Cerpen
Disukai
0
Dilihat
2,929
Permainan (Part 1)
Slice of Life

Pagi ini, seperti biasa halaman utama gedung Sekolah Darwastu sudah ramai dengan murid, guru dan karyawan sekolah yang baru datang. Ada yang datang jalan kaki karena rumahnya dekat, dan ada yang diantar oleh orang tua dan jemputan. Meski ini adalah sekolah swasta, para murid tidak diizinkan untuk membawa kendaraan sendiri.

Obri, murid kelas 7 terlihat berdiri di pos satpam dekat gerbang sekolah. Ia sedang menunggu seseorang sejak lima menit yang lalu. Sambil memperhatikan orang-orang yang melewati gerbang, akhirnya sosok yang ia tunggu muncul di balik pintu mobil yang berhenti tepat di depan gerbang berwarna biru itu.

Ilan, sahabatnya datang sepuluh menit sebelum bel tanda masuk berbunyi. Obri berdiri dan menyampirinya. Mereka bersalaman dengan gaya yang mereka buat sejak kecil, lalu berjalan bersamaan.

“Katanya akan ada duapulahan anak yang ikut tes nih," Ilan memulai pembicaraan. Tegang memikirkan seleksi tim basket sekolah nanti sore.

“Dan hanya akan setengah doang yang akan di terima. Gw gak yakin bakal lolos," imbuhnya.

Obri jalan di sebelahnya merangkul sahabatnya.

“Lu bisa Lan, kita udah latihan," katanya berusaha menenangkan.

“Iya lu pasti bisa Bri, gw belum tentu. Kalau dalam persen, lu ke terima tuh kemungkinan 90 kalau gw masih 40."

Ilan begitu pesimis, karena sudah hampir dua bulan latihan bareng Obri, tapi masih belum ada kemajuan.

Setelah memasuki lobby utama sekolah, Obri dan Ilan melewati lapangan besar yang berada di tengah-tengah gedung sekolah berbentuk U. Lapangan di tengah yang sering kali jadi tempat murid berolahraga dan akan menjadi tempat tes seleksi tim basket nanti. Ilan memperhatikan tiga sisi gedung yang secara langsung terlihat dari lapangan. Dia mulai membayangkan bagaimana malunya ia nanti saat mengikuti tes dan ternyata gagal dengan konyol dan orang-orang akan menontoninya.

“Mati malu kayaknya gw nanti kalau gagal. Bakal banyak orang yang ketawain gw. Bukannya gw dikenal sebagai tim basket tapi jadi terkenal karena ada orang kurus kerempeng kayak gw sok-sokan mau ikutan jadi tim basket," serunya. Perutnya Ilan tiba-tiba merasa sakit. Mulas.

“Lan, tenang aja kali. Masih ada waktu. Dua kali istirahat nanti bisa kita pake buat latihan lagi klo lu mau. Kita bisa latihan di lapangan belakang."

Obri tahu banget sahabatnya yang satu ini. Ilan gak akan mudah tenang kalau udah tegang begini. Tapi tes itu masih beberapa jam di depan. Buat apa memikirkannya dari sekarang. Obri sebenarnya juga tegang, makanya semalam dia habiskan waktu latihan shoot di lapangan kecil dekat rumahnya sampai larut malam. Tapi sekarang yang lebih menegangkan bagi Obri adalah kuis fisika yang akan ia hadapi saat masuk kelas pagi ini.

“Bri," suara serak dari cowok berbadan besar, kulit sao matang, menyampiri Obri dan Ilan saat mereka menaiki tangga ke lantai dua. “Nanti lu jadi pakai lapangan kecil? Kalau engga bakal dipakai anak kelas 10 tuh."

Obri melirik Ilan, meminta jawaban dari temannya. Ilan mengangguk.

“Jadi Dim. Kita pake pas istirihat kedua ya. Lu ikutan aja sekalian latihan."

Obri mengikuti langkah Dimas meninggalkan Ilan yang berada di belakangnya. Dimas murid kelas 7 lainnya yang akan mengikuti seleksi tim basket. Tapi karena ia adik dari kapten basket sekolah, Obri yakin Dimas punya tips tes apa aja yang akan dilakukan nanti.

“Lu ada info gak seleksi nanti ngapain aja dari abang lu? Kasih tau kita lah."

