Cerpen
Disukai
0
Dilihat
5,350
Di Balik 1998
Sejarah

 Keramaian kota pagi itu memecah konsentrasi seorang lelaki yang duduk di belakang sebuah komputer keluaran terkini. Jari-jemari lentiknya yang halus, tanda jemari yang tidak pernah diperintahkan untuk bekerja keras kecuali menulis. Di luar sana, tepatnya di luar sebuah rumah toko yang dijadikan sebagai toko buku yang merangkap sebagai kantor dan tempat tinggal tampak berbagai kendaraan yang berlalu-lalung. Ada mobil keluaran terkini sampai mobil Kijang dan Corolla yang pernah berjaya di masa lalu. Juga ada sepeda motor canggih yang bisa hidup tanpa harus diisi bensin karena menggunakan listrik dengan cara dicas layaknya handphone sampai motor Honda tahun 70-an. Ada juga becak motor sampai becak kayuh. Dan ada juga sepeda listrik sampai sepeda kayuh yang bunyinya kriut-kriut. Bunyi klakson saling salak-menyalak. Saling gertak-menggertak. Kliningan sepeda bertalu-talu. Semuanya telah berubah, berganti dan berevolusi layaknya makhluk hidup yang ada di dunia ini. Termasuk benda mati. Konon, kabarnya di luar negeri sudah tercipta mobil terbang dan sepeda motor terbang. Iya terbang seperti dalam film-film Scifi yang nongol di layar-layar cinema itu. Konon lagi, mobil dan sepeda terbang yang bahan bakarnya menggunakan avtur itu dibanderol dengan harga ratusan juta dolar. Jadi, di kemudian hari, ketika masyarakat Indonesia masih menggunakan becak kayuh, di luar negeri orang-orang sudah naik sepeda terbang. Atau bisa juga skatefly, skate terbang yang mengeluarkan noise macam sepatu robotnya Astroboy. Ah, mengingat akan hal itu membuat lelaki itu tersenyum dan bergumam dalam hati, kiamat telah dekat dan hanya menghitung waktu. Tak kurang dari lima puluh tahun.

Lelaki itu merenggangkan kedua tangannya yang kebas karena kesemutan. Lalu, ia menyeruput kopinya yang telah dingin. Kedua matanya yang sedikit mengantuk kembali cerah. Seakan anak-anak setan yang sedari tadi bermain ayunan dan bergelandotan di pelupuk matanya kalang kabut dan lari terkencing-kencing oleh efek ajaib yang terkandung dalam seseruput kopi. Setelah kembali memusatkan pikiran dan hatinya, lelaki itu kembali meneruskan pekerjaannya. Ia tidak mau diganggu oleh siapa pun dan tidak seorang pun yang mengganggunya. Para karyawannya sibuk melayani pembeli yang memadati toko bukunya. Meski kecil dan hanya memiliki empat cabang, tapi toko bukunya lumayan ramai. Ia sempat khawatir memang setelah mendengar kabar duka tentang beberapa toko buku yang jauh lebih besar gulung tikar karena sepinya pengunjung. Sebab orang-orang kini lebih memilih membaca dan membeli buku digital yang bisa diunduh secara online. Hanya tinggal klik dan bayar dengan pulsa atau transfer. Cepat, mudah dan praktis. Mereka tidak perlu capek-capek pergi ke toko buku sehingga selain dapat memangkas waktu mereka juga bisa menghemat bensin. Sejak pasar online mulai merebak bak jamur di musim penghujan apa pun serba online. Termasuk buku. Jadi, penerbit sudah tidak perlu susah-susah mikirin membeli kertas bergulung-gulung buat mencetak buku, karena saat ini tinggal upload hanya dengan bermodal kuota internet. Mudah bukan?

Ketika lelaki itu tengah memusatkan semua konsentrasinya, lagi-lagi pikirannya pecah. Namun, kali ini bukan karena bunyi brong knalpot sepeda motor yang sering kentut di sembarang tempat melainkan suara seorang penjual tape keliling yang biasa memanggul dua keranjang yang diangkat dengan tongkat kayu bambu itu.

"Pe tape! Pe tape! Pe tape!"

Mendengar teriakan penjual tape keliling itu, lelaki itu menghentikan pekerjaannya, lalu ia bergegas turun dari lantai dua menuju teras toko bukunya.

