Cerpen
Disukai
0
Dilihat
1,484
Perjalanan
Slice of Life

Jalanan adalah representasi Tuhan. Maksudku, ia selalu menghasilkan kebingungan. Kenapa ia harus tak berujung, rumit, dan menampung banyak manusia? Sudah berapa kali aku berjalan terlalu lama hingga merasa ada yang salah, berhenti di pinggir jalan, mengecek pedoman melalui Google Maps, berusaha menghapal rute, lalu berjalan lagi hingga merasa ada yang salah, lalu berhenti di pinggir jalan lagi, mengecek pedoman di Google Maps lagi. Untungnya Google Maps lebih mudah dimengerti ketimbang firman Tuhan. Berusaha menghapalnya sekali-kali membuatku menyadari betapa bodohnya diriku.

Saat aku berhenti untuk yang kesekian kalinya, pesan dari kawan yang akan kukunjungi rumahnya masuk.

“Sudah di mana?”

Aku membalas pesannya dengan menyebut sebuah nama jalan yang mengingatkanku pada sebuah kabupaten di Sulawesi Tengah. Nama kabupatennya Toli-Toli. Namanya cukup lucu jadi membekas di ingatanku. Ia mengingatkanku sekali lagi mengenai bentuk rumahnya dan aku harus mengabaikannya untuk saat ini karena aku harus segera mengambil keputusan harus berjalan lurus atau putar balik. Kubuka Google Maps, memutar-mutar layar handphone untuk menebak di mana posisiku pada peta saat ini. Aku menoleh ke belakang. Banyak sekali kendaraan. Astaga! Berapa banyak sebenarnya polusi kendaraan yang disumbang orang-orang di kota ini? Oke, aku mengerti sekarang. Aku harus berjalan lurus ke depan. Kumasukkan handphone ke dalam tas dan kupacu gas motorku.

Aku cukup beruntung karena cuaca tidak terlalu panas. Langit agak mendung dan udara kota ini saat ini adalah udara sehabis hujan. Lampu merah. Aku memelankan laju motorku. Sebuah baliho pasangan calon wali kota dan wakil wali kota yang ukurannya cukup besar jatuh menutupi semak-semak yang ada di pinggir jalan. Bambu yang seharusnya menopangnya patah. Aku menatap senyum pria yang ada pada baliho itu dan terpikir, apakah jika dia adalah nabi Tuhan akan memintanya untuk tidak pernah mencalonkan diri menjadi wali kota? Karena di baliho itu ia terlihat terlalu... palsu. Maksudku... Oh! Lampu hijau.

Maksudku, aku tahu ia tidak mungkin menjadi nabi. Jika..! Jika..! Kenapa pula Tuhan memilih orang palsu, dengan kata-kata palsu,... Tunggu sebentar! Apakah ini jalan yang benar? Aku menarik sudut bibir ke belakang, menautkan alis, dan menyipitkan mata. Ini adalah ekspresi saat aku sedang berpikir yang cenderung tidak setuju. Aku berhenti sekali lagi. Menghela napas. Lelah juga harus berhenti berkali-kali. Kukeluarkan handphone dari dalam tas dengan perasaan kesal. Memeriksa peta. Oh, ini jalan yang benar. Aku hanya perlu berjalan lurus hingga menemukan kanal. Setelah menemukan kanal, belok kanan. Oke. Kanal, lalu belok kanan. Oke. Tapi kenapa aku tiba-tiba merasa ragu tadi? Jelas-jelas aku sudah yakin bahwa aku hanya perlu berjalan lurus. Sepertinya ini adalah teguran dari Tuhan agar aku tidak berprasangka buruk terhadap orang lain. Bisa jadi pria yang ada di baliho itu hanya terlihat palsu, tapi sebenarnya dia tidak benar-benar palsu. Ini jalan yang benar ‘kan?