Obri merangkul Dimas. Badannya gak kalah besar dari Dimas.

“Boro-boro dikasih tau, dibantuin latihan aja kagak. Jangan ngarepin dari abang gw lah. Mending nanti pas istirahat pertama kita coba nguping anak-anak basket di kantin. Bisa aja mereka bakal ngobrol tentang seleksi."

Dimas walau badannya besar dan punya kakak kapten basket saja memberikan respon putus asa seperti Ilan. Sepertinya seleksi basket hari ini benar-benar akan sangat susah. Akhirnya ketiga anak ini berpisah di lantai dua dan masuk ke kelas masing-masing.

Ternyata kekhawatiran Obri sama sekali tidak terjadi. Kuis fisika di pelajaran pertama bisa ia lewati dengan baik. Sebaliknya, Ilan selama di kelas hanya memikirkan seleksi basket. Dia berdiskusi dengan Dimas, memperkirakan segala strategi, tes dan hasil yang akan mereka dapatkan nanti. Saking sibuk sendiri, mereka berdua ditegur dua kali sama guru yang akhirnya disuruh mengerjakan soal matematika di depan.

Pukul sepuluh teng, suara bel tanda istirahat pertama berbunyi. Puluhan anak dengan ramai keluar dari kelas masing-masing. Ada yang langsung menuju kantin, ada yang keluar kelas membawa bekal dan berderet duduk di koridor depan kelas.

Obri, Ilan dan Dimas langsung menuju kantin. Mereka harus duduk di dekat tempat anak-anak basket sering duduk sebelum diambil yang lain. Selama perjalanan ke kantin, Ilan dan Dimas menceritakan hasil obroloan mereka ke Obri yang sebenarnya tidak menghasilkan apa-apa. Isi pembicaraan mereka hanya ketakutan dan kekhawatiran yang tidak berlandaskan apa-apa. Membuat Obri geleng-geleng kepala.

Untung sesampai mereka di kantin, salah satu meja di sebelah anak-anak basket masih kosong. Mereka bertiga langsung berlari menghampiri.

“Sorry, kita duluan girls," kata Dimas ke ketiga murid perempuan yang juga ingin duduk di meja tersebut.

Obri dan Dimas, langsung berusaha menguping pembicaraan kelima anak basket paling populer di sekolah. Salah satunya adalah Kapten Basket, Gilang, kakaknya Dimas. Ilan pergi membeli makan dan minuman. Dia yang paling butuh asupan paling banyak untuk persiapan seleksi.

Kelima orang yang duduk dua meter dari Obri dan Dimas adalah tim inti basket Darwastu. Dua tahun berturut-turut mereka kepilih menjadi tim basket provinsi Banten dalam perlombaan DBL (Development Basket League)tingkat nasional. Tahun lalu Gilang yang memenangkan MVP.

Sebagai anak kelas 11 tahun ini adalah tahun terakhir mereka. Makanya pasti mereka jugalah yang akan menjadi juri dalam seleksi tim basket sekolah hari ini. Mereka yang akan memilih siapa yang akan menjadi penerus mereka.

“Hari ini katanya adalah dua puluh anak yang bakal ikut seleksi?” tanya Rama. Anak basket yang paling banyak punya penggemar karena tampangnya yang mirip aktor Korea.

“Iya ada 20an. Bakal rame banget nih. Males gw kalau pada gak ada skill-nya," sahut Ridho sambil mengunyah roti coklat di tangannya. “Nanti jadinya gimana pemilihannya lang? Gw kan gak ikut minggu lalu pas meeting," ujar Dedi. Pertanyaan ini yang ditunggu-tunggu kedua orang yang sedang menguping.

“Kayak biasa sih. Lebih banyak tes teknik mereka satu-satu dan terakhir buat tim untuk tanding. Tim yang menang itu yang masuk," Gilang menjelaskan. Penjelasan yang sangat singkat dan jelas. Obri dan Dimas saling berpandangan.

“Wah seru kalau gitu dong. Kita cuma perlu evaluasi teknik mereka abis itu jadiin mereka setim dan lihat hasilnya. Gitu kan?” Louis memastikan dan dijawab anggukan oleh Gilang.

“Berarti mereka benar-benar masuk karena skill-nya. Gak cuma teknik tapi juga skill tim."

“Tapi gak yakin gw bakal ada yang bener mainnya. Kalau cuma menang karena angka bola yang masuk kuranglah."

