Masukan nama pengguna
Hidup semakin dewasa semakin berat dijalani. Apalagi harus mengikuti gaya hidup di Jakarta yang begitu cepat. Bagaimana bisa seorang anak tunggal yang bisa dibilang kini menjadi tulang punggung keluarganya untuk memiliki segala sesuatu yang indah dipandang dan nyaman dipakai hanya dengan gaji UMR alias upah minimum regional.
Iya sih kalau dibandingkan dengan UMR kota-kota lain, di Jakarta bisa terbilang besar, tapi kalau untuk makan sehari-hari, transportasi aja sudah setengah lebih dari gaji. Belum bayar-bayar kebutuhan pokok, nabung, dan lainnya. Mana ada itu uang lebih untuk nongkrong tiap malam minggu di salah satu mall aja.
Gak heran sih kalau trend mommy sugar dan daddy sugar sangat menarik perhatian bagi anak-anak muda di Jakarta ini. Pasti deh kalau lagi bokek, hal ini yang sering jadi bahan candaan. “Gw butuh daddy sugar nih,” “Mana nih daddy sugar gw,” dan sebagainya.
Tapi sebenarnya kalau beneran dapet daddy sugar gitu, yang tiba-tiba direct message (DM) di Instagram pasti aku juga akan decline dan block akunnya. Karena meski rasanya enak punya orang yang akan bisa kasih uang banyak, tapi tetap aja hal tersebut dipandang buruk sama masyarakat. Apalagi kalau misalkan ternyata si daddy sugar atau mommy sugar itu udah nikah dan punya anak. Engga deh.
Tapi apalah daya. Saat ini aku lagi sangat antusias memilih baju-baju cantik di salah satu gerai di mal besar di Jakarta. Tanpa aku harus merasa khawatir akan berapa total uang yang harus dikeluarkan. Kenapa? Karena bukan aku yang bayar.
Sudah tiga bulan aku deket sama cowok yang mungkin juga bisa dibilang om-om karena umurnya 12 tahun lebih tua dariku. Serius, ini semua adalah sebuah kebetulan yang sama sekali tidak bisa aku kendalikan.
“Ini bagus, cocok kayaknya buat lu.”
Tiba-tiba si om-om tampan dan mapan itu menyampiriku membawakan mini dress warna biru donker. Aku melihatnya dan mengangguk. Mengambil mini dress itu dari tangannya.
“Gw cobain dulu tapi ya,” jawabku tersenyum manis padanya.
“Even lu gak suka, tetep dibeli ya, kali aja nanti butuh,” katanya lagi sambil mengangguk dan membelai kepalaku lembut. Kemudian kembali pergi melihat barang-barang yang lain.
Aku membawa lebih dari 10 set pakaian dari kaos, celana, rok, kemeja, sweater, hingga dress ke fitting room dan mencobainya satu-satu. Setelah hampir satu jam mencoba semua pakaian tersebut, akhirnya aku keluar dan langsung menuju kasir.
“Jadi semuanya kamu mau kan?”
Tiba-tiba dia muncul pas saat aku keluar ruangan fitting room. Aku sedikit kaget. Lalu tersenyum sambil menunjukkan lima set yang aku pilih, termasuk mini dress yang dipilihnya.
“Lah yang lainnya kemana? Gak suka? Dibilang tetep dibeli aja kan kali-kali dibutuhin gak usah beli lagi udah ada pilihannya,” raut wajahnya begitu kecewa.
Aku terkekeh.
“Gak apa-apa beli ini aja dulu, kalau gw beli semuanya ribet bawa pulangnya nanti ketahuan mama di rumah.”
“Alasan aja lu. Selalu gini deh.”
“Ini juga udah mahal kali pak.” aku memberikan pakaian ke kasir. Sambil menantapnya memohon kalau memang ini saja udah cukup. Dengan muka yang dibuat-buat marah, dia pun memberikan kartu kredit berwarna hitamnya itu ke penjaga kasir.
Akhirnya aku memilih, satu mini dress denim, satu tshirt dress dengan ripped denim short, satu oversized striped long sleeve sweatshirt, satu smart straight-leg trousers dengan cropped linen blend shirt dan satu set waistcoat flowy trousers dan short-nya.
“Yaudah abis ini beli sepatu dan tasnya sekalian ya,” katanya setelah membayar semua barang-barang yang aku mau yang sudah hampir mencapai Rp5 juta itu.
“Engga ah, udah capek, mending makan aja.”
