Masukan nama pengguna
Penjaga Kubur Itu Dulu Berjualan Sate Anjing
Cerpen Havel Rajavani
DIRMAN keluar dari Mapolsek dipapah Kolis, anaknya yang kepayahan menahan tinggi dan berat tubuh ayahnya. Wajah Dirman bengkak dan tubuhnya lebam di beberapa tempat. Ia berjalan pincang. Kaki kirinya mungkin retak. Sakit sekali kalau diinjakkan. Itu terlihat dari ekpresi wajahnya yang menahan nyeri.
Mereka berdua lalu menunggu angkutan umum. Lalu untuk sampai ke rumah disambung dengan becak. "Sudah, Nak, kita tak usah bikin sate anjing lagi. Kita cari kerja yang lain saja," kata Dirman. Ia berbaring lemah di bale-bale gubuk, setelah susah payah turun dari becak tadi.
"Mau kerja apa, Pak?" tanya anaknya. Dirman terdiam. Dia belum bisa memikirkan mau melakukan apa untuk mendapatkan uang. Lalu Dirman tertidur gelisah.
Sudah cukup lama Dirman dikenal sebagai penjual sate anjing. Bukan berjualan tepatnya. Ia hanya memasak sate jika ada pelanggan datang membawa daging anjing. Ia menerima uang jasa memasak. Sate Dirman, bumbu dan sambalnya, terkenal nikmat. Racikannya sederhana tapi berbeda.
Suatu hari, datang seorang membawa daging anjing untuk dibikin tongseng, gulai, dan sate. Orang itu rupanya polisi. Daging yang dibawanya rupanya anjing pelacak milik polsek. Itulah yang membuat Dirman, beberapa hari kemudian dijemput, masuk sel beberapa hari, dan dipukuli, tanpa bisa membela diri. Dengan bukti sisa-sisa kulit dan beberapa bagian tubuh anjing, Dirman dituduh mencuri dan membunuh anjing pelacak polisi.
Kolis benar. Susah sekali bagi Dirman menemukan pekerjaan atau apa saja yang bisa dikerjakan untuk mendapatkan uang sekadarnya. Beberapa orang datang bertanya apakah Dirman masih mau memasak sate anjing. Dirman menolak. Masih trauma. Itulah yang akhirnya membuat dia menerima pekerjaan itu: menjadi penjaga kuburan. Penjaga lama meninggal. Dirman kenal baik dengannya. Rumah dinasnya di dekat gerbang masuk kuburan. Gubuk Dirman di pojokan lain. Agak sepi. Cocoklah untuk kegiatan memasak sate anjing sebagaimana yang ia lakukan sebelum ia menghentikan pekerjaan itu.
Sejak menjadi penjaga kuburan, hidup Dirman dan anaknya Kolis berubah menjadi sedikit lebih tenang. Ada penghasilan tetap dari honor. Tak banyak memang tapi lumayan. Kadang juga tips dari peziarah atau dari keluarga yang memakamkan sanak saudaranya. Ada juga upah tambahan kalau Dirman ikut menggali kubur. Meski sedikit Dirman bisa menabung.
Kolis dengan malas-malasan sesekali membantu.
Sejak ditinggal pergi oleh istrinya yang berselingkuh dengan seorang sopir truk, Dirman hidup bersama anak lelakinya itu. Sudah 17 tahun usia Kolis sekarang. Dirman sebenarnya mengizinkannya – atau tepatnya - menyuruhnya pergi. Merantau, terserah mau ke mana. Mencari jalan hidup sendiri, mengubah nasib. Tapi, anak itu tak tega meninggalkan ayahnya.
Pada suatu malam Kolis bicara pada Dirman.
"Pak, apa bapak punya uang simpanan? Kolis mau jadi driver ojek onlen, Pak. Kayaknya lumayan juga penghasilannya.
"Ya. Ada, tapi paling hanya cukup untuk bikin SIM. Kalau mau beli motor ngumpulin yang dulu buat DP. Apa bisa nyicil nanti?"
"Kata teman-teman sih bisa, Pak. Ada yang sudah hampir lunas. Si Surip sekarang bahkan sudah nyicil satu motor lagi buat adiknya. Motor yang pertama sudah lunas…."
Kolis senang, akhirnya dia lulus tes dan dapat SIM. Dirman juga senang. Tapi juga cemas. Sekarang dia harus mengumpulkan uang lagi untuk DP motor. Ada yang menawari sewa motor harian, hasilnya dibagi dua. Kolis tak mau, dia menunggu punya motor sendiri saja.
