Masukan nama pengguna
Semuanya bermula kala aku memutuskan untuk menikahinya. Berawal saat aku melafaskan kalimat basmalah kala mulai mengutarakan maksudku dan mengungkapkan keinginanku untuk memperistrikannya. Melupakan kehidupan kelamnya dimasa lalu dengan mendasarkan niatku untuk beribadah berumah tangga karena Allah semata. Lilahi ta’alla….
Sebuah keputusan penting yang kulakukan untuk kehidupan masa depanku yang mengundang protes dan tanda tanya dari orang-orang sekitarku. Termasuk teman akrabku ini.
“Begitu banyak wanita yang mengenalmu. Dan diantara wanita itu menyukaimu, bahkan pernah mengungkapkan perasaan mereka padamu. Tapi mengapa kau memilih dia? Sungguh aku masih belum mengerti bagaimana sebenarnya jalan pikiranmu.”
Aku hanya tersenyum mendengarkan perkataannya.
“Padahal gadis-gadis itu cantik-cantik dan masih perawan. Bahkan diantara mereka berjilbab dan memiliki pengetahuan agama yang sangat baik, sesuatu yang selama ini kau cari. Tapi kau tetap memilih dia yang memiliki masa lalu yang kelam.”
Aku menatapnya. “Karena aku begitu yakin dengan pilihanku ini.”
Dan dia semakin penasaran. “Apa yang menjadi dasar penilaianmu hingga kau memilihnya? Bukankah dalam ajaran agama yang kita yakini ada empat kriteria yang menjadi dasar dalam melakukan pilihan pasangan hidup? Karena kecantikan, keturunan, kekayaan dan agamanya. Lalu dibagian mana yang menjadi pilihanmu itu?”
Lagi-lagi aku tersenyum melihat kebingungannya.
“Aku tak mendasarkan niatku untuk menikahinya karena keempat kriteria itu. Aku mendasarkan niatku menikahinya karena sesuatu yang lebih indah dan lebih mulia dari keempat kriteria itu.”
Dia menatapku tak mengerti. “Apa itu?”
“Lilahi ta’alla. Karena Allah semata.”
Dan dia semakin tak mengerti.
“Aku tak memandang kecantikan yang dia miliki. Aku tak mempersoalkan keturunannya yang berasal dari masyarakat kebanyakan. Aku tak memikirkan kekayaan yang tak ia miliki. Dan aku tak memandangnya dari agama dan keimanan yang baru dia jalani setelah keluar dari kehidupan masa lalunya yang kelam. Aku tak memandang semua itu.”
Dia mengerutkan keningnya. “Lantas mengapa kau bisa memilih dirinya tanpa melihat semua itu? Bukankah kita seharusnya memilih seseorang yang akan menjadi pendamping kita karena agamanya?”
Aku menghela nafas. “Karena kalau aku melakukan itu, aku sama saja dengan seorang ulama yang memilih-milih umat.” Kataku. “Aku akan cuma menuruti keinginan dan hasratku saja untuk memilih-milih calon pasanganku. Aku akan melupakan ibadah karena Allah ta’alla. Padahal rasulullah memberikan contoh terindah untuk kita.”
“Apa maksudmu?”
“Rasulullah tak pernah memilih-milih istri-istri beliau berdasarkan keempat kriteria itu. Rasulullah melakukan semua itu karena Allah ta’alla. Rasulullah ingin menolong dan mengangkat derajad istri-istri beliau yang semuanya adalah janda, kecuali Aisyah. Siti Khadijah juga seorang janda. Bahkan rasulullah yang membimbing dan mengajari istri-istri beliau. Rasulullah tak pernah meninggalkan apalagi menceraikan satupun istri-istri beliau. Sungguh sangat berbeda dengan apa yang ditunjukkan oleh beberapa ahli agama saat ini. Mereka menikah dan berpoligamy dengan wanita-wanita yang mereka pilih yang terkadang mengundang kesedihan hatiku. Mereka memilih gadis perawan nan cantik rupawan. Memilih yang memiliki harta. Bahkan terkadang memilih yang berasal dari keturunan terhormat dengan beralasankan sunah kriteria rasul, mencari pendamping hidup karena agama. Mereka melupakan para janda miskin yang teraniaya, wanita-wanita yang bergelut dengan nista dan bergelimangan dosa. Mereka tak mau mengangkat kehormatan para wanita-wanita yang teraniaya. Aku hanya ingin mencoba mengikuti sedikit saja apa yang dilakukan rasulullah.”
