Masukan nama pengguna
“Gini nih nasib anak yang sudah bisa nyetir mobil," gerutuku dalam hati.
Seharusnya jam segini aku masih di alam mimpi, nyaman rebahan di tempat tidur yang empuk. Tapi baru dua jam aku tertidur, sudah diteriakin ibu untuk mengantarnya menjemput bude dan pergi ke stasiun kereta. Mereka berdua ternyata akan berlibur ke Yogyakarta seminggu.
Tapi apa boleh buat, sebagai anak yang berbakti, sambil mengeluh, aku mencuci muka, mengambil cardigan putih kesayanganku, dan naik ke mobil. Sekarang pukul 05.30 wib.
Jalan masih gelap dan masih sepi. Biasanya untuk sampai rumah bude butuh waktu satu jam. Tapi subuh ini hanya butuh 30 menit. Aku membuka kaca mobil saat memasuki perumahan modern dan menyapa satpam yang menjaga semalaman itu. “Pagi pak.”
Tidak jauh dari gerbang, sudah dapat terlihat rumah bude. Tapi kali ini rumah tersebut dipenuhi dengan mobil dan motor.
Dalam perjalanan, aku sempat bertanya ke ibu, kenapa bukan anaknya bude yang mengantar ke stasiun. Bude punya dua anak laki-laki. Anak pertamanya, Bang Dika dua tahun di atas aku, dan adiknya, Gading satu tahun di bawahku. Dan ibu bilang mereka berdua ada acara dengan teman-temannya. Jadi sepertinya motor dan mobil yang terparkir sudah menjawab semuanya. Teman-teman bang Dika dan Gading sedang berkumpul di rumah bude.
Aku memarkirkan mobil di depan teras tetangga bude karena tempatnya sudah penuh. Ibu menyuruhku yang turun untuk memanggil bude supaya lebih cepat, sekalian aku juga butuh ke kamar mandi.
Suara ramai dari dalam sudah terdengar di depan.
Abang Dika sejak sekolah memang murid popular. Dia pemain basket, bagian dari osis, dan siswa beprestasi. Begitu juga dengan Gading. Apalah aku yang tidak ada apa-apanya. Tapi meski begitu aku juga lumayan dikenal di sekolah, tapi dengan topik yang berbeda.
Jantungku berdebar lebih cepat saat ingin masuk ke dalam rumah. Pintu depan sedikut terbuka sehingga aku bisa melihat sekilas keadaan di dalam. Beberapa orangnya aku kenal. Sepertinya mereka yang datang teman-teman sekolah Abang Dika.
Tuk Tuk. Aku mengetuk pintu dan membukanya perlahan. Suara yang ramai itu tiba-tiba berhenti menjadi keheningan. Semua orang memandang aku. Dengan cepat aku mencari pemilik rumah, sambil tersenyum tipis pada setiap mata yang ditemui.
“Ibu, Keshia sudah datang nih," teriak Gading. Orangnya duduk di meja makan paling pojok ruangan.
Suasana rumah yang ramai tiba-tiba berhenti sejenak karena kehadiranku. Sambil tersenyum ramah menyapa beberapa muka tak asing dengan anggukan kepala. Aku perlahan berjalan menuju kamar mandi yang ada di sebelah kiri ruang tamu. Tapi tanpa aku ketahui tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka dan muncul sosok cowok tingginya lebih tinggi 20 senti dari aku, rambutnya cepak kecoklatan dan berkulit putih.
“Ciiiiiiieeeeeeeeeee!!!”
Semua di dalam rumah tersebut serentak membuka suaranya yang dua menit lalu tertutup rapat.
"Hai.” sapa cowok di depanku. Dia tersenyum tipis.
Aku tertegun tanpa sadar kakiku melangkah mundur. Satu Langkah. Gelagapan menyapanya kembali. “Halo.”
