kali ini surat kabar kami mengkat laporan itu sebab ada sesuatu yang amat menarik yang akan terjadi. Sejak diterapkan sistem otonomi di negeri ini, kota ini berkembang pesat. Padahal tak ada lembaga perwakilan rakyat, dan wali kota pun dipilih oleh sekelompok binatang. Sementara itu di kota-kota lain setiap pemilihan kepala daerah selalu saja diwarnai dengan keributan. Selalu ada tuduhan permainan uang bagi balon yang terpilih. Bahkan ada daerah yang hingga kini tak memiliki kepala daerah, karena setiap pemilihan selalu dibatalkan dan setelah itu diadakan pemilihan kembali.

 

          Beberapa waktu lalu sang walikota di kota ini menyatakan hendak mengakhiri masa jabatannya.

 

          ''Terlalu lama berkuasa, tak baik akibatnya,'' ujarnya. Saya membaca itu dalam harian lokal. Berkali-kali permintaan wawancara saya ditolaknya. Saya tak tahu alasan penolakan itu.

          Pertanyaannya adalah siapa yang menggantikannya, sebab wali kota lama sama sekali tak memberi petunjuk tentang siapa dan bagaimana harus menggantikannya.

 

          Saya menunggu dengan cemas. Sebab besok adalah hari pengunduran diri sang wali kota. Dan sesuai dengan pesannya besok harus sudah ada nama yang bisa diterima sebagai pengganti. Saya bergegas tidur. Besok saya harus lekas bangun, agar tak kehilangan kesempatan untuk melihat peristiwa penting itu.

 

Masih terlalu dini ketika aku terbangun oleh hiruk pikuk di depan kamar hotel tempat aku menginap. Dengan pakaian seadanya, aku keluar kamar bergegas. Suara binatang-binatang yang berbaris menghadap pintu kamar hotel di mana kini aku berdiri terdengar amat menghiba.Apalagi tatapan mata mereka, tepat ke mataku. Di belakang mereka seluruh warga kota. Diam tapi menatapku dengan tatapan yang sama menghiba. Oh…

 

          Dari tengah-tengah barisan binatang itu tampak dua orang berjalan menerabas barisan binatang-binatang itu: Wali Kota dan Juru Penerang.

 

          ''Percayalah, Saudara. Mereka binatang-binatang ini tak akan pernah kembali dan beranjak dari sini. Kecuali saudara menjawab dengan kata, 'ya'. Saudara tahu kan apa pertanyaannya?''

 

© Habel Rajavani, 2024

 

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi