Masukan nama pengguna
Barangkali benar Kyai Gurda. Beliau bilang,
kalau rumah yang aku kontrak dua tahun lalu itu berhantu.
Perempuan cantik berambut panjang, tubuh semampai
PINTU terbuka saat aku terbangun. Padahal semalam, pintu itu aku kunci dari dalam. Siapakah yang datang? Hingga ambang siang aku belum menemukan jawabannya. Yang jelas ia bukan maling. Sebab tidak satu pun barang hilang di dalam rumah kontrakanku. Komputer masih menyala di meja kerja. Buku-buku masih utuh tertata rapi di raknya. Ponsel masih tergeletak di samping printer. Motor di ruang tamu yang sempit tidak bergeming dari tempatnya. Piring, gelas, garpu, sendok masih menumpuk di bak cucian.
Tidak seorang tahu siapa yang datang di rumahku. Semua tetangga yang aku tanya selalu menggelengkan kepala. Barangkali benar Kyai Gurda. Beliau bilang, kalau rumah yang aku kontrak dua tahun lalu itu berhantu. Perempuan cantik berambut panjang, tubuh semampai, dan mengenakan gaun pengantin. Dialah Nyai Pandan Wangi yang sudah ratusan tahun menghuni rumah kontrakanku. Tapi aku belum pernah ditemuinya. Di alam nyata atau mimpi. Aku dibuat pusing seribu satu keliling.
Aku bangkit dari kursi kayu. Hasrat hati ke rumah Kyai Gurda. Menanyakan misteri yang terjadi di rumah kontrakanku. Sebelum menghidupkan mesin motor yang telah aku keluarkan di halaman rumah bersemen, ponsel di dalam ruang kerja berdering. Mas Yos. Lelaki paruh baya yang lama tak ada kabar beritanya itu muncul di layar ponsel. “Halo Mas. Sibuk ya? Kok kamu tak pernah membalas sms-ku?”
“Waduh Dik, maaf! Dua bulan ponselku tertinggal di rumah, tatkala aku studi banding budaya di Belanda.”
“Hebat!”
“Biasa, Dik.”
“Sekarang Mas Yos di Jakarta kan?”
“Kemarin. Cuma sehari. Aku sekarang di Jogja. Di Garuda Hotel lantai 4 kamar nomer 7. Nanti sore aku harus bertemu dengan Dr. Syam. Dosen tamu Sastra Nusantara Universitas Gajah Mada. Kau mengenalnya?”
“Belum. Hanya namanya yang sering aku dengar. Beliau, dosen pacarku. Ivonnakova Svetlana yang baru pulang ke Amsterdam.”
“Ivonnakova Svetlana?”
“Ya. Mas Yos mengenalnya?”
“Apakah ia berambut pirang, lurus, dan panjang sampai ke bahu?”
“Benar.”
“Apakah tubuhnya tinggi semampai?”
“Benar.”
“Bertahi lalat di atas bibirnya yang sebelah kanan?”
“Benar.”
“Apakah ia seorang pelukis?”
“Bukan. Memang, Ivon pernah belajar melukis padaku. Tetapi setahuku, Ivon tidak pernah melukis. Ia lebih tertarik menulis sastra. Karya-karyanya sudah banyak dimuat di beberapa media Indonesia. Tahun ini ia akan meyelesaikan novelnya.”
“Sudah. Lupakan saja itu, Dik! Ada yang lebih penting.”
“Oh, ya? Apa, Mas?”
“Kamu harus datang ke Garuda Hotel. Aku punya oleh-oleh khusus buatmu. Aku juga punya informasi penting yang bakal membahagiakanmu. Bagaimana? Bisa?”
“Aku pasti datang. Tigapuluh menit aku sampai di situ.”
“Sungguh?”
“Ya.”
“Saya tunggu di kafe dekat ruang lobby.”
“Terima kasih, Mas.”
Ponsel aku matikan. Seketika hasratku untuk menemui Mas Yos lebih penting ketimbang bertandang ke rumah Kyai Gurda. Sesudah membasuh tubuh di kamar mandi, berdandan rapi, dan menyemprot ketiak dengan parfum murahan, aku lajukan motor. Melintasi jalanan yang semakin dipadati kendaraan dengan kepulan asap pekat dari knalpotnya. Belum tigapuluh menit, kakiku menapaki ruang parkir hotel.
