Masukan nama pengguna
Monic adalah gadis remaja usia 15 tahun yang saat ini duduk di bangku SMA kelas 10. Monic berasal dari keluarga sederhana. Ayahnya bekerja di sebuah Perusahaan Tekstil sebagai Supervisor line dan Ibunya hanyalah Ibu rumah tangga biasa yang sehari-hari hanya mengurus pekerjaan rumah.
Setiap bel istirahat berbunyi, Monic selalu berdecak kesal. Alasannya masih sama dari mulai Monic duduk di bangku SMP yaitu bekal yang selalu Ibunya bawakan. Alih-alih menambah uang sakunya, setiap tahun yang bertambah hanyalah gunungan nasi dan lauk yang hampir tumpah di tasnya karena terlalu penuh.
"Dengan perut kenyang, melakukan aktivitas sekolah menjadi lebih semangat. Lagipula lebih baik makan buatan rumah daripada jajan di luar." Ucap Ibunya setiap pagi ketika menutup wadah tempat bekal yang akan Monic bawa. Padahal hal ini hanya membuat malu bagi Monic. Teman-temannya selalu mengejeknya seperti anak TK, Monic akhirnya memilih membuang bekalnya sia-sia ke tong sampah daripada harus memakannya di kelas dan menjadi bahan olokan teman kelasnya. Setelah itu Monic hanya menahan rasa laparnya untuk belajar di Perpustakaan sampai bel masuk berbunyi.
Namun setelah kedatangan Salsa, murid baru pindahan dari Kota Surabaya yang saat ini duduk di samping bangkunya. Saat Monic berdecak kesal mengeluarkan kotak bekalnya, Salsa akan menyodorkan uang lima puluh ribu ke arah Monic. Sebagai gantinya Salsa membeli bekal yang Ibunya Monic bawakan. Monic merasa sangat bahagia, akhirnya masa kelamnya selama ini yang harus bersembunyi di Perpustakaan ketika jam istirahat berbunyi sekarang bisa keluar ke Kantin Bersama teman-teman lainnya untuk membeli cemilan dan mengobrol.
"Kamu tidak bosan makan bekal buatan Ibuku?" Tanya Monic menoleh ke arah Salsa yang sedang menikmati bekal darinya. Salsa yang pendiam hanya menggelengkan kepala lalu makan satu persatu suapan masakan Ibunya Monic dengan lahap.
"Okey, aku ke kantin dulu ya!" Ucap Monic, lalu berlari bersama teman lainnya keluar kelas.
Sebenarnya ada alasan di balik Salsa membeli bekal Monic setiap harinya. Yang pertama karena Salsa tidak terlalu menyukai suasana yang ramai dan berdesak-desakan. Alasan keduanya adalah pertama kali melihat Monic membuang bekal dari Ibunya, Salsa sangat merasa sedih. Entah karena selama Ibunya hidup Salsa tidak pernah mendapatkan perhatian dari ibunya atau karena masakan Ibunya Monic memang sangat enak dan sayang jika di buang begitu saja karena ada jerih payah seorang Ibu dan cinta seorang Ibu saat membuat Nasi itu di bentuk dengan lucu dan lauk bervariasi jenisnya setiap harinya. Ibunya Salsa yang kini telah meninggal tidak pernah memberikan kenangan yang mampu Salsa pikirkan dan lukiskan. Karena selama ini orang tuanya hanya sibuk bekerja. Bahkan, setelah Ibunya meninggal Ayahnya yang sibuk bekerja merasa kerepotan mengurus Salsa yang padahal cukup dewasa untuk melakukan semua hal sendiri, sehingga setelah mengobrol dengan Ayahnya 1 jam-an di ruang makan. Ayahnya pada akhirnya meminta Salsa tinggal bersama neneknya di Kota Bandung dan meninggalkan Kota masa kecilnya.
Di setiap suapan nasi masuk ke dalam mulut, Salsa sesaat menangis memikirkan betapa enaknya Monic yang selalu di bawakan bekal setiap hari, pasti Ibunya sangat menyayangi Monic. Dan pasti Ibunya selalu khawatir dengan Monic.
Teeeett... Bel sekolah masuk berbunyi, semua anak masuk ke dalam kelas. Monic tersenyum ke arah Salsa, setelah melihat kotak bekalnya tidak tersisa nasi dan lauk di dalamnya.
"Enak?" Tanya Monic.
Salsa tersenyum dan menganggukkan kepalanya, lalu memberikan kotak bekal yang sudah kosong itu kepada Monic untuk di bawa pulang.
"Ah, jika aku mengenalmu lebih lama aku tidak perlu kerepotan membuangnya." Ucap Monic, sambil memasukkan kotak bekalnya ke dalam tas.
"Bagaimana jika Ibumu memasak di rumahku setiap hari?" Tanya Salsa.
"Hah, kenapa? Kamu sampai segitunya suka sekali masakan Ibuku." Jawab Monic heran.
"Tidak, aku hanya sempat mendengar ketika kamu mengeluh dengan Ibumu di telepon saat kamu ingin ikut les bimbel di Bu Hana. Dan sepertinya kamu kesal karena Ibumu tidak memberi ijin karena tidak ada uang. Em, jika kamu mengijinkan Ibumu mengajari aku memasak satu bulan di rumahku, aku akan membayar uang les mu 1 tahun ke depan. Bagaimana?" Ujar Salsa. Monic melirik tajam ke arah Salsa, lalu menggaruk kepalanya dan berpikir lebih lama dari dugaan Salsa. Sampai guru Matematika masuk ke dalam kelas Monic belum memberikan jawaban. Salsa merasa sedih dan usahanya terlihat gagal untuk memberi tawaran kepada Monic.
