Masukan nama pengguna
Keramaian mal di akhir pekan semakin terasa dengan adanya enam orang berkumpul di salah satu cafe. Sama sekali tidak ada yang berubah walau setahun tidak bertemu. Dila melihat teman-temannya, penuh kebahagiaan. Sudah lama sekali ia tidak merasakan sebahagia ini. Seperti segala beban dan masalahnya menghilang. Walau baginya tetap masih ada yang kurang.
Ternyata kepergiannya sama sekali tidak mengubah apa yang sudah terjadi setahun lalu. Dila masih kehilangan seseorang yang sangat penting baginya. Dan sepertinya orang itu tidak akan pernah kembali lagi. Sekarang, bahagia yang ia rasakan kembali tertelan dalam kesedihan dan keramaian lima temannya tidak membantu kesepian di dalam diri Dila. Semuanya hanya sementara, tidak bertahan hanya untuk satu menit.
"Hai Dila," suara perempuan menyadarkan Dila dari lamunan sedihnya. Ia membalik muka ke arah suara itu datang. Dila sama sekali tidak menyangka akan apa yang ia lihat. Orang yang tidak pernah ia pikirkan akan menyapanya.
Dila berdiri, berusaha tersenyum.
"Hai Nanda, apa kabar?"
Dila menjulurkan tangan, berniat memberi salam. Tak sangka, perempuan itu justru memberikan pelukan, seperti teman baik.
"Kamu kapan balik? Kok gak kasih kabar sih," Nanda melepas pelukannya.
"Baru dua hari yang lalu. Pulang karena kerjaan sih, jadi emang gak banyak yang tahu," Dila menjawabnya singkat, padat, dan jelas. Perempuan didepannya mengangguk, tersenyum tipis.
"Yang, sini deh, ada Dila."
Tiba-tiba perempuan itu memanggil seseorang yang ada di belakang bilik pintu cafe. Sosok cowok dengan tubuh tegap, tinggi, bahu yang besar, muncul menyampirinya.
"Kamu tahu Dila balik ke Indo?" tanya perempuan itu kepada si cowok.
"Aku gak tahu," jawab si cowok.
"Hai," Dila menyapa si cowok.
"Hai," jawab si cowok sambil tersenyum.
Sepertinya semua orang yang melihat interaksi ketiga orang ini bisa mengetahui dan merasakan tegangan yang aneh di antara mereka. Awkward.
"Kamu sampai kapan di sini? For good kah atau nanti balik lagi?" Nanda kembali membuka pembicaraan setelah beberapa detik hening.
"Aku cuma dua bulan di sini, pertengahan November balik."
"Berarti bisa nih kita atur waktu buat ngobrol lebih lama, ya kan yang?" si cowok mengangguk, mengiyakan ajakan pacarnya. Dila tersenyum melihatnya. "Iya bisa, atur aja."
"Kamu lagi ketemuan sama siapa Dila?" tanya Nanda melihat orang-orang yang duduk di dekat Dila.
"Temen gerejaku." Rombongan yang ramai itu menoleh kearah Nanda dan tersenyum sambil menganggukkan kepala mereka berbarengan.
"Kalau gitu, kamu di sini sama Dila aja Yang, daripada nunggu aku sendirian. Kamu juga kenal teman-temannya Dila kan?" tanya Nanda kepada cowoknya. Bingung dengan arah pertanyaan Nanda, Dila bertanya. "Memang kamu mau kemana Nan?"
"Aku ada acara di lantai atas. Isi sesi acara startup connection gitu. Rivi, gak bisa nemenin karena masih ada kerjaan. Jadi kayaknya bakal tunggu di sini. Eh ketemu kamu. Jadi bisa join bareng kan, daripada sendirian," Nanda menjelaskan.
"Gak apa-apa sih aku sendirian. Dila juga pasti lagi catch-up sama temennya kan udah lama gak ketemu, gak enak ganggu," si cowok merespon.
"Kamu kan juga udah lama gak ketemu dan ngobrol sama Dila. Gak apa-apa kok. Aku gak akan marah, kan aku yang izinin."
