Masukan nama pengguna
JEREBU berwarna kecokelatan sepertinya sudah menjadi langganan setiap tahun di seluruh langit pulau Sumatra, terutama di Pekanbaru. Hal ini disebabkan karena banyaknya lahan hutan yang dibakar oleh oknum-oknum yang sudah kebal akan hukum. Dan hingga saat ini, aparat penegak hukum belum pernah sekali pun menangkap otak di balik pembakaran hutan tersebut, kecuali hanya tikus-tikus gotnya. Akibatnya, langit kota menjadi cokelat pekat macam berasa tinggal di planet Jupiter.
Pandangan juga tidak menjadi jelas akibat tebalnya jerebu yang menyentuh permukaan. Bahkan, bukan hanya kendaraan di darat saja yang tidak jalan, namun sejumlah jadwal penerbangan harus di-pending atau delay. Gedung-gedung tinggi dan menara masjid agung kota pun ditelan kabut. Begitupun tiga jembatan yang melintas di atas punggung sungai Siak, lenyap tak terlihat. Hal ini membuat Pak Sudiro batal pulang ke Semarang karena tak satu pun pesawat yang berani take off dalam keadaan gawat begini. Pekanbaru dalam status bahaya. Penderita ISPA musiman mulai bermunculan.
"Memangnya sampai kapan jerebu ini akan hilang, Sam?" kata Pak Sudiro bertanya pada anaknya, Samuji.
"Biasanya nunggu hujan, Pak. Tapi, sekarang bukan saatnya musim hujan," jawab Samuji yang saat itu tampak berolah raga ringan di halaman rumahnya. Lelaki itu mengenakan masker.
"Lha, bagaimana jerebunya mau hilang wong hujannya nggak ada?" terkekeh lelaki sepuh yang usianya sepantaran dengan jumlah tahun Indonesia merdeka itu. "Terus cara mengusirnya pakai apa?"
"Biasanya BPBN akan mengutus helikopter yang mengangkut berton-ton garam untuk membuat bibit-bibit hujan, Pak," sahut anak sulungnya itu.
"Hah, apa ndak merugikan negara dengan membuang-buang garam? Coba hitung, habis berapa miliar buat membeli garam?"
"Lalu, dengan cara apa pemerintah bisa mengusir jerebu tahunan ini, Pak?"
"Tangkap cukong-cukong pemilik lahan hutan yang membakar hutannya!"
Sudah dua minggu Pak Sudiro menyambangi anaknya itu. Sudah empat hari raya sejak Covid-19 merenggut nyawa sebagian penduduk Indonesia, lelaki sepuh itu tidak menyambangi anaknya itu. Ia hanya mengobati rasa rindu hanya dengan lewat video call. Tapi, orang tua itu merasa kurang puas. Dan akhirnya, lebaran tahun ini ia bisa menemui anaknya itu langsung ke Pekanbaru. Rasa rindu pada anak lelaki dan kedua cucu serta cicitnya terbayar saat ia baru sampai di ruang penjemputan bandara.
Sedangkan Samuji sendiri sudah lima belas tahun menetap di Pekanbaru. Ia bekerja sebagai guru di salah satu SMA di kota bertuah itu. Sementara istrinya adalah warga asli yang bekerja sebagai PNS di pemkot.
"Oh, iya, Sam, apakah kamu membeli koran?" tanya Pak Sudiro.
"Koran, Pak?"
"Iya. Koran."
Saat itu, pembantu rumah tangga Samuji mengeluarkan dua cangkir kopi dan sepiring bolu kemojo dan lampok durian. Lalu, ia meletakkannya di atas meja.
"Monggo diunjuk kopine pun, Mbah Kakung!" katanya dalam bahasa Jawa halus.
"Engge, matur nuwun, Mbak Heni."
"Sami-sami."
Pembantu Samuji asli dari Medan, namun berasal dari Jawa. Entah Jawa mana. Kakeknya dulu adalah mantan pekerja transmigrasi yang dibawa oleh Belanda. Dan meski sudah lama hidup di sana, orang itu sama sekali tidak melupakan bahasa leluhurnya.
"Masak kamu nggak baca koran?"
"Aku sih baca koran, Pak. Tapi, bukan koran kertas macam dulu."
"Lalu?"
"Koran digital, Pak." Samuji memperlihatkan smartphone pada bapaknya.
"Itu smartphone, Cah Gemblong!"
"Ya sekarang aku baca koran dari smartphone ini. Pakai internet, Pak."
"Tidak, tidak, bapak tidak mau membaca koran dari smartphone. Bapak mau baca koran kertas."
"Ya, sekarang apa-apa sudah digital, Pak. Buku digital. Koran digital. Bayar apa pun pakai digital."
"Bapak tidak mau. Ayo, bawa bapak untuk mencari loper atau agen yang menjual koran. Ada kan di sini?"
Samuji menepuk dahinya dengan tangannya sendiri. Orangtua itu sama sekali tidak mau menerima perubahan zaman. Lihatlah, karena semakin majunya perkembangan digital banyak penerbit koran yang gulung tikar, toko dan penerbit buku berguguran.
***
Kedua anak-beranak Pak Sudiro itu berboncengan sepeda motor berkeliling kota. Mereka melintasi jembatan Sultan Syarif Kasim II di atas sungai Siak yang diselimuti jerebu, lalu tembus Jalan Panglima Undan. Di Jalan Riau, Samuji menyeberang. Ia tahu kalau di simpang lampu merah Jalan Riau ada banyak loper yang menjajakan koran kertas. Tapi, setiba di sana ia tak menemukan anak-anak yang berprofesi sebagai loper koran tersebut. Ke manakah anak-anak itu pergi?