Dia yang membawa tiga kantong belanjaku langsung berhenti.
“Lu emang paling orang yang suka menganggurkan uang ya. Atau kayaknya gw harus selalu kasih batasan ke lu kalau belanja harus lebih dari 20 juta deh. Ini setengahnya aja juga engga.”
“Gila 20 juta buat belanja apaan. Gw sih gak ngerti sama orang yang sampe belanja puluhan juta kayak gitu.”
“Gw hanya mau belanja klo emang gw rasa cukup hari itu.”
“Iya tapi kita tuh udah tiga bulan kenal, tapi selama ini lu cuma belanja selalu dibawah lima juta Kar.”
“Iya tapi klo lu hitung setiap hari kita ketemu, makan, main semuanya juga banyak kan. Emang uang lu cuma buat gw belanja doang.”
“Even lu belanja puluhan atau ratusan juta gak akan buat gw miskin dalam sekejap.”
“Yaudah klo gitu lu belanja aja buat diri lu sendiri, atau coba nambah cewek lain yang mungkin lebih bisa menghamburkan uang-uang lu.”
Aku kesel. Aku jalan lebih cepat dari dia.
***
Hari itu, aku sedang duduk di salah satu gerai kopi di kawasan Jakarta Selatan. Seperti biasa aku suka menikmati situasi di kedai kopi. Melihat banyak orang dengan kesibukan mereka. Ada yang duduk berdua, rame-rame, dan ada juga yang sendiri seperti aku ini. Menurutku kerja di café itu punya kenikmatan tersendiri.
Di saat lagi merasa suntuk sama kerjaan dan overthinking yang tidak ada habisnya. Aku biasanya suka melamun melihat kondisi café. Alunan lagu yang berbeda-beda tiap aku dateng kesini juga bantu menambah playlist ku.
Tapi ternyata hari ini bukan hari yang biasanya. Meski sudah sering ke kedai ini, berjam-jam, dari pagi hingga malam hari, biasanya aku akan selalu sendirian. Kalau bukan pelayannya yang datang mengantarkan pesanan, tidak ada satu pun yang pernah menyampiri aku. Tapi hari ini berbeda. Tiba-tiba ada seorang cowok yang dari penampilannya mungkin usia 30an menyampiri tempat duduk aku.
Dia sempat melihat kiri-kanannya dan kikuk menghampiriku. Meski sudah merasa orang itu memang menuju arahku, tapi aku berusaha untuk tidak tertarik. Mataku hanya fokus tertuju pada laptop di depanku. Berusaha mengetik apapun, supaya terlihat sibuk.
“Halo, gw bisa duduk disini?” kata cowok itu. Suaranya berat layaknya cowok matang lainnya.
Aku mendongak, melihat cowok kira-kira tingginya 176-177 cm. Kulitnya kuning langsat. Mukanya dipenuhi brewok tipis. Matanya hitam pekat dengan kacamata, membuat wajahnya begitu sangat menarik untuk dilihat lama-lama.
Dengan muka bingung, aku menatapnya.
“Ada orang kah disini?” tanyanya lagi. Aku menggeleng tanpa mengeluarkan suara.
“Gw duduk disini ya,” cowok itu langsung menarik kursi kosong di depanku dan duduk.
Awkward.
Ngapain nih orang bisa-bisanya belum diizinin sudah langsung duduk aja. Kita berdua kan gak saling kenal.
Dia menaruh minuman yang baru dipesan di meja. Tanpa aku sadar aku menarik laptopku mendekat, memberikan ruang buat minumannya. Mataku tidak lepas dari cowok di depanku ini. Saat dia duduk, wangi parfumnya sangat tercium kuat. Aku mengernyit, tidak begitu suka wangi parfum yang menyengat.
Aku tahu pasti, cowok itu juga kikuk. Sepertinya memang baru pertama kalinya dia juga melakukan hal kayak gini. Tapi kenapa dilakukan?
Dia berusaha melihat aku, tapi kemudian melihat ke kiri-kanan.
“Bukannya masih ada banyak tempat kosong ya? Kenapa milih duduk disini?” tanyaku perlahan membuka perbincangan. Ingin mengetahui maksudnya.
Dia yang dari tadi gak bisa diam melihat kesana-kemari, kaget. Menatapku. Wajahnya menunjukkan ekspresi bingung, takut, dan juga tampan. Aku tersenyum.
“Eh… iya… oh…”
Aku menunggu jawabannya.
