Cerpen
Disukai
0
Dilihat
2,387
Melawan Dunia
Slice of Life

“Aleya!” panggil karyawan HRD itu. Aleya yang sedari tadi menunggu akhirnya berdiri dan mengikuti perempuan berbaju biru donker dan berkacamata itu masuk ke dalam ruangan.

Karyawan itu mempersilahkan Aleya duduk di seberangnya. Kini mereka duduk berhadapan. Aleya melihat amplop cokelat yang dipegang karyawan itu. Aleya sudah tahu apa isinya. Kemarin sore saat dia perjalanan pulang, dia mendapatkan chat dari tim HRD yang meminta untuk dia datang ke kantor karena ingin membicarakan tentang kontraknya. Seminggu lagi kontrak Aleya selesai setelah satu tahun dia bekerja di perusahaan itu sebagai jurnalis. Karena pekerjaannya yang mengharuskan dia berada di lapangan, jadi memang jarang sekali dia datang ke kantor. Untuk itu pagi ini Aleya sudah berada di kantor. Dia berharap kontraknya bisa diperpanjang. Ini salah satu pekerjaan yang sangat dia sukai, pekerjaan impiannya sejak dia memilih kuliah jurusan Digital Journalism. Namun meski sudah lulus 6 tahun yang lalu, dia baru bisa benar-benar menjadi jurnalis satu tahun terakhir ini. Jadi dia sangat menyukai pekerjaannya.

“Bagaimana di lapangan? Lagi sibuk liputan berita tentang apa?” tanya karyawan itu.

“Banyak sih, saya lagi sering diminta liputan acara lifestyle sama mba Dara,” ucap Aleya.

“Oh jadi emang lagi sering mondar-mandir ya, gak selalu di Polda?”

“Iya mba, lagi jarang ke Polda karena lagi banyak liputan di luar.”

Dari awal Aleya masuk sebagai jurnalis, dia ditugaskan untuk meliput berita di Polda Metro Jaya. Namun karena kurangnya jurnalis di lapangan, maka dari itu para editor di kantor suka meminta Aleya untuk pergi-pergi ke liputan yang lain. Inilah dunia pekerjaan jurnalis. Tapi sekali lagi, Aleya begitu menyukai pekerjaannya.

“Gw mau bahas buat kontrak lu. Tanggal 5 kan kontrak lu selesai ya,” ujarnya. Aleya mengangguk.

“Sebenernya dari tim editor, terutama mba Dara sama Adit bilang lu kerjanya oke, bagus. Tapi seperti yang lu lihat sekarang kondisinya, kantor jadinya gak bisa melanjutkan kontrak lu,” ungkap dia. Aleya hanya diam sambil menganggukkan kepalanya.

“Udah banyak nih anak-anak yang keluar, makanya lu lihat aja kantor udah sepi. Tim lu udah berusaha buat nahan, tapi karena kondisi kantor jadi gak bisa buat apa-apa juga,” tambahnya.

“Iya mba aku ngerti kok, emang udah kira-kira juga kemungkinan bakal gak dilanjut dengan kondisinya sekarang,” ujar Aleya.

Aleya memang baru satu tahun bekerja di perusahaan media online ini. Namun ternyata kondisi Perusahaan dalam enam bulan terakhir mulai menurun. Beberapa kali gaji karyawan telat dibayar atau malah dicicil 10 persen dulu, 20 persen kemudian. Awal tahun kemarin, sebenarnya sudah bisa berjalan seperti biasa. Namun di bulan kelima kembali menurun. Sejak itu banyak karyawan yang mengundurkan diri karena sudah mendapatkan kerjaan baru, ada juga yang mungkin mengalami hal sama seperti Aleya yang tidak dilanjuti kontraknya. Sayangnya, Aleya sama sekali belum mendapatkan pekerjaan yang baru. Dia sama sekali tidak ada waktu untuk coba melamar kerjaan sebelumnya. Meski begitu dia harus menerima dengan lapang dada bahwa dalam seminggu ini dia sudah harus selesai bekerja tanpa ada penggantinya.