Sepertinya dia sama sekali tidak kaget dengan kemunculanku tiba-tiba di depan pintu kamar mandi. Bahkan dia tidak merasa situasi ini aneh dengan semua orang tertawa bagaikan ini tontonan yang sangat menarik. Lihat aja senyumnya yang manis. Bertahun-tahun tidak melihatnya sepertinya semakin tampan muka ke bule-buleannya itu.
Kesadaranku kembali. Aku buru-buru masuk ke dalam kamar mandi di belakangnya.
Bang Dika dan Gading membantu membawa barang-barang Bude. Teman-temannya secara berirama merdu berpamitan kepada Bude agar baik-baik selama liburan. Aku tersenyum mendengarnya.
“Kalian jangan lupa ya makan yang ibu masak, itu di kulkas masih banyak makanan, tinggal dipanasin aja. Jangan males buat manasinnya. Jangan beli-beli makanan dari luar. Awas pas ibu balik makanannya gak kesentuh," kata ibu.
Meninggalkan anak laki-laki di rumah memang bukan hal yang mudah.
“Nanti ibu akan suruh Keshia buat lihatin kalian," tambahnya.
Mendengar namaku dibawa-bawa aku hanya tersenyum dan mengacungkan jempol. Ibu sudah menunggu lama di dalam mobil. Aku dan Bude berpamitan.
“Bye Keshia.”
“Bye!” balasku.
***
Jakarta hari ini tidak begitu macet seperti biasanya. Bahkan saat di Bandara semua begitu mulus. Kita sampai dan masih bisa sarapan dulu setelah ibu dan bude check in.
Hari ini hari liburku. Rasanya ingin langsung pergi ke suatu tempat, tapi melihat keadaanku yang belum mandi dan berpakaian baru bangun tidur, jadi aku urungkan niat dan balik ke rumah.
Hari ini begitu aneh dan mengejutkan. Siapa yang tahu bahwa setelah bertahun-tahun bisa bertemu kak Justin lagi. Well, disana juga ada kak Sinta, bahkan dia lebih dulu ajak aku bicara.
Jadi saat SMA aku begitu menyukai Justin. Kakak kelas yang sangat popular. Dia tampan, pinter secara akademin maupun sosial. Dia jago main basket bahkan MVP dalam perlombaan provinsi. Dia disukai banyak guru, bahkan dia juga ketua osis. Sayangnya dia teman Bang Dika. Aku tidak pernah bisa melakukan apa-apa dengan itu. Tapi semua orang tahu aku menyukai Justin. Karena itu semua orang begitu tertarik dengan pertemuan yang aneh di depan kamar mandi. Mereka terus menganggapku anak kecil.
Kak Sinta, dia pacaran dengan Justin di tahun kedua sekolah. Dia bagian dari osis, mereka cukup lama berteman, tapi tidak tahu kenapa bisa tiba-tiba pertemanan berubah menjadi percintaan. Tapi mereka putus di masa-masa perkuliahan. Kuduga karena LDR (long-distance relationship) adalah hal yang susah. Justin kuliah di Melbourne sedangkan kak Sinta di Jakarta.
Aku sering melihat Justin di setiap media sosial Bang Dika atau Gading atau beberapa teman sekolah yang suka main basket bareng.
Justin seperti cinta monyet-ku tapi juga rasanya cinta pertama. Dia seperti sebuah kebiasaan yang susah ditinggalkan. Aku selalu penasaran saat melihat fotonya. Sesekali melihat profil media sosialnya tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Sesekali menuliskan namanya saat bosan dan tidak memikirkan apa-apa.
Tapi sejujurnya kita tidak begitu saling berkenalan satu sama lain. Mungkin Justin hanya mengenalku sebagai sepupu dari temannya yang dulu pernah had crush on him. Beberapa pembicaraan singkat kalau dia datang ke rumah Bang Dika. That’s it. Makanya aku selalu hanya punya bayangan tentang dirinya tanpa aku benar-benar tahu siapa dia.
