Cerpen
Disukai
0
Dilihat
13,172
Tarian Angsa
Romantis

 Erlangga meninggalkan rumahnya setelah mengemasi beberapa pakaian berupa kemeja, kaos, celana, dan singlet, dan barang-barangnya seperti arloji, sepatu, dan hape androidnya ke dalam tas punggung hitamnya. Dipandanginya laki-laki paro baya yang membenamkan mukanya di balik koran Minggu pagi yang lagi duduk di kursi malas di beranda rumah panggung itu dengan tatapan marah. Lalu, sambil mendengkus, pemuda itu melangkah ke halaman rumah menuruni anak tangga dengan hati terluka. Ibunya yang melihat putranya nekat meninggalkan rumah segera mengejar, sembari memanggil-manggil nama suaminya.

"Pak, Pak, lho, Pak, Erlangga benar-benar nekat pergi, Pak! Gimana ini, Pak? Lho, Pak. Cegah dong, Pak! Ojo' meneng wae toh!"

"Alah biarin saja anak sontoloyo itu pergi," suaminya sama sekali tidak menggubris drama istrinya yang persis sama pemain sinetron. Ia tetap fokus membaca berita di koran yang jauh lebih dramatis ketimbang akting istrinya yang terlalu recehan. "Besok-besok dia akan pulang juga kok. Memangnya bisa dia bertahan hidup di luar tanpa uang? Mau dapat duit dari mana dia buat mengisi bensin perutnya, heh?"

"Bapak kok tega banget sama anak kandung sendiri sih? Dia anakmu lho, Pak!"

"Lha wong anakmu duluan yang cari gara-gara!" Suaminya memilin kumisnya yang melintang seperti tanduk kerbau. Lalu, kembali membenamkan mukanya di balik koran. Melanjutkan kembali membaca berita viral pertunangan Lucinta Muna dengan pacarnya yang berkebangsaan Kanada.

"Er! Erlangga! Jangan pergi, Nak! Jangan dimasukkan ke dalam hati apa-apa yang dikatakan oleh ayahmu."

Erlangga menghentikan langkahnya. Lalu, ia berdiri di halaman rumah mirip dengan tiang bendera.

"Aku tidak akan pergi dari rumah kalau ayah setuju aku melamar Rubiah. Tapi, kalau ayah tetap menolak, aku akan pergi jauh dan tidak akan pernah pulang."

Ayahnya yang jengkel langsung bangkit dari kursi malasnya dan membanting koran ke meja hingga melanggar gelas berisi kopi yang tinggal setengahnya. Gelas kaca itu tumbang ke kiri dan kopinya tumpah membasahi taplak meja.

"Dasar anak gak tahu diuntung! Masih tetap saja keras kepala! Sekali orangtua bilang tidak ya tidak. Nggak perlu sampai mengulangi dua kali. Macam ujian listening saja. Dengarkan baik-baik, sampai kiamat pun bapak tidak akan pernah menyetujui kamu melamar si Rubiah gadis Dayak putrinya si Ramlan itu! Ingat, ingat! Bapak tidak akan pernah setuju! Camkan itu!"

 

"Oke. Fine. Kalau itu keputusan bapak. Aku tidak akan memaksa lagi supaya bapak merestui hubunganku dengan Rubiah. Aku sudah paham kenapa bapak tidak mau merestui hubungan kami, namun aku tidak perlu menjelaskannya lagi karena bapak lebih tahu alasannya. Lagipula sungguh tidak etis kalau tetangga tahu alasannya karena mereka hanya akan mengecap bapak sebagai bangsa yang sangat menjunjung kesukuan. Perlu bapak ketahui, kita ini sama-sama makhluk Tuhan yang masing-masing saling memiliki kelebihan dan kekurangan. Tapi, dari kelebihan dan kekurangan itu kita tidak boleh saling mengunggulkan suku kita sendiri dengan meremehkan suku yang lain. Yang perlu kita lakukan adalah bagaimana kelebihan dan kekurangan dalam diri kita itu kita gunakan untuk saling menggenapi bukan melengkapi."

"Memangnya kamu anak kapan ngajari bapakmu ini soal perlunya menggenapi kekurangan dan kelebihan antar suku, heh? Dasar anak sontoloyo!"