Daripada berprasangka buruk kepada orang lain, bagaimana kalau kita membahas kopi? Oh, tunggu. Karena terlalu sibuk dengan rute, aku sampai lupa kawan yang akan kukunjungi rumahnya memintaku membeli es kelapa muda tadi. Sekarang selain harus memerhatikan rute, rambu jalan, aku juga harus memerhatikan penjual es kelapa muda. Shit, man!

Aku menggeleng. Hahaha... umpatan macam apa itu?

Ngomong-ngomong soal kopi, aku dulu pernah terobsesi untuk mencoba kopi gara-gara membaca cerpen ‘Filosofi Kopi’ karangan Dee Lestari. Aku membeli berbagai kopi instan yang dijual di toko milik tetanggaku. Dan aku suka. Tapi itu ‘kan bukan kopi yang sebenarnya. Aku punya kesempatan untuk mencoba kopi yang sebenarnya setelah diajak kawanku ke sebuah kafe. Aku memesan ice Americano, tapi persediaan es mereka sudah habis. Jadi aku memutuskan untuk memesan hot Americano. Pahitnya luar biasa. Aku tidak suka dan itulah akhir dari obsesiku terhadap kopi.

Macet. Aku menghela napas. Di seberang jalan ada penjual es kelapa muda. Aku menggeleng. Menolak untuk merepotkan diri sendiri. Selama masih memercayai Tuhan, harapan akan selalu ada. Karena itu, aku yakin sekali di depan masih ada penjual es kelapa muda yang tidak akan membuatku perlu repot-repot untuk menyeberang jalan.

Aku sedang menimbang, apakah aku harus menyalip mobil di depanku ini atau tidak. Kopi. Karena huruf terakhirnya i, berarti iya. Aku memacu gas motorku. Berhenti tepat di belakang truk pengaduk beton. Aku melongok ke depan. Sekitar sepuluh meter lagi ada kanal. Setelah menemukan kanal, aku harus belok kanan. Seorang anak laki-laki dari arah belakangku berjalan sambil membawa sebuah kantong plastik berisi es kelapa muda. Aku menatapnya dengan tatapan iri. Ia terus berjalan ke depan. Ada sedikit perasaan menyesal yang membuatku menoleh ke seberang. Menatap penjual es kelapa muda yang ingin kuabaikan. Posisiku saat ini tidak cukup strategis untuk menyeberang jalan. Aku kembali menggeleng. Menatap ke depan. Menyalakan harapan. Aku akan menemukan penjual es kelapa muda lagi!

Aku berhasil berbelok ke kanan dan keluar dari kemacetan. Aku menghela napas panjang. Lega. Baiklah, saatnya berhenti lagi. Aku tidak tahu apakah plastik bisa menyuburkan tanaman atau tidak. Yang jelasnya pohon di depanku ini diberi camilan oleh warga di sekitar sini berupa plastik-plastik bekas camilan manusia. Secara estetika, lumayan sih. Tanah di sekitar pohon ini jadi terlihat lebih berwarna. Aku mengeluarkan handphone dari dalam tas. Memeriksa peta. Membolak-balik layar handphone lagi. Kebingungan sebentar. Menoleh ke sana-sini. Baik, aku harus berjalan lurus ke depan. Saat menemukan jalan besar, aku harus berbelok kanan lagi. Cukup itu yang kuhapal. Berusaha memaksa diriku menghapal lebih dari itu akan membuatku kebingungan sendiri. Aku memasukkan handphone ke dalam tas. Menoleh ke belakang sebentar sebelum memacu gas motorku. Dari mana, sih datangnya semua kendaraan ini?

