Masukan nama pengguna
"Aku pernah sejauh itu, sejauh itu mencintai seseorang yang pastinya aku tahu bukan milikku. Aku pernah merasakan benar-benar melepaskan hari penatku sesaat. Saat matanya dan mataku saling menatap kerinduan yang mungkin hampir 1 minggu kita tidak bertemu. Dan pastinya kamu tahu kan, Dimana tempat untuk dua insan untuk melepaskan rindu? Tahulah pergaulan jaman sekarang, sudah tidak asing jika ceck-in beberapa jam hanya untuk saling merasakan pelukan hangat dan akhirnya tubuh kita berkeringat." Ucap Ana, menyipitkan matanya dan tersenyum nakal di depanku. Padahal aku adalah seorang Pria yang cukup umur untuk bisa menggodanya. Namun aku urungkan, tidak ada niat bagiku untuk lebih dari teman lama yang duduk berdua, berjumpa dengan alasan yang baik. Kami duduk di sudut cafe, tempatnya sepi padahal. Tapi entah aku sedikit bodoh tak ada niatan untuk menjadi salah satu pria yang dia ceritakan.
Ana menatapku dengan senyum manisnya, bibirnya merah seperti buah ceri. Kulitnya putih dan kencang tak terlihat kerutan sedikit pun, padahal usia kami sama sekitar 35 tahun. Dia terus menatapku dengan kenakalannya sebagai gadis yang terbiasa terpampang wajahnya di situs online pencari teman kencan.
"Dimana istrimu?" Tanya Ana sambil menoleh kanan kiri di sekitarku.
"Dia sedang berbelanja dengan anak gadisku. Jika berbelanja dia sangat lama, apalagi jika Mia ikut bersamanya, selera mereka sama." Jawabku. Mia adalah anak gadisku berusia 16 tahun.
"Enak juga kalau punya anak yang umurnya tidak jauh beda dengan usia kita, kita bisa mengajaknya mengobrol ketika dia mulai tumbuh dewasa." Ucap Ana.
"Kamu tidak ingin menikah? Padahal saat kita SMA kamu primadona di sekolah. Aku saja sampai takut jika mendekati mu. Saingannya banyak." Kataku bergurau, sambil mengenang kisah lama masa di SMA.
"Menikah? Dengan aku yang seperti ini. Aku sudah tidak memikirkannya." Ucap Ana, sambil menggelengkan kepalanya. Senyumnya kecut menatapku kali ini.
"Mungkin jika saat dulu kamu memberanikan diri dekat denganku, aku tidak akan menolak. Kamu cukup tampan saat remaja. Pintar dan juga anak basket. Mungkin hidupku tak senakal ini dan bisa menjadi wanita baik-baik." Ucap Ana, kalimatnya mengusik rasa ibaku yang melihat dirinya terlihat hancur sekarang.
"Rokok?" Imbuh Ana, menyodorkan rokok ke arahku. Aku mengambil satu dan Ana menyalakan api sehingga aku bisa menghisap tembakau yang hampir satu bulan tidak aku lakukan, karena istriku sering mengeluh agar aku berhenti merokok katanya demi kesehatan. Namun, saat melihat Ana aku malah jadi memiliki keinginan untuk mengambil sebatang rokok dari tangannya. Ana tersenyum tipis menatapku.
"Kamu tidak ikut acara reuni SMA, Minggu depan semua anak alumni kita akan berkumpul di Resto yang tidak jauh dari tempat ini." Ucapku memberikan informasi.
"Kamu ikut?" Tanya Ana.
"Belum tahu juga sih." Jawabku tersenyum.
"Jika kamu ikut, jemput aku. Aku kost dekat area sini juga. Datang sendiri tidak enak." Ucap Ana.
"Oh, aku juga tidak tahu akan datang atau tidak. Istriku sulit untuk dimintai ijin jika bersangkutan dengan reuni. Pikirannya akan negatif dan selalu akhirnya berdebat." Jelasku.
"Ah, menyebalkan juga ya hidup dengan orang toxic. Hidup bukannya harus dinikmati. Apa salahnya reuni?" Ujar Ana, menyeringai.
"Entahlah, dia memang selalu membatasi pergaulanku. Apalagi setelah anak kami beranjak remaja. Dia takut aku kena sindrom puber kedua." Balasku, lalu tertawa ketika memikirkan omelan istriku. Ana ikut tertawa garing, mendengar ocehan ku dan keluhan ku.