Berjalan setengah berlari, aku memasuki hotel. Di dalam kafe yang masih sepi pelanggan, Mas Yos duduk di bangku paling sudut. Menghadapi secangkir kopi yang masih mengepulkan asap. Membaca harian. Mengisap sigaret kretek. Wajahnya mencermikan kegairahan hidup di usianya yang hampir senja. “Halo, Mas Yos.”
Mas Yos tidak menjawab. Hanya bibirnya yang melontarkan senyum. Melipat harian. Meletakkannya di meja. “Pesan minuman, Dik! Kopi, orange juice, pop ice, atau apa yang kamu suka. Terserah!”
“Kopi saja, Mas.”
“Dasar seniman.” Mas Yos tertawa renyah. Mencecek sigaretnya di asbak porselin. Memesan kepada seorang pelayan wanita yang melintas membawa nampan berisi dua gelas kosong dari meja lainnya. Dari saku pantalonnya yang terseterika, Mas Yos mengambil beberapa post card dengan foto lukisan figur perempuan Jawa. Menunjukkannya padaku. “Kamu pernah melihat lukisan-lukisan ini?”
“Belum Mas. Tetapi kalau menangkap nuansa yang dibangun melalui goresan, aku memastikan bahwa pelukisnya perempuan.”
“Benar. Kamu tahu siapa pelukisnya?”
“Belum sama sekali.”
“Sebaiknya kamu melihatnya sendiri.” Mas Yos meletakkan semua post card itu di meja. “Di balik foto-foto lukisan ini terdapat nama, foto, dan biografi penciptanya.”
Bersama pelayan perempuan yang meletakkan secangkir kopi di meja, aku raih post card-post card itu. Saat mengamati nama, biografi, dan foto pelukisnya, aku seperti tersambar petir musim kemarau. Foto-foto lukisan itu karya Ivon. “Dari mana Mas Yos mendapatkan semuanya ini?”
“Dari pelukisnya sendiri.” Pandangan Mas Yos menerawang jauh. Tajam serupa anak panah yang menembus langit-langit menuju angkasa lepas. “Ivonnakova Svetlana. Darinya yang kebetulan sekursi denganku sewaktu terbang dari Amsterdam menuju Jakarta, aku mendapatkan semua post card ini. Berbahagialah dirimu! Karena kamu telah mampu mencuri hatinya.”
“Mengapa Ivon sampai bercerita tentang kisah pribadinya kepadamu, Mas. Orang yang baru saja dikenalnya.”
“Karena Ivon percaya ceritaku yang berawal tentang keaneka-ragaman seni dan budaya Indonesia hingga beberapa nama senimannya. Termasuk namamu, Dik. Pelukis berbakat yang pernah pameran di sebagian negara Eropa. Termasuk Belanda.”
“Berarti Ivon sekarang di Jakarta?”
“Kemarin. Entah sekarang. Mengapa tidak kamu kontak saja?”
“Ivon tidak suka ponsel.”
Mas Yos mengangguk-anggukkan kepala. Mengambil bungkusan dari bawah meja. Membukanya. “Hanya buku-buku ini yang dapat aku berikan padamu. Semoga bermanfaat guna mendukung proses kreatifmu.”
“Vincent Van Gough. Dari buku-buku ini saya dapat mengenal proses kreatif dan karya-karya pelukis legendaris dunia itu. Terima kasih, Mas.”
“Kamu menyukainya?”
“Aku membutuhkannya.”
Mas Yos mengamati jam di pergelangan tangan. “Maaf Dik. Aku harus mempersiapkan bahan pertemuan dengan DR. Syam.”
“Kalau begitu aku permisi dulu. Mas.”
“Hati-hati!”
“Terima kasih.” Aku jabat telapak tangan Mas Yos erat-erat. Sesudah membungkus buku-buku itu, aku meninggalkan hotel. Melintasi jalan raya yang semakin sibuk. Karena langit mengisyaratkan lewat awan pekat bahwa hari segera turun hujan, aku lajukan motor dengan kencang. Tak sabar untuk mengetahui isi buku-buku itu. Hingga terlupakan rencanaku untuk bertandang ke rumah Kyai Gurda.
Bersama kilat menggores langit, guntur meledak, dan tumpahnya hujan; aku telah memasuki teras rumah. Angin yang menggoncang-goncangkan pepohonan mendobrak pintu hingga terbuka. Membentur dinding sangat keras. Jantungku sontak berdegup kencang. Bulu kudukku berdiri seperti bulu landak. Seorang perempuan duduk membelakangiku dengan pakaian pengantin di ruang tamu. Bergaun dan berkerudung sutra putih. “Enyahlah Nyai Pandan Wangi! Rumah ini bukan persinggahanmu.”