"Biasanya di sini ada banyak loper koran, Pak." Samuji menunjuk ke arah simpang lampu merah. "Di tahun 2000 an, dulu ada sekitar 7-8 loper koran yang menjual koran kertas. Tapi sekarang entah pergi kemana?"
Tampak di simpang lampu merah itu kondisinya lengang. Tidak ada celoteh atau gelak tawa bocah-bocah loper koran yang bekerja menawarkan korannya pada setiap pengendara yang lewat di situ. Yang ada hanya pedagang asongan yang menjual masker. Bertanyalah Samuji pada pedagang masker itu.
"Sekarang sudah tidak ada lai loper koran, Pak," jawab lelaki kurus dan tinggi macam tiang listrik itu dalam bahasa Indonesia berlogat Minang. "Awak dulunya juga loper koran di siko, Pak. Tapi, pas Covid, awak berhenti. Abang awak juga berhenti."
"Apakah masih ada agen koran yang menjualnya, Dik?" tanya Samuji.
"Cobalah Bapak pai ka agen koran yang ado di dakek Pasar Kodim."
Samuji pun langsung menuju agen koran yang ditunjuk oleh lelaki muda mantan loper koran itu. Tapi hasilnya nihil. Oleh pemilik agen, Samuji diminta untuk berlangganan langsung dari penerbit koran. Yang anehnya, justru oleh penerbit koran, Samuji diminta agar berlangganan koran digital.
"Bagaimana, Sam?" tanya Pak Sudiro.
"Kita makan dulu, Pak."
Kemudian, mereka berdua berhenti di sebuah warung penjual lontong sayur. Sambil makan, Samuji menjelaskan kepada ayahnya bahwa keberadaan koran kertas sudah punah. Nasibnya mirip dengan dinosaurus dan burung dodo. Ia pun meminta kepada ayahnya agar membaca koran digital.
"Bahaya! Bagaimana dengan nasib penerbit koran jika koran kertas tidak dicetak lagi? Bagaimana pula dengan nasib para sastrawan, budayawan, seniman dan penulis jika koran kertas menjadi punah? Dan bagaimana dengan nasib anak-anak cucu jika mereka hanya dicecoki berita-berita hoaks di media sosial?" sedih Pak Sudiro.
"Itulah zaman, Pak. Zaman bapak tentu sangat jauh berbeda dengan zaman anak-anak. Kalau dulu tv masih hitam putih, sekarang gambarnya bisa macam keluar dari layarnya. Itulah tv 3D. Begitupun dengan koran. Koran kertas sudah ada sejak zaman kerajaan Demak di Jawa ada, yaitu koran Gazzette di London. Bahkan, hingga sekarang koran itu masih ada. Tapi, dengan semakin berkembangnya dunia telekomunikasi dan teknologi, kini orang lebih memilih untuk menerbitkan koran dalam bentuk digital."
Samuji menunjukkan sebuah koran flip dalam bentuk digital kepada ayahnya melalui smartphone-nya.
"Koran kertas digital tampilannya tetap sama dengan koran kertas fisik. Cara bacanya adalah dengan membuka halaman yang dilipat. Bedanya, koran digital tidak mudah kusut, lusuh dan lucek macam koran lawas. Harganya pun sama. Bagaimana, Pak?"
Akhirnya, Pak Sudiro mau membaca koran digital melalui smartphone yang dibelikan oleh anak sulungnya itu. Lelaki itu amat khusyuk membaca koran sambil menikmati seseruput kopi hitam kental dengan sepotong bolu kemojo beraroma pandan.
Mungkin di dunia ini tidak hanya Pak Sudiro saja yang merindukan nostalgia membaca koran kertas, namun juga angkatan sesamanya. Tapi, dunia harus berubah. Kebiasaan lama harus diganti dengan kebiasaan baru yang jauh lebih modern. Sebab meskipun semuanya sudah beralih ke digital, namun budaya membaca tetap harus dipertahankan dan dilestarikan. Agar masyarakat semakin cerdas dan kritis terhadap berita-berita hoaks yang menyesatkan.
Pak Sudiro pun pulang ke Semarang setelah jerebu enyah entah kemana. Di balik jendela pesawat yang membawanya pulang, orangtua itu tenggelam dalam bacaannya saat membaca koran. Di usianya yang bertambah renta, lelaki tua itu masih menenggelamkan dirinya untuk mengikuti informasi di akhir-akhir masa kritis koran.
***
Tapi, benarkah koran kertas benar-benar akan mati?
Bukannya mati, tapi yang mau beli koran sudah sangat jarang sekali. Orang lebih suka buka hape, sekali buka tinggal pilih mau baca apa. Akhirnya secara alami profesi loper koran dan toko yang khusus menjual koran menghilang secara perlahan tapi pasti.
Sekarang misalnya, kalau kalian mau baca koran Riau Ekspres atau Metro Pekanbaru dalam bentuk koran kertas, kalian cuma bisa temukan di Puswil atau kantor-kantor pemerintah.
Tentu saja fenomena seperti ini terjadi di mana-mana, bukan cuma di Pekanbaru ketika trend lama yang out of date tergilas oleh trend baru yang lebih canggih. []
2024
Penulis novel yang lahir di Prob