"Bapak memang lebih dulu belajar soal kesukuan, namun bapak lebih mengunggulkan suku nenek moyang bapak sendiri. Lha buktinya, bapak melarangku untuk melamar Rubiah lantaran dia terlahir sebagai gadis Dayak. Suka-suka Tuhanlah, Pak, mau menjadikan dia sebagai suku apa. Tidak penting dia Dayakkah, Bugiskah, Melayukah, Minangkah, Sundakah, Baduykah, Jawakah, yang penting dia perempuan dan bisa memberiku keturunan. Bapak malah mau ngatur-ngatur ketetapan Tuhan. Tuhan kok mau diatur-atur?"

"Terserah kamu mau menikah dengan Rubiahkah atau siapalah yang sesuku dengannya, namun kamu tidak boleh menikah dan tinggal di rumah ini. Titik!"

"Fine. Aku akan tetap menikahi Rubiah dan aku tidak akan tinggal di rumah ini."

"Pak, Pak, kok sama anak musuh banget kayak macan dan singa? Bapak dan anak sama-sama berkepala batu! Seribu tiga! Setali tiga uang! Sebelas dua belas!"

"Yang berkepala batu itu ibu." Suaminya masuk ke dalam rumah. Sementara Erlangga benar-benar pergi meninggalkan rumahnya.

"Lha, lha, kok malah aku katanya yang berkepala batu?"

Tetangga yang menonton pertengkaran anak dan bapak untuk kesekian kalinya itu sama sekali tidak berkomentar dan memilih diam. Saat Erlangga lewat di samping mereka, mereka cuma membisu tanpa menegurnya.

Hari itu, Erlangga naik bus ekonomi jurusan kota M. Dia akan tinggal di kota itu sambil mencari kerja. Sebenarnya, dia ingin membawa Rubiah kabur dan kawin lari. Tapi, perbuatannya sungguh tidak etis dan melanggar peraturan agama yang dianutnya jika dia nekat melakukannya. Lagipula dia tidak ingin menjadi pemicu peperangan antar suku seperti yang terjadi pada 23 tahun silam yang telah memakan korban puluhan jiwa dari kedua suku. Baginya perang hanya akan membawa dampak keburukan bagi bangsanya di depan bangsa lain. Negaranya akan dicap sebagai negara yang tidak aman bagi pelancong luar negeri. Bukankah negaranya disebut-sebut sebagai negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai ketuhanan meskipun negaranya bukan negara teokrasi? Sebagai negara yang paling percaya kepada Tuhan, lalu mengapa bangsanya justru mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan dengan gemar memerangi bangsanya sendiri? Cukuplah tragedi berdarah 23 tahun lalu itu yang menodai bangsa ini, dan jangan sampai tragedi baru kembali terjadi lagi.

"Kak, Kakak lagi di mana?" sebuah pesan chat masuk ke Whatsapp milik Erlangga, dari Rubia.

"Kakak pergi dari rumah, Dik."

"Kak Erlangga bertengkar lagi dengan ayah kakak ya? Semuanya pasti gara-gara Rubia. Iya kan?"

"Dik, Adik nggak usah mikir yang macam-macam ya. Walau bagaimanapun kakak akan tetap mencintai Adik. Kakak akan tetap menikahi Adik. Tapi Adik yang sabar dulu. Kakak akan merantau dan mencari kerja buat ngumpulin biaya pernikahan kita kelak. Setelah uang kakak terkumpul nanti, kakak akan terbang ke Kalimantan untuk menemui kedua orangtuamu."

"Iya, Kak. Adik akan senantiasa mendoakan kakak supaya kakak selalu berada dalam lindungan Allah, dan semoga kakak diberikan rezeki yang halal dan barakah."

"Aamiin. Terima kasih, Dik."

"Adik akan selalu menunggu kedatangan kakak di sini."

 

Erlangga benar-benar tersentuh oleh kata-kata tulus yang ditulis oleh gadis Dayak yang telah mencuri hatinya itu.

Lima belas tahun yang lalu, ketika keluarganya merantau ke Kalimantan, Erlangga tanpa sengaja bertemu dengan Rubia, gadis Dayak Muslim yang berasal dari keluarga Dayak yang sangat religius. Ayah Rubia adalah seorang kiai di kampungnya. Beliau sangat toleran dan menjunjung tinggi tata krama terhadap warga Dayak yang non muslim. Setiap kali menjelang Idul Fitri, ayah Rubia membantu warga Dayak non muslim yang terlilit utang. Sifat ayahnya pun menurun ke dalam diri Rubia. Gadis berkulit putih itu selalu membantu teman-teman sekelasnya yang mengalami kesulitan ekonomi meski temannya itu non muslim.