Ting! Suara notifikasi terdengar dari ponsel. Aku kira tiba-tiba ada kerjaan memanggil. Ternyata…
justinbrahmana started following you
What the heck!!! Aku termenung. Memegang ponselku tanpa bersuara.
Ting!
justinbrahmana replied your story
Tanpa sadar melempar ponselku. Kaget dengan notifikasi yang muncul.
“What is going on!! This is crazy!!!” teriak-ku di dalam mobil. Untung saja sudah sampai rumah. Meski ada beberapa orang di sekitar, ku harap tidak ada yang mendengar suaraku dari dalam mobil.
Apa dia mabok, pikirku.
Berusaha tenang dan membuka notifikasi tersebut. Jatungku berdebar-debar tak karuan.
Kuraih hp yang tergeletak. Pelan-pelan klik notifikasi tersebut dan melihat pesan yang masuk.
Hi. Udah balik ke rumah dari bandara?
Membaca pesannya seperti sebuah mimpi. Tak kuasa menahan senyum. Bingung seperti apa aku harus membalasnya. Tapi jari-jari ini seperti autopilot mengetik dengan semangat.
Hi. Iya baru aja sampe.
Bisa kali follow back dulu hehe…
Cepat sekali dia balasnya. Tidak sampai satu detik. I’m dying inside. Rasanya seluruh badan ini melemas seketika. Tapi tidak membuat senyum ini menghilang. Aku melihat profilnya dan klik tombol bertuliskan Follow. Seketika tulisan itu berubah menjadi Following.
Ting!
Gitu dong ;)
Aku membiarkan pesan itu berlalu. Tidak tahu harus membalas apa. Lebih baik masuk ke dalam rumah. Sebelum banyak orang mengira aku menjadi gila karena tersenyum sendirian di dalam mobil.
Pesan-pesan itu terus berlanjut untuk waktu yang lama. Kami saling menyapa, saling mengkomentari story satu sama lain. Bergurau bersama, membagikan beberapa postingan yang menurutku lucu dan menurutnya menarik.
Tidak terasa sebulan berlalu. Jika dibilang komunikasi ini begitu lancer, aku bisa bilang iya. Tapi untuk sebuah hubungan yang romantis, hubungan itu terlihat tidak ke arah sana. Aku menyukai setiap pembicaraan. Tapi bahkan satu bulan kita berkomunikasi, semua hanya dilakukan di media sosial. Dia sama sekali tidak ada tertarik untuk meminta nomorku, atau mengajakku pergi.
Malam ini aku harus mampir ke rumah bude untuk mengambil barang milik ibu. Apa itu tidak tahu. Tapi yang dikatakan berat dan besar. Baru datang tadi siang. Jadi harus diambil dengan mobil. Aku yang kantornya searah dengan rumah bude diminta untuk menjadi kurirnya.
Tidak lama sesampai di rumah, Bang Dika dan Gading sampai bersamaan. Mereka berpakian hitam seperti baru dari pemakaman. Muka mereka tidak ceria.
“Gimana pemakamannya?” bude bertanya. Berdua jalan ke arah kami di ruang tamu.
“Sedih bu. Masih gak nyaka,” jawab Bang Dika lemas.
“Siapa yang meninggal bang?” ku bertanya. Cemas.
“Sinta, key. Jantung. Pas dia lagi tidur.”
Mulutku ternganga. Kaget. Gimana mungkin. Sebulan lalu pas ketemu di tempat ini, rumah ini. kak Sinta terlihat baik-baik saja. Dia mengajak aku bicara, menanyakan kabarku. Aku masih sangat ingat senyumnya yang manis itu. Bahkan wangi parfumnya.
“Astaga, bener-bener gak ada yang tahu ya. Pas waktu bude pergi ke Yogya kan ketemu kak Sinta di sini. Dia terlihat sehat.”