"Tape, Pak!" Ia memanggil tukang tape keliling tua yang kulitnya terbakar karena saking seringnya berada di bawah terik matahari. Bapak-bapak penjual tape itu menghentikan langkahnya yang cepat macam kereta api dan balik ke toko buku yang dilewatinya.

Tukang penjual tape itu duduk di trotoar tepi jalan raya, lalu membuka tudung tapenya yang terbuat dari plastik dan daun jati.

"Tape, Pak. Tiga kilo," kata lelaki muda itu seraya mengulum senyum.

"Iya, Nak." Tukang tape keliling berumur kisaran 70 tahun itu segera memasukkan tape ke dalam kantong plastik lalu ditimbang.

"Asal bapak darimana?"

"Bondowoso, Nak," jawab tukang tape sambil membungkus tape.

"Di sini bapak ngontrak rumah?"

"Iya."

"Di mana, Pak?"

"Malasan."

"Jadi bapak jalan kaki dari Malasan?"

Tukang tape itu mengangguk. Itu jarak yang tidak dekat.

"Jam berapa tadi berangkat dari Malasan?"

"Bakda Subuh."

"Sudah ada yang beli tapenya dari tadi, Pak?"

Tukang tape itu menggeleng. Lelaki muda itu terenyuh melihat jawaban dari bapak tua itu.

"Ini, Pak. Ambil semua buat dibelikan es atau nasi di warung." Lelaki muda itu menyodorkan uang lima puluh ribu rupiah kepada bapak penjual tape.

"Terima kasih, Nak." Bapak penjual tape menerima uangnya dengan penuh syukur.

"Inggih, Pak. Sami-sami." Lelaki itu mengangguk, sembari mengulum senyum ketika penjual tapi memanggul keranjang tape dengan tongkat bambu di pundaknya.

Kemudian, bapak tua itu meninggalkan toko buku tersebut untuk melanjutkan perjalanannya dalam mencari rezekinya Allah.

"Pe tape! Pe tape! Tape, tape!"

Lelaki muda itu melihat bapak penjual tape itu dari belakang dan terus memandanginya hingga tubuh ringkih penjual tape hilang di balik kerumunan pejalan kaki. Lalu, ia masuk ke dalam toko bukunya dengan mencangking tiga kilo bungkus tape. Diberikannya sekilo buat karyawannya. Lantas ia pun duduk menyendiri di kursi kasir. Kelima karyawannya tampak saling menikmati tape.

"Sudah tua, tapi masih berjualan tape keliling, Yaa Allah," lelaki itu mengadu ke keharibaan langit. Hatinya teriris melihat pemandangan pagi itu. "Seharusnya di sisa-sisa usianya kini bapak itu menikmati masa tuanya dengan bermain bersama cucu-cucunya. Tapi sungguh ironi, ketika para pejabat menikmati masa tuanya di rumah gedungnya setelah menghisap kering darah dan keringat rakyat, mengkorup uang negara, menyesap habis ladang-ladang minyak, menggunduli hutan-hutan, merampas tanah rakyat dan mengusirnya, dan menguruk lautan, bapak tua itu harus berjalan berkilo-kilo untuk menafkahi diri dan keluarganya."

Lelaki itu juga mencomot tape asli Bondowoso. Tak terasa ketika ia mengunyah tape, kerongkongannya seperti lengket begitu seakan ada biji durian yang tertelan. Pelupuk matanya merekah dan terasa panas. Lalu, bening sungai mengalir di pipinya.

"Mutia pagi ini cantik banget pagi ini kayak dakocan!" ledek salah seorang karyawan menggoda temannya. Mutia, gadis berwajah manis dan pandai ilmu Akuntansi. Mereka sering bersenda di kala jeda agar tidak stress.

"Oh Rahmad, tampangmu ganteng seperti Hanuman!" balas temannya. Dan Rahmad, pemuda jangkung hitam manis. Paling rajin bekerja.

"Biarlah jelek tapi terkenal macam Runding Rundingan, yeee!" Rahmad tampak pede.

"Siapa Runding Rundingan?" celetuk yang lain.

"Itu loh Vlogger yang mukanya macam serigala itu," sahut yang lain.

"Ooo yang dapat istri cantik macam penyanyi Siti Nurhaliza itu? Ge er banget. Kamu itu macam Om Bemo."

"Siapa Om Bemo? Idih gak kenal layaw!"

