Masukan nama pengguna
Sebuah pesawat kertas lipat mengangkasa dengan anggun dari lantai dua koridor kelas. Pesawat itu meliuk-liuk di sela-sela angin yang bertiup dengan sepoi-sepoi. Anak-anak yag sedang bermain di bawah memandang pesawat itu dengan penuh kagum. Lalu, bermanuver dengan anggun. Namun, ketika pesawat melintas di atas anak-anak bandel yang sedang bermain basket di lapangan, justru mereka yang tubuhnya lebih tinggi hanya dengan satu loncatan Kobe Briyant langsung menyambar pesawat kertas itu dengan tangannya. Setelah itu terjadi tarian penganiayaan terhadap pesawat kertas lipat warna pink itu di tengah lapangan. Lalu, pesawat kertas itu teronggok tak berdaya setelah diinjak-injak dan dirobek-robek tubuh dan kedua sayapnya. Merasa karyanya diinjak-injak dan dirobek-robek oleh geng anak-anak bandel yang tingginya seperti Kareem Abdul Jamal itu, seorang pemuda turun dari lantai dua. Ia pun berjalan ke tengah lapangan basket. Saat itu, mereka sedang saling berebut basket macam anggota partai koalisi berebut bagi-bagi kue jabatan. Pemuda itu pun merebut basket dan membuat anak-anak itu kocar-kacir seperti ayam yang lagi kawin.
Ia pun berdiri di tengah lapangan sambil memegang si kulit bundar warna merah batu bata itu sambil menatap kapten basket dengan tatapan singa terluka. Si kapten basket hanya diam dan memandangnya penuh kerendahan.
“Woi, Kontet! Ayo lempar basketnya! Atau kalau tidak, akan kulempar tubuhmu ke sungai muara biar disantap buaya darat!” teriak kapten basket congkak. Pemuda itu tidak menuruti perintahnya yang sok jagoan.
“Ayo lempar bolanya, Kontet!” para anggotanya menyambung dengan memanggilnya kontet juga.
“Jangan mentang-mentang kamu tinggi dan pintar main basket, lalu bersikap semena-mena dengan merusak hasil karya orang. Mungkin buat kalian, pesawat yang kalian rusak cuman pesawat kertas yang sama sekali tidak berharga. Kalian terlalu menyepelekan karya orang lain. Kalian tidak tahu bahwa orang atau barang yang kalian sepelekan itu suatu saat akan berguna buat kalian,” kata pemuda bertubuh pendek itu dengan lantang sehingga suaranya terlempar di tengah lapangan.
“Woi, Kontet! Kalau mau ceramah atau mau jadi motivator bukan di sini, tapi di podium. Di sini lapangan basket,” sengak kapten basket.
“Bila orang lain menasihati kalian, kalian sebut berceramah, tapi kalau kalian memerintah orang lain dianggap titah Tuhan yang harus dituruti seolah-olah kalian adalah Tuhan yang menciptakan alam. Padahal kalian yang tinggi-tinggi itu mirip batang korek api buat malaikat yang bertugas memutar bumi.”
Kata-kata yang tumpah dari mulut pemuda itu seperti ribuan anak panah yang menusuk dada para pemain tim basket sekolah itu. Mereka muak, mengkal dan sakit hati direndahkan oleh pemuda kontet. Lantas sang kapten maju dan langsung meninju muka pemuda itu.
Darah segar muncrat dari mulut pemuda kontet tersebut. Tapi sebagai balasanya, pemuda kontet melemparkan bola basket ke muda kapten bertungkai tinggi denga keras sehingga tubuhya terhuyung ke belakang. Anak buahnya diam. Sang kapten berwajah tampan itu berdiri dengan emosi yang meletup-letup macam jagung pop corn dalam panci. Ia mendorong tubuh pemuda kontet itu hingga terjungkal ke lantai lapangan. Ia melayangkan tinjunya. Untungnya, saat itu muncul seorang gadis manis dari pinggir lapangan yang melerai perkelahian antara Chow Yun Fat dengan Donni Yen.
“Sudah, sudah! Sudaaah!” teriak gadis berpipi manis itu membuat kapten bertungkai panjang itu menghentikan tinjunya. Lalu, seperti orang yang baru sadar dari kesenggol dedemit, ia berdiri dan menepuk-nepuk kedua tangannya seperti habis mengerjakan pekerjaan kotor.