Perempuan itu sepertinya sangat yakin dengan apa yang ia katakan dan lakukan.
"Gak apa-apa kan Dil, Rivi join kamu?" Nanda coba memastikan. Dila mengangguk pelan, karena masih ragu.
"Oke deh. Aku pergi ya. Have fun yang."
Nanda mencium pipi si cowok, melambaikan tangan ke Dila dan teman-temannya. Lalu pergi, menghilang dibalik pintu. Tertinggal Dila dan Rivi yang berdiri dan saling menatap diam.
Menarik nafas dalam, dan menghembuskannya perlahan, Dila berusaha menenangkan diri dan mengontrol situasi yang sangat aneh ini. Menoleh ke teman-temannya mengharapkan pertolongan dan sekaligus meminta izin bahwa ada satu orang yang akan ikut duduk bersama mereka.
"Duduk vi," ajak Dila.
"Guys, masih inget kan ini Rivi, teman aku," Dila memperkenalkan Rivi ke lima temannya.
"Hai Rivi," sapa mereka bersamaan. Rivi balas menyapa dan duduk di sebelah Dila.
***
"Thank you Do buat ceritanya. Next siapa nih yang belum cerita?"
Pertemuan Dila dan teman-teman gerejanya bukan cuma sekedar pertemuan ha-ha-hi-hi. Setiap orang diberikan waktu untuk cerita apa yang sedang terjadi dan yang dirasakan, untuk akhirnya bisa saling menguatkan dan mendoakan.
"Dila belum cerita. Kayaknya bakal panjang nih, kan cerita hidup satu tahun."
Dila jadi orang terakhir yang akan cerita, karena yang paling lama gak ketemu, dan sepertinya yang paling banyak dialami.
"Aduh, mulainya dari mana ya. Kayaknya gak cukup deh ini waktunya."
Semua tertawa mendengar pembukaan Dila, tapi juga sangat siap untuk mendengar.
"Seperti yang kalian tahu, tahun lalu aku pergi ke New York, karena dapat kesempatan buat ambil S2 Media Physcology, sekaligus kerja di salah satu media di sana. Seneng banget bisa dapat kesempatan itu dan sangat menyenangkan. Banyak yang aku pelajari. Belajar tinggal sendirian di negeri orang, belajar bahasa asing, budaya baru, dan itu semua gak mudah sih. Sering banget homesick, rasanya pengen pulang dan tinggalin semuanya. Tapi ternyata puji Tuhan semuanya masih baik-baik saja, masih bisa tetap bertahan sampai sekarang."
Dila memang condong bercerita dengan menyimpulkan segala sesuatu secara singkat dan padat. Tapi karena ini adalah kebiasaan yang sudah diketahui teman-temannya, mereka sudah menyiapkan list pertanyaan untuk Dila lebih dulu.
"Apa yang paling berat selama di sana sendirian Dil?" tanya Edo.
"Kalau di bilang sendirian sih engga, kan ada keluarga dan teman-teman mama yang tiap akhir pekan suka ajak jalan. Kadang diajak nginep juga di rumah mereka. Jadi kalau kangen makanan indo gak begitu sih. Tapi kalau paling berat biasa bingung aja cerita sama siapa kalau lagi ada beban pikiran. Mau cerita ke kalian juga waktunya beda kan. Gw ada kosong waktunya malam, kalian lagi pada kerja, dan kebalikannya. Jadi paling sering cuma chat doang kan, ya untung kadang Eliz atau Andrew waktunya pas buat diajak ngobrol gara-gara waktu kerjanya mereka kebalik."
Sebenarnya semua orang di tempat itu tahu tempat cerita (orang) yang paling sangat dibutuhkan Dila saat itu dan tak secara langsung orang itu kini juga mengetahuinya.
"Emang gak ada temen atau cowok yang deket sama lu apa?" tanya Andrew. Sebenarnya dia tahu jawabannya. Tapi sengaja menanyakan hal itu agar seseorang bisa mendengarnya.