"Kita sama-sama berasal dari nenek moyang yang sama, baik secara batiniah maupun lahiriah. Perbedaan bukanlah penghalang bagi kita untuk melakukan kebajikan. Bukankah Rasulullah Saw pernah menyuapi seorang pengemis Yahudi meskipun pengemis itu sangat membenci beliau? Apakah di dalam Al-Quran ada ayat yang mengatakan agar kita hanya berbuat baik terhadap saudara seiman dan seakidah saja, dan berbuat jahat kepada yang lain?" kata-kata yang terucap dari mulut Rubiah inilah yang membuat Erlangga jatuh hati kepada gadis Dayak itu.

Tiba di kota M, Erlangga langsung mencari pekerjaan apa pun itu selama dia bisa mampu mengerjakannya. Baik itu menjadi kuli angkut karung di toko sembako, tukang pikul, kuli kasar bangunan, atau apa pun. Yang penting dari pekerjaannya itu dia bisa mendapatkan uang yang bisa tabungkan untuk melamar Rubia. Tapi, mencari pekerjaan bagi Erlangga sama susahnya mencari jarum di dalam jerami, dan jarumnya tidak ada. Kenapa? Karena semua toko mengalami penurunan pendapatan dan harga-harga barang pada naik, sementara pendapatan rakyat terjun payung.

Untuk sementara waktu Erlangga menumpang di rumah sahabatnya sembari mencari kerja. Tapi, setelah sebulan dia belum menemukannya. Begitupun dengan sahabatnya itu justru telah sebulan lalu dirumahkan dari sebuah pabrik rokok.

***

Setelah dua bulan menganggur tidak jelas, akhirnya Erlangga menemukannya. Dari pagi sampai sore ia membanting tulang dengan mengaduk semen dan mengisinya ke dalam timba karena sekarang dia bekerja menjadi kuli bangunan. Kadang dia ringan tangan membantu tukang-tukang yang lain menata batu bata. Dia benar-benar membuat tubuhnya remuk redam. Setelah seharian bekerja di bawah panasnya terik matahari, dia merebahkan tubuhnya di atas tikar. Dia memang telah bertekad bulat untuk mengumpulkan uang demi melamar gadis pujaan hatinya. Lalu, dalam tidurnya itu, kadang Erlangga meneteskan air mata lantaran teringat akan kenangan bersama ayahnya. Dulu, ayahnya pernah berbangga hati ketika namanya disebut untuk menerima buku rapor di sekolahnya, ayahnya juga pernah membonceng dirinya naik sepeda, ayahnya juga pernah mengajarinya membuat perahu dari pelepah kapuk, ayahnya pernah mengajarinya membuat bedil-bedilan dari bambu, ayahnya pernah mengajarinya membuat layangan, ayahnya juga pernah mengajarinya membaca Al-Quran. Tapi, kenangan indah bersama ayahnya itu seketika menguap ketika seorang gadis Dayak masuk menjadi bagian dari kehidupannya.

Sebenarnya, Erlangga paham betul, bahwa memusuhi ayahnya sangat dilarang oleh ajaran agama apa pun karena sama saja dengan durhaka. Dia tidak ingin menjadi Malin Kundang atau Si Tanggang yang dikutuk menjadi batu hanya lantaran berbuat durhaka terhadap orangtuanya. Tapi, dia dilanda dilema ketika dirinya dihadapkan dengan dua pilihan antara memilih ayahnya dan Rubiah. Dia ingin tetap menjadi anak ayahnya, dan di sisi lain, dia ingin melamar Rubiah, gadis Dayak itu. Hubungan Erlangga dan ayahnya semakin memburuk setelah dengan terang-terangan, bahwa dia ingin memperkenalkan kekasihnya kepada keluarganya. Ayahnya pun semakin murka ketika tahu Rubiah adalah keturunan suku Dayak. Ayahnya memarahi Erlangga.

Erlangga tidak tahu-menahu apa alasan ayannya tidak merestui hubungan dirinya dengan Rubiah. Setiap kali ayahnya menyebut nama Rubiah seperti menyebut nama sesuatu yang haram untuk disebut.