“Kalau hasil tanding tetep Pak Ahmad yang tentuin. Mau dia ambil yang menang karena banyak angka bola, atau karena strategi. Dua-duanya tetap bisa dicoba sih."

“Bisa aja ada anak-anak yang emang jago. Adik lu sama teman-temannya juga ikutan kan lang? Mereka bukannya lumayan?”

Dengar namanya disebut, Obri, Illan dan Dimas saling berpandangan sekali lagi. Tidak disangka tim inti basket bisa menganggap diri mereka ‘lumayan’. Pujian yang sangat memotivasi.

“Lumayan dari mana? Lu lihat aja nanti shoot-nya Dimas. Masih untung kalau lemparnya beneran ke ring. Eh gak bisa dibilang shoot sih kalau gitu.” Kelimanya tertawa barengan.

Sepeti habis naik setinggi langit langsung jatuh ke kolam ikan. Dimas menganga mendengar ucapan abangnya. Gak terima. Dia tidak merasa shoot-nya separah itu. Masih kurang sih iya. Tapi panteslah untuk dibilang shoot. Obri menepuk tangan Dimas, mulutnya mengucap tanpa suara, ‘tenang bro’.

Dua puluh menit istirahat pertama benar-benar sangat membantu mereka bertiga. Meskipun masih belum tahu pasti apakah nanti tim dibentuk sendiri atau ditentukan, main 3on3 atau full team, tapi kini mereka punya gambaran latihan apa yang perlu dilakukan pas istirahat kedua.

***

Bel pulang sekolah sudah terdengar sejak lima belas menit yang lalu. Beberapa murid sudah berlari jauh meninggalkan gedung sekolah. Orang-orang yang menjemput murid juga sudah mulai sepi. Tapi sebenarnya kegiatan sekolah masih berlangsung. Keramaian di dalam gedung semakin memanas. Masih lebih banyak murid yang memilih tidak pulang hanya untuk menonton seleksi tim basket sekolah. Tiga lantai gedung berbentuk U ini sudah dipenuhi murid dan guru. Sedari tadi sudah ramai dengan suara cempreng murid perempuan yang teriak-teriak nama Rama, Gilang dan Louis. Mereka bertiga banyak penggemarnya.

Pak Ahmad, pelatih tim basket sudah dari lima menit sebelum bel mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan di lapangan. Kelima anak buahnya, Gilang, Rama, Ridho, Dedi dan Louis menyusul setelah bel bunyi. Sebenarnya ada 20 anggota tim basket Darwastu. Tapi menurut pak Ahmad lima belas anggota lainnya tidak perlu ikut membantu. Hanya akan memperbanyak orang di lapangan dan membuat peserta semakin gugup.

Dua puluh peserta seleksi tim basket kini sedang buru-buru mengganti baju mereka. Dari semalam sudah diberitahu lewat chat bahwa peserta harus sampai di lapangan pukul 15.20. Beberapa yang sudah selesai langsung berlari ke lapangan.

Dengan kedua puluh peserta telah berkumpul di tengah lapangan. Begitu juga dengan keramaian murid yang berdiri menonton di setiap lantai dan duduk di dekat lapangan. Mereka juga siap menonton.

“Selamat sore semua. Terima kasih sudah mendaftarkan diri untuk masuk tim basket sekolah Darwastu. Kalian sangat on time hari ini . Bagus sekali, saya suka,” sapa Pak Ahmad kepada para peserta dengan tenang. Walau wajahnya yang terlihat sangar, guru olahraga Darwastu ini dikenal sangat baik. Beliau telah menjadi guru di Darwastu selama dua puluh tahun.

“Hari ini ada 22 peserta yang akan mengikuti seleksi tim basket. Dari mulai murid kelas 7 hingga kelas 10. Ada yang baru pertama kali ikut ada juga yang sudah berkali-kali. Seperti Andi dan Lipo. Tapi semua dinilai dengan setara. Kita hanya akan menilai kalian dari kemampuan. Kalau memang kalian pantas pasti akan diterima jadi bagian tim basket Darwastu," Pak Ahmad memberitahu.

Dua puluh peserta itu adalah sembilan orang kelas 7, lima orang kelas 8, tiga orang kelas 9 dan tiga orang kelas 10. Sangat terlihat semua peserta begitu tegang.