Dila tertawa, mengerti arti dibalik pertanyaan Andrew.
"Ada gak ya?" ledek Dila.
"Siapa Dil? Cerita dong," Eliz yang juga tahu ikut memanaskan agar yang lain ikut tertarik akan topik tersebut.
"Ada temannya sepupu gw," jawab Dila tersipu. Ia merasa konyol mengikuti permainan teman-temannya ini. Tapi jawabannya memang fakta.
"Namanya Mada, orang Indo tapi emang udah lama di Amrik, besar di sana," Dila secara langsung memberikan info dengan detail agar tidak berlanjut dengan pertanyaan lain.
"Ganteng gak Dil?"
"Biasa aja."
"Jadi dia yang gantiin tempat cerita lu di sana?"
"Gak juga. Masih belum sedeket itu kok."
"Vi, lu gak ada pertanyaan buat Dila?"
Rara memang bukan orang suka basa-basi dan ikut permainan temannya. Jadi dia memilih bertanya langsung. Semua orang kaget dengan situasi yang diubah Rara, dan melihat ke arah Rivi. Menantikan pertanyaan apa yang akan dia kasih.
Dila menoleh ke orang di sebelahnya. Mengharapkan hal yang sama.
***
Setelah sepuluh menit Dila bercerita, Rivi sudah menghilang dengan dunianya. Dia telah kehilangan satu tahun bersama teman baiknya dan kini ia merasa sangat bersalah karena tidak bisa menjadi teman yang baik di saat ia dibutuhkan.
Setahun yang lalu, saat ia dua bulan pacaran dengan Nanda, tiba-tiba Nanda meminta dia untuk tidak berteman lagi dengan Dila. Tanpa alasan yang jelas. Nanda hanya mengatakan bahwa Rivi dan Dila terlalu dekat sebagai teman. Nanda tidak percaya bahwa cowok dan cewek itu bisa berteman, tanpa perasaan yang lebih. Karena begitu menyukai Nanda, Rivi pun setuju untuk melakukan hal tersebut. Ia berhenti menjadi teman Dila begitu saja.
Satu bulan sebelum Dila pergi ke Amerika, ia berusaha untuk mencari tahu kenapa Rivi tiba-tiba menghilang dan tidak bisa dihubungi. Di telepon tidak dijawab, di chat tidak pernah di balas. Sampai akhirnya saat satu hari sebelum Dila pergi, Rivi datang ke rumah dan menjelaskan bahwa mereka tidak bisa lagi berteman karena Nanda tidak suka mereka terlalu dekat.
Rivi tahu bahwa beberapa bulan awal Dila di Amerika tidak berjalan dengan baik. Bukan hanya karena apa yang Dila ceritakan barusan, tapi karena dirinya. Sebenarnya Rivi selama ini tahu apa yang terjadi pada Dila, karena ia selalu bicara dengan mama-nya Dila. Walau setelah mendengar, Rivi tidak pernah bisa melakukan apa-apa. Sama halnya dengan mama-nya Dila yang tidak pernah mengatakan hal tersebut kepada Dila.
Rivi juga tahu tentang Mada. Dengar dari cerita mama-nya Dila, Mada sepertinya anak baik-baik. Dila dan Mada memang belum begitu dekat. Jadi usaha kelima teman Dila berusaha memanaskan hati Rivi tidak begitu berhasil.
Tapi pertanyaan Rara tetap membuat Rivi gelagapan.
"Terus kamu sekarang gimana rasanya? Masih kesepian kah?"
Rivi menanyakan hal yang sangat tepat sambil menatap mata Dila dengan lembut. Jantung Dila berdegup kencang, panas dalam tubuhnya meruap, panik ia mengalihkan wajahnya dari Rivi. Menahan bongkahan air yang ingin keluar dari matanya. Hening.
Dila menarik nafas panjang. Menenangkan diri. Mengontrol kondisinya untuk kedua kalinya dan kembali melihat orang di sebelah yang masih menunggu jawabannya.