Beberapa hari belakangan ini aku semakin kesulitan membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Apa yang selama ini kuanggap benar ternyata tidak benar-benar amat dan apa yang selama ini kuanggap salah ternyata tidak salah-salah amat. Ini membuatku jadi makin tak acuh pada nilai-nilai kebenaran. Ngomong-ngomong soal kebenaran, aku baru tahu kalau ternyata api tidak punya bayangan. Aku tidak pernah berpikir bahwa api punya bayangan, tapi aku juga tidak pernah berpikir bahwa api tidak punya bayangan. Maksudku, kenapa aku harus memikirkan apakah api punya bayangan atau tidak? Tunggu, apakah aku harus belok kiri di sini? Memang aneh sih, kalau sumber cahaya punya bayangan. Lampu juga tidak punya bayangan. Tidak. Aku harus mengecek sebentar, apakah aku berada di jalan yang benar atau tidak.

Aku berhenti di depan sebuah toko kelontong. Memeriksa peta. Oh, sudah benar. Aku merasa lega. Kumasukkan handphone ke dalam tas. Aku menoleh ke belakang sebelum memacu gas. Di jalan ini kendaraan tidak begitu banyak, tapi mereka melaju dengan kecepatan tinggi.

“Fuck.”

Umpatan pertama yang keluar dari mulutku sepanjang perjalanan. Mobil di belakangku tiba-tiba mengklakson dan aku terkejut. Meski perjalanan ini membuatku cukup stres dengan segala kerumitannya, aku tidak mengumpat sebanyak kalau aku di rumah saja. Sepertinya perjalanan ini membuatku merasa lega karena bisa keluar dari rumah. Oh hei, ada baliho yang jatuh lagi. Tapi kali ini baliho pasangan calon wali kota dan wakil wali kota yang berbeda.

Bagaimana, ya perasaan warga Desa Konoha yang bisa terus melihat wajah para pemimpin desanya terpampang sangat jelas setiap hari? Apakah mereka baik-baik saja? Maksudku, setiap pemimpin ‘kan pasti punya pembenci.

Atau tidak?

Oh, di sini aku seharusnya berbelok ke kanan. Setelah belok kanan, apa lagi? Aku harus mengecek peta. Dan seketika lagu ‘Dora The Explorer’ yang liriknya berbunyi, “aku peta! Aku peta!” terputar di kepalaku, lengkap dengan visualisasi peta yang tersenyum sangat ceria di layar tv. Apakah peta memang seharusnya seceria itu? Manusia bisa merasa sangat bosan dengan pekerjaannya dan berhenti menunjukkan wajah ceria. Memangnya peta tidak, ya?

Aku berhenti di sebelah halte. Halte ini masih terpakai tidak ya?

Oh, aku hanya tinggal berjalan lurus dari sini. Sebentar lagi aku tiba! Astaga, senangnya. Tancap gas!

Ohh... jadi ini kampus yang terkenal itu?

Nama kampusnya terpampang sangat jelas. Tegas dan berwibawa. Beberapa orang berfoto di depan nama itu. Di depannya lagi ada sebuah danau dengan air mancur pada bagian tengahnya. Ada masing-masing jalan pada kedua sisi danau. Aku melihat satu-dua motor melintas. Awan terpantul pada permukaan danau yang hijau dan penuh riak. Pemandangan ini membuatku merasa... biasa saja.

Danau ini ada ikannya tidak ya?

Aku hanya perlu terus berjalan lurus dari sini. Macet lagi. Astaga...

Kakiku pegal dan aku sangat lelah. Aku hanya ingin segera tiba. Aku menghela napas panjang berkali-kali. Oke, begini. Yang perlu kulakukan begitu tiba di sana adalah; pertama-tama, duduk, kedua, meminta minum, ketiga, mengeluh tentang betapa melelahkannya perjalanan ini. Aku melongok untuk memeriksa pangkal kemacetan dan tidak ada! Aku tidak bisa melihat ujung dari kemacetan ini! Jika jalanan adalah representasi Tuhan, maka pangkal kemacetan adalah representasi hari kiamat. Ia akan tiba, namun tidak ada manusia yang tahu kapan waktunya. Berdiam diri di tengah kemacetan seperti ini membuatku tiba-tiba ingin memakan es kelapa muda. Kenapa, ya?

Oh...

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)