“Untuk gaji bulan Juni ini masih belum tahu kapan dibayarnya, tapi nanti bakal gw info kalau udah cair ya.”

Aleya keluar ruangan itu dengan tidak terlalu banyak yang dipikirkan namun perasaannya penuh dengan kebimbangan. Karena situasi keuangan kantor yang beberapa bulan terakhir berantakan, sementara dirinya yang harus masih kerja dan berpergian meliput berita, banyak tabungannya yang harus dikeluarkan. Sekarang dengan dia akan tidak punya pekerjaan ditambah gajinya yang belum tahu kapan akan cair, Aleya tidak tahu seperti apa dia akan menjalani hidup di esok-esok harinya.

Mba Dara dan Mas Adit yang melihat Aleya keluar dari ruangan dengan amplop mencoba menjelaskan situasi dari sudut pandang mereka. Pada dasarnya hampir sama dengan apa yang dibicarakan tim HRD. Mereka sudah memberikan penjelasan untuk meminta melanjutkan kontrak Aleya, tapi apa boleh buat semuanya tidak berjalan yang diinginkan. Dengan berbaik hati mereka pun memberikan sejumlah opsi lowongan kerja dari kenalan mereka. Hati Aleya yang sempat khawatir pun dipenuhi rasa syukur karena dia mempunyai orang-orang yang baik dan perhatian terhadap dirinya. Dia tersenyum mengucapkan terima kasih.

Sejak hari itu, Aleya berusaha melamar pekerjaan di beberapa platform, mengirim email dari kenalan yang ada, mencoba cari pekerjaan freelance dan lainnya. Sejumlah lamaran mendapatkan balasan jadwal interview, namun setelah wawancara tidak ada kabar. Siklusnya seperti itu dalam beberapa waktu. Untungnya sesekali dia mendapatkan kerja freelance untuk menulis script ataupun artikel atau ikut sebuah event sebagai usher serta pekerjaan telemarketing, hal yang paling tidak disukai Aleya.

Ditengah kesibukannya berusaha untuk bisa bekerja dan mendapatkan penghasilan, meski berkali-kali mengatakan pada dirinya sendiri bahwa semua akan baik-baik saja, Aleya tak lepas dari rasa khawatir. Dia begitu lelah dengan hidupnya yang selalu tidak pernah berjalan dengan baik. Di saat semuanya terlihat baik-baik saja, dalam waktu singkat bisa berubah 180 derajat. Dia tahu bahwa masalahnya saat ini masih terbilang kecil jika dibandingkan dengan banyak orang di luar sana. Tapi dia terlalu lelah dengan siklus kehidupannya yang seperti ini. Aleya pertama kali bekerja setelah dia lulus kuliah di sebuah perusahaan startup sebagai content writer. Pekerjaan pertamanya begitu menyenangkan, lingkungan kerja yang baik, bisa bekerja dengan orang-orang baik yang hingga kini masih berkomunikasi. Aleya bekerja selama satu tahun setengah kemudian harus berhenti karena covid-19. Dia sempat menjadi pengangguran selama enam bulan sampai akhirnya mendapatkan pekerjaan sebagai part time content writer dan hanya mendapatkan 50 persen dari gaji sebelumnya. Namun, Aleya tetap bekerja dengan segenap hati, dia tidak pernah memberikan setengah-tengah dalam apa yang dia kerjakan. Dalam dua tahun dia bekerja sebagai part time dan sesekali freelance penulis artikel. Sampai akhirnya dia mendapatkan pekerjaan full time baru sebagai creative writer di sebuah Perusahaan event organizer. Ini kali pertamanya di bekerja di bidang EO, yang ternyata begitu padat dengan banyak acara serta pressure kerja yang begitu besar. Selama enam bulan masa percobaan, Aleya berusaha beradaptasi dengan lingkungan kerjanya, namun memang tidak dipungkiri bahwa ini bukan bagian dia. Akhirnya dia berhenti dan terus bekerja sebagai part time. Sampai akhirnya di awal 2023 dia mendapatkan pekerjaan sebagai jurnalis, pekerjaan impiannya. Tapi hanya dalam setahun, semua itu kembali menghilang dan kini dia harus menghadapi situasi yang sama kembali. Namun meski situasi ini sudah pernah dia lalui, tetap saja begitu merasa asing dan buat dia khawatir. 