“Gw ngerasa aneh aja kalau duduk sendiri,” jawabnya masih kikuk. Dia sama sekali gak bisa melihat mataku saat menjawab.
“Tapi kayaknya sekarang bukannya lebih aneh ya. Kita kan gak saling kenal dan duduk berhadapan gini.”
“Gw kenal… eh tahu lu kok.”
Aku terbelakak. Hah, dia tahu aku. Gimana caranya. Aku tahu pasti aku gak pernah kenal orang ini, melihat aja kayaknya juga gak pernah.
“Oh ya, bisa tahu dari mana?”
“Lu sering dateng ke sini. Gw sering lihat lu disini.”
Oke ini semakin aneh dan serem.
“Oh iya sih, gw sering dateng ke sini, tapi kayaknya gw gak pernah lihat lu deh.”
“Ya mungkin emang gak pernah ngelihat, karena gw selalu ada di atas,” dia menunjuk sebuah tangga yang menuju ke lantai dua kedai itu.
Setahu aku lantai dua kedai itu kantor. Kurang tahu sih kantor apa.
“Oh kerja di atas?” dia mengangguk.
“Setiap gw dateng kerja ada lu. Makan siang ada lu. Bahkan sampai udah pulang juga kadang-kadang masih ad alu juga. Ini kedai kantor lu apa gimana?”
Sepertinya cowok ini sudah mulai relax. Nada bicaranya sudah tidak canggung lagi. Sikap tubuhnya juga terlihat sudah percaya diri. Dia mengatakan pertanyaan terakhir sambil menatapku dan diakhiri sambil menyeringai.
“Ohh.. gw emang suka aja kerja disini. Suasananya enak, gak jauh juga dari kostan.”
“Emang lu kerjanya apa?”
“Gw freelance, nulis,” dia mengangguk.
“Pantes seharian di sini ya,” aku tersenyum.
Lalu kita berdua terdiam. Cukup lama sampai aku memilih untuk melanjutkan kerjaanku.
Sesekali melihat apa yang di lakukan orang di depanku yang masih belum aku tahu namanya itu. Dia sibuk dengan smartphonenya. Terkadang menyirup minumannya.
Selama satu jam kita hanya sibuk satu sama lain. Lalu kemudian, cowok itu berdiri.
“Gw ke atas duluan ya, mau ada meeting.”
Aku melilhatnya berdiri dan siap-siap untuk pergi.
“Thank you udah nemenin,” aku mengangguk canggung dan tersenyum kecil.
Aku hanya menatap bingung punggung cowok yang pergi dan kemudian menaiki tangga ke lantai dua.
Dan hal ini pun terjadi di esok harinya, lusa, dan hari-hari berikutnya. Kita akhirnya kenalan, lebih banyak ngobrol dan sampai pada titik, cowok yang ternyata usianya udah 39 tahun itu, mengluarkan pernyataan pertamanya untuk menjadi daddy sugar ku.
“Gw bisa loh jadi daddy sugar lu klo lu mau.”
“What? Pernyataan apaan tuh. Aneh banget.”
“Kok aneh. Gw serius.”
“Ya aneh dong, masa lu sendiri yang menawarkan jadi daddy sugar, bukannya jadi pacar malah jadi daddy sugar.”
“Malah lebih aneh kalau gw minta lu jadi pacar. Dan sekaligus gw gak suka pacaran sama anak kecil. Ribet.”
“Gw udah gede, bukan anak kecil lagi.”
“Emang lu mau pacaran sama gw yang 12 tahun lebih tua, duda pula.”
“Ya engga juga sih.”
“Yaudah makanya gw menawarkan diri sebagai daddy sugar. Gw cuma menawarkan ini sama lu doang loh. Mana pernah juga gw kepikiran jadi daddy sugar. Demi lu nih gw bersedia.”
Pernyataan yang bener-bener aneh dan sama sekali gak masuk akal sebenernya. Tapi setelah diskusi yang panjang, mendengar penjelasannya kenapa mau jadi daddy sugar, sampai kita buat kesepakatan dengan segala ketentuan yang aku kasih, akhirnya aku mengiyakan dia sebagai daddy sugar ku. Dan hubungan ini sudah berjalan setahun lebih.
Dalam setahun ini, Purba, nama cowok itu, dengan senang hati mentraktir aku makan-makanan enak. Bahkan dia pernah mengajak aku makan di hotel-hotel ternama di Jakarta. Dia juga suka bawa aku ikut pergi trip ke Singapura, Jepang, Hongkong, bahkan ke Eropa sekalipun.
