Masukan nama pengguna
"ANAKKU datang...."
Itulah kalimat terakhir Mama yang ia ucapkan untukku, dia katakan kepadaku.
Hanya itu.
Ia menyambut kedaatanganku dengan kalimat itu. Momen beberapa detik di mana ia sadar, menyadari kedatanganku. Sudah dua hari dia kehilangan kesadaran. Setelah mengucapkan kalimat itu pun dia kembali tak sadarkan diri. Sampai maut menjemputnya.
Itu kepedihanku yang pertama.
"Sakit mama mulai aneh-aneh..." kata abangku dua hari lalu.
Sehari sebelum terbang ke kota kelahiranku, penerbangan yang memerlukan transit di Jakarta, abangku menelepon. Cuma kalimat itu yang ia katakan. Dia memang tak banyak bicara. Menelepon pun jarang. Biasanya aku yang selalu menelepon, menanyakan kabarnya dan terutama kabar Mama.
Aku tahu aku harus segera pulang. Segera setelah menerima telepon itu aku mencari tiket. Dari bandara aku tak perlu singgah di rumah. Mama sudah seminggu lebih ada rumah sakit di kota. Rumah kami ada di kampung, 120 km dari kota.
Sejak dua bulan terakhir Mama sudah keluar masuk rumah sakit. Dia dirawat di rumah sakit provinsi dengan biaya ditanggung BPJS yang bersama-sama kami bayarkan.
Di rumah sakit kami bergantian mengingatkan waktu salat. Mengingatkan Mama untuk salat dengan gerakan isyarat. Membisikkan bacaan salat. Ia bereaksi dengan gerakan mata. Lalu seperti bergumam mengikuti kemudian hanya terdengar seperti suara menahan sakit atau seperti suara mengaduh perlahan menyatakan rasa sakitnya. Tubuh Mama menahan dua serangan. Kanker darah dan kerusakan ginjal.
Darah yang rusak oleh kankter membuat ginjal harus bekerja keras. Padahal pada level kerusakan yng akut praktis ginjal mama sudah tak berfungsi lagi. Tranfusi darah dihentikan. Percuma. Sel-sel kanker memakan darah, HB turun. Kami tahu situasi yang dihadapi Mama, kami tak lagi tahu harus bicara apa. Isi kepala kami hanya Mama tapi kami sama tak berdaya seperti dia, tak ada yang bisa kami lakukan.
Di situlah rasa bersalah kami menggunung. Kami seperti membiarkan Mama menahan sakit sendirian, dan membiarkannya begitu hingga ajalnya datang. Itu membuat hati kami seperti diiris-iris rasa bersalah, dan pedih sekali rasanya.
Bergantian kami sembahyang di sebelah ranjang perawatan Mama. Sembahyang apa saja, yang wajib jika masuk waktu, juga yang sunat. Mungkin dengan begitu kami berharap Mama melihat kami tak melupakan salat, mungkin kami juga berharap Mama ikut sembahyang dalam kesadarannya yang hilang. Sewaktu kecil dulu kalau Abah sedang tak di rumah, Mama menyuruh kami jadi imam, dia makmum.
Mama buta huruf latin. Tapi ia lancar mengaji. Dia tak tamat SD. Dia melakukan apapun agar kami, empat anaknya bisa kuliah. Semua anak-anaknya harus sarjana. Tapi jadi apapun kami, ke mana pun kami pergi satu yang selalu dia ingatkan: salat! Jangan tinggalkan salat.
Kerja keras itulah yang mungkin membuat badannya rapuh di masa tuanya. Mama jarang sekali sakit. Sakit pun seringkali dia abaikan. Berdiam saja malah bikin badan makin sakit, kata Mama. Padahal dokter puskesmas menyarankan dia beristirahat.
Kami punya kebun kelapa. Mama punya sedikit warisan dari kakek. Selebihnya adalah kebun yang dia tanam sendiri bersama Abah. Kebun yang sangat dia banggakan karena dia tanam dari membuka lahan hutan hingga menjadi kebun produktif.