Pemuda kontet itu berdiri sambil membersihkan darah yang keluar dari mulutnya. Matanya nanar memandang rendah sang kapten.
“Kau boleh tinggi, tapi yang tinggi cuman tubuhmu saja. Sedangkan pengetahuanmu lebih pendek dari manusia kurcaci.”
“Sudah diam kamu, Bibie!” bentak gadis bermata sayu itu.
Tapi, pemuda kontet itu sama sekali tidak menggubrisnya.
“Kalau kamu memang merasa lebih hebat dari aku, kita bisa bertarung dalam lomba pra karya. Aku akan ikut lomba membuat pesawat dan kamu membuat bola basket. Bagaimana? Kalau aku kalah, maka aku akan men-drop out-kan diriku sendiri. Tapi kalau kamu yang kalah, kamu harus angkat kaki dari sekolah ini!”
Merasa harga dirinya dihina-sehinanya oleh pemuda bertubuh kontet, kapten bertungkai panjang itu menerima tantangannya, dan hal ini tentu saja didukung oleh kawan-kawannya.
“Aku terima tantanganmu, Kontet!”
Setelah itu, para pemain basket itu pergi meninggalkan lapangan basket. Sementara pemuda kontet dan gadis itu masih berdiri di sana, di bawah terik matahari yang berada di atas ubun-ubun sehingga cahayanya membentuk siluet tubuh mereka berdua.
“Apakah kamu sudah gila menantang dia dalam lomba prakarya?”
“Makanya mereka mencari gara-gara terlebih dulu. Tadi kamu lihat sendiri kan bagaimana mereka merusak dan menganiaya pesawat kertasku. Kapten sombong itu merupakan bagian orang-orang jahat yang gemar sekali merusak kebahagiaan orang-orang baik. Di mana-mana orang jahat selalu merusak kehidupan orang baik. Apakah mereka pantas dibiarkan hidup dengan leluasa menancapkan kejahatannya di atas muka bumi?” Pemuda kontet itu menatap mata gadis itu dengan tajam.
“Tapi kan kamu tidak perlu turun dan menantang dia seperti jagoan kan? Lalu, soal pesawat kertas yang dia rusak, kan kamu bisa membuatnya lagi?”
“Buat kamu itu hanyalah pesawat kertas yang sama sekali tidak ada gunanya, tapi menurutku.... bagaimana kalau aku bisa membuat pesawat sungguhan?”
Gadis itu menelan salativanya di kerongkongan. Menatap tajam pemuda kontet yang tampak serius. Tidak seperti biasanya kawan sekelasnya itu ngomong seserius siang itu. Tanpa menunggu gadis itu melanjutkan kalimatnya, pemuda itu pergi meniggalkannya menuju kamar mandi musalla untuk mencuci darah yang melumuri bibirnya. Dalam hatinya ia bertekad akan membuat prakarya berupa sebuah pesawat yang bisa mengudara di angkasa. Ia harus melawan ratusan siswa dari berbagai sekolah untuk bisa keluar sebagai juara. Ia akan menunjukkan kecerdasannya sehingga tidak ada orang merendahkannya sebagai orang kontet.
Di dalam kelas, pemuda kontet itu fokus menggambar rangkaian-rangkaian pesawat di atas selembar buku gambar yang besar. Ia seolah-olah menjadi seperti B.J. Habibie yang sedang merangkai rangkaian pesawat sewaktu kuliah di Jerman. Lalu, ia teringat bahwa dulu, ketika masih menjadi mahasiswa, B.J Habibie pernah menghadapi perpeloncoan oleh anak-anak pejabat yang mendapatkan jatah kue kekuasaan dari Presiden Soekarno. Bahkan ia juga mengalami sebuah pelecehan dari musuh-musuhnya. Akan tetapi, B.J Habibie mampu menunjukkan kualitas otaknya sebagai anak bangsa dengan membuat rangkaian pesawat.
Saat pemuda kontet itu tengah asyik membuat rancangan proyeknya, gadis itu menghampirinya sembari menjulurkan tangannya. Pemuda itu menghentikan pekerjaannya, dan memerhatikan gadis manis yang berdiri di hadapannya dengan segores senyuman di bibirnya.