"Itu loh Om Bemo yang bibirnya moncong macam bemo."

"Oalah, Om Don..."

"Donkey!"

"Siti Nurhaliza yang nyanyi lagu Cindai itu kan?" Linda ikutan nimbrung, mengalihkan topik dari Om Bemo ke Siti Nurhaliza.

"Bukan. Yang nyanyi lagu Ijuk."

"Kalau lagu yang itu Iyet Bustami. Yang nyiptain lagu Laksmana Raja Di Laut itu."

"Bukan Siti Nurhaliza!"

"Iyet Bustami!"

"Siti!"

"Iyet!"

"Mbuh tah wis sak karepmu. Mau Siti Nurhaliza kek, Siti Nurhalimah, Siti Badriyah, Siti Aminah, Siti Aisyah, Siti Qomariyah, Siti Fatimah, Siti Maimunah, Siti Nur Azizah, atau Siti-Siti yang lain, aku gak patek en! Kuduk keluargaku!" teriak Mutia.

"Darimana sih Iyet Bustami?!"

"Malaysia!"

"Ye salah! Makanya sok tahu!" Rahmad kembali meledek.

"Darimana coba kalau memang tahu?" Mutia berkacak pinggang sambil memelototi musuh bebuyutannya dalam bidang ledek-meledek.

"Bengkalis, yeee!"

"Di mana Bengkalis itu?"

"Jambi!"

"Baru kamu yang sok tahu. Salah. Bengkalis itu di Riau!"

"Jambi, yeee!" Rahmad menjulurkan lidahnya.

"Riau!" Mutia mulai emosi.

"Terserah aku, Bengkalis itu di mana. Mau kuletakkan di Mars kek, Yupiter kek, Saturnus, Merkurius, Pluto, terserah aku." Rahmad yang berjalan ke belakang tiba-tiba terjatuh oleh kakinya sendiri. "Jambi dan Riau itu sama-sama di Sumatra Tengah." Ia bangkit dari lantai sambil menepuk-nepuk tangan dan celana hitamnya.

"Kualat!" Mutia mencibirnya senang.

Huahaha. Suara tawa mereka terlempar-lempar di dinding ruko sampai keluar.

"Pssst! Pssst!" Salah seorang dari mereka mendesis supaya diam ketika melihat bossnya tercenung macam orang kena tenung, sambil meneteskan air mata.

"Ada apa, Pak? Kenapa bapak menangis?" tanya sang karyawan, Linda memberanikan diri.

Lelaki itu terdiam, menikmati tangisan hatinya yang kian menderas. Tape yang masih dipegangnya tidak dimakannya.

Para karyawannya saling bersenggolan sikut sambil saling menatap satu sama lain. Melupakan ledek-meledek. Lalu, saling mengangkat bahu. Tak paham gerangan apa yang telah membuat boss mereka menangis. Sebab belakangan ini mereka tidak pernah melihat lelaki itu menitikkan air mata apalagi menangis.

"Kalian tahu, kenapa saya menangis?" bibir lelaki itu mengeluarkan suara.

"Tidak tahu, Pak," salah seorang karyawan cewek yang lain menyahut pelan.

"Bapak tua penjual tape keliling itu mengingatkan saya kepada ibu saya yang juga berjualan keliling dari ketika saya kelas dua sampai kelas enam SD."

Para karyawannya manggut-manggut.

"Saat itu tahun 1998 di mana kehidupan rakyat Indonesia susah. Sama susahnya dengan saat zaman penjajahan dulu, ketika Belanda dan Jepang masih bercokol di bumi pertiwi."

Para karyawannya menyimak.

"Kala itu sebelum saya memiliki toko buku, kehidupan keluarga saya benar-benar miskin."