“Disini saya bersama dengan kelima anggota tim basket yang akan menentukan. Kalian semua pasti sudah tahu mereka, tapi saya tetap ingin mengenalkan. Ada Gilang, Kapten Basket kita, Ridho, Rama, Louis dan Dedi."

Mereka berlima bergantian tersenyum tipis saat nama mereka disebutkan oleh Pak Ahmad.

“Gak perlu tegang dan takut sama mereka. Tugas mereka adalah mengevaluasi dan menilai kemampuan kalian selama tes berlangsung. Jadi yang perlu kalian lakukan adalah bergerak dengan cepat dan kuat. Untuk tes seleksi hari ini ada beberapa yang akan dinilai. Pertama fisik. Kedua kecepatan. Ketiga teknik. Keempat rahasia. Oke. Adakah yang mau bertanya?"

Pak Ahmad mengamati peserta. Satu orang mengangkat tangan.

“Iya kamu, mau tanya apa?” Pak Ahmad menunjuk murid kelas tujuh berkacamata yang berdiri di belakang Ilan.

“Saya mau tanya pak. Ini selesainya sampai jam berapa ya? Jemputan saya cuma bisa sampai jam 5."

Pertanyaannya mengundang tawa dari beberapa murid lain.

“Kalau kamu mau pulang sekarang juga boleh. Silahkan. Yang lain juga gitu ya. Saya tidak ada memaksa kalian untuk berada di lapangan ini. Kalau memang tidak kuat dan mau pulang, langsung pergi aja. Saya orangnya gak ribet."

Pak Ahmad memang bicara dengan santai, tapi kata-katanya sangat tajam. Murid yang bertanya jadi diam, begitu pula yang lain. Suasana semakin tegang.

“Kalau tidak ada lagi kita bisa mulai sekarang," tandasnya.

Lapangan kini diambil alih oleh Gilang dan Ridho. Mereka langsung memerintahkan peserta lari mengelilingi lapangan dengan panjang kira-kira 30 meter. Tidak diberitahu mereka harus lari berapa kali. Rama, Louis dan Dedi ikut Pak Ahmad ke dekat dua keranjang besar yang dipenuhi banyak bola basket.

Sepuluh menit telah berlalu. Beberapa murid sudah terlihat ngos-ngosan. Masih belum ada perintah berikutnya. Dua puluh orang masih terus berlari mengelilingi lapangan. Jika ada yang mulai memelan larinya langsung dihampiri Gilang atau Ridho dan bertanya, “Lu sudah ditunggu jemputan?”

Dua menit kemudian, Ridho berteriak kencang, “Kalian terima bola dari Dedi dan Louis abis itu lari sambil dribble ."

Dedi dan Louis bergantian melempar bole ke peserta yang lari. Satu-satu murid menerima bola dan berusaha mendribel dengan baik sambil lari. Ada yang dengan mudah menerima lemparan bola dan mendrible dengan sangat baik. Ada yang kelepas bolanya dan menggelinding ke berbagai arah.

Beberapa arahan dari Ridho kini datang lebih cepat. Mereka diminta mendrible bola pake tangan kiri dalam beberapa menit, lalu ganti pake tangan kanan, dan terakhir melakukan crossover. Dua puluh murid berlari mengelilingi lapangan sekitar 25 menit. Mereka diberi waktu istirahat lima menit.

Setelah itu, kelima senior menunjukkan gerakan apa yang akan mereka lakukan. Ridho dan Dedi saling berhadapan dari tengah lapangan, mereka mulai passing menuju ring, hingga sampai garis three point, Dedi yang memegang bola langsung melakukan shoot. Masuk. Dedi lari balik ke tengah lapangan, sedangkan Ridho mengambil bola terlebih dahulu, mendrible dan melemparnya ke Louis. Pasangan Louis dan Rama melakukan yang sama seperti sebelumnya. Rama yang kali ini shoot, gak masuk. Bola mental keluar, tapi Rama tetap berlari kembali ke tengah lapangan. Sedangkan Loius mengambil bola dan melakukan layup. Lalu baru balik ke tengah lapangan. Mereka melakukannya sekali putaran lagi. Lalu langsung memerintahkan dua puluh peserta masuk lapangan dan melanjutkannya.

