Masukan nama pengguna
Lebaran Kali Ini, Papa Tak Ada di Rumah
Cerpen Habel Rajavani
“EMIL, kunjungi mamamu, ya,” kata Papa, setiap tahun di hari-hari terakhir Ramadhan, sehabis dia membayar zakat fitrah untuk kami berdua di masjid komplek perumahan kami.
Aku sebenarnya malas. Mama tinggal di komplek perumahan lain. Kalau saya ke sana naik motor, tak sampai empat puluh menit sudah sampai. Tapi bukan jarak yang jadi masalah. Aku malas dan masih marah padanya.
Dulu pernah aku membantah. Akibatnya Papa marah besar.
“Papa aja nggak pernah ketemu lagi sama Mama. Kenapa Emil mesti ketemu Mama…,” kataku.
“Mamamu tak punya salah sama kamu. Dan kalau pun dia punya salah, selamanya dia Mamamu. Selamanya kamu adalah anaknya,” kata Papa dengan nada meninggi.
“Ya jelas mama punya salah sama Emil. Punya salah sama Papa. Kenapa dia ninggalin Papa, ninggalin Emil.”
“Mama memang ninggalin Papa. Tapi dia tidak ninggalin kamu, Emil. Dia mau bawa kamu pergi. Papa yang minta kamu tinggal sama Papa.”
“Saya juga nggak mau kok ikut Mama. Ngapain. Serumah sama laki-laki nggak jelas itu…”
“Emil. Hargai Mamamu. Siapa pun laki-laki yang dia pilih bersama dia sekarang, itu pilihan dia. Aku menahan kamu tinggal bersama Papa bukan karena tak percaya bahwa dia bisa merawatmu dengan baik."
“Kenapa Papa nggak nahan dia, sih?”
Papa diam. Lalu dia menangis. Aku menyesal membantah dia. Sejak itu setiap kali Papa menyuruhku mengunjungi Mama aku hanya mengiyakan. Dan itu cukup buat Papa.
Mama pergi dari rumah ketika aku berusia sembilan tahun. Sebenarnya sejak kecil pun Mama jarang di rumah. Papa yang lebih banyak merawatku. Itu sebabnya aku lebih dekat pada Papa.
Papa bekerja sebagai designer freelance. Dia dulu pernah bekerja di perusahaan. Tapi dia tak cocok harus masuk dan pulang kantor rutin. Sebagai freelancer penghasilannya tak tentu. Tapi dia selalu ada pekerjaan dan penghasilannya selalu cukup.
Dia tak pernah kekurangan uang untuk menghidupi kami, menyekolahkanku, dan kebutuhan lain seiring perkembanganku. Ketika saya minta motor setelah punya SIM dia membelikan aku motor.
Adapun Mama, ah, Mama bagi kami berdua seperti makhluk yang datang dari planet yang asing. Mama merancang segalanya dan memastikan semua berjalan sesuai apa yang dia rencanakan. Karirnya yang cemerlang di sebuah bank BUMN itu adalah bagian dari rencana hidupnya.
Pada umur sembilan tahun, ketika Mama meninggalkan Papa, aku bisa melihat betapa jauh sudah jarak antara mereka. Dan tak ada yang berusaha mengatasi jarak itu. Papa terlalu nyaman dengan irama hidupnya. Dia juga bukan tipe orang yang suka mengekang. Bagi Papa mencintai itu artinya membebaskan orang yang dicintai mengembangkan diri sesuai potensi dirinya. Kebebasan itulah yang ia berikan pada Mama.
“Mungkin Mama meninggalkan Papa karena Papa terlalu membebaskannya….,” kataku pada suatu ketika.
“Konsep mencintai bagiku memang begitu, Emil. Aku bahagia apabila aku bisa melihat dia bahagia,” kata Papa.
“Kalau begitu konsepnya, siapapun yang Papa cintai pasti akan meninggalkan Papa,” kataku.
“Ya, ngggak papa. Papa akan tetap mempertahankan cinta dengan konsep yang seperti itu. Kalau Mamamu benar-benar mencintai Papa suatu hari dia pasti akan kembali pada Papa…”
Ah, kasihan sekali Papa, dengan konsep cinta yang terlalu ideal itu. Sudah jelas-jelas dikhianati masih juga mempertahankan kesetiaan yang konyol itu.
Tapi Papa konsisten. Sejak ditinggal Mama Papa tak pernah mencintai perempuan lain. Dia juga tak pernah menjelek-jelekkan atau menyalahkan Mama di hadapanku.