***

Tubuh kurus, kulit kehitaman karena terlalu sering terbakar matahari, rambut berdiri macam bulu landak, gaya berjalan macam peragawan memperagakan busana, tas cangklong bajakan, kaos kaki kedodoran karena sering dinaikkan ke atas sehingga harus diikat dengan gelang karet, sangat kontras dengan kemeja putih lusuh dan celana panjang hitam bak pegawai kantor urusan perkawinan. Namun siapa sangka, di balik buruk rupa itu ia memiliki otak yang sangat jenius. Lima kali secara berturut-turut naik ke atas panggung untuk menerima hadiah sebagai ranking satu. Lima belas kali menyabet gelar sebagai bintang kelas. Duh, bukan bintang kelas, tapi bintang sekolah. Namanya menjadi buah bibir sepanjang masa. Nilai ulangannya selalu mendapat nilai sempurna: 9. Dan malam itu, adalah malam keenam kalinya ia naik ke atas pentas untuk menerima piala yang keterakhir kalinya di SD. Ia berdiri bersama lima bintang kelas lainnya. Bunyi keplok tangan teman-temannya memecah angkasa. Suit-suit para pelengkap penggembira memancing para guru untuk ikutan bersuit-suit macam lutung di tengah hutan. Melupakan masa-masa pelajaran yang penuh derita. Lalu, seorang pria paro baya mengenakan pakaian kebesarannya, sarung dan peci putih berdiri sambil menyerahkan piala kuningan paling besar dengan tulisan: Juara Pertama! Bocah buruk rupa itu menerima piala dengan penuh bangga dan mengangkatnya ke langit karena panggungnya terbuka, membiarkan para bintang kelas berkedap-kedip di angkasa raya. Hatinya membuncah bahagia karena telah berhasil membuktikan bahwa orang jelek tidak selalu bodoh. Banyak toh buktinya bahwa orang jelek justru jenius-jenius, bahkan menjadi penemu rumus-rumus dunia yang kekal abadi sepanjang masa. Tak sedikit orang ganteng memakai rumus mereka karena mereka dikaruniai otak kecil macam otak kelinci. Setelah penyerahan piala untuk para jawara, kepala sekolah berfoto ria dengan para bintang istimewa itu. Cekrak-cekrik, selesai. Mereka pun turun.

Di kursi tamu, bocah buruk rupa itu menimang-nimang pialanya seperti Christian Ronaldo yang habis menerima piala Balon d'Or yang kelima kalinya, membuat para Lionil Messi kampungan merasa iri karena meskipun wajahnya ganteng macam bintang pelem Hong Kong, mereka kalah saingan. Para ibu yang anaknya gagal mengukir prestasi pun merepet-repet macam para netizen gegara Natalie Holtscheir bongkar genteng. Tak terima anaknya dibabat habis oleh bocah miskin buruk rupa.

"Kamu itu gimana sih, Dan, kok kalah sama si Azzam? Padahal kamu itu ya anaknya ustadz?! Bikin malu abi sama umimu. Itu lho si Dana, anaknya Ustadz Rozak, kalah sama si Azzam! Aduh, punya anak kok cek gendenge amat sih!" geram Bu Nur karena anaknya, si Dana selalu masuk sepuluh besar. Padahal ayahnya adalah orang terpandang yang hafal Al-Quran. "Pokoknya umi gak mau tahu. Tahun depan kamu kudu ngalahin si Azzam! Titik!"

Anaknya, Dana, yang kurus kering macam pohon rapuh tersuruk-suruk di belakang ibunya yang merepet-repet di sepanjang jalan pulang.

"Biarkan sudah, Mbak Nur. Namanya juga rezeki. Mungkin si Dana tahun depan ranking," Bu Sayu mencoba membesarkan hati sahabatnya dalam bidang ngerasani tetangga.

"Masio, Mbak Sayu. Selama enam tahun lho, dia ndak ranking-ranking. Jengkel aku! Kok bisa kalah sama si Azzam. Padahal abinya dulu pinter di pesantren. Pernah dapat piala sebagai Qori terbaik sekecamatan." Ibunya Dana semakin jengkel hatinya.

"Semua kan tergantung sama IQ anaknya kan, Dik Nur? Kalau IQ-nya si Dana pinter pasti ranking kan?" sahut ibunya Azzam.

"Oh, jadi sampean mau bilang kalau IQ-nya Dana itu bodoh gitu?! Dan yang jenius cuman si Azzam!" Tensi darahnya Bu Nur naik, dari 90 menjadi 180. Tidak terima IQ anaknya disebut bodoh.

"Bukan begitu, Dik Nur. Ngapain sampean marah-marah karena si Dana nggak dapat ranking dan piala, lha wong bukan piala emas. Ya kalau pialanya terbuat dari emas masih bisa dijual ke toko emas Kilau Jaya. Para atlet yang dapat medali emas saja cuman tinggal namanya saja. Medalinya gak bisa dijual," ibunya Azzam menyahut dengan santai, membuat mulut Bu Sayu dan Bu Nur mencibir.