Temanku terdiam menatapku.
“Apa yang akan kau lakukan jika datang seorang gadis yang tidak perawan, yang ingin bertobat kembali kejalan yang benar dari kehidupan masa lalunya yang kelam karena pernah berzina? Dimanakah kau letakkan kriteria gadis seperti itu? Bisakah kau letakkan dia kedalam golongan wanita yang memiliki agama yang baik berdasarkan penilaianmu itu?”
Dia diam sejenak. “Tapi bukankah sudah tertulis dalam Al Quran bahwa lelaki yang baik itu untuk wanita yang baik? Dan wanita yang baik itu untuk lelaki yang baik pula. Bahwa seorang pezina itu harus menikahi pasangan zinanya. Haram hukumnya menikahkan seorang pezina dengan lelaki atau wanita baik-baik lainnya.”
“Tapi bagaimana jika pasangan zinanya itu tak mau bertanggung jawab menikahinya? Haruskah dia memaksakan atau menunggu hingga datang kesadaran pada lelaki itu dengan mengorbankan aqidah yang perlahan-lahan ada dalam dirinya?”
Temanku terdiam.
Aku menghela nafas. “Bisakah gadis itu kembali suci meski tak lagi perawan? Akankah dia mendapatkan kehormatanya kembali ditengah-tengah masyarakat bila kita masih saja memandang masa lalunya? Lalu pada siapakah dia memohon perlindungan didunia ini dari gunjingan dan godaan orang-orang yang menginginkannya kembali ke dalam kemaksiatan jika kita masih saja memilih-milih umat dalam menjalin persaudaraan?”
“Lalu apa yang menjadi keinginanmu saat ini?”
Aku menatapnya. “Aku ingin mengikuti sedikit saja apa yang diberikan rasulullah dalam memilih pasangan hidup. Aku ingin menolongnya mendapatkan kembali kehormatannya. Aku ingin membimbingnya dengan sedikit ilmu yang kumiliki. Aku ingin mengangkat derajad hidupnya agar tak lagi dipandang hina oleh manusia-manusia lainnya.”
Dia mengangguk-angguk.
“Lagi pula, aku juga bukan lelaki baik-baik. Aku belum memiliki ilmu agama yang baik, jika itu yang kau maksudkan, yang bisa kuandalkan dan kubanggakan bahkan ku tunjukkan sebagai bukti kalau aku ini adalah seorang lelaki baik-baik.”
Dia tersenyum. “Apakah itu sudah menjadi ketetapan hatimu? Apa kau akan kuat membimbingnya dengan sedikit ilmumu itu? Apakah kau tak akan menyesalinya kelak? Lalu bagaimanakah kau menghadapi tanggapan orang-orang baik dari lingkunganmu sendiri maupun dari kehidupan masa lalunya? Apakah kau akan kuat bertahan?”
Aku terdiam sejenak menghirup udara mengisi paru-paruku. Pertanyaannya yang mencecar membutuhkan keteguhan dan kesungguhan hati untuk menjawabnya. Ku atur irama detak jantungku agar aku bisa menjawabnya dengan penuh keikhlasan dan kesungguhan.
“Insayallah aku akan ikhlas menerima dan menjalaninya. Biarkanlah orang-orang menganggap konyol apa yang aku lakukan. Karena aku melakukannya demi mendapatkan ridho dariNYA. Biarlah DIA yang memberikan kemuliaan untukku sesuai janjiNYA yang akan memberikan kemuliaan pada lelaki yang bertaqwa yang ikhlas dan rela menolong mengangkat derajad kehormatan seorang wanita yang teraniaya. Biarkanlah aku berlindung dalam naungan kasih sayangNYA. Lilahi ta’alla aku ikhlas menerimanya.”
Dan temanku memelukku sambil mengatakan padaku kalau kini dia mengerti dengan keputusanku. Dia juga berjanji akan membantuku sekuat tenaga mengahdapi orang-orang yang mungkin akan menjadi penghalang dan pengganggu niatku ini.