Lebaran kali ini, Papa tak ada lagi. Dia tak sempat melihat aku wisuda. Aku pun akhirnya lulus tanpa menghadiri upacara di mana aku harus memakai toga itu. Beberapa hari aku di rumah sendirian. Sahur dan buka sendiri. Aku seperti merasa Papa masih di situ, di meja kerja itu dan bertanya, “sudah bayar zakat fitrah, Emil? Kunjungi Mamamu ya…”
Aku lekas-lekas ke masjid. Membayar zakat fitrah dan berinfak. Apa yang biasa dilakukan Papa. Pak Ilham, takmir masjid, teman baik Papa di kompek, memelukku setelah aku membayar zakat fitrah.
“Kamu sudah lulus, Emil?”
“Sudah, Pak Ilham…”
“Arsitek kamu sekarang ya?”
“Yah, gitu deh, Pak.”
“Lekas dapat kerja ya…. Aku teringat Papamu, Emil. Papamu orang baik. Masjid ini tak akan ada kalau tak karena Papamu. Dia yang minta kepada Walikota supaya tanah aset pemda kita pakai untuk lokasi masdjid ini. Beberapa tahun terakhir dia tak pernah absen iktikaf,” kata Pak Ilham.
Tentang kebaikan Papa, aku sudah cukup tahu, justru dari orang-orang seperti Pak Ilham. Papa sendiri tak pernah bercerita apa-apa.
“Nggak buru-buru pengen kerja sih, Pak. Mau santai dulu…”
“Sudah nengok Mamamu, Emil?”
“Ini mau ke sana, Pak,” kataku. Ah, Papa. Bahkan ketika engkau tak ada orang-orang yang kenal denganmu meneruskan kebaikan-kebaikanku, meneruskan nasihat-nasihatmu, menjagaku.
Ketika aku tiba di rumah Mama, dia seperti menungguku. Mama memelukku. Dia lalu memanggil Irma dan Astri, dua adikku dari Pak Tio.
“Tadi buka di mana, Emil? Sudah makan? Makan dulu ya… Ada Soto Banjar…”
“Tumben. Mama masak?”
“Ngeledek kamu ya… Mama mana sempat masak. Ada warung soto banjar langganan Papamu, Warung Bubuhan Kita, namanya. Kamu ingat, ‘kan? Sudah lama Mama tak ke sana. Tiba-tiba ingat Papamu dan ingin makan soto banjar kegemarannya…”
“Kalau soto banjar itu sih, mau, Ma…,” kataku.
Aku memang belum makan. Aku menghabiskan satu porsi besar. Mama, Astri dan Irma menemaniku makan. Kami berbincang tentang rencana-rencanaku. Sebagai arsitek rasanya aku tak akan kesulitan mencari kerja.
“Kamu nggak ada rencana kerja di kota lain kan?”
“Nggak, Ma. Di sini aja. Sayang rumah nanti nggak ada yang jagain. Itu barang-barang Papa nanti mau diapain kalau saya harus meninggalkan rumah…”
Mama terdiam. Ekspresinya tiba-tiba menjadi murung dan seperti disergap perasaan bersalah. Aku tak bermaksud memojokkannya dengan kalimatku tadi.
“Nanti malam tidur di sini, ya, Emil. Besok pagi kita berangkat ke masjid sama-sama dari sini,” kata Mama.
Kali ini aku yang terdiam.
“Iya, Mas Emil. Tidur di sini aja…” kata Irma. Astri memandangku dengan penuh harap. Aku dekat dengan dua adik tiriku itu. Papa juga yang dulu selalu menyuruh aku mendekatkan diri dengan mereka. Jangan lihat siapa ayahnya, tapi lihat siapa ibunya. Kalian lahir dari rahim seorang perempuan yang sama, kata Papa. Selalu begitu dia menasihatiku.
“Pak Tio mana?”
“Dia tak di sini lagi….” kata Mama.
Ah, rupanya, ketika aku sibuk mengurus ujian akhirnya, Papa meninggal karena serangan jantung, Mama dan Pak Tio bercerai. Mama ditinggalkan oleh Pak Tio yang memilih pergi perempuan lain.
Aku tidak terlalu kenal Pak Tio. Bagiku dia hanya lelaki yang menjadi suami Mama. Hanya itu. Dia tak pernah bisa kuanggap sebagai ayah yang lain.
“Tidur di sini, ya, Emil?”
“Aku pulang dulu ke rumah. Kayaknya tadi aku tak mengunci pintu depan, Ma…”
“Kamu ke sini naik motor?”
“Iya. Ma…”
“Pakai mobil Mama ya. Biar Irma dan Astri ikut ke rumah.”
“Nggak sekalian aja Mama ikut ke rumah?”
“Oh, ayuk. Mama juga ikut ya….”
© Habel Rajavani, 2024.