Cerpen
Disukai
27
Dilihat
8,141
MEMILIH SATU DIANTARA DUA
Religi

Tak pernah mudah memilih satu di antara dua. Terlebih lagi memilih seseorang yang akan menjadi pasangan hidupku....

Aku tak mengerti mengapa semua ini bisa terjadi. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan. Apakah aku harus membalas perasaan dari seorang gadis baik-baik yang berasal dari keturunan baik-baik dan memiliki latar belakang yang baik pula yang dikenalkan padaku, ataukah aku harus menolong seorang gadis sederhana dari kehidupannya yang perlahan-lahan mencabar dan mempertaruhkan aqidahnya....

Namanya Fahidah Imran, anak satu-satunya dari seorang tokoh agama. Dia seorang gadis yang memiliki segalanya. Kecantikan, kepintaran, pendidikan yang tinggi, pekerjaan dan juga keluarga yang terpandang. Namun walaupun dia telah memiliki semua itu, dia tetap sederhana dan bersahaja bersama ilmu yang dia miliki. Dia tetap seorang gadis yang memandang bahwa segala yang dia miliki hanyalah milik Allah semata. Tak ada yang perlu disombongkan. Apalagi dibanggakan.

Orangtuanya yang mengenalkannya padaku. Kedua orangtuanya datang menghadap ibuku, satu-satunya orang tua yang masih kumiliki, datang bersama anak gadisnya dengan maksud untuk mendekatkan dan menjalin persaudaraan di antara dua keluarga. Keluargaku dan keluarganya.

Aku tak pernah mengerti apa yang membuat kedua orangtuanya mau menjodohkan diriku dengan anaknya. Aku hanyalah seorang pemuda biasa yang bekerja sebagai pegawai pemerintahan di dinas sosial. Almarhum ayahku juga seorang pns. Begitu juga ibuku yang kini telah pensiun. Kehidupanku juga sederhana, kami tak memiliki kekayaan yang berlebihan. Namun satu hal yang terus ku pegang dan ku pertahankan adalah kehidupan beragama. Itulah harta berharga yang diwariskan almarhum ayahku dan terus diingatkan ibuku agar aku tetap mengagungkan Tuhanku, mencintai nabiku dan bangga pada agamaku.

Aku tersenyum memandangnya saat kami diberi kesempatan berduaan di teras rumahku untuk mengenal satu sama lain.

Dia balas tersenyum tersipu malu dengan rona merah di pipi pada wajahnya yang berselindungkan jilbab merah muda.

“Assalamualaikum.” Aku mencoba memulai percakapan.

Dia kembali tersenyum. “Wallaikumsalam.”

Aku menjelaskan nafas sejenak. “Adik apa kabar?”

“Baik.” Jawabnya. “Abang sendiri kabarnya bagaimana?”

“Baik juga.”

Lalu kami tersenyum dan tertawa kecil saat menyadari betapa kakunya percakapan dan keadaan di sekeliling kami. Dan perlahan-lahan kekakuan itu mencair berganti dengan keakraban dan kedekatan yang kini datang di hati kami berdua.

Sejak saat itu dia semakin dekat denganku. Dia selalu mengirimkan pesan berisi perhatian untukku, menanyakan apakah aku sudah makan, apakah aku sudah sholat dan berbagai perhatian lainnya. Walaupun kami tak pernah berdekatan sebagai sepasang kekasih karena kami masih berpegang pada pedoman agama bahwa hubungan kami ini adalah sebuah taaruf, namun aku menyadari bahwa kini kami menjadi semakin dekat hingga menumbuhkan sesuatu di dada kami. Di hatiku. Juga di hatinya.

Semakin lama aku mengenalnya semakin aku mengangguminya. Dia begitu lembut, anggun dan bijak. Bahwa agama dan ilmu yang melekat pada dirinya begitu tertanam kuat dan menjadi dasar dari setiap tindakan dan prilakunya. Dia menjaga dirinya dengan baik, walau dia mengakui bahwa sejak mengenalku kini ada yang tumbuh dan bersemi indah di hatinya. Dia memiliki kelebihan yang hanya dimiliki oleh para wanita berupa kelembutan, kesabaran dan perasaan welas asih yang sangat besar. Dia menjaga dirinya dengan sangat sempurna dari segala hal yang dilarang agama. Dan semua itu ingin dia sempurnakan dalam sebuah ibadah yang diperintahkan Allah bagi mereka yang telah akil baliq dan memiliki kemampuan untuk melaksanakannya, pernikahan.

Dia sangat jauh berbeda dengan Wulansari, seorang gadis yang ku kenal dari sebuah dunia malam saat aku dan rekan-rekan setugasku mengadakan razia dan penyuluhan sebagai bagian dari pekerjaanku. Wulan, begitu aku memanggilnya, adalah seorang pelayan di sebuah karoke. Aku mengenalnya saat dia bersembunyi menggigil ketakutan di bawah meja karena karoke tempat dia bekerja di razia sebagai bagian dari protes masyarakat.

Saat aku menemukannya di bawah meja dengan wajah panik dan tegang bersama air mata yang mengalir di pipinya dan suaranya yang menggigil ketakutan, rasa kasihan mendatangi hatiku. Dia seorang gadis yang menurutku lebih pantas berada di sekolah untuk menimba ilmu daripada menjadi pelayan di dunia malam yang penuh dengan kemaksiatan. Dan aku begitu iba melihatnya.