Ana membuka satu kancing kemejanya bagian atas, aku melihat leher jenjangnya yang putih. Mataku tak bisa berkedip dan mulai menatapnya lebih lama dari sebelumnya. Aku mengaduk jus jeruk dengan sedotan, sesekali menatapnya yang sedang menyisir rambut panjangnya dengan jari-jarinya yang lentik. Dan melihat satu assesories cincin unik melingkar di jari manisnya.
Aku menguatkan imanku, tidak akan tergoda dengan aroma wangi dari tubuh Ana yang kuhirup perlahan, aku mengalihkan pandanganku berkali-kali agar tidak menatapnya. Ingin rasanya meng-sudahi pertemuan ini yang awalnya aku hanya ingin mempromosikan beberapa produk sabun pemutih yang baru saja aku kelola sendiri, Ana melihat status di WhatsAppku dan mengatakan tertarik untuk mengenalkan produk yang baru aku buat kepada teman-temannya. Hingga akhirnya aku membawa sample sabun dan mengajaknya bertemu di cafe ini. Namun aku tidak menyangka Ana yang dulu aku kenal pendiam dan naif sekarang lebih pemberani. Mungkin akibat pergaulan yang salah atau entah hal lainnya aku juga tidak tahu itu.
Aku takut jika terlalu lama menatapnya, ada hasrat lebih sebagai pria normal bergejolak di pikiranku. Apalagi akhir-akhir ini aku sering bersiteru dengan istriku, tepatnya sejak aku keluar dari pekerjaanku menjadi manager di Perusahaan Periklanan karena sedang bersiteru dengan rekan kerjaku. Lalu memilih hengkang dan memulai bisnis baru, yang menurutku bagus untuk aku kembangkan. Istriku takut jika usaha baruku tidak berkembang sesuai ekspektasi, apalagi anak pertamaku akan lulus SMA dan butuh banyak dana untuk masuk Universitas.
Ana menarik kursinya duduk tepat di sampingku. Memegang produk sabun yang ingin aku tawarkan, aku pun menjelaskan beberapa diskripsi dari sabun yang sudah aku urus hak patennya. Tangannya putih dan terlihat lembut, mungkin untuk strategi pemasaran terlihat berkesan dan bisa menarik peminat.
Dia terlihat seakan memang memberikan kode untukku agar lebih dekat dengannya, namun aku masih khawatir jika pertemuan ini akan berakhir dengan menusuk serpihan kaca di pernikahan yang sudah aku bangun 17 tahun lamanya bersama istriku. Padahal jika istriku sering di telepon teman pria lamanya saat sekolah aku sangat cemburu dan marah. Sama seperti halnya jika mungkin istriku tahu aku menemui teman wanita lamaku.
"Kamu tidak bosan dengan satu wanita selama ini. Gila ya mungkin jika ada penghargaan laki-laki setia pasti kamu pemenangnya." Ucap Ana, lalu terkekeh. Aku hanya tersenyum.
"Aku dan istriku seperti cermin. Kami punya hobi yang sama, warna yang di sukai juga sama, lahir di bulan yang sama.Terkadang bosan juga, tapi mau bagaimana lagi." Jawabku.
"Mau coba yang berbeda?" Ujar Ana, jari kelingkingnya menyentuh jariku. Aku menatapnya sesaat, lalu menundukkan kepalaku dan tersenyum.
"Apa kamu tidak stres, hidup dengan wanita yang sibuk mengurus kehidupanmu. Seperti burung di dalam sangkar saja. Oh iya, masih di dalam sangkar ya." Ucap Ana tertawa.
"Melukai dia sekarang sama saja aku sia-sia bertahan 17 tahun lamanya mendengar omelannya." Balasku, tersenyum tipis.
"Ya sudah, berikan 1 lusin padaku, aku akan coba tawarkan ke temanku." Kata Ana, sedikit kesal. Menarik kursinya kembali ke tempat semula. Ana menyeruput kopinya yang sudah dingin sampai habis. Dia memberikan uang dua lembar seratus ribu di meja, sebagai pembayaran sabun 1 lusin yang akan dia bawa. Aku menarik sabun di tangannya, mendorong uang itu kembali dekat dengan tangannya. Aku bangkit dari tempat duduk dan keluar dari cafe.