"Sombong!"

Lha, apanya yang patut dijadikan sombong dengan piala kuningan itu? Iya kalau pialanya bisa dijual pantas toh? Lagipula apa yang dicapai oleh Azzam adalah hasil kerja kerasnya selama enam tahun. Siang malam ia belajar. Terkadang, tuah yang dimiliki oleh seseorang mengundang dengki. Dikit-dikit sombong. Dikit-dikit riya. Dikit-dikit takabbur. Ah, dunia, sungguh lihai engkau menjerat nafsu manusia.

"Dengar, Zam. Tahun depan kalau sudah masuk SMP jangan ranking. Kasihkan ke Dana!"

"Masio gak ranking, Dana ya gak patek en, Mbak. Biar ranking diborong semua oleh Azzam! Dia memang pantas jadi juara. Karena cuman dia yang pinter, sedangkan Dana goblok. Anakku pancen goblok, Mbak! Goblok! Goblook!" Bu Nur sudah tidak bisa menahan emosinya yang buncah-buncah di kalbunya. Diseretnya tangan anaknya dengan kasar macam menyeret kambing yang bandel dimasukkan ke kandang.

"Ayo, Dur!" Bu Sayu pun menyeret anaknya, si Abdur karena hatinya mangkel. Selama ini, Abdur hanya berhasil masuk jajaran dua puluh besar. Tiap kali ibunya dipanggil untuk menerima rapor dari wali kelas, selalu urutan ke 25.

Azzam dan ibunya berjalan dengan santai bersama ibu-ibu yang lain yang menerima kekalahan putra putri mereka dengan hati lapang. Mau diapakan lagi lha orang otak anaknya memang otak kerbau. Tidak ada cara lain selain turut senang meski yang juara bukan anak sendiri.

"Anaknya sampean memang pinter, Mbak. Waktu hamil sebenarnya sampean makan apaan sih? Kok jenius betul si Azzam?" tanya Bu Mi, ibunya si Yeni "Kajol Devgan" nya Bonsari. Yang kalau dandan selalu menor macam artis figuran. Itu lho yang tiap kali main pelem cuman sekali nongol di layar.

"Ya makan nasi lah, Dik Mi," jawab ibunya si Azzam nyantai. "Gizi cukup. Nggak ada yang aneh-aneh."

"Tapi aku kagum lho mbak sama anaknya sampean itu. Tiap catur wulan nilainya selalu naik seperti harga sembako. Hihihi."

"Dia kan jarang nonton tivi, Dik Mi. Lagian mau nonton di mana, lha wong di rumah gak ada tivi. Palingan kalau mau nonton ya nonton di rumah tetangga."

"Sakno e, Rek."

Tahun 1998, di mana negeri ini hanya dikuasai dan dijalankan oleh seseorang yang kata oposisi disebut "diktator" karena telah memerintah selama 32 tahun. Sejak Supersemar tahun 1966 diberikan, sang Jenderal mengambilalih kekuasaan dari tangan sang presiden. Bahkan sang presiden dituduh sebagai otak di balik G30S/ PKI. Lalu, sang presiden menjadi tahanan rumah sampai maut merenggut nyawanya. Saat itu, kebebasan rakyat dibatasi. Memilih presiden pun rakyat tidak bisa. Mereka cuman disuruh milih partai yang paling berkuasa. Tidak seperti hari ini. Untuk menjadi ketua partai pun harus meminta izin dari penguasa. MPR dan DPR pun juga banyak diisi oleh kroni-kroni presiden. Presiden Indonesia saat itu tak ubahnya Stalin, atau Kim Jong Un di zaman sekarang. Ancaman dan intimidasi menghantui. Bahkan orang bertato pun menjadi sasaran Petrus.

Namun, kebahagiaan malam itu menguap begitu saja, terbawa oleh angin kekecewaan yang menyisakan luka. Hari itu Azzam datang ke sekolah untuk mengambil rapor, belum ijazah. Sampai urutan nama yang ke 25, namanya tidak disebut oleh wali kelas. Ketika kelas bubar sambil menerima rapor, Azzam menghampiri wali kelas yang memegang rapornya.

"Buku rapor saya mana, Pak?" tanyanya dengan polos.