Mungkin jika dilihat pengalaman kerjanya, Aleya bisa dibilang orang yang berpengalaman dalam bidangnya sebagai penulis atau content writer. Namun masa kerjanya di satu perusahaan yang hanya sekitar satu tahun tidak mengubah posisinya setiap kali dia melamar kerja, sehingga meski dia sudah bekerja kurang lebih enam tahun, tapi gajinya akan selalu mendapatkan di kisaran yang sama dengan gaji pertamanya. Kadang dia merasa malu dan minder jika melihat teman-temannya kini yang mungkin sudah mendapatkan gaji hingga dua digit. Sementara dia masih selalu dalam posisi awal, tidak pernah maju ataupun berkembang. Kekhawatiran itu mengusik Aleya setiap malam yang hanya bisa dilewatinya dengan tangisan dalam diam. Bahkan dia tidak bisa menceritakan hal itu kepada orang lain, karena merasa orang lain mungkin tidak mengerti apa yang dialami. Toh setiap orang punya masalah mereka masing-masing, sepertinya tidak perlu ditambahkan dengan beban dirinya. Biar dia menanggung bebannya sendiri. Aleya versus dunia.

Aleya adalah seorang anak tunggal yang tinggal dengan ibu dan neneknya. Dalam lima hari terakhir, ibu Aleya mengeluh sakit kepala dan badannya panas. Meski sudah minum obat, tapi tidak kunjung sembuh. Akhirnya Aleya dibantu tantenya membawa ibu Aleya ke rumah sakit. Ibu Aleya punya masalah darah tinggi, akibat sakit kepalanya, ada gangguan pada saraf kepalanya yang buat ibu Aleya kini sedikit lupa dan ngomongnya mulai ngelantur. Selama satu minggu Aleya menjaga ibunya di rumah sakit. Untuk sementara neneknya akan tinggal dengan tantenya selama Aleya di rumah sakit.

“Untung lu lagi gak kerja Al, kalau ibu lu sakit gini, siapa coba yang mau jagain,” kata tante Aleya yang sesekali ikut datang menemani.

“Iya ya bisa pas gini,” kata Aleya melihat ibunya yang terbaring lemas di tempat tidur.

“Namanya juga rencana Tuhan gak ada yang tahu. Lu gak perlu khawatir sama duit rumah sakit ya, nanti gw usahain bantu-bantu,” kata tantenya lagi.

“Terima kasih tante.”

Memang terkadang kita gak pernah tahu apa yang terjadi. Aleya menganggap semua yang terjadi dalam hidupnya hanya membuat dia tersiksa. Namun dibalik itu semua ada hal yang tidak dia bisa lihat. Rencana yang lebih baik. Sekali lagi meski situasinya tidak mudah untuk dijalani, tapi tetap ada hal yang bisa Aleya syukuri, bahwa dia bisa merawat ibunya yang sakit. Aleya bisa berada di sisi ibunya di waktu yang tepat. Mungkin kalau Aleya bekerja pasti dia tidak ada waktu untuk bisa seperti ini.

Hari per hari kondisi ibu Aleya semakin membaik. Meski sakit kepalanya masih menjadi keluhan utamanya, tapi suhu badannya sudah kembali normal. Nafsu makan ibunya juga mulai meningkat. Aleya harus lebih sabar setiap kali ibunya ngomong atau cerita karena suka salah-salah ngomong karena lupa. Tidak mudah merawat orang sakit, tapi Aleya tahu bahwa ibunya yang sakit pasti jauh lebih frustasi dan tidak enak menyusahi orang.

Akhirnya dokter memperbolehkan ibunya Aleya untuk pulang dan berobat jalan di rumah. Dokter memberikan sejumlah obat untuk dikonsumsi. Biaya rumah sakit hingga obat bisa dibayarkan dengan lunas berkat bantuan om dan tante Aleya. Mereka juga yang mengantarkan Aleya dan ibunya sampai ke rumah.

