Masukan nama pengguna
Pagi ini sekolah terasa lebih ramai dan aku pun begitu semangat untuk pergi sekolah. Rasa semangat itu terasa mulai dari gerbang pintu masuk.
Aku sedikit berlari saat menaiki tangga menuju lantai dua, dimana kelasku berada.
Sesampai di lantai dua, ternyata sepanjang koridor dipenuhi oleh banyak orang. Seperti biasanya setiap anak-anak lebih memilih menunggu bel masuk di luar kelas dan bertemu dengan anak-anak kelas lain.
Bagian lantai dua sebelah kiri gedung sekolah ini adalah bagian dari kelas X. Ada empat kelas, dimana masing-masing kelas terdiri dari 30 murid. Jadi bayangkan jika setiap kelas setengah muridnya berada di koridor.
Kelasku berada paling pojok. Kelas X-4.
Untung perasaanku hari ini sangat sangat baik untuk bisa melewati keramaian dan bertegur-sapa dengan beberapa anak kelas lain yang aku kenal.
Biasanya aku selalu datang di saat belum banyak yang datang. Dan sudah duduk di dekat jendela kelas yang lumayan besar itu, untuk melihat orang masuk dari gerbang depan sekolah. Tapi tidak tahu gimana caranya hari ini bisa bangun kesiangan.
Saat sudah berada di depan kelas, beberapa teman cowok yang berdiri depan pintu menyapa.
“Pagi Anya. Happy valentine’s day ya," kata Edo, cowok putih berbadan gembul memberi salam sambil tersenyum lebar.
“Gw gak dapet coklat nih dari lu?” tanyanya lagi melihat aku datang tangan kosong.
“Happy valentine’s day Do," jawabku. Tersenyum sambil nyeleng masuk kelas.
Sambil berjalan ke mejaku, beberapa teman mulai ramai menyampiri. Saat masuk nanti, kelas kita sudah janjian untuk saling tukeran cokelat. Aku salah satu seksi sibuk dengan murid cewek lainnya. Nindy, Gloria dan Billa, sang ketua kelas. Kita berempat perlu menyiapkan undian untuk nanti semua memilih kepada siapa coklat itu diberikan.
“Anya, lu gak lupa bawa coklat untuk Bu Melati kan?” kata Billa dengan suara lugasnya bertanya. Baru juga datang sudah ditodong, kataku dalam hati.
Saat kemarin mengajukan kegiatan tukeran cokelat ini sama Bu Melati, wali kelas X-4, kita berjanji untuk kasih ibu guru kesayangan kita coklat sendiri, dan setelah berunding aku yang ditugaskan untuk membelinya.
“Iya sudah ada di tas. Untung aja kemarin pas balik sekolah masih sempet ke mall dulu untuk beli. Gimana nama-namnya udah dibuat belum?” kali ini aku yang gantian tanya ke Billa.
“Gimana Nin, nama-namanya udah?” Billa bertanya kepada Nindy yang sudah duduk di bangku depan mejaku.
“Lah kan ini mau buat bareng-bareng," Nindy menjawab dengan polosnya.
Kita bertiga yang denger tanpa sadar menghela nafas.
Sempet melihat jam di dinding, lima menit lagi sebelum bel masuk. Dengan cepat aku mengeluarkan buku dari tas dan merobek secarik kertas dan membaginya menjadi 30 kertas kecil. Gloria membawa kotak pulpen dari meja guru dan memberikan pulpen kepada Nindy dan Billa. Mereka yang menuliskan nama anak-anak.
Saat mereka selesai menulis nama, aku menggulungnya dan memasukannya pada kotak pulpen. Lima menit masalah itu selesai. Pas bel berbunyi.
***
“Terima kasih ya kalian atas coklatnya. Semangat belajarnya hari ini. Kalau ada yang kelebihan coklat boleh banget taruh di meja ibu di ruang guru ya," kata Bu Melati menutup pertemuan pagi ini dengan senyum.
Dia tahu anak-anak muridnya tidak hanya akan tukeran cokelat di kelas aja. Di hari spesial ini sudah banyak yang menyiapkan hadiah, tidak hanya sekedar cokelat. Mungkin ada juga yang menyiapkan diri untuk menyatakan cinta.
“Lu ada bawa sesuatu buat kak Steven gak?” Gloria yang duduk di belakang sebelah kananku bertanya. Aku hanya mengangkat bahu tersenyum tipis.
Sejak masuk SMA, ada salah satu kakak kelas yang aku suka. Dia salah satu anggota Osis yang memimpin Opsek murid baru. Tidak terasa sudah lebih dari enam bulan punya perasaan ini.