“Makanya kei. Kita pun juga kaget pas tahu tadi pagi. Dia pergi dalam tidurnya.”
“Dan begitu cantik. Kami lihat dia tadi di petinya," tambah Gading.
“Kapan dikuburnya bang? Aku mau ikut.”
“Besok siang Kei.”
Sayangnya aku tidak bisa datang karena besok ada event penting yang sudah direncanakan dua bulan terakhir. Sungguh berita yang tak terduga. Aku sedih akan kepergian kak Sinta. Dia orang yang sangat baik dan pintar. Tapi sejak mendengar kabar tersebut aku sangat mengkhawtirkan satu orang. Justin.
Meski sudah tidak bersama lagi sejak beberapa tahun lalu. Tapi kak Sinta tetap seseorang yang pernah mengisi kehidupannya. Bahkan bisa jadi kak Sinta cinta pertamanya. Bagaimana dia bisa menerima dan menjalani hal ini.
Aku takut untuk menanyakan kabarnya. Tidak ada story apa-apa yang dipasang. Bahkan beberapa teman di media sosial yang dekat hanya memposting foto-foto kak Sinta dengan caption kepergian mereka.
***
Satu bulan kemudian.
Aku memilih untuk pergi naik gunung setelah sebulan yang cukup padat. Menghilangkan penat dan kegundahan hati yang selama ini cuma bisa disimpan sendiri. Untungnya pas banget waktunya saat Adri, teman sekolahku mengajak untuk naik Gunung Prau.
“Ini gunung pemula kok Kei, gak lama buat naik ke atasnya," katanya meyakinkan.
Sama sekali tidak mengecewakan mengikuti perjalanan mendadak ini. Kami berlima dengan tiga teman Ardi yang memang sudah pro dalam hal naik gunung. Awalnya sedikit canggung, tapi mereka orang-orang yang menyenangkan.
Gunung Prau berada di daerah Jawa Tengah. Kami menggunakan jalan pendakian Dieng, jadi diperkirakan butuh 4 jam buat naik ke puncak. Pemandangannya lumayan indah buatku yang memang sudah jarang datang ke daerah seperti yang biasanya hanya melihat perkotaan. Waktu rasanya begitu pelan berjalan untuk aku bisa menikmati setiap pemandangan dan sejuknya udara disini.
Ternyata memang begitu banyak orang yang kini suka mendaki gunung. Atau mungkin karena ini weekend. Bahkan aku ketemu beberapa teman lama. Aneh rasanya.
“Makanya seru Kei naik gunung. Tiba-tiba ketemu orang lama yang ternyata bisa jadi jodoh masa depan," goda Adri pas aku selesai bertegur sapa dengan teman kuliah. Cowok.
“Maap nih pak, yang tadi udah nikah," jelasku sambil menyenggolnya pelan.
Adri itu jago fotografi, lihat aja isi instagramnya semua hasil jepetran yang professional. Jadi selain menikmati pemandangan indah, juga sekalian jadi model abal-abal Adri. Lumayan bisa punya stock foto buat di post. Walaupun pada akhirnya, yang harusnya cuma empat jam pendakian, jadi ngaret satu setengah jam perjalanan.
“Kebanyakan foto-fotonya lu Kei," gerutu Adri.
“Ih, kapan lagi gw naik gunung. Bisa sepuluh tahun lagi kali Dri. Plus mumpung ada lu fotografi professional."
Benar-benar pemandangan yang indah di puncak Gunung Prau. Bahkan Tuhan memang lagi baik sehingga cuacanya sangat pas banget buat naik gunung. Dari atas bisa kelihatan dengan jelas pemandangan yang indah, langit yang biru cerah, awan-awan putih yang manis dilihat. Semua terasa sempurna. Aku menyukai apa yang kulihat dan kurasakan saat ini.
Lalu tiba-tiba ada seseorang yang menepuk pundak-ku.