Dirman mencoba lebih banyak menggali liang kubur. Ia juga menghapal doa arwah dan membeli peci dan sorban. Menjadi juru doa ternyata besar juga penghasilannya. Apalagi pada musim nyekar di awal Ramadan atau di menjelang Idulfitri.
Tapi, Dirman tak bisa lagi dipaksa bekerja terlalu keras. Kondisi tubuhnya tak lagi bisa pulih sejak ditangkap dan masuk sel dulu itu. Sesekali pada retakan tulang kakinya timbul nyeri. Mungkin retakan itu tak pernah sepenuhnya menyatu kembali.
Dirman jatuh sakit. Dia kelelahan.
"Apa kita sementara masak sate anjing lagi, Pak?" tanya anaknya. "Kadang-kadang, kalau nongkrong di pangkalan suka ada yang nanya juga, Pak."
"Ndak usah. Ndak berkah. Ini kita sudah dikasih rezeki yang baik. Sabar saja. Pasti nanti terkumpul uang untuk beli motor."
Nyatanya, Dirman makin parah sakitnya.
"Pak, ini ada motor teman mau ditekoper. Kreditnya tak sampai dua tahun. Murah, Pak," kata anaknya. Dirman hanya bisa bilang, iya, nanti kalau Bapak sembuh. Nyatanya Dirman tak pernah benar-benar sembuh. Batuknya semakin parah, dan nafasnya semakin berat. Nyeri di kaki kirinya pun semakin menyiksa.
Apakah ini namanya rezeki yang datang dari jalan yang tak terduga-duga? Dirman dan Kolis tak tahu. Mungkin saja iya. Sore itu ada seorang yang mengaku utusan orang paling kaya di kota kecamatan itu menemui Dirman dan Kolis. Dia menawarkan sejumlah uang kes yang nilainya bahkan cukup untuk beli dua motor baru.
"Begini, Pak Dirman. Ibu si orang kaya ini dulu pernah ngaji ilmu hitam. Semacam pesugihan begitulah. Sekarang beliau sakit keras. Sudah lama, sembuh tidak mati juga tidak. Kata dukun, beliau hanya bisa sembuh atau mati hanya kalau makan sate daging orang."
"Daging manusia maksudnya?"
"Iya. Daging manusia… Saya sudah tanya ke beberapa tukang sate, tak ada yang mau. Lalu ada yang menyarankan saya ketemu Pak Dirman… Bener ‘kan dulu Pak Dirman berjualan sate anjing? Apa bapak mau memasak sate manusia?"
“Seperti sate biasa?” tanya Kolis. Dirman menggeleng lemah.
“Ya, terserah bumbu kecap atau bumbu kacang sama saja… Ini saya minta tolong betul. Kalau bisa….”
Dirman dan Kolis berpandangan. Kolis membayangkan motor baru dan jenazah orang yang baru tadi sore dimakamkan. Kolis membantu Dirman menggali kuburnya. Dia bayangkan tak terlalu sulit kalau harus menggalinya lagi. Dirman menggeleng lemah.
“Ini saya tinggalkan sedikit uang. Anggap aja DP. Kalau tak jadi tak apa-apa,” kata lelaki utusan orang kaya itu. “Kalau jadi antarkan besok…. Ini alamatnya. Nanti cari dan temui saya.”
Keesokan harinya, agak sore, Kolis mengantarkan sate manusia itu ke rumah si orang kaya. Untuk membuktikan keasliannya, Kolis tak boleh pulang sebelum si ibu yang sakit menyantap sate itu. Nyatanya, setelah menghabiskan dua tusuk, ajaib, si ibu yang tadinya pucat langsung berubah segar, wajahnya seperti dialiri datah, dan dia berteriak, "Dirman! Dirman!"
Kolis terkejut.
Dia yakin ayahnya tak kenal dengan si ibu.
Si dukun manggut-manggut dan mendekati si ibu, memegang kepalanya. Lalu melakukan satu gerakan mengejutkan dan merapalkan mantra dengan cepat dan dengan suara turun-naik. Si ibu lalu meraung, seperti ada benda tajam dicabut dari tubuhnya. Tubuhnya menegang lalu perlahan melemah.
“Innalillahu wainna ilaihi rajiun….” kata Si Dukun. Diikuti semua orang yang hadir di rumah itu.
Kolis terdiam. Wajahnya pucat dan badannya gemetar.
Kolis seperti terguncang.
Si utusan yang datang menemui Kolis dan Dirman menyerahkan amplop berisi uang yang dijanjikan. "Omong-omong, Pak Dirman mana? Kok gak ikut ke sini, apa beliau masih sakit?"
"Bapak kemarin malam meninggal, Mas..." kata Kolis.
© Habel Rajavani, 2019-2024