Dia banyak beliin aku baju, sepatu, tas, meski aku gak pernah minta. Setiap bulan aku selalu dapet uang jajan yang langsung aja di transfer tanpa sepengetahuan aku.
Semuanya itu dia kasih dengan cuma-cuma. Setiap aku bilang kalau semua yang dia kasih itu berlebihan, dia hanya bilang ‘yaudah lu kasih waktu lu buat gw’. Dengan aku pergi-pergi sama dia kapanpun dan kemanapun itu sudah jadi bayaran aku buat dia.
***
Setelah akhirnya Purba mengalah untuk tidak membelikan aku semua baju itu, kita pergi ke kedai tempat favorite kita berdua. Meski tiga bulan lalu kantor Purba sudah pindah ke tempat yang lebih besar di daerah Kemang, tapi dia tetap lebih suka bekerja di kedai ini.
Seperti biasanya aku memesan iced hazelnut chocolate, sementara Purba memesan iced americano.
Kita duduk di pojok ruangan yang berdekatan dengan jendela, tempat kesukaanku.
Purba duduk di hadapan aku. Dia sibuk dengan hp-nya.
“Purba,” ucapku. Dia mengalihkan pandangannya kepadaku.
Ada sesuatu yang ingin aku sampaikan sama orang ini. Tapi aku bingung bagaimana harus menyampaikannya. Melihat dia seperti ini rasanya tidak tega untuk mengungkapkannya.
Aku berusaha merilekskan badanku dengan bersendar pada kursi.
“Lu gak apa-apa kerja dari sini, gak di cariin anak-anak kantor?”
“Engga, lagi gak banyak proyek juga," katanya kembali sibuk dengan hpnya.
“Gak dicariin kak Tina juga?”
Aku melihat tangannya berhenti mengetik, kemudian mengetik sembari menjawab.
“Tadi dia sempet tanya gw bakal kerja dimana.”
Sebagai informasi, kak Tina adalah partner kerja Purba. Dia bisa dibilang full timer jadi CMO tapi freelance jadi sekretarisnya Purba. Mereka sudah kenal sejak masa kuliah dan setelah lulus langsung kerja bareng sampai sekarang. Kak Tina, tahu hubungan aku dengan Purba. Tapi dia tidak banyak membahas hal itu setiap kali aku bertemu dengan dia. Melihat bagaimana dia memperlakukan aku, sepertinya dia sama sekali tidak mempermasalahkan hal itu. Tapi hal yang bikin menariknya adalah, aku merasa kak Tina memendam perasaan pada Purba. Itu sangat terlihat dari tatapan matanya melilhat Purba.
“Gw pengen deh sekali-kali liburan bareng kak Tina, pengen banget ke Bali sama dia.”
“Gw bakal izinin dia cuti dua minggu kalau kalian pergi.”
“Enak ya kalau misalkan bos itu temen sendiri.”
“Ya kan dia perginya sama lu, masa gak gw kasih.”
“Tapi kak Tina kerja mulu gantiin bosnya yang gak kerja karena lebih suka main-main.”
Purba tertawa.
“Gw kerja ya, cuma Tina aja yang emang workholic. Kerjaan yang harusnya seminggu dikerjain bisa cuma 2 hari selesai sama dia.”
“Makanya lu betah kerja sama kak Tina meski udah 10 tahun lebih bareng kan?” Dia menggangguk.
“Mungkin karena udah kenal sejak kuliah juga, dia sudah tahu apa yang gw mau tanpa gw harus jelasin panjang lebar. Bahkan dia suka info ke anak-anak lebih dulu sebelum gw.”
“Tapi jujur, masa lu gak pernah consider dia buat jadi lebih dari sekedar partner kerja? Kalau gw jadi lu pasti gw pacarin orang kayak dia.”
Purba diam dan gak menjawab.
“Tapi pastil u tahu kan kalau kak Tina ada feeling sama lu. Gak mungkin gak tahu.”
Aku memperhatikan respon mukanya. Dia tetap diam tanpa mengubah ekspresi atau gerak tubuhnya. Jago juga nih cowok nutupin perasaannya, pikirku dalam hati.
“Gak usah dibahas,” katanya datar.
“Kenapa jangan dibahas. Ini tuh penting loh. Mau sampai kapan sih lu harus sendirian kayak gini.”
“Gw gak sendiri, ini sama lu.”