Seseorang yang sama sekali tidak aku duga berada di atas puncak Gunung Prau. Seseorang yang satu bulan ini ingin sekali aku tanyai kabarnya, tapi ku tak punya keberanian yang cukup.
“Hai Kei. Gak nyangka bisa ketemu di sini. Kamu suka naik gunung juga?”
Aku berusaha untuk menetralkan ekspresiku sedater mungkin, meski jantung berdegup dengan kencang.
“Hai kak. Sama sekali gak nyangka sih bisa ketemu disini juga. Eh.. ini pertama kali aku naik gunung malah.”
Dia terlihat kurus dari terakhir ketemu. Wajahnya telihat begitu lelah. Apa dia baik-baik saja?
“Gimana kabarmu Kei? Udah lama gak ngobrol nih jadi canggung," katanya dengan senyum canggung sambil menggaruk kepalanya yang aku rasa tidak gatal.
“Baik kak. Bulan lalu lumayan padat aja sih sama event-event. Makanya kabur dululah ini nyari udara sejuk. Kamu gimana?”
“Everything looks fine sih. But inside is kinda mess I think."
Aku sangat mengerti apa yang dia maksud. Hal itu juga yang selama ini aku khawatirkan tentang dia. Ada beberapa kali aku coba tanya ke Bang Dika secara gak langsung tentang Justin. Tapi Bang Dika bahkan tidak bisa mendeskripsikan keadaan temannya itu.
“Kak Sinta pasti udah bahagia dan tenang disana,” kataku dengan sangat-sangat pelan dan perlahan.
Kutepuk punggungnya, memberi kekuatan. Dia balas dengan anggukkan. Matanya berkaca-kaca.
“Sama sekali gak nyangka dia pergi begitu cepat, tanpa mengatakan apa-apa," ucapnya memecahkan keheningan. Suaranya bergetar. Aku hanya bisa menatapnya iba. Ikut menahan tangis dan rasa sakit yang dia rasakan.
“Bahkan aku gak sempet untuk bilang terima kasih dan maaf.”
“Dia pergi meninggalkan banyak orang yang sayang sama dia."
Butiran-butiran air dari matanya kini turun deras. Aku hanya bisa meraihnya dan memeluknya dalam diam. Mengusap punggungnya untuk tenang.
Keindahan Gunung Prau benar-benar punya cara untuk mencerahkan kegundahan hatiku yang penuh keabu-abuan. Hari ini rasa kegelisahan dan kekhawatiraku pada Justin terbayarkan sudah. Melihatnya menangis kehilangan cinta pertamanya dan begitu rapuh karena kepergian kak Sinta, membuatku mengerti dan turut merasakan kesedihannya.
Justin menangis untuk waktu yang lama dan aku hanya duduk di sebelahnya menemani. Sekali-kali mengusap punggungnya untuk menenangkan.
“Terima kasih Kei,” ucapnya lirih. Aku tersenyum dan menganggukan kepala.
Tak berapa lama tim Justin turun lebih dulu. Sedangkan Adri dan teman-teman lebih memilih untuk duduk di puncak untuk mendengar cerita singkatku tentang Justin.
Benar-benar tidak ada yang sangka bahwa perjalanan singkat ini menjadi momen yang tidak akan aku lupakan seumur hidup. Terima kasih Adri dan Gunung Prau.
Dalam perjalanan pulang ke Jakarta, nomor yang tidak ku simpan dalam kontak memberi pesan.
From: 085677xxxxxx
Terima kasih Kei buat hari ini. Kamu pendengar dan penghibur yang baik. Aku berhutang padamu. — Justin
Hehe.. It’s okay. Senang bisa jadi pendengar yang baik
Next Saturday we are dinner? Is it Okay?
Aku berpikir sejenak sebelum membalasnya.