"Sekarang sih udah gak kesepian lagi lah, kan udah ada kalian semua," jawab Dila berusaha untuk tetap terlihat tenang dengan senyumannya itu.
Walau sudah setahun berlalu, tidak ada komunikasi satu sama lain, Rivi tetap yang lebih tahu tentang Dila dari siapapun. Rivi yang selalu bisa menghancurkan benteng penghalang dalam diri Dila. Sayangnya setelah itu Dila tidak bisa menghampiri Rivi, begitu pula dengan Rivi. Jadi mengapa Rivi berani-beraninya menghancurkan benteng tersebut, sedangkan dia tidak bisa berbuat apa-apa.
"Udah, cerita gw selesai. Next yang lain."
Dila menutup sesi pertanyaan sekaligus ceritanya. Dia tak sanggup jika harus terus berlanjut bicara.
"Oke deh, kalau gitu Rivi sekarang yang cerita," Dede kini yang bicara.
"Lu bisa cerita apa Vi yang mau lu ceritain, apa yang lagi lu rasakan, atau apapun," tambah Dede.
"Silahkan."
Meksi ini bukan pertama kalinya Rivi ikut acara pertemuan Dila dan teman-temannya, tapi permintaan untuk bercerita tetap hal yang sangat susah diberikan. Bukannya karena tidak ada cerita, tapi bingung harus mulai darimana dan apa yang harus diceritakan.
"Cerita apa ya?"
Rivi mengatakannya supaya yang lain mungkin memberi pertanyaan atau topik yang mereka ingin tahu.
"Gimana hubungan lu sama Nanda?" sahut Rara.
Dari banyak kisah hidup yang Rivi pikirkan untuk diceritakan, ia sama sekali tidak ingin membahas hubungannya dengan Nanda. Tapi justru itu yang sangat ingin diketahui semua orang.
"Baik," Rivi berusaha merangkai kata-kata di otaknya.
"Gw udah setahun lebih pacaran sama Nanda. Lumayan serius dijalani. Bulan lalu papanya sempet tanya ke gw tentang kapan gw ngelamar anaknya."
Rivi pikir lebih baik Dila tahu langsung dari mulutnya daripada dengar dari orang lain.
"Oh ya? Jadi lu udah siap untuk ngelamar Nanda?" tanya Edo. Walau semua berdiam, tapi mereka sangat menantikan jawaban Rivi. Termasuk Dila.
"Belum," jawab Rivi setelah berpikir sejenak. Ia berusaha melihat reaksi orang di sebelahnya, yang sedari tadi hanya melihat ke gelas kosong didepannya.
"Kenapa belum? Katanya lu serius."
"Iya gw serius sama hubungan gw sama Nanda. Gw selalu serius dari awal. Makanya gw melakukan dan mengambil keputusan yang semua orang bilang itu bodoh. Tapi sebenarnya gw juga gak pernah benar-benar melakukan yang Nanda minta."
Pernyataan Rivi barusan sama sekali tidak dimengerti oleh keenam orang yang duduk bersamanya. Mereka semua tahu bahwa permintaan Nanda adalah Rivi tidak dekat dan berteman lagi dengan Dila. Itu semua sangat jelas dilakukannya selama setahun ini. Apa maksudnya ia tidak benar-benar melakukannya.
"Maksudnya lu gak benar-benar melakukan yang Nanda minta itu apa?" tanya Andrew.
"Gw gak pernah benar-benar hilang."
Hening. Semua menunggu jawaban jelas dari Rivi.
"Gw selalu cari tahu apa yang terjadi tentang orang itu. Gw selalu baca tulisannya, gw selalu dengar ceritanya. Gw selalu dukung apa yang orang itu lakukan. Walau gw gak bisa ada di sana, atau gak bisa secara langsung menunjukkan dukungan gw, tapi gw selalu ingin selalu ada dan gak kehilangan satu momen tentang dia."
Semua saling menatap. Berusaha memahami maksud arti dari setiap kata yang diucapkan Rivi. Dila hanya berdiam diri. Tatapannya kosong mengarah ke gelas kosong di hadapannya.
