Masukan nama pengguna
Dan kini semuanya menjadi beban untukku...
Sungguh aku tak menyangka jika vonis dokter menjadi penyebab hambarnya rumah tanggaku. Keenggananku untuk mengakui apa yang dikatakan dokter padaku, kekecewaanku pada hidup dan amarahku pada Tuhan kini menjadi bagian dalam hidupku. Dan aku tak tahu harus melakukan apa.
Begitu juga dengan istriku. Semula dia bisa menerima apa yang terjadi padaku. Semula dialah yang memberikan kekuatan untukku. Membimbing dan membesarkan hatiku bahwa semua ini adalah kehendak dan takdir Illahi. Bahwa hidup mendirikan rumah tangga bukan hanya sekedar mencari keturunan. Dan anak hanyalah titipan dari Yang Maha Kuasa.
Tapi perlahan semuanya berubah. Perlahan perasaan hambar dan rasa kurang dalam rumah tanggaku mengganggu pikiranku. Dan aku tahu istriku juga merasakannya walau dia tetap berusaha menyembunyikannya di depanku.
Aku mandul. Vonis dokter yang mengatakan itu. Bahwa ada masalah dengan kesuburanku sebagai lelaki. Aku bisa melaksanakan tugasku sebagai seorang suami, tapi aku tak bisa menghamili istriku untuk memberikanku seorang anak. Aku tak bisa.
Dokter mengatakan kalau ada masalah dengan spermaku.
Aku dan istriku sudah mencoba untuk mengatasi permasalahanku ini. Aku sudah mencoba segala jenis pengobatan, mulai dari yang tradisional hingga yang modern. Tapi takdir Tuhan seolah lebih kuat mengatakan bahwa aku tak akan pernah memiliki seorang anak dari darah dagingku sendiri walaupun aku mencobanya pada sejuta wanita di dunia
Sebagai lelaki aku frustasi. Aku merasa bukan lelaki sejati karena tak bisa menghamili istriku sendiri. Dan perasaan bersalah padanya semakin membesar. Puncaknya aku tak lagi bergairah untuk melakukan hubungan intim. Semula istriku tetap berusaha menyadarkanku bahwa kami harus tetap mencoba. Untuk terus berusaha. Lagipula hubungan suami istri itu adalah ibadah. Hubungan intim merupakan hak dan kewajiban yang harus diberikan untuk pasangan kita. Agar ada keterikatan dan kedekatan emosional sebagai wujud cinta pada pasangan kita.
Tapi perlahan hubungan ini meredup. Aku dan istriku tak lagi rutin melakukannya. Aku dan istriku masih tetap tidur seranjang, tapi tak pernah bersamaan. Seolah kami berselindung di balik rutinitas dan kerja kami. Dan keletihan karena kerja menjadi alasan untuk mendiamkan apa yang sebenarnya terjadi dalam pernikahan. Puncaknya kini aku merasa putus asa dan percuma melakukan hubungan suami istri karena hasilnya telah ku ketahui. Nihil!
Aku tahu kalau istriku kini mulai merasa jenuh dengan kehampaan dan kekosongan dalam rumah tangga kami. Tapi apa yang harus aku lakukan? Aku tak tahu harus berbuat apa. Bahkan ketika aku mencari jawaban dari sisi agamaku, mereka yang mengerti agama hanya mengatakan bahwa aku harus sabar, ikhlas dan pasrah dengan apa yang telah terjadi. Bahwa semua ini hanyalah cobaan dari Yang Maha Kuasa. Dan aku harus kuat dan tegar menjalaninya.
Sungguh jawaban yang tak menyelesaikan persoalanku sama sekali. Sangat berbeda jika seorang wanita yang mandul tanpa bisa memberikan seorang keturunan, jawaban untuk persoalan ini sangat mudah ditemukan bahkan dalam Al Quran sekalipun. Jawaban yang juga menjadi polemik perdebatan di sebagian umat yang masih sulit untuk menerima dan melaksanakannya, poligamy.
Apakah ada ayat dalam Al Quran yang memperbolehkan seorang wanita menikah dan memiliki suami lagi dengan alasan ingin mendapatkan keturunan tanpa harus menceraikan suaminya? Apa jadinya jika seorang wanita memiliki lebih dari satu orang suami, sama seperti seorang suami yang memiliki istri lebih dari satu? Dan apa yang akan dikatakan masyarakat kita jika seorang wanita melayani laki-laki lebih dari satu? Cap buruk sebagai wanita murahan akan dengan gampang didapatkan.
Aku tahu itu. Aku mengerti semua itu. Tak ada istilah poliyandry dalam kehidupan umatnabi Muhamad, bahkan untuk umat yang berbeda aqidah sekalipun. Karena wanita tak boleh memiliki suami lebih dari satu, apapun alasannya.
Sedangkan Al Quran memberikan jawaban dari keegoisan lelaki. Al Quran memberikan solusi untuk para lelaki yang memiliki hasrat dan keinginan yang lebih besar dari kaum wanita. Menikahlah dengan dua, tiga atau empat wanita dan berlaku adillah. Para lelaki bisa menjadikan ayat itu sebagai dasar untuk menikah lagi apapun alasannya, bahkan tanpa menceraikan istri mereka dan mengumpulkan mereka dalam satu rumah sekalipun. Juga berselindungkan pada apa yang dilakukan Nabi, seolah poligamy adalah suatu ajaran yang wajib dan wajar dilakukan oleh semua lelaki.