Namun aku termasuk cewek yang pemalu dan pendiam. Bukan murid-murid baru populer seperti yang lainnya, salah satunya Gloria. Dia satu-satunya yang tertarik untuk denger cerita aku, bagaimana caranya aku bisa suka sama kakak kelas itu, setelah beberapa waktu lalu saat pelajaran olahraga para cewek kelas X-4 cerita-cerita.
Dan karena kepopulerannya, Gloria juga bisa dibilang termasuk dekat dengan Kak Steven. Mereka satu paduan suara, salah satu ekstrakulikuler di sekolah, dan beberapa waktu lalu mereka jadi perwakilan sekolah dalam olimpiade Biologi.
Kemarin, Gloria juga sempet bilang jangan lupa untuk beli cokelat buat Kak Steven saat beli untuk Bu Melati. Tapi hari ini aku benar-benar hanya membawa cokelat untuk tukeran di kelas, dan selebihnya untuk dibagikan kepada teman-teman dekat. Tidak ada cokelat spesial untuk sang kakak kelas.
Karena aku pikir, meski aku menyukainya aku belum sama sekali tertarik untuk berpacaran. Toh aku dan Kak Steven juga tidak dekat, ngobrol berdua aja juga bisa dihitung dengan jari.
Masih menunggu pelajaran pertama dimulai, dan gurunya belum datang. Gloria menyampiri mejaku, dan duduk di bangku depanku. Sebelumnya mengusir Dion dari tempat duduknya.
“Kalau misalkan hari ini tiba-tiba kak Steven dateng samperin kamu gimana? Kamu gak ada cokelat atau hadiah apa-apa untuk dia,” katanya meledek.
“Enggalah. Gak mungkin," aku tertawa. Itu adalah hal yang tidak mungkin terjadi.
“Kamu gimana, hari ini pergi ngedate gak?” tanyaku pada Gloria.
Kemarin, pagi saat kelas masih kosong, Gloria datang jadi orang kedua. Dengan posisi yang sama persis seperti saat ini. Kita sempet ngoborol banyak hal, termasuk dia cerita baru jadian sama temen di gerejanya. Mereka jadian di tanggal kesukaannya.
“Yah mana bisa, rumah kita jauh. Paling perginya pas Sabtu atau Minggu,” mukanya dibuat sedih. Aku tersenyum miris.
“Sepertinya bisa jadi kamu yang hari ini dapat banyak cokelat gak sih Ri?”
“Kalau iya, nanti kita makan cokelat bareng-bareng ya di rumah Billa.”
Kita berdua tertawa.
***
Ternyata semangat dan rasa cinta yang bertebaran di pagi hari tadi, kini hilang lenyap. Siapa sangka mata pelajaran matematika hari ini ada quiz dadakan. 20 menit terakhir pelajarannya, tiba-tiba dia menulis soal di papan tulis dan menyuruh kita untuk mengerjakannya di kertas ujian. Secara tidak langsung menyatakan bahwa ini adalah ujian harian. Secara serentak satu kelas mengelah nafas, tidak terima tapi juga hanya bisa mengikuti.
Bel istirahat kedua berbunyi. Namun setiap kita di kelas masih sibuk mengerjakan sepuluh soal yang diberikan. Suasana di luar kelas sudah ramai, tapi di dalam masih hening.
Aku sempet melihat ke luar dari jendela di pintu. Dan tidak diduga-duga sosok itu ada di depan pintu kelasku. Cepat-cepat aku menoleh ke Gloria, memberi kode.
“Ada kak Steven di depan."
Tepat pas Gloria menyadari itu, Pak Rudy sudah meminta kita semua memberikan kertas jawaban kita.
Di saat yang lain sibuk bicara tentang jawaban ujian yang mana yang benar, aku dan Gloria berpikir kenapa tiba-tiba kak Steven ada di depan kelasku.
Tiba-tiba, Edo yang keluar kelas lebih dulu teriak dari depan pintu,
“Gloria, lu dicariin nih.”
Walau sempat memiliki ekspektasi, tapi saat tahu bahwa kak Steven mencari Gloria, aku pikir mungkin mereka membicarakan tentang olimpiade atau urusan paduan suara.
Tapi tiba-tiba di depan kelas jadi begitu ramai.
Dan Edo kembali memberikan informasi,
“Gloria ditembak sama Kak Steven."
