Cerpen
Disukai
1
Dilihat
14,203
Dua Puluh Dua Tahun
Romantis

Setelah mengenakan kemeja lengan panjang dan kulapisi dengan sweater tanpa lengan, aku mematut-matutkan diri di depan cermin. Kusisir rambutku yang telah kuolesi dengan minyak rambut tanco dan kubelah tengah. Sekali lagi kuteliti wajahku. Tidak, aku tidak melihat kalau wajahku yang tampan dan hidungku yang bangir, atau aku tidak melihat kalau wajahku masih muda meski usiaku sudah 38 tahun. Tapi, di sana aku melihat guratan-guratan kerinduan, kekecewaan, dan nasib yang telah lama kupendam selama dua puluh dua tahun ini. Yah, sudah dua puluh dua tahun aku memendam cinta dalam peti emas yang kugembok dengan rapat, lalu kubenamkan dalam jiwaku. Tapi cinta di dalam peti emas itu meronta-ronta dan memaksa ingin keluar. Aku berpikir sejenak, ada apa ini? Apakah dia sedang tidak baik-baik saja? Dia yang selama ini kucintai dengan sepenuh jiwa. Cinta pertam dan terakhirku yang tidak digantikan oleh perempuan manapun termasuk istriku, perempuan yang telah melahirkan anakku. Memang, terkadang di dunia ini banyak orang yang menikah dengan orang lain, lalu setelah pasangan mereka meninggal, lantas keduanya bertemu dan menikah meski usia mereka tidak muda. Misalnya Raja Charles III dengan istrinya Putri Camila. Meskipun Lady Di telah memberikan keturunan kepada Raja Charles III, namun api cinta kepada kekasihnya itu tidak pernah padam. Begitupun denga aku. Api cintaku juga tidak pernah padam, hanya kepada seorang gadis bernama Afifatuz Zakiyyah saja cinta itu kupersembahkan.

“Ayah, Alia ikut.” Putriku, Alia, merengek mau ikut.

“Iya, sebentar ayah masih sisir rambut.” Aku merapikan rambut belakang. Setelah kurasa rapi, aku meletakkan sisir di tempatnya.

“Ayah mau pergi ke mana?” tanya Alia yang tadi telah kusuruh mengenakan gaun pesta warna lavender yang kubelikan di salah satu mall di kota Apel.

“Ayah mau menghadiri acara reuni dengan teman-teman ayah sekaligus bedah buku yang ditulis oleh ayah.” Aku mengemasi laptop, buku, ipad, dan pena parker asli ke dalam tas cangklong hitam. “Kalau kamu mau ikut, pakai dulu sepatunya.”

Tanpa disuruh dua kali, putri semata wayangku itu langsung mengambil sepatu pantofel pink mirip sepatu mayoret yang ditaruh di rak sepatu, dan memakainya. Dia tidak bandel apabila kusuruh. Sekali saja aku menyuruhnya langsung dilaksanakan. Sejak lima tahun pernikahanku dengan istriku, aku masih punya anak satu. Entahlah. Padahal banyak penulis bilang, cinta pertama dan cinta terakhir adalah cinta yang tumbuh setelah pernikahan yang dihalalkan oleh agama. Benarkah? Kurasa penulis itu harus merevisi ulang kalimat yang telah ia tulis. Apa yang dikatakannya ternyata salah. Apakah dia Nabi yang semua perkataanya benar? Oh, oh, itu kata seorang ulama salaf. Apakah ulama salaf itu Tuhan yang bisa membaca takdir manusia dari persepsi kitab yang ia tulis? Ternyata hal itu tidak berlaku untukku. Perempuan yang kini telah menjadi parnertku sebagai suami istri, ternyata bukan cinta pertama dan terakhirku.

Dengan mengendarai sepeda motor nyentrik yang semakin langka macam mobil Porsche, yang hanya ada sepuluh unit di dunia, aku melucur ke sebuah tempat yang telah ditetapkan sebagai tempat diadakannya sebagai reuni. Alia berdiri di depanku, di belakang stir. Kupinta juga dia agar mengenakan helm kecil berbentuk bola billiyard nomor 7. Apakah kalian tahu apa makna angka 7? Kurasa kalian sudah tahu. Kalau masih belum tahu tanyalah kepada pohon yang bergoyang, atau suara yang menggelegar di langit.

“Reuni itu apa, Yah?” tanya anakku yang kritis dan selalu mau tahu pasal apa yang belum ia ketahui. Sejak berumur dua tahun setengah, ia selalu menanyakan sesuatu yang terlihat oleh kedua matanya. Lalu, layaknya seorang guru PAUD aku menjelaskannya dengan bahasa yang mudah agar ia tahu. Ternyata, setelah kutes, tiga bulan berlalu, ia masih ingat. Kutanya lagi, ia bisa masih menjawab dengan benar, sama persis dengan apa yang kujelaskan dulu. Kakekku, sepupu nenekku bilang kalau anakku cerdas sepertiku.

