Cerpen
Disukai
12
Dilihat
9,063
MATAHARI BIRU DI LANGIT LEBARAN
Romantis

Den Ayu Hamidah merasakan dadanya terbebas

dari sebongkah batu yang menyumpalnya. Merasakan

bahwa Allah sang penabur keadilan di ladang kehidupan telah

hadir di ruang tamu di hari fitri itu. Kehadiran-Nya yang sejauh

mata batin Hamidah memandang itu serupa

matahari biru di langit lebaran.

 

BAGAIKAN piringan emas, matahari mengambang di atas bentangan bukit timur. Langit yang serupa atap kubah biru tak tergores awan. Sepasang burung prenjak berkicauan di dahan pohon jambu yang tumbuh di halaman sudut rumah. Semilir angin serasa mengabarkan kalau puasa telah menginjak pada hari terakhir. Hari dimana Den Lara Hartati sibuk bekerja dengan pembantunya. Mempersiapkan hidangan istimewa bagi Pras. Anak semata wayangnya yang akan pulang mudik beserta istri dan ketiga anaknya dari Jakarta.

Selagi meracik bumbu opor ayam di dapur, android Den Lara Hartati yang tergeletak di ranjang berdering. Sontak wanita berdarah biru berstatus janda itu berlari ke kamarnya. Melihat nama Hamidah menantunya muncul di layar android, ia sontak mengangkatnya. “Hallo, Ndhuk! Sampai di mana perjalanan kalian?”

“Bandara, Bu.”

“Bukankah Pras bilang, kalau kalian akan datang dengan mobil pribadi?”

“Rencana semula begitu, Bu. Tapi karena Mas Pras masih sibuk dengan pekerjaannya, terpaksa kami datang duluan dengan pesawat.”

“Ya, sudah. Kalian tak perlu naik taksi! Biar Jono menjemput kalian di situ.” Den Lara Hartati meletakkan androidnya di atas ranjang’. Ia melangkah keluar. Dimana Jono tengah mengecat pagar besi. “Jon! Tolong jemput Hamidah dan anak-anaknya di bandara!”

“Bukankah Den Ayu Hamidah akan datang bersama Den Bagus Pras dengan mobil pribadi, Den Lara?”

“Pras masih sibuk dengan pekerjaannya. Jadi, Hamidah dan anak-anaknya datang duluan dengan pesawat. Segeralah kamu jemput mereka!”        

Jono meletakkan kaleng cat dan kuasnya di teras rumah. Melangkah terburu menuju garasi. Dengan sedan Nissan perak, lelaki lajang itu menuju bandara. Hanya dalam waktu setengah jam, Nissan perak telah berada di antara deretan mobil-mobil di ruang parkir bandara.

Menyaksikan Hamidah dan ketiga anaknya yang tengah berdiri di antara tukang-tukang becak dan sopir-sopir taksi, Jono keluar dari dalam mobil. Melangkah terburu menuju tempat dimana menantu Den Lara Hartati itu berdiri sembari menggendong anak bungsunya. Bayinya yang masih berusia tujuh bulanan. “Maaf, Den Ayu! Jemputnya agak terlambat.”

“Tak apa, Jon.”

“Mari Den Ayu, segera masuk ke mobil! Kasihan anak-anak.”

“Ya, Jon.”

Disertai Den Ayu Hamidah dan anak-anaknya, Jono melangkahkan kaki menuju mobil. Sesudah memasukkan seluruh perbekalan Hamidah di dalam bagasi, ia memasuki mobil itu. Duduk di jok kemudi di samping Hamidah yang tubuhnya menyerbakkan aroma parfum bermerk. Tak seberapa lama, mobil itu bergerak meninggalkan halaman parkir bandara.

***

 

"Allahu akbar. Allahu akbar. Allahu akbar. La ilaha illallah wallahu akbar. Allahu akbar. Wa lillahilhamd."

