Flash
Disukai
5
Dilihat
14,680
Satu-satunya Teman
Drama

Hidup bersama Ibu dengan ke-tiga adik-adikku tanpa sosok Ayah di antara kami begitu sangat berat untukku yang menjadi anak pertama. Mengalah bukan suatu pilihan namun kewajiban sebagai anak tertua.

Anak pertama yang terlihat selalu bahagia dan tidak menangis adalah mutlak sikap yang harus di lakukan, aku katakan pada diriku ketika membuka mata menyambut pagi "kuat, kuat." "Bisa, bisa." Seperti sebuah mantra untuk aku bertahan.

Orang mengatakan dengan mudah "kamu kan anak pertama, harus bisa membahagiakan Ibu dan adik-adikmu. Harus bisa melindungi mereka." Kalimat itu seperti dentuman yang selalu membuatku ketakutan jika mendengarnya. Seolah aku lahir untuk sengsara. Seolah aku lahir tidak untuk bahagia. Mereka tidak ada yang menyalahkan Ayahku bahkan Ibuku. Keduanya padahal masih ada, lalu berpisah dengan keputusan mereka. Ayah meninggalkan kami, dan Ibu merawat kami. Namun, aku tak terlihat seperti seorang anak dengan usia 14 tahun di mata Ibuku. Aku harus bekerja tak kenal lelah, dan kalimat "Bantu adik-adikmu agar bisa sekolah. Nanti juga kan mereka akan mengerti saat mereka dewasa." Setiap hari Ibu menulis garis masa depan ketiga adikku, dan aku menyadari tidak ada namaku di sana.

"Teman." Sebuah kata yang tidak aku miliki di dalam hidup. Aku takut orang mengolokku karena aku tidak memiliki Ayah, lalu aku juga takut mereka membandingkan aku dengan adikku yang berpendidikan sedang aku tidak.

Satu-satunya setelah terlalu lama aku kesepian dan berusaha bunuh diri karena terlalu lelah dengan membahagiakan orang lain, sedang aku merasa tidak ada yang mengerti diriku adalah menikah.

Menikah?

Memiliki anak dari rahimku, mungkin anakku akan menjadi satu-satunya teman dalam hidupku.

Tapi ketidak beruntungan itu tidak berhenti sampai di situ. Setelah menikah, aku kesulitan hamil. Suamiku sibuk mencari nafkah, aku sendirian di rumah.

Dan akhirnya dengan besar hati, dan setelah mendapatkan petunjuk dari Allah, aku merangkul bayi yang bukan dari rahimku. Rahim seorang wanita muda tanpa suami melahirkan putri kecil yang sangat cantik. Aku memeluknya dan mencium keningnya setelah bayi itu lahir dan di adzani oleh suamiku. Aku tidak melihat sisi gelap kehidupan Ibunya, mungkin karena di mataku aku haus keinginan hadirnya buah hati. Dengan kedua tanganku aku melindunginya, menyayanginya bagaikan anakku sendiri. Hingga sampai dia sekarang berusia 4 tahun, dia benar-benar menjadi temanku satu-satunya saat ini. Tidak pernah terbesit kesedihan untuk merawatnya, aku melupakan masa kecilku yang haus kasih sayang dan tersakiti berkat senyumnya yang selalu merekah menatapku. Memanggilku "Ibu." meskipun tidak lahir dari rahimku. Serumit itu cara Tuhan untuk memberikan aku teman. Dan aku mencoba mensyukurinya.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (1)