“Ya ampun Purba, gw gak mungkin selamanya nemenin lu kayak gini juga kali. Pasti gw bakal ketemu cowok yang gw suka, bakal nikah, bakal punya anak. Dan lu harusnya juga mikir ke situ. Umur lu lebih tua dari gw.”
Dia melihat aku, badannya tegap.
“Lu lagi deket sama cowok?” Aku mengangguk.
“Kita gak bisa kayak gini terus sih.”
Akhirnya aku mengatakan hal itu. Purba tetap diam menatapku. Mengakhiri semua hal ini adalah hal yang terbaik dan sudah ingin aku sampaikan sejak satu bulan yang lalu.
“Lu inget kan apa yang buat gw mengiyakan semua hal ini dari awal. Dan menurut gw lu udah cukup membaik satu tahun ini dan siap buat jalanin yang baru om.”
“Apa yang buat lu menilai gw udah siap? Gw gak merasa begitu.”
“Engga, lu tahu pasti kalau lu udah siap. Lu cuma takut aja.”
“Kalau gw masih takut, berarti gw belum siap dong.”
“Engga lah, lu cuma takut terluka, lu takut semua terulang lagi kayak dulu. Tapi bukan berarti lu gak bisa buat mulai itu sekarang kan. Semua orang takut terluka kok, cuma gimana caranya kita bisa menghadapi ketakutan itu dan berani melangkah.”
“Gw belum siap.”
“Kematian itu akan selalu dihadapi banyak orang. Tapi masa karena lu tahu akhirnya adalah kematian lu gak akan melakukan apapun hari ini. Kalau misalkan lu tetep bersembunyi karena takut kehilangan, lu gak akan pernah bisa maju. Lu akan merasa stuck terus. Dan gw gak bisa nemenin lu terus dititik ini, gw mau maju. Begitu juga dengan kak Tina. Kalau l uterus sembunyi dan kabur terus karena gak mau menghadapi realita yang ada, akhirnya lu hanya akan kehilangan kesempatan dan gw yakin lu akan menyesal nanti.”
Purba salah satu orang pintar yang aku kenal. Dia selalu bisa menyelesaikan masalah tentang perusahaannya dengan begitu hebat sampai kini perusahaannya bisa semakin besar. Aku tahu pasti, dia mengerti maksud aku apa. Masa selama ini dia bisa berani melewati setiap resiko untuk bisa menghasilkan lebih besar buat perusahaannya, tapi kalau urusan perasaan dia kabur.
“Lu gak bisa kabur terus Purba, mau sampai kapan.”
“Lu gak tahu gimana rasanya kehilangan orang yang paling lu kasihi.”
“Iya, gw mungkin belum pernah bisa merasakan kehilangan yang lu rasakan. Tapi apa lu gak pernah memikirkan perasaan kak Linda melihat lu dari atas sana. Sudah lima tahun sejak kepergiannya, tapi lu masih kayak gini. Bahkan lu malah sok-sokan jadi daddy sugar cuma buat menutupi ketakutan lu untuk memulai the real relationship sama cewek yang lu suka.”
“Siapa yang gw suka?”
“Kak Tina.”
“Gw gak suka sama Tina.”
“Gak usah ngeles lah. Gw tahu semua kok.”
“Apa yang lu tahu. Lu gak tahu apa-apa.”
“Dalam satu tahun terakhir ini, gw sama lu hampir setiap hari. Gw lihat gimana lu sama kak Tina. Makanya gw juga tahu kak Tina suka sama lu dan ternyata lu juga suka sama dia.”
Sebenarnya, kak Tina sempat cerita waktu pertama kali aku ikut work trip mereka ke Singapura. Aku yang memilih untuk satu kamar hotel sama kak Tina denger cerita kak Tina, gimana setelah keperigian istri Purba, Linda, lima tahun yang lalu, Purba bener-bener berubah. Dia jauh lebih diam, lebih dingin. Dia menghidar dari segala pertemuan. Sementara perusahaan cuma kak Tina yang handle semuanya.
Purba baru dua tahun terakhir mulai membaik. Mulai dateng ke kantor, walaupun dia cuma mau ngobrol sama kak Tina. Berbulan-bulan mereka menghabiskan banyak waktu berdua. Kerja bareng, terkadang pergi-pulang bareng. Purba juga sempat temenin kak Tina yang harus di opname karena gejala tifus.