“Apakah kamu mau memaafkan aku? Aku akan mendukungmu untuk membuat proyek pesawatmu. Aku akan membelamu kalau si Candra mengganggmu lagi.”
“Ah, kamu dan Candra seribu tiga. Aku tahu kalau kamu diam-diam menyukai dia karena dia bertungkai panjang dan jago main basket.” Pemuda kontet itu berpura-pura tidak menggubrisnya.
“Apakah kamu marah padaku karena aku seolah-olah membela dia? Kamu tahu, aku tidak ingin kamu menjadi bulan-bulanan Candra. Aku ingin kamu tidak mencari gara-gara sama dia. Karena apa? Kalau kamu disakiti atau digebuki oleh Candra, maka pihak sekolah hanya akan diam dan tidak berani memproses dia.”
Kedua mata gadis itu nanar dan mendung di sana hampir saja runtuh.
“Aku ingin menjadi temanmu.”
Pemuda kontet itu terkesima. Ia merasa terharu oleh ucapan gadis itu.
“Apakah aku boleh menjadi temanmu?”
“Baiklah. Kau boleh menjadi temanku.”
Sejak hari itu, pemuda kontet itu mematangkan rancangan pembuatan pesawat buatannya. Namun secara diam-diam, si kapten basket memerintahkan seorang mata-mata dan pencuri yang akan ditugaskannya untuk mencuri gambar rancangan pesawat pemuda kontet itu. Ketika bel istirahat dan kelas sepi, salah seorang dari anak buah kapten bertungkai panjang itu menyelinap masuk ke dalam kelas, dan ia berhasil mencuri buku gambar dari tas pemuda kontet. Di pekarangan belakang sekolah, kapten itu berhasil membakar buku gambar itu.
“Tidak, aku tidak mengambilnya dari dalam tasmu,” sergah gadis itu ketika pemuda kontet itu menuduhnya telah mencuri buku gambarnya.
“Kalau bukan kamu lantas siapa lagi?! Kamu berpura-pura menjadi temanku karena kamu disuruh oleh kekasihmu sendiri. Kamu berpura-pura baik di hadapanku, tapi sebenarnya kamu ingin membakar karyaku.”
“Terserah kamu mau menuduhku seperti apa. Tapi yang jelas, aku tidak sejahat itu.”
“Jangan berpura-pura lagi di hadapanku. Aku tahu kamu menyukai Candra kan?”
“Entah itu Candra, Bandra, Cindro, Condro, Codot, Tikus, Kalong, Kobe, Koba, Kobu, Nobu, Chelsea, Gading, Gadung, Gadungan, AKU GAK NGURUS!”
Melihat dua insan yang sebenarnya diliputi perasaan saling suka satu sama lain, sepasang mata melihat keduanya dari balik celah dinding kayu pembatas yang berada di tengah-tengah kelas di lantai dua itu. Pemilik mata itu tersenyum licik karena merasa dirinya berada di atas angi.
“Sudah, sudah, jangan ribut. Kalian berdua sejak dulu selalu ribut.” Salah seorang teman sekelas mereka menengahi keduanya. “Aku ada kabar baik buat kalian.”
“Apa itu?” keduanya kompak bertanya.
“Yang telah mencuri buku gambarmu adalah anak buahnya Candra.”
Pemilik sepasang mata itu mengatupkan rahangnya.
“Maafkan aku karena telah menuduhmu yang bukan-bukan,” kata pemuda kontet itu meminta maaf.
“Aku tidak akan memaafkanmu.” Gadis yang memiliki tahi lalat di pinggir bibirnya itu berpura-pura mendengkus.
“Plis. Maafkan aku.”
“Baik, aku akan memaafkanmu. Tapi kamu harus janji.” Gadis itu menyilangkan kedua tangannya di dada.
“Janji apa?”
“Janji kamu akan menjadi pemenang dalam lomba prakarya itu. Bagaimana?”
“Oke. Aku janji akan menjadi pemenang dalam lomba prakarya itu.”