"Jangan sekali-kali kamu berani menghubungi gadis bernama Ru... Rumbia itu di hadapan bapak, atau kamu bapak usir dari rumah ini!" Ancam bapaknya pada suatu hari.

Akhirnya, hubungan anak dan bapak itu bertambah runyam. Walaupun ibunya berusaha mendamaikan kedua belah pihak untuk melakukan rekonsiliasi, namun tak berhasil. Ayahnya tetap tidak mau merestui hubungan anaknya, dan Erlangga tidak mau berbicara dengan ayahnya selama orangtua itu tidak merestui hubungannya dengan Rubiah.

"Memangnya ada rahasia apa sih, Bu, sehingga bapak tidak mau merestui hubunganku dengan Rubiah?" Erlangga bertanya kepada ibunya suatu sore, tiga bulan yang lalu.

Ibunya menangis.

"Kenapa ibu justru menangis? Apakah pertanyaanku justru melukai hati ibu?"

Ibunya menggeleng.

"Apakah kamu sadar siapa dan berasal darimanakah gadis yang kamu cintai itu?"

"Dayak, Bu."

"Dan, tahukah kamu, siapa dan berasal darimanakah dirimu?"

"Madura, Bu."

"Kalau kamu tahu asalmu dan asalnya gadis itu, kenapa kamu masih mencintainya dan tetap nekat mau menikahinya?"

"Memangnya apa salahku dan salah dirinya jika kami berdua saling mencintai? Bukankah memang hak manusia untuk mencintai dan menikah dengan siapa pun asal kami seiman dan seagama, Bu?"

"Ini bukan soal hak, Anakku, tapi...." ibunya kembali terisak.

"Lalu, soal apa, Bu?"

Sayangnya, meski didesak oleh Erlangga, ibunya tak mau menjelaskan. Lalu, pada malam harinya, dia membaca sebuah artikel di sebuah koran. Di dalam artikel tersebut dia menemukan sebuah fakta yang mengejutkan tentang tragedi berdarah yang terjadi pada 23 tahun silam. Sebuah tragedi mengerikan yang pernah terjadi antara suku Madura dan suku Dayak yang meletus di Sampit. Dalam tragedi itu banyak orang suku Madura yang diburu, kemudian dibunuh untuk dijadikan persembahan. Adapun pemicunya adalah hanya karena sebuah kesalahpahaman. Lalu, dengan ditambah-tambahi bumbu pedas, kedua suku yang sama-sama berwatak keras dan lembut pun perang. Korban-korban pun berjatuhan. Salah seorang dari seluruh korban yang tewas itu adalah adik kandung dari ayahnya Erlangga. Apakah karena itulah ayah Erlangga tidak merestui hubungan dirinya dengan Rubiah? Balas dendam? Tapi kan kejadiannya itu sudah 23 tahun yang lalu? Kenapa harus diungkit-ungkit kembali? Bukankah para pelaku telah menerima ganjarannya di dalam penjara? Bukankah semua pelaku sudah bertobat? Lalu, kenapa masih harus ada dendam?

"Woi, ngelamun terus!" Sarip, sahabatnya menepuk pundak Erlangga yang tengah berpikir di dalam kamar pengapnya. "Kalau lagi mikir jangan sambil ngelamun. Entar kesambet setan lu."

Erlangga mengulum senyum. Meski usianya sudah menginjak kepala tiga, Sarip masih betah melajang. Bukan karena tidak laku, tapi dia merasa belum menemukan pekerjaan tetap.

"Memangnya kamu lagi mikirin apaan sih, Lang?"

"Aku lagi mikirin seberapa besar dosa seorang anak terhadap ayahnya yang melarang anaknya itu menjalin kasih dengan gadis yang sama sekali tidak menanggung dosa masa lalu ayahnya."

"Maksud kamu? Coba jelaskan dengan detail padaku. Siapa tahu aku bisa memberimu masukan untuk menyelesaikan masalahmu itu."

"Jadi, Kawan, sebenarnya kedatanganku ke kota ini selain mencari kerja, juga minggat dari rumah lantaran aku dan ayahku berseteru. Awal dari perseteruan itu adalah lantaran aku menjalin kasih dengan seorang gadis Dayak. Mendengar nama Dayak, ayahku langsung naik pitam dan melarangku agar tidak menghubungi gadis itu lagi. Lha, ketika aku bermaksud untuk melamar gadis Dayak itu, ayah menyuruhku agar keluar dari rumah, tapi masih dicegah oleh ibu. Tapi, aku mengkal dan jengkel karena ayah selalu menyindirku. Akhirnya, aku nekat pergi dari rumah."