Anak-anak yang duduk di kelas langsung berlari ke depan. Aku hanya termenung duduk di bangkuku. Lalu masuklah Gloria membawa kue berwarna ungu. Berjalan ke mejanya, karena melewati aku dia tersenyum bingung ke arahku. Menaruh kue tersebut di mejanya dan pergi bersama temen-teman yang lain keluar kelas.
“Lah Anya, bukan lu suka sama Kak Steven?”
Tiba-tiba Andi bicara dengan suara lantang di depan kelas, membuat semua orang yang fokus dengan kegiatannya masing-masing jadi menoleh ke arahku.
“Gimana itu, kak Steven malah nembak Ria bukan lu.”
“Yah Anya, jangan sedih dong.”
“Yah Anya, gak apa-apa masih ada gw nya.”
Semua orang langsung ramai bergurau dan berusaha menghibur. Meski berusaha untuk tertawa dan mengikuti gurauan yang lain, namun aku yang sebelumnya tidak merasakan apa-apa tiba-tiba jadi merasa sedih. Merasa mengasihani diri sendiri. Dan berusaha keluar kelas pergi ke kamar mandi.
Aku pun kaget dengan respon aku yang begitu sedih. Aku bingung apa yang aku tangisi. Karena Kak Steven nembak Gloria? Atau karena respon Gloria? Atau keduanya?
Icha salah satu teman kelasku, yang mungkin melihat perubahanku saat keluar kelas, ternyata mengikutiku ke kamar mandi.
“Anya, are you okay?” dia menghampiriku, dan mengusap punggung belakangku. Aku berusaha tersenyum.
“Gara-gara yang lain bilang jangan nangis, jangan sedih, jadi nangis deh."
Aku berusaha menjelaskan dengan isakan tangis. Kemudian, Icha berusaha menenangkan aku. Menunggu sampai isakan tangisku reda. Lalu kita berdua jalan melalui koridor lantai dua satu lagi yang lebih sepi.
“Segitunya suka sama kakak kelas itu?” tanya Icha mulai pembicaraan.
Dari nada suaranya dia sedikit takut menyinggung luka yang barunya tergores. Icha juga ada pas pelajaran olahraga saat itu, saat di lapangan para cewek-cewek lebih milih ngerumpi dari pada olahraga.
“Ngga tahu sih. Tapi sepertinya sedihnya bukan karena itu deh," jawabku berusaha mencari tahu jawaban yang sebenarnya dalam hati.
“Sedih karena Gloria?”tanya Icha lagi lebih berhati-hati.
“Kayaknya ya. Lebih ke situ sedihnya. Karena dari yang lain, Ria yang paling sering tanya-tanya dan aku banyak cerita juga sama dia.”
Meskipun aku tahu bahwa Ria tidak jadian sama Kak Steven, dia menolaknya. Karena Ria juga sudah punya pacar. Tapi melihat dia begitu senang karena ternyata kak Steven menyukainya dan menyatakan cintanya di depan banyak orang. Lalu melihat responnya dia kepadaku. Mungkin sebenarnya dia juga tidak enak hati padaku, maka memilih untuk pergi begitu aja. Tapi semuanya itu terasa begitu menyedihkan.
“Yah, mungkin nanti kamu bisa ngobrol sama Ria. Jangan dipendem sendiri."
Rasanya ingin langsung pulang ke rumah. Namun saat bel masuk berbunyi masih ada satu mata pelajaran yang harus dilalui.
Saat masuk kelas, melihat Gloria yang sangat gembira menata mejanya untuk tempat kue ungu pemberian kak Steven. Sepertinya Ria sama sekali tidak merasa bersalah sama sekali kepadaku tentang kejadian ini.
***
Hingga sampai pulang sekolah, aku dan Gloria sama sekali tidak berbicara. Tidak saling menyapa dan berusaha membicarakan apapun. Apalagi di saat beberapa temennya dari kelas lain menyampirinya dan mulai membicarakan kak Steven.
Aku memilih untuk pulang lebih dulu.
Saat berjalan keluar gedung sekolah, ada banyak orang yang membicarakan tentang Gloria dan kak Steven. Mendengarnya membuatku merasa lebih patah hati.
Meski ini bukan cinta pertamaku, dan tidak begitu dalam perasaannya. Tapi segalanya tetap begitu menyakitkan. Begitu menyedihkan.
Di dalam mobil perjalanan pulang, tangisan itu pecah lagi. Tak kuasa aku menahan air mata yang berbendung.
Sepertinya lebih baik saat aku menyukai seseorang aku simpan sendiri.
Hari ini adalah hari valentine yang tidak akan pernah aku lupakan.
Selesai.