Tapi tiba-tiba Purba balik lagi jadi dingin. Sempat seminggu gak dateng ke kantor tanpa kabar. Pas akhrinya dia muncul ke kantor, dia malah menjauhi kak Tina dan memilih buat lebih dekat sama anak-anak kantor. Purba jadi workholic sendirian. Setiap kak Tina berusaha untuk ajak bicara, Purba selalu kabur dan merasa tidak ada hal yang perlu dibicarakan selain pembahasan perusahaan. Akhirnya kak Tina menyerah dan membiarkan semua berjalan seperti biasa.
Hubungan keduanya membaik setelah Purba memeperkenalkan aku ke kak Tina. Saat itu Purba bilang kalau aku adalah pacarnya untuk menutupi kebenaran yang ada. Tapi setelah berkali-kali melihat aku dan Purba, mungkin kak Tina menyadarinya sendiri kalau aku hanya sekedar teman.
“Lu bilang ke gw pas di awal-awal, lu butuh temen yang selalu ada buat lu. Awalnya lu dapetin itu dari kak Tina. Tapi ternyata perasaan yang lu hindari itu muncul, tapi karena lu gak siap dan lu takut, lu pilih buat kabur. Dan pas banget, lu ketemu gw dan lu lihat gw yang usianya jauh di bawah lu dan setelah beberapa kali ngobrol, lu ngerasa gw cocok jadi temen lu tanpa lu harus ribet dengan perasaan lu. Akhirnya lu menawarkan diri jadi daddy sugar. Yang sebenarnya gak masuk akal buat orang kayak lu. Tapi tetap lu lakuin karena lu cuma mau menghindari kak Tina. Itu juga alasannya lu bilang di awal ke kak Tina kalau gw pacar lu.”
Setelah panjang lebar aku mengungkapkan apa yang aku pikirkan, Purba hanya diam terpanah melihat aku. Tapi kemudian dia tertawa terbahak-bahak.
“Emang dasar penulis ya lu. Jago banget bikin ceritanya. Ngarang abis.”
Aku gondok. Kesel banget melihat dia selalu ngeles dan gak pernah berani buat bener-bener serius membicarakan hal ini.
“Lu tahu gak sih kalau gw mikirin ini semua selama sebulan penuh.”
“Lu kebanayakan mikir makanya sampai bisa mengarang itu semua. Tapi boleh sih lu buat cerita kayak gitu menarik. Nanti gw bantu publish bukunya.”
“Lu bisa gak sih serius dikit tentang hal ini. Gw care banget sama lu om, lu udah gw anggap abang gw sendiri. Gw bersyukur banget bisa kenal lu, gw bersyukur banget dengan apa yang selama ini lu lakuin buat gw. Lu beliin apapun buat gw, ajak gw pergi ke luar negeri. Dengerin setiap celotehan gw. Kasih masukan buat setiap tulisan gw. Sampai akhirnya gw bisa bener-bener bisa jadi penulis kayak sekarang. Tapi gw gak bisa melihat abang gw yang baik satu ini sendirian. Lu bisa lebih bahagia dari lu hari ini.”
Aku berkaca-kaca menatap mata Purba yang juga melihat aku. Mukanya yang tampan itu serius melihat aku. Ekspresinya mengucapkan kata maaf. Tapi aku tahu kalau dia mengerti apa yang rasakan.
“Gw gak pernah menghalangi lu untuk punya pacar. Tapi kalau emang lu gak bisa lagi untuk nemenin gw kayak gini, ya gak apa-apa. Kayak tadi lu bilang gw juga anggap lu kayak adik gw sendiri. Dan gw juga senang kok melihat gimana suksesnya adik gw sekarang. Gak percuma gw buang-buang uang banyak buat lu,” kata Purba tersenyum.
Aku menghela nafas. Bukan itu yang ingin aku dengar.
“Kalau tentang Tina, biar itu jadi urusan gw,” kata dia sambil menepuk punggung tanganku.
“Janji jangan kabur lagi. Lu harus ungkapin perasaan lu ke kak Tina sebelum telat.”
Purba tersenyum dan menangguk.
“Bener-bener gak percuma ya gw bayarin dan beliin lu semua. Gak nyangka segininya lu mikirin gw.”
Tangan Purba meraih atas kepalaku lalu mengusap-usapnya buat rambutku berantakan. Aku menepis tangannya.
“Karena lu gak akan bayarin gw lagi ke depannya. Hari ini jadi hari terakhir ya, jadi lu bisa kan bayarin gw makan” kataku tersenyum.
“Dasar, sana pesen. Gw juga laper”
-Selesai-