Suara takbir menggema dari masjid dan langgar. Sepulang dari menyaksikan takbiran keliling; Den Lara Hartati, Den Ayu Hamidah, dan anak-anaknya berkumpul di ruang tamu. Menikmati opor ayam dan minuman orson rasa anggur. Melepas kangen dengan bersendau gurau.

Waktu melarutkan malam. Den Lara Hartati dan kedua cucunya tertidur pulas di kamarnya. Sementara Den Ayu Hamidah masih terjaga sembari menunggui bayinya. Kedua matanya teramat sulit dipejamkan. Hatinya galau. Lantaran pesan WhatsApp ucapan lebaran yang dikirimkan ke android Pras berakhir dengan centang satu.

Dengan gerakan kasar, Den Ayu Hamidah beranjak dari ranjang. Meninggalkan bayinya. Keluar dari dalam kamarnya yang terasa pengap. Duduk di salah satu kursi kayu jati berukir di ruangan tamu. Berulangkali menengok androidnya. Hatinya kian galau. Manakala menjelang subuh, pesan WhatsApp capan lebarannya pada Pras belum centang dua.

Den Ayu Hamidah bertanya-tanya dalam hati. Mungkinkah Pras yang tak mudik bersamanya dengan alasan sibuk dengan pekerjaannya itu hanya cara untuk dapat berselingkuh dengan Nurlinda. Bendaharanya yang pernah mengirim pesan WhatsApp jorok ke android Pras? Mungkin. Ya, mungkin.

Berulang kali, Den Ayu Hamidah menghela napas panjang untuk melonggarkan dadanya yang terasa tersumpal sebongkah batu. Sekalipun demikian, prasangka buruknya pada Pras yang kian mengganggu pikirannya itu memicunya untuk berteriak lantang, “Dasar lelaki brengsek!”

Den Lara Hartati yang terbangun lantaran dikejutkan dengan teriakan Den Ayu Hamidah itu melangkah menuju ruang tamu. Duduk di kursi di samping menantunya. “Ada apa denganmu, Ndhuk? Siapa lelaki yang kau umpat dengan kalimat sekasar itu? Apakah Pras?”

Sontak Den Ayu Hamidah meletakkan wajahnya pada sepasang paha Den Lara Hartati yang terbalut kain jarit itu. “Maaf, Bu! Aku khilaf.”

“Sabar ya, Ndhuk! Kalau Pras belum dapat datang hari ini, mungkin masih sibuk dengan pekerjaannya.”

“Bukan karena itu, Bu,” jawab Den Ayu Hamidah sembari mengangkat wajahnya yang basah dengan air mata.

“Lantas, karena apa?”

“Android Mas Prass dimatikan.”

“Karenanya, lantas kau berpikir kalau Pras tengah melakukan perbuatan yang menyimpang dari ajaran agama? Percayalah, Ndhuk! Pras itu, tipe lelaki setia pada seorang istri. Bertanggung jawab pada keluarganya. Sebagaimana rama-nya. Swargi Kangmas Sudibya.”

“Tapi….”

“Sudahlah! Sekarang, ambillah air wudlu! Bersembahyanglah subuh! Sesudah mandi dan sarapan, kita pergi ke alun-alun. Berjamaah sholat ‘id.”

Selepas Den Ayu Hamidah, Den Lara Hartati meninggalkan ruang tamu. Memasuki ruang tidur menantunya. Menggendong cucu bungsunya yang telah terbangun dengan selendang kawung. Membawanya ke teras rumah. Mengembannya sembari menyenandungkan tembang Lela-Lela Ledhung.

***

           

Alun-alun yang penuh serakan sampah koran kembali lengang. Orang-orang berpakaian serba baru yang sejak fajar berjajar membentuk sap-sap untuk berjamaah sholat ‘id telah pulang ke rumah masing-masing. Demikian pula dengan Den Lara Hartati, Den Ayu Hamidah, dan ketiga anaknya.