Okay
Sejujurnya aku tidak tahu apakah aku harus senang atau tidak dengan makan malam ini. Apa yang aku rasakan ini sangat jelas tapi juga membingungkan.
Ting! Notifikasi Instagram kembali muncul.
justinbrahmana replied your story
Dia menulis pesan
KITA LUPA FOTO DONG TADI KEI!!!
NEXT HARUS NAIK GUNUNG BARENG DAN FOTO!!!
Aku tersenyum membacanya. Justin is a nice dan funny guy.
***
“Katanya besok mau ketemu sama Justin ya?” tanya Bang Dika tiba-tiba saat aku main ke rumahnya setelah sekian lama bisa pulang kantor cepat.
“Kok tahu?” aku menyelidik.
“Taulah orangnya langsung yang kasih tau. Katanya kalian ketemuan pas naik gunung minggu lalu?”
“Gak ketemuan, tapi tiba-tiba ketemu pas di puncaknya.”
“Kamu tuh ada apa sih sama Justin. Waktu itu kamu juga sempet nanya-nanya tentang dia kan? Serius kah? Udah sejauh apa?”
Pertanyaan bertubi-tubi muncul dari seorang Bang Dika berarti dia benar-benar sangat ingin tahu.
“Satu-satu kali nanyanya,” aku terkekeh.
“Emang lu masih suka sama Justin? Beneran gitu sukanya?” tambah Gading yang masih fokus main PS.
“Aduh abang-adik ini kepo banget deh. Santai aja kali, orang cuma ditraktir makan, gak ada apa-apa," jawabku sekenanya.
Aku rasa dengan jawabanku yang bilang ‘gak ada apa-apanya’ itu bisa meyakinkan mereka kalau aku memang tidak ada hubungan apa-apa dengan sahabatnya. Dan untungnya mereka memahami itu. Atau hanya sekedar pura-pura. Apapun itu aku bersyukur mereka tidak bertanya-tanya lagi.
Karena aku pun ingin tahu seperti apa dinner besok. Apa yang akan dibicarakan Justin. Apakah memang hanya makan malam biasa karena ucapan terima kasih aku sudah menjadi pendengar yang baik pas di puncak gunung kemarin. Atau ada hal lain?
Malam ini aku tidak bisa tidur nyenyak pastinya.
Sayangnya tidak ada yang perlu aku khawatirkan. Aku tidur dengan pulas dan bangun dengan keadaan mood yang bagus. Aku semangat sekali menjalani hari ini. Apalagi ternyata jalanan Jakarta tidak begitu macet.
Janjian dengan Justin jam 7 di daerah Senayan, deket kantor. Hanya butuh waktu 20 menit untuk sampai ke tempat tujuan.
Dia sudah menunggu di depan salah satu resto makan.
“Hai. Susah gak cari parkirnya?” Justin menyapaku.
“Lumayan susah sih. Jam rame abisnya.”
“Kita masih waiting list sih tapi tinggal satu lagi."
Tak berapa lama nama Justin dipanggil, berarti tempat untuk kita sudah tersedia.
Pembicaraan kita begitu menyenangkan. Mulai dari ngomongin kerjaan, naik gunung, masa-masa sekolah dulu, kuliah, dan lainnya. Semua berjalan mulus.
“Aku ada bilang ke Dika kalau kita ketemuan malam ini.”
“Iya semalam pas lagi main ke rumah Bang Dika, dia juga ngomong. Malah sampe diintrograsi gitu.”
“Oh ya. Ditanya apa?”
“Iya kenapa tiba-tiba diajak dinner. Aneh aja kali ya karena kan emang sebelumnya kita gak yang deket gimana gitu.”
“Trus kamu bilang apa?”
“Aku gak menjelaskan yang gimana-gimana sih. Cuma bilang ya gak ada apa-apa.”
Lalu suasana terasa berubah. Hening.
“Jadi menurutmu, kita gak ada apa-apa?” tanyanya perlahan-lahan.