Dan wanita yang memiliki kelemahan dan kekurangan terpaksa menerima dengan ikhlas walau dalam posisi teraniaya karena keadaan, membuat mereka tak memiliki pilihan lain selain menerima apa yang terjadi. Hanya berharap keridhoaan Allah dari hadist nabi yang mengatakan bahwa seorang wanita yang mau di madu, yang ikhlas membagi cinta dan suaminya pada wanita lain, di setiap sakit yang dia rasakan, di setiap cemburu yang dia dapatkan, balasannya adalah masuk syurga tanpa dihisab.
Semua itu diatur dan di Firmankan Allah sebagai salah satu jawaban untuk wanita yang memiliki kekurangan, salah satunya adalah tidak bisa memberikan keturunan untuk suaminya tanpa perlu suaminya menceraikannya. Juga untuk menyelamatkan dan menjaga harga diri dan kehormatan mereka agar tetap terlindungi. Apakah poligamy itu dianggap berkah atau masalah, semua itu tergantung dari situasi, keadaan, mental, perasaan dan cara pandang wanita itu sendiri.
Tapi, jika seorang suami yang tak bisa menjalankan fungsinya sebagai lelaki, yang memiliki kekurangan karena tak bisa menghamili istrinya, disaat istrinya menginginkan untuk merasakan dan mengalami bagaimana rasanya hamil sebagai wujud dari kesempurnaan seorang wanita, apa yang harus kaum adam lakukan? Jika Allah memberikan poligamy sebagai salah satu jawaban untuk menjaga harga diri dan kehormatan wanita yang memiliki kekurangan dalam masalah kewanitaan mereka, lalu adakah jawaban dari firman Tuhan untuk menyelamatkan harga diri dan kehormatanku dari kekuranganku ini?
Itu yang kini menjadi beban pikiranku. Dan aku tak tahu apa yang harus aku lakukan untuk menyelesaikan permasalahanku.
Haruskah aku menceraikannya, membiarkannya menikah dengan lelaki lain agar dia bisa hamil, lalu menyuruhnya menceraikan lelaki itu saat telah mendapatkan anak untuk kembali lagi padaku?
Jika itu yang aku lakukan, akulah lelaki gila dan tak bermoral yang mengharapkan istrinya hamil oleh lelaki lain hanya untuk sekedar menyembunyikan kelemahan, kekurangan dan aibku sebagai lelaki. Dan aku akan mendapatkan cercaan dan hinaan, bukan hanya di dunia tapi juga di akhirat nanti.
Lalu apakah program bayi tabung yang disodorkan dokter bisa menjadi jalan keluar untukku? Tapi bukankah itu sama saja dengan aku membiarkan rahim istriku bercampur dengan benih yang tak halal untuknya? Karena benih itu bukan dariku karena aku bermasalah dengan kesuburanku. Dan anak itu nanti bukanlah anakku, anak dari seseorang yang mendonorkan benihnya untuk ditanam di dalam rahim istriku agar istriku bisa hamil. Bukankah itu sama saja dengan zina yang haram hukumnya walau tanpa melakukan kontak fisik sekalipun? Dan anak yang lahir nanti bukanlah anakku dan aku tak bisa menjadi walinya seandainya anak itu dewasa dan menikah nantinya!
Aku bingung. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan. Jika Al Quran bisa memberikan jawaban untuk para wanita yang kebingungan karena memiliki masalah dengan reproduksi kewanitaan mereka, dan hadist Rasulullah bisa dengan gamblang memberikan gambaran kemuliaan dan pahala yang besar bagi seorang wanita yang memiliki masalah pada suami mereka yang ingin menikah lagi karena ingin mendapatkan keturunan, lalu adakah jawaban untukku sebagai lelaki yang memiliki masalah yang sama? Bisakah seseorang memberikanku penjelasan dan penerangan dari ayat dan dalil agama selain menerima semua ini dengan hati ikhlas, sabar dan pasrah bahwa semuanya adalah cobaan dari Yang Maha Esa?
Jika seorang suami bisa menikah lagi dengan alasan istrinya tak bisa memberikan keturunan dari darah dagingnya sendiri tanpa harus menceraikannya, bisakah seorang istri yang ingin memiliki anak dari rahimnya sendiri mendapatkan apa yang dia inginkan tanpa harus menceraikan suami mereka yang mandul?
Jika poligamy dipertanyakan keadilannya oleh sebagian wanita apapun alasannya, wajarkah jika akhirnya aku juga menginginkan keadilan yang sama seperti yang diinginkan para wanita? Dan pada siapakah keadilan itu ku cari? Pada Tuhan?
Aku hanya bisa menghela nafas dalam-dalam. Aku hanya memperhatikan bahu istriku yang berbaring menghadap arah berlawanan dariku. Mungkin sudah saatnya aku membicarakan kembali semua ini sambil mencari jalan keluar yang terbaik untuk kami. Dan jika ternyata istriku ingin mengandung dan memiliki anak dalam rahimnya sendiri, aku akan mencoba untuk menerima dan berlaku ikhlas, sabar dan pasrah pada apapun nantinya.
Termasuk melepaskan istriku agar dia bisa mendapatkan apa yang dia inginkan walau aku tahu semua itu pasti berat untukku....