Pada awal-awal kami mulai sekolah belum semua pohon kelapa di kebun kami berbuah. Kekurangan uang dicukupkan oleh Mama dan Abah dengan mengusahakan apa saja. Mama membuat kue, membuat minyak goreng, beternak ayam dan bebek, dan Abah berdagang bahan pangan, ia menjual pisang yang ditanam di sela-sela pohon kelapa, dan menengkulak kelapa ke kota. Yang paling menguntungkan itu berdagang telur ikan yang diasinkan.
Setelah kami selesai kuliah, Mama dan Abah minta izin menjual sebagian kebun untuk biaya naik haji. Dia meneleponku. Saya bilang, “jual aja, Ma. Itu kan kebun Mama.”
“Tapi kan, itu harusnya menjadi warisanmu dan saudara-saudaramu. Mama merasa tak enak kalau nanti Mama meninggal tak meninggalkan apa-apa buat kalian.” kata Mama.
“Mama sudah menyekolahkan kami. Itu sudah cukup, Ma. Jual aja kebun, ‘kan cuma separo. Harusnya kami yang mengongkosi Mama dan Abah naik haji,” kataku.
Mengenang keikhlasan itu dan melihat dia terbaring menunggu maut aku merasakan rasa pedih yang lain.
Pada malam kesekian Mama dirawat, dokter memeriksa dengan cemas dan kami melihat itu dengan lebih cemas.
"Saya mau bicara dengan salah seorang keluarga, di ruangan saya..." kata dokter itu.
Tak ada dari kami, anak-anaknya, yang ingin meninggalkan Mama. Abah keluar ruangan tapi juga tak mau ke ruangan dokter. Akhirnya Paman yang menemui dokter itu.
"Mamamu tak bisa kita harapkan lagi untuk bisa bertahan. Sabar ya, kita doakan yang terbaik buat beliau," kata Paman setelah menyampaikan apa yang tadi dijelaskan oleh dokter padanya.
Biasanya aku menganggap kalimat itu cuma basa-basi. Tapi ketika orang yang kami cintai terbaring menunggu maut, dan kami tak bisa berbuat apa-apa, kalimat itu berarti segalanya. Kami benar-benar hanya bisa berdoa.
Tengah malam suara nafas Mama seperti terhalang cairan.
Itu darah!
Lalu keluarlah darah di mulutnya, darah di kupingnya, darah di hidungnya. Kerusakan dari tubuh bagian bawah terus merambat naik. Aliran darah seperti kacau balau. Jantungnya pecah. Lalu dokter datang memastikan mama sudah tak bernyawa lagi.
Tak ada di antara kami yang menangis.
Bahkan air mata saja tak lagi bisa menggambarkan perasaan kami. Aku merasa seperti ada bagian yang tiba-tiba kosong dalam hatiku. Kekosongan yang tak pernah lagi bisa terisi, kehilangan Mama meninggalkan tempat yang tak akan pernah digantikan oleh apa pun.
Aku baru meneteskan air mata saat mendorong kereta mayat itu ke ruang mayat. Lalu aku menangis sepanjang lorong. Dua adikku dan abangku membereskan barang-barang bawaan keperluan Mama selama perawatan. Pakaian, selimut, dan tasbih.
Petugas kamar mayat itu memeriksa jasad Mama. Mungkin itulah prosedur di rumah sakit.
"Ada asuransi lain?" tanya si petugas, aku bilang tidak ada. Ia lantas mengisi data di selembar formulir. Keterangan itu katanya untuk dipakai kalau hendak mengajukan klaim asuransi.
"Tanda tangan di sini, Pak. Bapak anaknya?" Aku mengangguk. Mengambil pena dan membaca sekilas isi formulir itu. Aku membaca nama Mama, tanggal pemeriksaan, dan pernyataan bahwa sudah dilakukan pemeriksaan dan beliau benar meninggal pada tanggal pemeriksaan itu.
Di luar ruang mayat, adikku menunggu dengan mobil ambulan dan supirnya. Aku menandatangani surat itu dengan gemetar dan tiba-tiba aku menangis lagi.
Tanpa suara tapi dadaku sesak sekali rasanya.
Sedapat mungkin aku menahan isak.
Hanya air mata. Deras sekali air mata mengalir dari mataku.
Saat itulah saya merasakan perasaan pedih yang lebih pedih dari yang pedih.
© Habel Rajavani, 2024.