Janji seorang teman sejati yang tak akan aku lupakan kebaikannya. Karena kini dengan keberanian yang muncul dalam diriku, kesungguhan dan keikhlasan yang ada dihatiku, aku datang menghadap orangtua gadis ini untuk mengutarakan niatku.
Dia seorang gadis yang masih muda, seumuran gadis yang baru menyelesaikan pendidikan smu. Tapi dia sudaah lama berhenti sekolah sejak kelas 1 smu. Dia berhenti karena mengikuti pergaulan yang salah yang penuh dengan kemaksiatan dan zina. Dia berteman dengan orang-orang yang salah yang hanya memanfaatkan tubuh dan kecantikannya demi menikmati semunya duniawi.
Tapi dia beruntung karena mendapatkan petunjuk dan hidayah untuk kembali kejalan Illahi. Berawal dari meninggalnya bapaknya, dia merasa menyesal dan terpukul. Terlebih saat melihat adik perempuan satu-satunya yang dia miliki kini beranjak ramaja, dia tak ingin adiknya mengalami bejatnya nafsu yang menguasai hati. Dia ingin membimbing adiknya dan memberikan contoh yang baik.
Dia bukanlah siapa-siapa. Selain dari kecantikan dan kesempurnaan tubuhnya, tak ada lagi kelebihan yang dia miliki. Dia tak memiliki agama yang baik jika berkaca pada masa lalunya. Dia tak memiliki kekayaan. Dia juga bukan berasal dari keturunan terhormat karena almarhum bapaknya hanyalah seorang buruh bangunan sementara ibunya berjualan lontong dan nasi. Dia bekerja membantu ibunya berjualan dimana aku menjadi pelanggannya.
Disitulah awal aku mengenalnya. Berawal dari rasa kagumku pada keteguhan hatinya walau beberapa temannya dari masa lalu mencoba menariknya kembali kedunia kelam masa lalunya. Saat dia menghadapi beberapa lelaki yang mengetahui masa lalunya dan menggodanya. Saat dia berusaha tegar menghadapi orang-oarng yang menganggapnya sebagai gadis munafik yang bersembunyi disebalik jilbabnya, aku berniat untuk mengangkat derajadnya, mengembalikan kehormatannya dan melindunginya. Semua itu kusandarkan karena Allah semata.
Tapi aku tak mengerti mengapa kini perasaan itu bisa berubah dihatiku. Bahwa niatku yang semula melamarnya karena Allah semata kini berubah menjadi kasih untuknya. Rasa simpatiku berubah menjadi sayang. Melihatnya berjuang dengan segala keterbatasannya, dengan semua kelemahannya, dan dengan seluruh daya upaya yang dia miliki memunculkan sebuah perasaan indah dihati ini.
Apakah seperti ini rasanya perasaan dihati kala meniatkan cinta karena Allah ta’alla? Seperti inikah indahnya rasa itu bila ibadah kehidupan berumah tangga kusandarkan pada niat karena Allah semata?
Ibunya menangis sesenggukan kala aku mengawali lamaranku dengan sebuah kalimah Basmalah. Adiknya juga menangis sambil memeluk bahu ibunya.
Tapi tangisan terindah yang kulihat dan memaksaku untuk ikut menangis adalah tangisannya kala aku mengatakan bahwa aku ingin mempersunting dirinya karena Allah ta’alla. Karena cinta yang kini kurasakan berawal dari niatku meletakkan cinta karena Allah semata.
Dan dia terus menangis. Tanpa suara. Tanpa isak. Hanya linangan air mata yang terus keluar dari kedua matanya mengalir didua pipinya. Begitu indah dalam cahaya yang tak pernah kulihat dan kurasakan sebelumnya. Terlebih lagi kala dia meraih tanganku, menciumnya berulang kali sambil mengucapkan kata syukur pada Illahi dan kata terima kasih padaku yang dia ucapkan berkali-kali.
Aku hanya bisa tersenyum bahagia dengan mata berkaca-kaca. Dadaku bergemuruh sesak berdebar indah dalam kebahagiaan yang tak pernah kurasakan selama ini. Sejenak aku merasa berada dalam naungan cahaya yang terpancar dari Ar Rahman Ar Rahim.
Jadi seperti inilah rasanya indahnya cinta bila kita meletakkannya karena Allah semata. Lilahi ta’alla....