Flash
Disukai
0
Dilihat
1,817
Biskuit Kelapa
Religi

Tadi saya bersama seorang teman – sebut saja ia Biskuit Kelapa (identitas disamarkan demi kenyamanan bersama) – berada di parkiran motor. Kami sudah membayar parkiran motor kami yang ternyata tarifnya sudah naik dari Rp2.000,- menjadi Rp3.000,-. Kami membawa motor masing-masing, jadi kami harus membayar Rp6.000,-. Dengan uang Rp7.000,-, Kami memperoleh kembalian sebesar Rp1.000,-.

Iya, paham. Anak TK yang doyan jajan juga tahu.

Uang koin Rp1.000,- itu ada di genggaman Biskuit Kelapa. Sembari menunjukkannya padaku ia mengatakan, “kau sebaiknya menyedekahkan ini, menyumbangkannya ke masjid atau memberikannya pada seseorang. Tapi tidak ada masjid di sekitar sini. Ah! Kita bisa memberikannya pada anak itu.” Ia menunjuk seorang anak yang sejak tadi berkeliaran di parkiran itu. “Kau tahu, sedekah adalah hijab yang melindungi dari api neraka,” ucapnya dengan dramatis. “Jadi banyak-banyaklah bersedekah…”

Aku sudah tidak mendengarkan kalimat selanjutnya karena jalan raya begitu berisik (alasan baik) atau telingaku sudah cukup bosan mendengar ocehannya (alasan jahat). Kusarankan kalian untuk memercayai alasan pertama.

“Kau saja yang melakukannya.”

Kami menyalakan motor dan sudah dalam keadaan siap untuk meninggalkan parkiran itu, namun ia terus mengajakku ngobrol dan membuat kami berdua tertahan cukup lama di parkiran itu. Anak yang ia tunjuki tadi melintas dan seperti yang disarankannya padaku, ia menyerahkan koin Rp1.000,- itu pada anak itu. Seorang anak lain menghampiriku. Maka kuamalkan apa yang tadi dinasihatkannya. Kuserahkan lembaran Rp2.000,- pada anak itu.

“Aku tidak biasa melakukan hal seperti ini.” Maksudku memberikan sumbangan pada orang di jalan.

“Aku juga,” jawabnya yang dilanjutkan dengan keluhan soal betapa hari telah malam dan betapa kenyang dan lelahnya ia.

Jika ia tidak sedang merendahkan diri dengan mengatakan bahwa ia tidak biasa melakukan tindakan mulia ini, maka aku akan menarik kesimpulan bahwa : “Aku melakukan kebaikan itu karena ia telah menasihatiku untuk melakukan kebaikan itu. Dan ia melakukan kebaikan itu karena ia telah menasihatiku untuk melakukan kebaikan itu dan merasa harus menunjukkan padaku cara untuk mengamalkan nasihatnya itu.”

Dan karena nilai ibadah itu tergantung niat, maka aku tidak bisa memastikan bahwa apa yang kami lakukan itu akan menghasilkan pahala atau tidak (kalau ini hak prerogratif Tuhan, sih). Namun setidaknya dampak positif dari tindakan kami ini adalah ‘mungkin’ sedikit kepuasan bagi anak itu dan ‘mungkin juga’ (semoga) sedikit kebahagiaan.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)