"Gw memang gak bisa secara langsung jawab teleponnya atau balas setiap chat dan dm, tapi bukan berarti gw gak baca dan denger semuanya. Apa yang gw mau ungkapkan buat orang itu selalu terwakilkan, dan gw harap dia tahu bahwa itu gw."
"Jadi maksudnya, lu masih gak siap ngelamar Nanda karena orang itu?" tanya Rara.
Situasi berubah lebih dingin. Mereka semua ada dipihak Dila, dan Rivi tahu itu. Apa yang barusan diucapkan Rivi sama sekali tidak mengubah apapun. Kenyataan Rivi tidak ada buat Dila itu adalah fakta yang tidak bisa diubah. Karena walau ada orang-orang yang memberi tahu Rivi tentang Dila, sama sekali berbeda jika Rivi tahu dari Dila. Sama halnya dengan Dila yang sama sekali tidak tahu bahwa ada salah satu orang terdekatnya yang selalu bicara dengan Rivi tentang dirinya.
"Gw tahu banget bahwa keputusan satu tahun lalu itu bodoh. Tapi kalau ditanya apa gw akan melakukan hal yang sama, gw akan jawab iya. Karena kalau engga gw gak akan pernah tahu perasaan gw. Sama halnya, orang itu juga gak akan pernah tahu perasaan dia."
"Jadi setelah setahun ini lu menyadari bahwa lu lebih sayang sama orang itu daripada sama pacar lu?" tanya Andrew karena sama sekali gak mengerti sama cowok di depannya.
"Gw udah putus dari dua bulan lalu sama Nanda. Bulan lalu baru bisa kasih tau orang tuanya, makanya bokapnya tanya itu ke gw, tapi setelah itu kita jelasin."
Rivi sangat berharap Dila memberikan respon. Tapi cewek itu sama sekali tidak bereaksi. Diam dengan tatapan kosong.
"Gw kesini karena gw tahu ada kalian disini. Gw ketemu Nanda pas di lift dan gw bilang kalau mau ketemu Dila. Jadi dia temenin gw dan tiba-tiba bikin skenario yang kalian denger tadi."
Tidak ada satu orang pun yang menyangka akhir dari cerita Rivi. Sekarang mereka pun tidak tahu harus melakukan apa. Kelimanya saling menatap mencari jawaban apa yang harus dilakukan. Mereka jelas melihat Dila hanya berdiam sejak Rivi cerita.
Andrew mengerti situasi, ia memberikan tanda untuk teman-teman yang lain pergi meninggalkan Rivi dan Dila.
Kini yang duduk di meja panjang itu hanya tinggal Rivi dan Dila.
Lima menit berlalu, mereka berdua masih sama-sama tak mengeluarkan suara. Rivi terus menatap cewek yang duduk disebelahnya dengan lekat. Berusaha memahami apa yang dipikirkan dan dirasakannya.
"Mama ya?" Dila mulai bicara dengan pelan. Rivi kaget, tapi mendengar dengan jelas.
"Iya."
"Sorry Dil. I’m sorry," kata Rivi pelu. Ia sangat ingin memeluk Dila. Tapi hanya bisa menatapnya dari samping, berharap Dila melihat ke arahnya balik.
Mereka kembali terdiam.
Rivi tahu saat ini membiarkan Dila dengan pikiran dan perasaannya adalah hal yang paling tepat. Menunggu untuk Dila memahami semuanya dan akhirnya mengambil keputusan apa yang akan dia lakukan. Rivi sudah mengungkapkan apa yang ingin ia katakan. Sekarang yang hanya bisa dia lakukan adalah menunggu Dila.
Tiba-tiba Dila menegakkan duduknya, mendekatkan diri dengan meja, dan menutup mukanya dengan kedua tangannya. Melihat hal itu, tak menyadari sudut bibir Rivi membentuk senyuman. Ia tahu apa yang akan terjadi setelahnya.
Dila membuka tangannya, dan melihat ke arah Rivi. Mereka berdua saling tatap dan tersenyum.
Selesai.