“Lu jagain ibu lu ya, perhatiin obat-obatnya diminum tepat waktu, sekalian beli alat tensi biar bisa cek tensinya rutin. Itu obat darah tingginya juga jangan berhenti, kalau udah habis beli lagi,” kata tante Aleya mengingatkan.

Kini, Aleya kembali ke rumah dengan situasi yang berbeda. Dia harus merawat ibunya yang sakit, serta menjaga neneknya berusia 85 tahun. Aleya menghela nafas, dia tahu ini tidak akan mudah dijalani.

Aleya bangun setiap pagi beberes rumah, menyiapkan sarapan buat ibu dan neneknya. Memastikan ibunya minum obat sesuai resep dokter. Menyuci dan menyetrika baju. Mengerjakan pekerjaan freelance-nya, kemudian menyiapkan makan siang dan makan malam. Berbeda saat di rumah sakit, ibu Aleya mulai susah makan lagi dan tidak mau minum obat. Bahkan makanannya baru mau dihabiskan saat Aleya menyuapinya.

“Udah ah kenyang gak mau makan lagi,” ujar ibu Aleya.

“Dikit lagi ini, dua sendok lagi,” bujuk Aleya.

“Kenapa banyak banget obatnya, di rumah sakit gak banyak obatnya,” kata ibu sambil menolak minum obat yang disiapkan Aleya.

“Kan pas di rumah sakit diinfus, jadi obatnya lewat infus, kalau sekarang kan gak ada infusan, jadi obatnya diminum. Minumnya satu-satu aja gak perlu semuanya,” kata Aleya menjelaskan.

Belum lagi nenek Aleya yang susah diatur. Saat siang hari dia lebih milih tidur hingga akhirnya di malam hari tidak bisa tidur dan mengganggu semua orang. Ibu dan nenek juga suka berantem masalah AC di kamar. Nenek suka mati-nyala AC, sementara ibu suka kepanasan. Tapi setiap kali ibu pindah ke kamar Aleya, neneknya minta ibu balik ke kamar temenin dia tidur. Aleya hanya bisa geleng-geleng kepala dengan situasinya.

Setelah hari yang panjang, hiburan Aleya adalah saat dia di kamar dengan keadaan lampu mati, berbaring di atas tempat tidur sambil menonton drama Korea, ataupun melihat media sosial untuk mengetahui bagaimana situasi di luar sana. Namun sayangnya setiap kali scrolling media sosial, membuat Aleya membandingkan dirinya dengan orang lain. Setiap postingan teman-temannya membuat hidup mereka terlihat lebih menyenangkan dari Aleya. Hidup mereka seperti sudah sukses, terasa tidak punya beban hidup. Sementara Aleya dari dulu hingga detik ini masih terperangkap dalam kamar ini. Aleya merasa hidupnya tidak berubah, stagnan, di situ-situ saja. Di saat dia merasa mulai maju, tapi ternyata putar balik dan kembali ke titik semula. Dari dalam badannya mulai memanas, jantungnya berdetak lebih cepat, matanya penuh air, kemudian menetes di pipinya. Aleya menangis merasa hidupnya tidak berguna, rasanya sia-sia menjalani hidup seperti ini. Aleya merasa tidak dapat melakukan apapun untuk mengubah hidupnya. Dia takut apapun yang dia kerjakan malah akan membuat hidupnya semakin hancur. Namun dia juga tidak bisa mengambil keputusan untuk pergi dari dunia ini, meski dia ingin sekali menghilang. Aleya pikir apa yang akan dirasakan ibunya, keluarganya dan teman-temannya kalau Aleya pergi seperti itu.