Aku yang tadi menunduk melihat piring-piring kosong di atas meja. Mengadah dan menatap matanya penuh tanya. Apa maksudnya?
“Ya teman gak sih?” tanyaku ragu. Dia tersenyum.
“Cuma teman?”
Aku mengangguk. Mengiyakan.
“Jadi sepertinya kita memang harus bicara tentang ini," katanya sambil memperbaiki posisi duduknya.
Aku bingung tapi juga penasaran. Ikut memperbaiki posisi duduk untuk lebih fokus dengan apa yang ingin Justin bicarakan.
“Aku tahu, kita baru intens ngobrol beberapa bulan terakhir. Bahkan sempet hilang semuanya karena kejadian Sinta.”
Justin bicara sangat intens. Dia menatap mataku. Ada sedikit senyum dibibirnya.
“Tapi sejak awal aku memulai semua ini karena aku ingin lebih mengenal kamu Kei.”
Aku tersenyum malu. Bisa aja nih orang.
“Dan bahkan setelah kita gak kontak selama satu bulan itu aja, kamu masih sangat baik dan perhatian. Melihat respon kamu pas di puncak. Kamu denger semua cerita aku, hibur aku, menenangkan aku, bahkan aku sama sekali tidak merasa ada judgement dari kamu saat itu.
Kamu orang yang baik Kei. Itu juga yang sering aku dengar sejak dulu tentang kamu. Dan benar. Itu juga yang buat aku tertarik untuk lebih dekat dan lebih kenal kamu. Dan aku senang untuk setiap waktu kita ngobrol, aku tahu makanan favoritmu, genre film kesukaan kamu, pola pikirmu, kepribadianmu.”
Aku tak kuasa menahan senyum. Apa yang dikatakan terasa sangat tulus.
“Terima kasih,” kataku dengan halus. Dia kini yang tersenyum.
“Sedikit kecewa waktu kamu bilang tadi kita gak ada apa-apa. Karena aku kira kamu mengerti maksudku tentang dinner malam ini.”
Kembali bingung. Aku menerka-nerka.
Tiba-tiba Justin mengulurkan tangannya. Memegang tanganku dan menariknya perlahan ke arahnya.
“Kamu mau jadi pacarku Kei?”
Aku tertegun. Kaget dengan apa yang Justin lakukan. Kaget pula dengan apa yang dia katakan.
Jika dibilang aku sama sekali tidak menduga hal ini akan terjadi itu bohong. Cewek selalu punya insting yang kuat. Tapi meski sudah menduganya ternyata hal ini tetap membuatku terkejut.
Ku berusaha menenangkan diri. Jantungku berdegup sangat kencang.
Sepertinya ini giliranku bicara.
Aku menarik tanganku perlahan dari genggaman Justin, sambil menatapnya tersenyum.
“Jujur aku terkejut dengar apa yang barusan kamu bilang itu. Sama sekali gak menduga hal ini," aku menarik nafas perlahan.
“Sepertinya aku akan ngomong panjang. Jadi semoga kamu gak bosen dengernya” kataku. Justin tersenyum sambil mengelengkan kepalanya.
“Justin, kamu tuh buat aku bisa dibilang cinta monyet bisa, cinta pertamaku juga bisa. Sejak masa-masa sekolah yang mungkin kamu juga tahu hal ini, bahkan seluruh anak-anak sekolah saat itu tahu kalau aku suka sama kamu.
Aku selalu berusaha pulang lebih telat dengan alasan bisa pulang bareng Bang Dika, padahal supaya bisa lihat kamu. Seneng banget kalau misalkan saat aku lagi di rumah Bang Dika tiba-tiba kamu dating dengan yang lain ikutan main. Walau kadang-kadang malu karena suka dijailin sama temen-temen Bang Dika lainnya.