Maka aku selamatkan dia dari razia malam itu. Aku membawanya ke sebuah tempat yang aman yang terpisah dari orang-orang yang telah melupakan agama dan Tuhan. Aku menyelamatkannya agar dia tidak semakin tenggelam dari pekerjaannya yang mempertaruhkan agama, aqidah dan harga dirinya sebagai seorang wanita muslimah.

Sejak saat itu dia semakin dekat denganku. Aku yang mencarikan pekerjaan yang layak untuknya. Aku jadi mengenal keluarganya karena dia memperkenalkannya padaku saat aku berkunjung ke rumahnya.

Ternyata dia seorang yatim, sama sepertiku. Yang membedakannya adalah dia memiliki seorang adik perempuan, sedangkan aku anak tunggal. Dia baru berusia delapanbelas tahun, usia di mana seorang gadis remaja mekar bersemi dengan mengenal berbagai hal tentang indahnya kehidupan dunia remaja. Namun di usia itu juga yang memaksanya untuk menjadi seorang wanita yang dewasa sebelum waktunya.

Ibunya sakit-sakitan. Demi menanggung kebutuhan keluarga dia terpaksa berhenti sekolah dan menjadi tulang punggung keluarga demi menyambung hidup, membantu ibunya dan menyekolahkan adiknya yang duduk di kelas dua smp.

Dia baru beberapa minggu kerja di karoke saat peristiwa razia itu. Dia bercerita betapa sebenarnya dia tidak menginginkan bekerja di tempat seperti itu. Ibunya tak pernah tahu. Ibunya hanya mengetahui bahwa dia bekerja di sebuah restoran yang selalu ramai dan memaksa pegawainya untuk selalu lembur. Ibunya tak pernah tahu bahwa hampir setiap malam semua tangan laki-laki ingin menjamahnya, semua mata laki-laki menjelajahi lekuk tubuhnya dan semua laki-laki bernafsu ingin menikmatinya.

Dan dia sangat bersyukur bahwa dia masih bisa menjaga dirinya baik-baik, hingga akhirnya aku datang dan menjadi penyelamat dirinya. Itu yang dia katakan dan dia sangat-sangat berterima kasih karena aku mau membantu mencarikan pekerjaan yang lebih baik untuknya tanpa dia harus mempertaruhkan harga diri dan kehormatannya sebagai seorang wanita.

Aku kagum padanya. Di usianya yang masih begitu muda dia sudah bisa memikul tanggung jawab yang begitu besar. Dia terlihat sebagai wanita istimewa di mataku. Kelebihan dan kehebatan seorang wanita ada dalam dirinya. Punggung kecilnya begitu tegar menjadi penopang kehidupan keluarganya. Bahunya yang lembut selalu ada saat keluarganya menangis membutuhkan perlindungan. Dan dadanya yang terlihat ringkih selalu dia berikan untuk keluarganya sebagai tempat bernaung menemukan ketenangan.

Itu yang membuatku kagum padanya. Dan aku tak mengerti sejak kapan perasaan itu perlahan-lahan berubah menjadi sesuatu yang istimewa di hatiku. Aku menangkap ada perubahan pada setiap perhatian yang dia berikan. Dan jujur aku menerimanya.

Aku tak tahu harus melakukan apa....

Keduanya memiliki keistimewaan sebagai seorang wanita istimewa untukku. Keduanya memiliki kelebihan dan penyempurna hidupku. Keduanya sudah terlanjur dekat denganku.

Pada Fahidah, aku telah memberinya harapan di saat pertama kali kami diperkenalkan. Dia seorang gadis yang lembut, anggun, pintar dan bijak. Sesuatu yang mungkin akan menjadi pelengkap dari ketidaktahuanku pada agama.

Pada Wulan aku merasakan dia membutuhkan diriku. Dibalik ketegaran dan ketabahan yang dia miliki selama ini, dia membutuhkan seseorang yang mampu menjadi pelindung dirinya. Dan aku merasa menjadi orang yang sangat dibutuhkan saat berada bersamanya.

Haruskah aku memilih Fahidah karena dia wanita yang pertama kali dekat denganku?

Ataukah aku harus memilih Wulan untuk membantu dirinya agar terangkat dari kehidupannya yang terus mendapatkan ujian yang terkadang mempertaruhkan dirinya sebagai seorang wanita?

Ataukah aku mengumpulkan mereka berdua dalam sebuah ikatan pernikahan yang bernama poligamy?

Aku bingung. Aku tak mungkin menolak Fahidah karena dia sudah mendapatkan harapan dariku. Aku sulit meninggalkan Wulan karena dia membutuhkan keberadaanku. Dan aku tak mungkin melakukan poligamy karena aku tak pernah memiliki niat untuk menyakiti hati dan perasaan wanita dalam sebuah ikatan poligamy.

Aku bingung. Pertanyaan-pertanyaan tentang dua wanita yang tanpa kusadari telah masuk mengisi hatiku kini sering mengganggu pikiranku. Pertanyaan tentang apa yang seharusnya aku lakukan, pada siapa aku menjatuhkan pilihan, kini membingungkan ku.

Ternyata tak pernah mudah memilih satu di antara dua. Terlebih lagi memilih seseorang yang akan menjadi pasangan hidupku...




Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)