Tapi gimana caranya dia bisa mengubah hidupnya agar tidak seperti ini lagi. Aleya sudah muak menjalani semuanya. Dia mulai menyalahkan dirinya. Mungkin memang ini takdirnya. Dari awal dia lahir tanpa mengetahui ayahnya, lalu tumbuh dibesarkan oleh kakek-neneknya karena ibunya yang harus berjuang mencari nafkah di negeri orang. Selama sekolah, Aleya juga bukan murid pintar atau terkenal. Aleya tumbuh jadi perempuan yang lebih banyak diam dan tidak punya ambisi. Aleya hanya ingin hidup sedernaha dan nyaman. Namun hidup ini berkata lain. Hidup ini tidak mengizinkan Aleya hidup dengan nyaman seperti yang diinginkan. Padahal selama ini Aleya hidup biasa-biasa aja, dia tidak pernah nakal saat kecil hingga besar seperti ini. Memang salah kalau ingin punya hidup yang nyaman? Memang salah Aleya jika perusahaannya tidak melanjutkan kontrak dia karena gak punya uang buat bayar gaji karyawan? Toh selama ini meski gajinya telat, Aleya selalu kerja dengan giat tanpa mengeluh. Selama bertahun-tahun ini dia juga menjalani hidupnya dengan kerja keras yang dia bisa. Namun tetap tidak mengubah apapun. Aleya benci dirinya, dia juga benci hidupnya.

Tapi apa boleh buat, setiap pagi datang, setiap matanya terbuka, Aleya tetap harus bangun dan menjalani hidupnya. Ibu kini sudah bisa beraktivitas seperti semula. Kesehatannya membaik, dan sakit kepalanya menurun. Namun bicaranya masih suka lupa-lupa. Aleya pun sudah bisa bekerja di luar rumah. Sesekali dia bertemu dengan teman-temannya. Meski hanya sebentar dengan bertemu teman-temannya dia bisa melupakan sejenak beban pikiran yang menghantuinya. Memang tidak semua temannya bisa menjadi tempat Aleya mencurahkan isi hati atau benar-bener tempat dia cerita apa yang tengah dia alami. Tetapi kehadiran mereka, celetukan atau tingkah lucu teman-temannya sudah sangat menghibur Aleya.

“Apa kabar kamu Al? Katanya ibu sakit gimana kondisinya sekarang?” kata teman Aleya yang beda 9 tahun darinya. Karena perbedaan usia yang jauh, Aleya lebih mudah untuk cerita dan meminta saran kepada temannya ini.

“Ibu sudah lebih baik sih,” ucap Aleya.

“Nenek kamu juga baik?”

“Iya baik semua kok.”

“Trus kalau kamu?”

Aleya tidak menjawab. Dia berusaha menahan tangisannya, namun gagal. Aleya menangis seraya mengeluarkan segala perasaannya yang selama ini hanya tersimpan oleh dirinya sendiri. Seperti tidak ada kata-kata yang tepat untuk mendeskripsikannya sehingga dia hanya bisa menangis tersedu-sedu. Temannya hanya diam menunggu, sesekali mengusap punggung Aleya. Setelah selesai menangis, Aleya tersenyum malu.

“Ah lu Al, baru ditanya kabarnya udah langsung nangis, kaget gw jadi bingung juga mau ngapain,” kata temannya tertawa, Aleya juga tertawa.

“Trus jadi gimana? Masa cuma nangis aja, pertanyaannya gak dijawab,” tambah dia.

“Ya gitulah, aku juga bingung sebenernya mau ceritanya gimana.”

“Ya cerita aja, gw dengerin.”

“Aku merasa stuck, gak tahu harus melakukan apa, lelah juga menjalani semuanya. Gak ada yang berjalan dengan baik. Semuanya seperti aku berjalan di tempat gak kemana-mana. Semua orang sudah berlari jauh, aku masih di tempat yang sama. Rasanya aku kayak terkurung dan gak bisa keluar. Rasanya kaki aku terikat jadi gak bisa jalan. Rasanya aku punya sayap buat terbang tinggi tapi sayapnya diikat. Pikir-pikir aku memang bukan orang yang ambis yang punya goal harus punya rumah di usia ini atau apa gitu gak ada, cuma yaudah jalanin aja, tapi menjalani aja gak mudah. Buat kerja kayak orang-orang aja gak bisa, di saat aku merasa semuanya udah baik-baik saja malah berantakan lagi. Ulang lagi dari awal. Dari nol,” jelas Aleya, suaranya tertahan, menahan tangisnya.