Lalu patah hati waktu ternyata kamu jadian sama Kak Sinta. Bahkan aku tahu loh tanggal jadian dan tanggal putus kalian.”
Justin tertawa.
“Tapi tetep aja perasaan ini gak berubah. Kamu selalu jadi orang yang selalu menarik perhatianku. Bahkan setelah bertahun-tahun berlalu, setiap melihat story Bang Dika atau Gading dan disitu ada kamu, aku bisa melihat itu berkali-kali. Bertanya-tanya bagaimana keadaanmu. Melihatmu selalu buat aku tersenyum. Kamu gak tahu aja pas waktu tiba-tiba aku dapat notif kamu follow aku dan reply story aku gimana histerisnya aku. Aku kira kamu kesambet tahu gak,” kita berdua sama-sama tertawa.
“Aku juga senang bisa ngobrol sama kamu. Semua ini tuh kayak mimpi aja. Bisa tahu kamu lebih dekat, gak cuma berandai-andai di kepala. Pas waktu tahu Kak Sinta meninggal pun, yang aku pikirkan pertama adalah kamu. Gimana ya Justin terima situasi ini. Apa dia baik-baik saja. Apa yang bisa aku lakukan. Tapi setelah dipikir-pikir memang gak ada yang bisa aku lakukan. Makanya aku pun mengerti dengan kita yang sama sekali tidak berkabar.”
Aku berhenti bicara dan minum ocha dinginku.
“Tapi pas di puncak. Semuanya terasa jelas. Melihat kamu begitu sakit dan terpukul dengan kepergian Kak Sinta. I really care for you Justin. Dan aku sedih melihatmu seperti itu. Tapi sudah sampai itu.”
Aku terdiam. Bingung seperti apa aku harus menjelaskan perasaanku saat ini. Tidak karuan. Aku pun tidak begitu mengerti. Karena memang hanya itu yang aku rasakan.
Justin pun terdiam. Dari raut wajahnya dia juga tidak mengerti arah pembicaraanku.
“Aku bingung. Mungkin karena aku terbiasa dengan dirimu yang jauh. Terbiasa hanya membayangkan tentangmu, berandai-andai tentang seperti apa seorang Justin. Bagaimana dia berbicara, bagaimana dia bermain. Tapi waktu semuanya terjadi di depanku. Semua terasa berbeda. Aku merasakan perbedaan itu. Jujur aku pun juga tidak mengerti. Tapi bisa jadi karena apa yang selama ini aku bayangkan tentang kamu selama ini begitu berbeda dengan Justin yang hari ini aku kenal. Dan itu membingungkan.”
Kami terdiam. Sibuk dengan pikiran masing-masing.
“Jadi maksudnya.. Jika aku simpulkan, kamu tidak menyukaiku karena apa yang selama kamu bayangkan tentangku berbeda dengan aslinya?” tanya Justin memastikan.
“Tidak. Aku menyukai Justin yang sekarang ada di depanku. Aku suka setiap pembicaraan kita, aku suka pola pikirmu yang dewasa tapi juga santai menjalani hidup. Tapi hari ini aku hanya bisa lihat kamu sebagai teman. Teman dari Abangku. Gak lebih.”
Tidak ada jawaban dari Justin. Dia hanya menatap meja dengan tatapan kosong.
“Terima kasih sudah menyukai aku seperti itu. Tapi biarkan aku hanya menjadi secret admirer-mu Justin," aku menatapnya sungguh-sungguh.
“Secret admirer?”
“Iya. Jarang kan ada orang yang punya secret admirer. Orang yang diam-diam menyukaimu, selalu berharap dan berdoa akan kebahagiaanmu, bahwa kamu akan selalu baik-baik saja. Akan selalu tersenyum dan ikut bahagia melihat pencapaianmu. Itu yang sudah selama ini aku lakukan untuk kamu Justin. Dan aku rasa ternyata itu sudah lebih dari cukup buatku.”
Selesai.