Perempuan itu memalingkan muka ke arahku. Aku tak menduganya, kalau ia bukan Nyai Pandan Wangi. Melainkan, Ivonnakova Svetlana. Tatapan matanya terkesan aneh. “Apakah kamu pangling denganku, Win?
“Tidak. Maaf, Von.” Bergegas aku memasuki rumah. Duduk merapat di sampingnya. “Kapan kamu datang di Jogja?”
“Sampai di bandara Adi Sucipto jam 5 pagi. Aku langsung meluncur ke sini. Karena kamu masih tidur, aku ke kota dengan taksi yang sama. Menyusuri Malioboro, Alun-alun Utara dan Selatan, Pasar Ngasem, dan Prawirotaman yang masih lengang. Menjelang siang aku tiba di rumah ini, sesudah mengambil gaun pengantin dari seorang perancang tersohor. Satu bulan sebelum pulang ke Belanda, aku telah memesannya.”
“Jadi?”
“Kita nikah, Win. Mama dan Papa merestui. Mereka bangga padamu, sesudah menyaksikan karya-karyamu yang dipamerkan di sebuah galeri terkemuka di Amsterdam. Kemasi barang-barangmu. Sekarang kita ke Bandara. Kita nikah di Bali. Mama-papa sudah menunggu di sana.”
“Kamu gila, Von!”
“Cinta memang gila, Win!”
“Baik. Aku penuhi permintaanmu.”
“Sungguh?”
“Ya. Tapi….”
“Apa?”
“Kamu harus menjawab pertanyaanku dengan jujur. Apakah sewaktu kamu terbang dari Amsterdam menuju Jakarta sekursi dengan Mas Yos? Memberikan post card-post card yang bergambar foto-foto lukisanmu. Aku tidak menyangka ternyata kamu seorang pelukis.”
Tidak ada sepatah kata meluncur dari bibir Ivon. Ia hanya tertawa ngakak. Membuka tas punggungnya. Mengambil beberapa post card. Post card-post card yang diletakkannya di meja itu tidak berbeda dengan yang dibawa Mas Yos. “Apakah post card-post card semacam ini yang diberikan pada temanmu?”
“Benar.”
“Win, semalam saudara kembarku kontak ke ponsel Mama. Bercerita, ia telah bertemu dan memberikan semua post card-nya pada lelaki bernama Yos itu. Ia pun minta maaf padaku karena telah mengaku pacarmu. Maklum, ia sangat mengagumi karya-karyamu.”
“Mengapa wajah dan nama kalian serupa?”
“Satu yang membedakan di antara kami. Kakakku memiliki tanda lahir di paha sebelah kiri. Aku memilikinya di punggug sebelah kanan. Kamu pernah melihatnya kan, Win?” Ivon tersenyum tipis. Bibirnya yang menyerupai setangkup mawar merah hati itu menyembunyikan perasaan malu. “Sekarang kamu percaya?”
“Ya!”
“Bagus.” Ivon membuka kardus yang berada di atas meja. Mengambil seperangkat busana pengantin bergaya Jawa. Blangkon, surjan, jarik, dan pendok gaya Yogyakarta. “Kenakan busana pengantin yang telah aku siapkan untukmu ini, Win!”
“Kau gila. Benar-benar lebih gila dariku. Aku bangga padamu.”
“Hentikan bualanmu! Ucapkan kalimat sakral itu hanya pantas kamu ucapkan sesudah menikahiku.”
Tanpa berfikir panjang, aku kenakan busana itu. Sesudah hujan reda dan langit kembali membentang seperti payung safir, aku raih tangan Ivon menuju bandara dengan taksi yang tanpa setahuku telah menunggu di halaman rumah. Mengantarkan kami menuju bandara menjelang sore.
Di dalam pesawat, aku lupakan rencana bertandang ke rumah Kyai Gurda, Nyai Pandan Wangi, dan buku-buku tentang Vincent Van Gough. Satu yang terpikirkan bahwa malam nanti aku bakal menikahni Ivonnakova Svetlana. Peristiwa dahsyat yang melampaui kedahsyatan lukisan atau karya sastra dunia. Peristiwa yang merupakan ambang bakal datangnya tamu istimewa. Matahari baru!