Selama dalam masa perlombaan, pemuda kontet itu mempersiapkan bahan-bahan untuk membuat rangkaian badan pesawat. Ia menggunakan gabus sintetis yang bisa dilipat dan dilengkungkan sehingga bentuknya tabung. juga gabus yang agak tebal untuk membuat sepasang sayap pesawat. Termasuk roda motor mainan yang telah rusak, dinamo, lampu, mesin kontrol yang bisa dikendalikan dengan remot jarak jauh, dan stiker untuk nama pesawat. Siang-malam ia mengerjakannya di dalam kamar rumahnya. Dua minggu berlalu, pemuda itu telah menyelesaikan proyek prakaryanya.
Semua orang berdecak kagum melihat pesawat yang mirip dengan pesawat buatan B.J Habibie yang dipajang di atas meja itu. Tampilannya persis dengan pesawat yang setiap hari melintas di atas langit kota mereka. Benda itu tidak hanya sekadar pesawat gabus biasa saja. Ia bisa menutup dan membuka tempat roda depan pesawat. Mereka memuji hasil karya pemuda kontet itu, kecuali Candra dan kroni-kroninya yang semakin kerdil seperti sekumpulan manusia kurcaci dalam film The Lord of The Ring. Dan tanpa mereka ketahui, bola basket buatan Candra telah diganti dengan bola basket yang telah dilubangi dengan paku.
Saatnya uji coba. Ketika pemuda kontet itu mendapatkan kesempatan untuk memamerkan hasil prakaryanya, dengan penuh percaya diri, ia meletakkan pesawat ‘N-250’ yang ia beri nama SATRIA itu di landasan lapangan sekolah yang telah disemen. Dengan penuh semangat yang dipicu oleh gadis berwajah ayu itu, pemuda kontet itu mulai menerbangkan pesawat buatannya. Gegap gempita seluruh warga sekolah, termasuk para guru dan kawan-kawannya. Pesawat itu mengudara dengan anggun dan melakukan manuver yang membuat decak kagum siapa pun yang menontonnya. Lampunya juga berkedap-kedip seperti rangkaian garis khatulistiwa.
“KITA SAMBUT, INILAH PESAWAT SATRIA N-250!!!” teriak panitia.
Keplok tangan membahana di penjuru sekolah, termasuk gadis itu yang menontonnya di sela-sela kawannya. Pemuda kontet itu sempat melihat senyum gadis yang telah membuatnya jatuh cinta itu.
Maka, mau tidak mau, juri lomba menetapkan nama Baharudin Jusuf Habibie sebagai pemenang pertama dalam lomba prakarya sepropinsi. Kedua orangtuanya memang sengaja memberinya nama yang sama dengan Bapak Reformasi Indonesia, Presiden ke 3 RI, Eyang Baharudin Jusuf Habibie.
“Marilah kita sambut jawara kita: BAHARUDIN JUSUF HABIBIE!” sekali lagi MC lomba berteriak menyambut nama pemuda kontet itu. Keplok tangan dan suit-suit kembali membahana. “Meski B.J Habibie telah tiada, Indonesia masih punya B.J Habibie yang lain, yang kelak akan menciptakan pesawat buatan asli dalam negeri sehingga Indonesia tidak perlu membeli pesawat dari luar negeri.”
Sementara itu, Candra dan kawan-kawannya ditelan kecewa. Sebab saat ia memamerkan bola basket buatannya, tanpa ia ketahui, bola basketnya tidak bisa dipantulkan ke lapangan karena bocor. Spontan ia menjadi bahan lelucon seluruh peghuni sekolah. Tidak ada hal lain kecuali ia harus menerima kekalahannya dari pemuda kontet itu.
“Jangan mentang-mentang kamu tinggi dan pintar main basket, lalu bersikap semena-mena dengan merusak hasil karya orang. Mungkin buat kalian, pesawat yang kalian rusak cuman pesawat kertas yang sama sekali tidak harganya. Kalian terlalu menyepelekan karya orang lain. Kalian tidak ada bahwa orang atau barang yang kalian sepelekan suatu saat akan berguna buat kalian.” Candra seperti ditampar oleh kalimat motivasi itu.
Sedangkan di lain tempat, di sebuah tempat ketinggian, pemuda kontet itu membawa gadis bernama Afifatuz Zakiyyah itu untuk melihat pesawat dari jarak yang paling dekat. Dan seketika, sebuah pesawat melintas di atas kepala mereka. []