“Reuni adalah suatu acara pertemuan untuk mengenang masa-masa sekolah dengan teman-teman lama ayah. Di dalam reuni selain ada makan-makan juga ada obrolan dan bantuan sosial. Nanti semua teman ayah, baik yang tidak sekelas juga datang,” aku menjelaskan kepadanya dengan bahasaku sendiri. Sebab jika menyamakannya sama persis dengan mbah Gugel jadinya akan terasa repot.

“Dulu ayah sekolah di mana?”

“Di SMP.”

“SMP mana, Yah?”

“Madrasah Tsanawiyah Negeri.”

“Di mana itu, Yah?” memang putri kecilku ini seperti seorang wartawan yang selalu kepo. Kurasa dia bukan kepo, tapi terlalu kritis terhadap sesuatu yang masih belum ia ketahui. Seperti pepatah, malu bertanya sesat di jalan. Dan putriku bukan tipe manusia yang tidak ingin terjatuh ke dalam pepatah keramat itu.

“Di Kentangan.”

Saat ini aku melaju di atas jalan raya yang penuh dengan kendaraan yang meluncur dengan deras. Klakson mobil saling salak-menyalak. Klakson mobil saling gertak-menggertak. Kliningan sepeda bertalu-talu. Suara sirine terpontal-pontal. Aku mengurangi kecepatan ketika sampai di simpang lampu merah. Berhenti. Aku mengerem sepeda motor matikku. Ada seorang nenek pengemis yang mengulurkan kaleng bekas sabun cuci colek. Putri kecilku merogoh saku jaketnya, lalu menyodorkan uang lima ribuan ke nenek itu. Doa-doa mustajab pun bertumpahan dari mulut sang nenek. Kuamini semoga diijabah oleh langit.

“Mudah-mudahan kamu dapat seorang ibu yang menyayangi dan mencintai kamu dengan sepenuh jiwa. Tidak selalu memarahimu setiap kamu melakukan apa yang menurutmu benar. Tidak mengekang kamu ketika kamu hendak melakukan sesuatu yang menjadi kehendak hatimu ya, Nak.” Ibu-ibu pengemis berpakaian lusuh, tapi tidak bau itu mengelus-elus rambut putriku. Aku tersenyum. Apa maksud yang terselip dalam doa ibu itu? Kenapa ia tahu kalau istriku selama ini terlalu keras terhadap putriku, anaknya sendiri? Apa yang dimaksud dengan ‘seorang ibu’?

Dalam perjalanan menuju ke tempat acara yang tertulis di undangan, pikiranku kembali teringat kepada gadis yang telah mencuri hatiku dan sampai saat masih ia sekap untuk waktu yang begitu lama. Ia telah mencuri sepotong hatiku dan disimpannya di dalam peti kayu yang sangat rahasia, yang bahkan suaminya sendiri tidak bisa melihatnya. Mustahil ia tidak mencintaiku, karena selama seminggu terakhir ini aku selalu bermimpi duduk sebangku dengannya. Kami mengobrol panjang lebar di dalam kelas yang pernah menjadi saksi cinta kami berdua.

“Siapa penemu benua Amerika, Fif?” tanyaku kepada gadis itu.

“Cornelis de Houtman, Zam,” jawabnya dengan lembut. Suaranya laksana oase di tengah padang pasir yang membelai-belai telingaku.

“Bukan. Cornelis de Houtman menemukan benua Amerika saat ekspansi Portugis dalam menyebarkan taring-taring kekuasaan dan menyebarkan agama Katolik. Itu terjadi jauh setelah Laksamana Zheng He, pelaut sekaligus pendakwah tangguh berasal dari Tiongkok yang menyebarkan agama Islam melalui jalur sutra, Fif.”

“Tapi di buku sejarah dijelaskan bahwa penemunya sekaligus penulis petanya adalah Cornelis de Houtman!” sengit Afifah mempertahankan pendapatnya.

“Yang ditulis di buku itu salah, Fif!” aku balas sengit, tak mau kalah. “Kenapa bisa salah, karena yang menulis sejarah adalah anteknya Amerika. Mereka sejak dulu bermusuhan dengan China. Coba kamu lihat sekarang, Amerika dan China saling bersaing dalam produk apa pun. Bahkan soal ekspansi mereka ke planet Mars. Tapi aku yakin bahwa kelak China mampu mengalahkan Amerika, sebab otak orang-orang China itu encer-encer. Lihatlah suatu hari nanti, China akan mampu membuat bulan dan matahari tandingan Tuhan.”

“Kata siapa?!”

“Kataku!”

“Tapi, di sini disebutkan bahwa penemu benua Amerika adalah Cornelis de Houtman, Zam!”

“Bukan, Afifah! Penemunya adalah Laksamana Zheng He, yang jauh sebelum Marcopolo menemukan benua itu.”

“Mana dulu yang lahir, Marcopolo atau Laksamana Zheng He?” Afifah menantangku.