"Zam, untuk mendapatkan buku rapor, kamu harus melunasi tunggakan SPP-mu selama 1 tahun ditambah uang EBTANAS. Kalau kamu sudah melunasinya, baru kamu bisa mengambilnya," Pak Wali Kelas menyahut.

Kerongkongan Azzam tersekat seakan habis menelan biji salak sebesar gundu. Ia sadar kalau selama 1 tahun ini ibunya belum melunasi SPP dan uang EBTANAS.

"Besok lunasi dulu ya, Zam." Pak Wali Kelas bangkit. Wassalam. Meninggalkan Azzam yang dilanda kecewa.

Tak lama kemudian, air matanya merekah.

"Uuuu... uuuuu...." Bocah lelaki itu menangis.

Lalu, ia pulang dengan menelan nestapa. Sepanjang jalan ia ingin menangis sekeras-kerasnya. Ia ingin menumpahkan rasa kesalnya. Ia ingin memaki-maki ibunya yang tak mampu melunasi uang SPP selama 1 tahun. Ia ingin memarahi ibunya karena tak mampu menyekolahkan dirinya dengan benar.

"Uuuu... uuuuu.... " Ia masih menangis.

Tapi ia sadar. Berapa sih pendapatan ibunya dari hasil berjualan. Apalagi ibunya hanya seorang diri karena ayahnya telah tiada satu tahun yang lalu. Sejak ayahnya meninggal, ibunya lah yang harus membanting tulang. Dari Subuh hingga siang, ibunya berjualan ketan sawut dan ketan salak dengan keliling kampung. Pendapatannya pun tak seberapa. Hanya cukup buat membeli beras yang saat itu 500 rupiah per kilo.

Yah, selain dipimpin oleh seorang presiden bertangan besi, rakyat kecil di negeri ini amat menderita padahal lumbung padi mengalami peningkatan. Indonesia saat itu memang pernah meraih penghargaan dari FAO atas prestasinya di bidang pertanian. Namun di balik prestasi mentereng itu, rakyat miskin sangat merasa kesulitan. Mereka tidak bisa mengonsumsi beras dari tanahnya sendiri sehingga terpaksa mengonsumsi tiwul dan karak. Termasuk keluarga Azzam sendiri. Nasi kemarin yang telah basi ditanak kembali menjadi nasi karak. Jadi, jangankan membayar SPP yang cuman 2000 perak, membeli sekilo beras yang 500 perak jarang.

Begitupun dengan hiburan. Di zaman itu, orang yang memiliki tv pun masih jarang. Satu kampung cuman satu orang yang punya tv. Menontonnya pun macam menonton pelem di gedung bioskop. Channelnya masih sedikit. Cuman ada TVRI, TPI, ANTV, RCTI, dan INDOSIAR. Belum ada MNC TV, TRANS TV, dan kawan-kawannya. Acaranya pun terbatas. Hanya siaran yang tak mengkritik penguasa. Selain channel tv yang terbatas, bahan bacaan pun juga limited. Novel atau cerpen pun mengupas soal percintaan anak muda. Tidak ada yang berani mengkritik presiden atau anggota dewan. Coba-coba berani melawan, siap-siaplah untuk dibredel dan dicap sebagai buku berbahaya. Presiden dulu sangat phobia dengan yang namanya kritik. Andai kata dia masih hidup dan menjabat sebagai presiden di era sekarang, paling dunia medsos akan dipreteli. Mark Digrebek, pemilik Meta. Corp. sudah pasti diuber-uber sama Petrus. Coba kawan tengok negerinya Kim Jong Un, internet dibatasi.

"Mana rapornya, Le?" ibunya bertanya sambil mencuci pohong yang habis dikupas.

Azzam menumpahkan tangisnya ke pangkuan sang nenek. Tangisnya meledak.

"Uuuu.... uuuuu.... raporku ndak dikasihkan, Mak, karena SPP dan uang ujian belum lunas. Uuuu...."

Emaknya dengan lembut membelai kepala cucunya itu.

"Insya Allah, kalau kita ada rezeki kita bayar ya, Le. Wis sing sabar ojo nangis," emaknya menenangkan hatinya.

Tidak ada yang bisa dilakukan oleh Azzam selain memadamkan keinginannya untuk memegang buku rapor. Ia padamkan keinginannya untuk melihat rangkaian nilai-nilai ulangannya.