Di sini benar-benar sangat terlihat siapa yang memiliki teknik dasar basket, siapa yang tidak. Mereka yang parah membuat Ridho tidak segan-segan berteriak. Dia sangat ingin memaki dan membenarkan cara anak-anak di depannya ini. Tapi tidak diperbolehkan Pak Ahmad.

“Biarkan saja. Tugasmu menilai. Jangan sampai salah orang."

Dengan 22 orang yang ikut seleksi, mereka sudah dibagi rata kepada enam jurinya. Gilang dan kawan-kawan harus menilai dan mengevaluasi masing-masing lima orang. Sedangkan dua sisanya Pak Ahmad.

Dari awal yang dipegang pak Ahmad adalah dua murid yang sudah dikenal memang bisa bermain basket. Sejak tadi hasil yang dipegangnya memberikan kepuasan.

Setelah masing-masing pasangan melakukan putaran kira-kira hampir sepuluh kali. Mereka diberi istirahat lima menit.

“Lu perhatiin cara layup gw gak tadi? Kayaknya kakinya masih sering salah nih," kata Ilan membuka pembicaraan saat menghampiri Obri yang sudah duduk di pinggir lapangan.

“Masih oke kok Lan. Banyak yang lebih parah dari lu," Obri jawab sekenanya. Dia tidak terlalu memperhatikan sebenarnya. Tapi pas istirahat kedua, dia lihat cara layup Ilan masih bisa dikatakan baik.

“Gila juga lu Bri, setiap shoot lu masuk mulu. Kasian amat David yang gak sempet layup atau shoot sama sekali. Cuma ngambilin bola bekas lu doang," Dimas menghampiri keduanya dan duduk di sebelah Obri.

“Iya gak enak juga gw sama David. Tadi sempet tanya juga ke Rama. Dia malah bilang, ya lu lah jangan masuk mulu bolanya. Kan jadi tambah bersalah. Udah gak bisa ganti posisi juga."

Obri membenarkan diri. Dia sama sekali gak menyangka juga kalau shoot-nya akan selalu masuk.

“Si Widi lumayan tuh, setara sama lu Bri. Bisa masuk di tim kita nanti kalau memang kita bisa pilih."

Dimas memperhatikan murid yang duduk tak jauh darinya. Badannya tinggi, putih, dan berambut cepak. Obri mengangguk, setuju sama pendapat Dimas.

“Ayub juga lumayan. Walau layup-nya masih kurang kayak gw, tapi okelah. Badannya gede, bisa jadi forward nanti," tambah Ilan.

Gantian Dimas dan Obri langsung mencari sosok yang lagi dibahas. Anak kelas 8 yang postur tubuhnya menyayingi Ridho. Mereka berdua mengangguk bersamaan. Setuju lagi.

Suara peluit Gilang kembali melengking. Mereka harus kembali ke lapangan.

Dua puluh dua murid telah berkumpul kembali ke tengah lapangan menunggu instruksi apalagi yang akan mereka lakukan. Terlihat Pak Ahmad, Ridho, Rama dan Dedi masih berdiskusi. Gilang dan Louis menghampiri mereka.

“Tes terakhir kalian adalah tanding. Kalian akan dibagi menjadi empat tim. Empat orang sudah dipilih menjadi kapten dari tiap tim. Lalu kapten yang akan memilih anggotanya," Gilang menjelaskan.

Beberapa murid terlihat terkejut dengan kabar tersebut, sedangkan sisanya seperti sudah menduganya. Berharap merekalah yang dipilih sebagai kapten.

Dimas menyenggol siku Obri. “Semoga lu salah satu kaptennya," ujarnya.

“Nama yang gw panggil maju ke depan ya. Widrawanta Nasution, Bayu Nugra, Ayub Budi Laksana, dan Oliver Brian Santoso."

Satu per satu murid yang dipanggil maju ke depan, termasuk Obri. Mereka berdiri berbaris di samping Gilang. Obri menghela nafas melihat Widi dan Ayub juga menjadi kapten. Berarti mereka tidak bisa menjadi tim mereka.

“Kalian bisa pilih empat anggota untuk jadi tim kalian. Bisa mulai dari kamu," Gilang menunjuk Widi.

Setiap kapten bisa langsung memilih empat anggota sekaligus sesuai dengan urutan mereka dipanggil. Obri mendapatkan giliran terakhir untuk memilih. Untuk kesekian kalinya Obri menghela nafas.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)