“Dari nol ya pak, kayak mau isi bensin,” ujar temannya. Keduanya tertawa.

“Sekarang jadi gimana? Apa yang mau lu lakukan?” tanyanya.

“Jujur aku masih gak tahu. Cari kerja juga udah bingung mau melamar kerjaan apa dimana, ya untung aja ini masih bisa freelance nulisnya.”

“Selain kerjaan, ada hal yang ingin lu lakukan gak? Mungkin daripada lu terbeban untuk punya kerjaan baru dengan cepat, lu butuh waktu untuk menenangkan diri, istirahat, melakukan yang lu suka aja dulu. Emang ibu minta lu punya kerjaan cepet-cepet?” Aleya menggeleng.

“Trus kenapa fokus disitu aja. Hidup emang gak ada yang mudah, lu gak bisa meminta hidup yang nyaman, bahkan orang yang kaya aja pasti ada sisi hidupnya yang gak nyaman, karena memang gak ada kenyamanan. Kalau hidup lu nyaman terus-terusan, lu gak akan bertumbuh. Dalam situasi kayak gini waktunya lu bertumbuh. Gak mudah itu udah pasti, tapi jangan nyerah. Kalau capek ya istirahat aja, tapi jangan berhenti. Kalau emang sekarang belum waktunya buat lu dapet kerjaan yasudah santai aja, kerjain yang bisa lu kerjain. Kalau emang saat ini waktunya lu buat jagain ibu sama nenek, yasudah memang itu waktu lu. Jangan melihat hal lain. Kalau nanti waktu lu buat kerja lagi pasti datang di waktu yang tepat. Jangan kita pusingin hal yang di luar kendali kita. Yang bisa kita kendalikan itu adalah pikiran kita, sikap hati kita, respon kita sama situasi yang kita lalui hari ini. Kalau kita respon dengan sikap hati dan pikiran yang negative yang kita lihat hidupnya ya negative semua, tapi kalau kita respon dengan baik pasti kita bisa melihat hal-hal baik. Gak semuanya buruk, lu hanya belum lihat dan ngeh sama kebaikan yang lu rasakan. Makanya jangan lihat hal buruknya aja.”

Kata-kata temannya membuat Aleya merenung, mengingat-ingat lagi seperti apa selama ini responnya terhadap situasi yang dia jalani.

“Al, lu gak akan bisa nyaman kalau menggantungkan kenyamanan lu dari situasi di luar. Lu hanya bisa nyaman saat dari dalam diri lu sudah menemukan kenyamanan itu sendiri. Sama halnya kayak rumah, lu pasti gak akan nyaman kalau lu tinggal yang bukan rumah lu, tapi akan lebih nyaman tinggal di rumah sendiri, ya kan? Hidup lu tuh ya rumah lu. Kalau lu bilang gak bisa melakukan apa-apa, ya salah, lu mau rumah lu rapih atau berantakan tergantung yang punya rumah dong. Kalau gak diberesin ya berantakan, tapi kalau diberesin ya rapih bersih. Hari ini lu pikiran dan perasaan lu terlalu berantakan, lu harus ambil waktu buat beresin lagi, pelan-pelan, jangan dicampur semua jadi satu, taruh lagi di tempat-tempatnya. Saat semuanya udah beres, lu bakal nyaman tinggal di dalamnya, baru abis itu lu bisa lihat apa yang harus dikerjakan lagi. Apa yang mau lu kerjain, apa yang lu suka,” tambah temannya lagi.

Aleya mengingat-ingat lagi segala sesuatu yang telah terjadi. Memang banyak hal yang tidak sesuai dengan keinginannya, tapi dibalik itu semua ada hal-hal yang Aleya syukuri.