Di ruangan tamu, Den Lara Hartati sibuk melayani tamu-tamunya yang datang untuk ber-khalal bil khalal. Kedua anak Den Ayu Hamidah bermain petasan lombok rawit di halaman dengan anak-anak sebayanya. Sementara Hamidah yang galau lantaran belum terkirimnya pesan WhatsApp ke android Pras itu duduk di ruangan keluarga sembari menggendong bayinya. Sibuk dengan remote control di depan televisi.

Den Ayu Hamidah serasa tersambar petir di siang bolong, manakala menyimak breaking news dari salah satu stasiun televisi: “Telah terjadi tabrakan maut BMW hitam dengan bis trans Jakarta. Kedua penumpang BMW, Nurlinda dan lelaki yang tak diketahui identitasnya tewas. Sementara, sopir melarikan diri….”

Tanpa mencermati kedua mayat korban kecelakaan yang dimasukkan ke dalam ambulance, Den Ayu Hamidah beranjak dari ruang keluarga. Melangkah gontai menuju ruang tamu. Dimana Den Lara Hartati yang barusan mengantarkan tamu-tamunya sampai depan pintu itu duduk sendirian. “Aku harus segera pulang ke Jakarta, Bu. Mas Pras kecelakan.”

“Apa?” Den Lara Hartati beranjak dari kursi. “Pras kecelakaan? Dari mana kamu tahu?”

“Televisi, Bu.”

“Kalau begitu, kita ke Jakarta sama-sama.”

Den Ayu Hamidah melangkah ke teras rumah untuk memanggil kedua anaknya yang masih bermain petasan dengan anak-anak sebayanya. Dalam sekejap, Hamidah serupa patung hidup. Manakala kedua matanya menangkap BMW hitam yang merangkak pelan menuju halaman rumah.

           Den Ayu Hamidah terasa terseret ke alam mimpi. Tak percaya bila lelaki berpakaian perlente yang keluar dari BMW hitam dan diikuti kedua anaknya itu adalah Pras. Ia pun tak percaya, bila lelaki yang mencium lembut kening bayinya di gendongan itu adalah suaminya.

“Hei! Kenapa kau memandangku seperti itu, Dik?” tanya Pras penuh keheranan. “Apa yang aneh dengan diriku?”

“Bukankah Mas Pras mengalami kecelakaan di Jalan Salemba bersama Nurlinda?”

“Oh…. Jadi itu yang menyebabkan Dik Hamidah memandangku seperti itu? Sudah! Sudah! Kita masuk ke dalam! Nanti aku jelaskan semuanya.”

Disertai kedua anaknya, Den Ayu Hamidah mengikuti langkah Pras ke dalam ruang tamu. Sesudah sungkem pada Den Lara Hartati, Pras menjelaskan segala permasalahannya di Jakarta. “Siang kemarin, aku mengadakan rapat dengan Nurlinda dan Pramono stafku itu di kantor perusahaan. Dalam rapat itu, aku meminta Nurlinda agar mengembalikan uang perusahaan yang dihutangnya buat membayar THR pada seluruh karyawan. Karena Nurlinda belum sanggup mengembalikan uang pinjaman yang disalahgunakan untuk kredit BMW dan bersenang-senang dengan Pramono, terpaksa aku mengambil tabungan dan melepaskan androidku untuk membayar THR. Sesudah persoalan itu beres, aku putuskan untuk mudik. Setiba di perbatasan Jogja-Purworeja, aku mengetahui bahwa Nurlinda dan Pramono mengalamai kecelakaan hingga tewas lewat televisi mobil.”

Seusai penjelasan Pras, Den Ayu Hamidah merasakan dadanya terbebas dari sebongkah batu yang menyumpalnya. Merasakan bahwa Allah sang penabur keadilan di ladang kehidupan telah hadir di ruang tamu di hari fitri itu. Kehadiran-Nya yang sejauh mata batin Hamidah memandang itu serupa matahari biru di langit lebaran.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)