Usai bel pulang sekolah berbunyi, Monic menarik jaket Salsa dari belakang.
"Jadi Ibuku harus bekerja di tempatmu seharian memasak selama sebulan?" Tanya Monic.
"Tidak seharian, hanya setelah pulang sekolah sampai pukul 6 malam." Jawab Salsa.
"Kau yakin akan membiayai lesku di Bu Hana 1 tahun?" Tanya Monic sedikit menyeringai tak percaya.
"Atau aku mau bayarkan sekarang?" Ujar Monic, mengeluarkan beberapa uang lembaran seratus ribu dari tas nya. Monic sampai tercengang menyadari Salsa se kaya itu. Monic lalu berpikir lagi, dan mondar-mandir di depan Salsa.
"Berikan nomor ponselmu, aku akan bicara dulu dengan Ibuku. Setelah itu nanti aku kabari." Ucap Monic, memberikan ponselnya pada Salsa. Salsa lalu mengetik nomor ponselnya ke ponsel Monic. Setelah itu Monic berpamitan dan mereka berdua berpisah di depan kelas.
Monic di sepanjang jalan terus berpikir tentang tawaran yang di berikan Salsa padanya. Hingga sampai tiba di rumah, Monic langsung berlari mencari Ibunya di setiap sudut rumah. Dan akhirnya bisa menemukan Ibunya di lantai 2 sedang menjemur pakaian.
"Ibu." Ucap Monic mendekati Ibunya. Ibunya menoleh sambil memeras baju yang akan di jemur.
"Apa Ayah sudah memberikan uang untuk aku Les di Bu Hana?" Tanya Monic, lalu duduk di bangku kayu dekat Ibunya berdiri.
"Sudah Ibu bilang, kerjaan Ayah sedang banyak masalah. Bahkan akan ada pengurangan pegawai. Ibu tidak berani meminta. Kamu tahu sendiri Ayahmu jika marah. Apa kamu senang Ibu memar lagi?" Jawab Ibunya sedikit kesal.
Monic menunduk dan berpikir.
"Ibu mau bekerja di rumah temanku? hanya 6 jam saja. Hanya memasak saja." Tanya Monic.
"Ibu ini hanya orang bodoh yang tidak pandai hal apapun, tahu sendiri Ayahmu sering berteriak Ibu hanya lulusan SD dan hidup beruntung karena di jodohkan dengan Ayahmu. Ibu tidak mempunyai keahlian memasak yang baik." Jawab Ibunya.
"Tapi temanku suka masakan Ibu, dan dia ingin belajar memasak masakan yang selalu ibu buat." Ujar Monic.
"Bagaimana temanmu tahu masakan Ibu?" Tanya Ibunya heran.
"Em, setiap aku membawa bekal dia mencicipinya. Dia ingin bertemu dengan orang yang memasak masakan istimewa itu katanya." Ucap Monic, di akhiri dengan senyum tipis karena untuk menutupi kebohongannya.
"Jika Ibu mau, Ibu hanya bekerja selama 1 bulan memasak selama 6 jam di rumahnya. Dia bilang akan membayar les ku 1 tahun." Imbuh Monic, semakin membujuk Ibunya.
Ibunya diam sejenak berpikir, sambil memeras baju terakhir untuk di jemur setelah itu membuang sisa air di ember ke kamar mandi.
"Bagaimana, bu? Ibu tahu kan aku ingin masuk ke Universitas Negeri jadi dari awal akau harus benar-benar mempersiapkannya." Ucap Monic mengikuti langkah Ibunya menuruni tangga.
"Bagaimana jika Ayahmu marah?" Tanya Ibunya menoleh ke arah Monic.
"Ya bilang saja Ibu bekerja untuk membayar uang lesku. Atau jika tidak kita tidak usah bicara dengn Ayah soal itu. Ayahkan selalu pulang malam jam 9. Saat Ayah pulang Ibu juga sudah pulang." Jawab Monic, terus membujuk Ibunya.
"Ya sudah, terserah kamu. Memang dia tidak punya Ibu untuk mengajarkanya memasak?" Tanya Ibunya lagi.
"Sepertinya tidak, aku dengar Ibunya baru saja meninggal. Dan dia pindahan dari Surabaya sekarang tinggal dengan neneknya di kampung sebelah." Jawab Monic.
"Ya sudah, terserah kamu saja. Ibu akan mencobanya." Ucap Ibunya. Monic lalu memeluk pinggang Ibunya sebelum berlari pergi ke kamar.
Monic duduk di atas tempat tidur, mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Salsa. Mengabarkan jika besok Ibunya akan mulai memasak di rumah Salsa.
Ketika seorang anak yang ingin menikmati masakan dari seorang Ibu yang selama ini di impikannya akhirnya bertemu dengan anak lainnya yang menganggap masakan Ibunya selalu membosankan dan akhirnya menukarkan sebagian miliknya dengan hal lainnya yang sebelumnya sulit untuk dia lakukan.
Terkadang kita tidak tahu hal yang membosankan untuk kita adalah hal yang di rindukan orang lain.