"Wah, kamu dan ayahmu sama-sama keras kepala ya! Tapi menurutku ya, untuk urusan cinta-mencintai atau menikah dengan siapa adalah hak semua manusia asal mereka tidak berbeda agama. Boleh sih beda agama, namun salah satunya harus pindah agama terlebih dulu menjadi Islam karena memang begitu aturannya. Tidak mungkin dong kita manusia mau mengatur-ngatur Tuhan? Nah, kalau cuma karena kamu suku Madura dan gadis itu Dayak, sama sekali tidak ada masalah karena kita sama-sama manusia. Terlepas dari tragedi mengerikan yang dulu pernah terjadi di dalam suku kalian masing-masing. Beda lagi ya kalau kalian gay. Wah, itu bahaya banget! Kita kan tinggal di negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai Ilahi meski bukan teokrasi? Iya kan?"

"Lalu, menurutmu, apa yang harus aku lakukan? Karena setelah membaca artikel yang menjelaskan tragedi itu ternyata salah satu korbannya yang tewas adalah pamanku. Apakah karena balas dendam, ayahku belum bisa menerimanya sehingga dia membenci Rubiah?"

"Lha kan pelakunya sudah dipenjara toh? Sudah bertobat? Sudah menerima ganjaran yang setimpal?"

Meskipun Sarip hanya lulusan SMA, namun dia tidak sebodoh yang dikira oleh orang. Dia juga tidak gegabah dalam memutuskan suatu masalah.

"Tapi, ini menurut aku ya? Pasti ada sesuatu yang lain yang membuat ayahmu tidak mau besanan dengan keluarganya gadis itu?"

"Apa?"

"Ya aku juga tidak bisa menyimpulkan dan tidak juga bisa mereka-reka. Tak baik salah sangka kepada orang."

Sehari-semalam Erlangga mencari jawaban yang dilontarkan oleh sahabatnya itu. Lalu, ia mencari tahu di dalam artikel yang lain, siapakah orang yang telah membunuh pamannya itu. Namun, sejauh investigasi yang dia lakukan selama itu, dia tidak menemukan siapa pelakunya.

Esoknya, di tempat kerjanya, Erlangga memaksa untuk memasang genting. Mandornya sampai berbusa-busa mulutnya melarangnya agar tidak ikutan memasang, namun dia tetap maksa.

"Jangan, Lang, kamu itu tidak bisa memanjat atau merayap di tempat ketinggian. Nanti kamu jatuh."

"Tidak mungkin, Boss. Saya bisa kok."

"Jangan."

"Ayolah, Boss."

"Jangan."

"Boss."

"Terserah kamulah! Kalau terjadi apa-apa di atas jangan salahkan aku ya?"

"Beres, Boss."

Memanjatlah Erlangga melalui tangga bambu menuju atap bangunan itu. Aman. Tapi, ketika dia melihat ke bawah, kepalanya pusing dan kedua kakinya bergetar seperti pohon kecil. Dia lanjut ke atas. Pas ketika mau memijak tepi kayu reng atap, dia terpeleset dan jatuh berdebam ke tanah seperti buah nangka yang disambar petir. Teman-temannya mengerubunginya, dan langsung membawanya ke rumah sakit dengan mobil ambulans.

Di kamar rumah sakit, ayahnya datang sambil menangis.

"Ayah melarangmu menikah dengan Rubiah bukan karena trauma dengan masa lalu yang diakibatkan oleh watak keras manusia, Nak. Tapi, ayah tidak ingin Rubiah menjadi janda. Seandainya kamu menikah dengannya, lalu kamu meninggal, betapa sangat terpukul gadis itu."

Berbulan-bulan setelahnya, Rubiah yang menantikan kedatangan Erlangga yang berjanji akan datang melamarnya merasa sedih. Dia menduga bahwa pria itu telah melanggar janjinya. Tapi, setelah dia ditelepon oleh ayah Erlangga dan mengabarkan kematian putranya, Rubiah menjadi terluka. Perlahan tubuhnya kurus. Akhirnya, dia jatuh sakit, lalu mati dengan membawa cinta Erlangga. []

 

 


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)