Hingga tibalah waktunya pengambilan ijazah. Saat itu, di seluruh dunia mengalami krisis moneter. Keuangan makin seret. Harga pangan dan kebutuhan lainnya meroket. Di mana-mana rakyat demo, melawan. Mahasiswa Tri Sakti dan HMI bersatu di depan gedung MPR/ DPR menuntut agar kakek tua yang diberi gelar 'Bapak Pembangunan' itu lengser dari jabatannya. Wakil rakyat tak berkutik. Polisi dan tentara tak berkutik. Mahasiswa mengamuk di Senayan. Akhirnya, kakek tua itu pun menyerahkan kekuasannya pada MPR yang memilihnya. Pada saat itulah Indonesia mencatat sejarah karena memasuki zaman reformasi. Runtuhlah kekuasaan Orde Baru. Para bedebah dan mafia serta mancik berdasi pun sembunyi di kolong-kolong kursi MPR dan DPR serta di kolong-kolong tol, bahkan ada yang kabur ke luar negeri. Lalu naiklah Sang Arsitek Pesawat menggantikan kakek tua. Namun, kekuasaannya tidak lama, hanya 8 bulan. Lantas ia lengser dari kursi jabatannya persis pesawat nyungsep.

Hari bersejarah itu tidak hanya dirasakan oleh seluruh lapisan rakyat Indonesia, tapi juga dirasakan oleh Azzam karena tepat di hari lengsernya Orde Baru, ia melunasi SPP dan EBTANAS-nya. Ia peluk erat-erat buku rapor dan ijazahnya untuk digunakan mendaftar ke tingkat SMP.

***

"Itulah kisah panjang tapi singkat tentang kehidupanku di balik 1998. Aku tidak bisa melupakannya. Di zaman itu aku menjadi bagian dari sejarah kelam negeri ini. Sejak zaman reformasi menampakkan wajahnya, buku-buku umum, novel dan cerpen bertajuk 1998 dan Orde Barunya banyak dikupas. Dan sejak itu, tidak ada penguasa yang mengusik para penulis atau seniman untuk menelurkan karya. Lalu, sepuluh tahun kemudian, ketika laptop membanjiri pasar teknologi Indonesia, aku pun lahir sebagai penulis," lelaki paro baya itu menuntaskan kisah masa lalunya.

Ekpresi para karyawannya pun bermacam-macam.

"Ih, rupanya ngeri ketika hidup di zaman itu," Mutia bergidik ngeri.

"Memang kamu tahu siapa nama presiden yang dimaksud oleh Pak Azzam tah?" Rahmad mulai kumat dengan ledekannya.

"Presiden Gus Dur! Megawatti?"

"Bukan, Yeee. Nama Presiden Indonesia saja nggak tahu! Payah!"

"Mana aku tahu, lha wong aku lahir tahun 2008." Sengit Mutia.

"Siapa namanya se?" tanya Linda membela kawan karibnya.

"Pak Harto! Tahu aku kan?" katanya merasa di atas angin karena dia lahir dua tahun setelah zaman Reformasi.

"Pak Harto? Maksud loe Pak Hartono?" ejek Linda.

"Bukan!"

"Pak Hartoyo? Wiranto? Harmoko? Amien Rais? SBY? Habibie? Agum Gumelar? Tomy? Bambang? Lulu Tobing? Mbak Tutut? Panci Gumilang? Sutomo? Sutoyo? Ah, sudahlah." Linda mengalah tak mau meladeni ledekan Rahmad.

"Hati-hati nyebutin namanya. Bisa dibredel polisi kamu." Rahmad menakut-nakuti.

"Aku gak takut, lha wong presidenku sekarang Pak Jokowi. Orangnya halus dan tahu tata krama! Weeek!" Linda menjulurkan lidahnya pada Rahmad.

"Penjilat!"

"Siapa yang penjilat? Memangnya aku sama dengan para penjilat yang menjilati lantai Istana Kepresidenan tuh?!"

"Sudah, sudah. Kembali kerja!" kata Azzam menyudahi debat kusir itu. Lalu, ia bangkit dan naik ke lantai dua. []

 

Ini tentu saja bukan kisahku. Tapi setidaknya, aku pernah menjadi saksi ketika kediktatoran menguasai bumi pertiwi. Dan semoga tidak ada penguasa yang akan mengulangi kembali.


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)