“Ya Laksmana Zheng He dulu.”

Pak Anshari, guru sejahku muncul dari pintu kelas dan beranjak menuju ke kursinya yang ada di muka kelas. Sementara kawan-kawan kami masih sibuk mencari jawaban siapa penemu benua Amerika pertama.

“Pak, siapa sih penemu pertama benua Amerika?” Afifah bertanya kepada Pak Anshari.

“Marcopolo.”

“Bukan, Pak. Laksmana Zheng He atau Cheng Ho, Pak.”

“Iya tah?” Pak Anshari mengulum senyum.

“Bukan, Zam!”

“Iya, Fif!”

Afifah tampak bersungut-sungut karena pendapatnya tidak kuterima. Namun aku yakin bahwa jawabankulah yang paling benar. Sebab begini, Laksmana Zheng He adalah pelaut pertama dunia yang menjelajahi dunia dan yang membuat peta dunia pertama sebelum barat. Bedanya pembuatan peta dunia versi Laksmana Zheng He dengan pelaut barat adalah, Laksmana Zheng He membuatnya dari atas, sementara pelaut barat dari barat sehingga menyebabkan letak kota Makkah agar bergeser sedikit ke utara. Maka dengan begini akan mempengaruhi arah kiblat shalat umat muslim di Indonesia.

“Arah kota Makkah versi peta buatan Laksmana Zheng He itu pas di arah barat. Apakah bisa dibuktikan secara ilmiah? Bisa. Contohnya adalah Masjid Ampeldenta di Surabaya yang arah kiblatnya ditentukan oleh Mbah Bolong. Mbah Bolong bukan manusia sembarangan. Aku yakin kalau beliau adalah seorang wali Allah.”

Afifah masih bersungut-sungut, dan melengos dariku. Saat itu aku terpesona dengan wajahnya yang lagi marah. Benar-benar cantik. Aku pun jatuh cinta. Jatuh cinta untuk pertama kalinya kepada seorang gadis desa bernama Afifatuz Zakiyyah.

“Kalian ini setiap ada jam pelajaran selalu ribut.” Kata Pak Anshari menggoda. “Jangan-jangan kalian nanti berjodoh.”

“Siapa yang mau menikah dengan Azzam, Pak?”

“Iya tah? Masak kamu tidak mau menjadi istriku?”

Satu kelas kompak berciye-ciye, menggoda.

Setelah ‘perdebatan’ sengit yang membuat Afifah mati kutu itu, aku menulis sebuah puisi yang kutulis untuknya sebagai permintaan maaf. Kuharap dia memaafkanku, partnernya selama ini. Saat kami kembali duduk di kelas, kulungsurkan kertas kecil itu padanya. Ia tampak ragu untuk menerimanya. Tapi, akhirnya ia mau mengambilnya.

“Apaan ini?” bisiknya di telingaku.

“Buka saja biar kamu tahu apa isinya,” aku membalas berbisik.

Jari-jemari tangan lentiknya yang kemerahan seperti mutiara membuka pelan-pelan kertas kecil yang kulipat. Sepasang mata beningnya menatap rangkaian kalimat yang kutulis dengan pena. Bibirnya yang merah delima bergerak membuatku semakin gemas untuk menciumnya.

Padamu sang belahan jiwa kurangkai sebuah kalimat

Yang tak dapat terbaca oleh siapa pun kecuali Tuhan

Dalam perjalanan hidupnya manusia akan mengalami jatuh cinta

Termasuk aku yang tak dapat menyembunyikannya

Telah kupendam selama ini bahwa aku mencintaimu

Setelah membaca isi kertas kecil itu ia menoleh ke arahku. Aku tersenyum sambil tersenyum. Afifah pun menggeleng-gelengkan kepalanya, dan berpura-pura hendak memukul keningku.

“Dasar Majenun!” Gadis itu tersenyum hingga memperlihatkan barisan gigi putihnya yang bak mutiara.

Seketika kenangan itu buyar ketika aku kembali fokus menyetir sepeda motor matikku. Namun, wajahnya yang terpatri di langit tetap bergeming walaupun aku telah berusaha menghapusnya.

“Ah, Fifah, apa kabarmu sekarang? Apakah kamu bahagia dengan suamimu di sana? Apakah kamu sudah bisa menerima dan mencintainya dengan segenap jiwamu?”

Akhirnya kami sampai. Alia turun dari motor. Lalu, aku memarkirkan sepeda motorku di parkiran halaman sebuah rumah makan yang dijadikan sebagai tempat reunian. Setelah memarkirkan motor, aku berbalik dan tubuhku langsung kaku macam patung Stalin saat aku melihat sosok perempuan berjilbab yang wajahnya masih membuatku terpesona sedari dulu. Wajah yang sama sekali tidak berubah. Dan hemm... tahi lalat di sebelah bibir yang mempesona itu. Tahi lalat kecil yang membuatnya sangat berbeda dari gadis yang lain. []

Selesai


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)