“Menurut gw, lu terlalu keras sama diri lu sendiri. Gak semuanya lu harus tahu sekarang kok Al. Kita memang gak harus jalan dengan tahu tujuan akhir kita kemana. Gak semua orang dapet privilege itu. Jalani aja. Karena hidup bukan tentang tujuannya, tapi perjalanannya. Hidup lu bukan lu nanti berakhir jadi apa, tapi bagaimana dalam perjalanan hidup lu mengenal siapa diri lu sebenarnya. Setiap orang pasti ngalamin kayak lu, nge-stuck, gw juga pernah kayak gitu. Tapi ya meski rasanya nge-stuck tapi hidup terus berjalan, waktu akan berjalan. Apa karena stuck kita diem aja di tempat. Percaya sama gw, meski rasanya kita jalan di tempat, tapi atleast kita tetep berjalan, tanpa kita sadar ternyata kita udah jalan begitu jauh. Percaya sama diri lu sendiri. Gw tahu seberapa kerja keras lu selama ini. Lu ada di titik sekarang perjalanannya jauh. Mungkin situasinya terlihat sama, tapi gw tahu lu sudah berbeda. Aleya yang sekarang bukan Aleya dua-tiga tahun yang lalu. Jadi jangan pandang sebelah mata diri lu sendiri. Percaya sama pengalaman yang lu udah pernah lalui. Pasti lu bisa jalani situasi hari ini dengan cara yang beda.”

Aleya meneteskan air mata. Dia terharu. Di situasi ini, dia bersyukur punya teman yang perhatian dan bisa menguatkan saat dirinya mulai lemah. Aleya menyadari bahwa selama ini matanya tertutup sama potensi dalam dirinya sendiri hanya karena situasi yang tidak enak. Aleya lupa bahwa dia sudah pernah melewati masalah yang serupa. Dia hanya butuh cara yang baru untuk mengatasinya, bukannya malah terpuruk. Aleya terlalu fokus sama dunia dan kehidupan yang kejam, hingga lupa dengan dirinya sendiri. Dirinya yang selama ini sudah begitu kuat berjalan sampai akhirnya dia ada di posisi sekarang. Meski tidak terlihat, tapia da banyak perubahan yang Aleya alami. Seharusnya dia lebih kuat, dia bisa lebih sabar, dia bisa lebih sabar. Tapi karena fokusnya yang salah, Aleya hanya melihat kekurangannya, menyalahkan dirinya, menyerah sama dirinya sendiri. Padahal kalau bukan dirinya sendiri yang bertahan, siapa lagi? Kalau bukan dia yang mengasihi dirinya siapa lagi?

Aleya hanya melihat hidupnya yang berantakan, tanpa dia menyadari bahwa kalau rumah berantakan bukannya ditinggal pergi, tapi coba diberesin. Selama ini dia hanya berusaha ingin kabur dan membiarkan rumahnya sendiri berantakan. Itu tidak akan memberikan solusi, namun menambahkan masalah baru. Terkadang kita memang butuh orang lain untuk mengingatkan betapa berharganya kita, betapa kita telah bekerja keras, mengatakan bahwa kita sudah melakukan hal baik dan mengingatkan untuk tidak menyerah. Karena layaknya kita bercermin, meski sudah lama kita melihat wajahnya, namun setelah itu kita kembali lupa bagaimana perawakan diri kita sendiri. Lupa betapa hebatnya kita sudah bertahan sejauh ini.

Dalam perjalanan pulang, Aleya menangis, selama ini dia ternyata terlalu keras sama dirinya sendiri. Aleya mengharuskan dirinya untuk sempurna, sehingga saat ternyata situasinya tidak begitu, dia menyalahkan dirinya, membandingkan dirinya dengan orang lain, menganggap dirinya tidak berguna, bahkan membenci dirinya sendiri. Aleya terlalu sombong sehingga saat semuanya runtuh dia mengasihani dirinya dan menyalahkan dunia bahkan Tuhan karena mementukan takdir buruk bagi hidupnya. Aleya lupa bahwa dia punya kebebasan penuh untuk bangkit dan berjuang kembali.

Untuk itu, kini Aleya ingin mencoba hal baru. Setelah merapihkan pikiran dan perasaannya yang selama ini kacau balau, akhirnya Aleya bisa melihat lebih jelas hal-hal apa yang bisa dia lakukan di masa penantiannya. Aleya berpikir daripada dia sibuk mengasihani dirinya yang akan membawa dia pada terpuruk sama keadaan. Maka Aleya ingin melakukan hal baru, hal-hal yang ingin dia kerjakan selama ini. Sekarang waktunya sebelum terlambat. Mungkin dengan kegiatan baru ini akan membawa dia ke jalan baru dan banyak pintu-pintu kesempatan yang terbuka.

Kecintaannya pada menulis, mimpinya sejak kecil yang ingin menjadi penulis, mungkin saatnya dia mengejar mimpinya itu. Selama ini dia bekerja sebagai content writer maupun jurnalis memang mengharuskan dia menulis dengan berbagai teknik. Tapi dia yakin semua itu bisa jadi basic dia untuk bisa menulis sebuah cerita yang menarik. Sekaligus lewat tulisannya Aleya ingin menceritakan segala pengalamannya. Berharap banyak orang yang membacanya bisa terinspirasi dan mendapatkan kekuatan lewat cerita dan tulisannya.

Memang di saat kita mencoba melihat kelebihan pada diri kita, saat kita buntu sekalipun, kita akan mendapatkan jalan keluar. Karena tanpa kita sadari bahwa dalam diri kita memiliki hal yang lebih besar dari yang kita bayangkan.

Aleya mungkin memang belum mendapatkan pekerjaan yang dia inginkan, dia masih harus kerja lepas dengan gaji yang tidak seberapa. Mungkin hanya bisa menghabiskan waktunya di rumah untuk menjaga ibu dan neneknya. Dia harus berusaha menulis cerita, mengikuti berbagai kompetisi menulis tanpa tahu apakah dia akan menang dan berhasil menjadi penulis. Situasinya sekarang memang tidak banyak berubah, tapi bagaimana Aleya melihat situasinya itu yang mengubah hidupnya sekarang. Aleya kini sudah tidak terlalu sering khawatir akan masa depannya, sudah tidak membandingkan hidupnya dengan orang lain, dia tidak lagi membenci hidupnya. Dia mengerti bahwa setiap orang punya waktunya masing-masing. Tidak ada yang perlu diburu-buru. Biarlah berjalan semestinya meski tidak mudah untuk dilewati. Asalkan jangan pernah untuk menyerah sama hidup itu sendiri.

“Ibu sepertinya belum pernah bilang ini ke Al deh,” kata ibu saat keduanya makan siang di meja makan

“Ngomong apa bu?” tanya Aleya.

“Ibu terima kasih ya, Aleya selama beberapa bulan ini sudah mau jagain ibu, rawat ibu pas sakit, jagain nenek juga, pasti gak mudah buat Al melakukan semua itu sendiri, tapi Al gak pernah ngeluh, ibu bersyukur punya Al,” kata ibu memegang tangan Aleya.

“Ih ibu, Al juga seneng kok bisa rawat ibu dan nenek, kapan lagi coba bisa kayak gini.”

“Ibu selalu doakan Al yang terbaik, semoga bisa dapat pekerjaan yang lebih baik ya.”

Aleya dan ibu berpelukan. Keduanya saling menguatkan dan menghibur satu sama lain. Aleya menyadari bahwa meski hidupnya bukan tentang dirinya sendiri. Memang kenyamanan yang dia inginkan selama ini hanya bisa dia dapatkan dalam dirinya sendiri. Namun untuk Aleya bisa bertahan, dia butuh orang-orang di sekitarnya, orang-orang yang mengasihinya, dan mereka yang dikasihinya. Karena seberapa kuat dan hebatnya diri kita sendiri, kita tetaplah manusia yang butuh orang lain untuk menjalani hidup. Dan jika orang itu adalah keluarga dan teman-teman, itu sudah cukup. Dengan mereka, Aleya bisa mengalahkan dunia yang selalu berusaha merenggut kebahagiaan dan kenyamanan hidupnya. 

-Selesai.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)